Minggu, 17 April 2011

LDR : cinta dalam sepenggal aspal




Saya bukan tipe orang yang bisa terpisah dengan ‘seseorang’ dalam jangka waktu lama. Alasan sederhana, terkadang saya memerlukan supporter langsung di TKP. Tapi, ini yang harus dihadapi : long distance relationship.

Jangan ditanya ketika awal-awal masa itu, panas-dingin-jungkir-balik-kayang-salto mirip nano-nano. Stressssful. Pengennya tiap hari mewek dan mendayu-dayu. Mengingat teknologi sedemikian maju sekarang, what aim my tears comin over are for? Entah. Rasanya sedih. Titik. LDR menjadikan perenungan di siang bolong seperti ini,  apakah kita memang mengikhlaskan semua hal yang menjadi pilihan lengkap dengan imbasnya. Take it or leave it. Take it, dan konsekuensinya saya harus melapangkan hati seluas lapangan bola ketika SMS nggak dibalas, telepon nggak bisa semaunya, nggak bisa merayakan secara langsung apapun pencapaian kita, dll. Leave it, tapi saya pasti akan lebih merana karena akan kehilangan seseorang yang berarti bagi hidup saya.

Sekarang, sudah baikan? Hmm… A ll bit better. Gara-gara dipaksa, mau tak mau saya pun menikmati kangennya beberapa saat tidak bertemu muka, sekedar mendengar suara doang (yang kemudian bener-bener nggak nyambung gara-gara yang ditelepon ketiduran dan ngelantur :p) di sela-sela kesibukannya saat ini, harap-harap cemas kapan bisa ketemu, so on.


 :)


Di satu sisi kadang jengkel, kok rasanya saya terus yang dirundung rindu? So one-sided feeling, yaiiyyyyyyy. Dan saya salah. Ketika saya menjadi mendadak sibuk karena acara ini itu, kesana-sini, dan bahkan tidak sempat sekedar mengucap sapaan rutin saya 3X sehari—saya sadar—bukan hanya saya saja yang bisa kangen. Dia— dengan caranya yang cuek ala bebek—menyapa saya dengan bahasa yang lucu, you know lah, ketika seseorang yang punya harga diri, cuek, dan jarang mengekspresikan perasaan secara gamblang, tiba-tiba mendadak menjadi mellow :p Adalah bodoh, ketika perasaan satu sama lain harus dikorbankan hanya gara-gara jarak yang sebenarnya bisa diperpendek.

Jujur, saya sangat sangat sangat menghargai upaya nya yang (mungkin) menelan egosentrisnya sebagai seorang laki-laki yang tak boleh kalah atas perasaan. Hal kecil—di seberang sana—yang dia lakukan. Sebatas pesan singkat, sesingkat-singkatnya. Cukup membuat saya tahu, kalau dengan jarak sekian kilometer, ada yang merasakan hal yang sama seperti saya. Bahwa dia, memiliki caranya sendiri yang berbeda dengan saya. Love you, I :)



*plus Cayman Island-nya King of Convenience… I miss him so bad :(



Tidak ada komentar:

Posting Komentar