Kamis, 29 Desember 2016

Aroma Hujan Itu Menyapa Tanah



Menyukai seseorang, terkadang menjadi demikian rumit, jika sekedar bertumpu pada keheningan dan sebidang punggung.


**


Nata tak habis pikir, kenapa jagat raya seakan berkonspirasi menemukan malam. Malam? Iya malam. Malam yang dingin, panjang, dan kelam.
Malam yang membuatnya setengah mati kesal karena harus berada jauh dari masa kecilnya.
Malam yang membuatnya teringat kepada, ah sudahlah.

Ia, bukan penggemar kopi. Atau tepatnya Nata bukan penggemar gaya hidup urban seharga sekian puluh ribu rupiah. Namun malam ini ia memaksa diri untuk menyeduh kopi. Tak neko-neko, hanya kopi sachet seharga beberapa ribu rupiah, hasil beli di warung ujung gang.

Di hadapannya terbentang sketsa pemikiran, beradu dengan sejumlah file yang terbuka sekaligus pada beberapa tab.

Konyolnya, yang muncul dalam kepala justru hal lain. Lagi. Padahal dateline di depan mata sudah (sempat) sukses mengalihkan dunia. Dan mapping agenda yang sudah ia susun sepenuh hati sejak sore tadi, pun mendadak buyar seketika.


Shit happens.


**


"Nasgor satu Bang, banyakin cabe rawit. Super pedas pokoknya!"
Si abang nasgor sudah mahfum dengan selera Nata. Nyaris per dua hari sekali tongkrongan Nata adalah di abang nasgor ujung gang ini.

Enak banget?
Tidak juga. Nata rajin mampir kesitu karena tempatnya tak terlalu ramai dan si abang nasgor adalah pendengar setia celotehan absurd Nata. Pendengar. Literally.

"Saya capek, Bang." Nata memulai. Sebenarnya lebih tepat menggumam seadanya.
"Stok waktu kita hanya duapuluhempatjam. That's it. Dan kita masih harus--kadang--mengurusi hajat hidup banyak orang. I mean, tak ada yang salah menjadi orang baik memang. Namun seringkali menjadi 'baik' ini seperti bumerang--"

Di warung tenda itu hanya ada satu pengunjung. Seorang pria sekitar awal tigapuluhan, itupun sibuk dengan earphone di telinga. Sekilas Nata mendengar nada lengkingan lagu Jaded nya Aerosmith.

Abang nasgor menceplok telur dengan cekatan, lalu menambahkan taburan bawang daun iris, membuat Nata makin merasa lapar.

"--ah, selalu ada good karma memang sih. Namun good karma hanya akan menjadi sia-sia kalau saya selalu membicarakan prosesnya yang terkesan susah, kan ya. Ehm, perspektif."

Samar-samar Jaded sudah berganti dengan Eleanor Rigby The Beatles. 

"Ini Bang. Kembaliannya ambil saja." Nata menerima kantong nasgor yang diulurkan, menukarnya dengan selembar duapuluhribuan.

Abang nasgor itu tersenyum dan mengangguk. Buru-buru, Nata menaikkan risleting jaket dan memasang hoodie di kepala. Aroma hujan mulai ditiupkan angin dari kejauhan.

Ngomong-ngomong, abang nasgor itu tuna-wicara.


**


00.10

Hujan tinggal menyisakan bau tanah segar yang tertiup angin. Sementara laptop Nata masih setengah menyala, bungkus nasi goreng tergeletak di atas meja.


Everybody's got a hungry heart
Everybody's got a hungry heart
Lay down yor money and you play your part
Everybody's got a hungry heart

Everybody needs a place to rest
Everybody wants to have a home
Don't make no difference what nobody says
Ain't nobody like to be alone
     





Sebuah pesan singkat masuk.












--Bruce Springsteen, Hungry Heart

















Selasa, 20 Desember 2016

Menghitung Hening



07.20 


Pagi ini entah kenapa saya memulai perjalanan dengan cukup deskriptif. Seakan semua indera sedang berfungsi optimal. 

Matahari masih suam-suam kuku, angin sedang lembut-lembutnya, jalanan cukup lengang, si anak kecil sedang kalem. Ah, nikmat mana lagi yang engkau dustakan, he?


**


Ternyata keheningan yang larut dan menyenangkan itu mahal. Berangkat dan pulang dengan rutinitas yang sama setiap hari... seriously, seperti robot. Tidak, rasanya memang masih penuh syukur kok diberikan hari demi hari yang produktif. Namun produktif yang belum penuh. Ehm.

Beberapa hari ini sedang coba mendengarkan kembali tubuh saya melalui keheningan.

Minum cukup?
Makan benar?
Istirahat sesuai?

Menghadapi hari yang tak-pernah-tidak demanding memang memerlukan kekuatan ekstra, ya? Dalam daftar to-do-list saya hari ini masih ada setumpuk hajat hidup oranglain yang belum terselesaikan. Lalu, kapan saya mencoba menuntaskan hajat pribadi ? Ehm, kebutuhan jiwa ? Lalu di detik inilah saya kembali memulai. Menuliskan kembali apa yang ada di pikiran saya sekedar untuk flashback







**


"Apa resolusimu tahun depan?"
"Saya?"
"Iya, kamu."

Saya terdiam. Menimang dalam-dalam apa yang menjadi prioritas saya tahun depan. Ada hal mendesak yang sungguh ingin saya bebaskan. Kelak.

"Saya ingin, hari - hari saya bisa lebih berguna. Benar - benar berguna sesuai dengan apa yang saya yakini, bukan karena nilai, tuntutan, dateline, tanggungjawab, dan segala bulshit lain. Mulai detik ini."


Kelak, saya akan membaca lagi tulisan saya di tanggal ini, setahun kedepan atau entah kapan. We can do it, universe.







Rabu, 30 November 2016

Something That Makes Your Life, Alive.




"Pay attention to the things you are naturally drawn to. They are often connected to your path, passion, and purpose in life. Have the courage to follow them" -- Ruben Chavez.



**



Bicara soal passion, awalnya saya berpikir passion adalah yang hal yang sungguh saya minati. Sempat berpikir bahwa beberapa aktivitas favorit saya adalah A B C dan meyakini bahwa itu adalah si passion. Namun tampaknya salah.


**


Terus terang ada banyak excitement yang menjadi minat saya. Hingga pada akhirnya, saya cukup sering mensimulasikan pertanyaan random ini dalam kepala, sekedar untuk mensederhanakan excitement yang macam air bah :


"Seberapa sering saya memikirkan hal ini?"

"Apakah hal ini membuat saya sangat gelisah, hingga tidak dapat tidur? Atau berharap pagi segera datang?"
"Apakah saya tidak keberatan menghabiskan sedemikian banyak effort untuk merealisasikannya?"
"Seberapa yakin saya memperjuangkan apa yang menjadi prinsip saya ini?"

Kalau poin di atas dibaca rasanya sok berat dan bikin muntah, deh. Namun, ehm--nampaknya saya menemukan apa yang saya cari.


And it's just simple as inspiring others. 


**


Super-cemas ketika rada menyadari saya memiliki minat mendalam pada hal itu, mengingat jika bicara tentang developing atau inspiring other, bayangan rese yang muncul adalah s h o w o f  f.

"Cui, gue bukan aktor di depan massa keleus." dan sederet mental blocking lain. 

Tapi yah, selalu ada cara jika ada niat. Even itu di belakang layar. Pardon me, speak like a pro here. Hahay.
Tapi sungguh, rasanya sangat bersyukur karena nampaknya selalu ada jalan memfasilitasi prinsip tadi. Entah dengan pekerjaan yang dilakukan, atau mata kuliah yang diambil, atau satu-dua orang yang datang dan pergi, atau bahkan dengan tekanan yang muncul. 


The things that excite you are not random. They are connected to your purpose. 


See? Law of attraction works here.


Selalu ada percikan menyenangkan ketika kamu berhasil menjadi trendsetter (in a good way--meneruskan satu hal 'baik', lalu kebaikan itu diteruskan kepada rantai selanjutnya, dan seterusnya), atau menemukan semangat yang mendadak membuncah dari seseorang yang awalnya emotionally dying, atau sekedar menjadi silent witness kesuksesan seseorang yang dimulai dari level nol. Dan itu berawal hanya dari sebuah 'hai' atau 'apa kabar' atau 'bagaimana'. It's insane, ya know.


**


"Saya suka kalau Ibu sedang bersemangat. Saya jadi tergerak untuk ikut bersemangat."


Kalimat ini sederhana. Sangat sederhana untuk diucapkan oleh seorang karyawan baru yang bahkan kamu mengenalnya pun tidak, beberapa tahun lalu. Namun mood yang baik itu menular. Sungguh. 



















Rabu, 02 November 2016

A True Believer



06.52



When you do things from your soul, other people really dig that shit - anonym.



**



Semalam saya terbangun lewat tengah malam, dan mendapati sebuah instant message masuk. Dari seorang teman/kakak/mentor/partner debat/true believer, you name it. Pada intinya dia hanya memberikan sebuah ucapan selamat atas suatu pencapaian.

Dan tepat saat itu, saya jadi super emosional (hahahaha). 

Intinya mah, dari sekian banyak manusia yang masuk-keluar-numpang lewat dalam hidup, bisa dipastikan akan ada satu-dua orang yang percaya dengan setiap ide gila-kebodohan-pemikiran diluar batas nalar. Mereka ada untuk membantu kita still alive from stupid routine. Pastinya sih disertai dengan debat kusir, argumen panjang.


It's hard to find your tribe, sometimes.
Mereka yang mempercayai mimpi gilamu.
Atau mendorongmu untuk melesat ke luar angkasa secepat roket.
Atau sekaligus menarikmu lagi ke bumi untuk kembali menyadari keberadaan tanah.

Keep 'em hard.








Jumat, 21 Oktober 2016

Anchoring Each Day




We've been on the run
Driving in the sun
Looking out for number 1
California here we come
Right back where we started from



Nyaris dalam duapuluhempatjam, minimal ada sekitar empat hingga lima lagu yang pasti saya dengarkan. Semacam kecanduan, eh. Bangun pagi, sembari berkelontangriang di dapur bikin bekal pria mungil, bisa dipastikan saya akan menyalakan radio. Sampai di kantor pun, saya sangat terbiasa--otomatis--memutar playlist andalan--Panic at the Disco!--untuk memompa semangat hingga ke ubun-ubun sambil menunggu loading komputer yang rrrr.

Plus ketika sedang marathon dateline, deretan lagu upbeat pantang absen dari rongga telinga. Ya, semacam ketergantungan. Atau mungkin dalam bahasa kerennya, ini adalah motivator ekstrinsik pribadi untuk membantu seluruh alam bawah sadar fokus pada jangkar yang sengaja saya setting dan tanam dalam-dalam. 


Jangkar?




**



"Capek."
"Berhenti."
"Tanggung."
"Your choice, tiap eskekusi ada konsekuensi, kan?"
"..."
"Ahya, butuh didengarkan atau sedang mencari solusi?"



Hustlers grab your guns
Your shadow weighs a ton
Driving down the 101
California here we come
Right back where we started from



... baru-baru ini, tepatnya pagi ini, saya menempelkan stickynote di bagian atas komputer,




find your fire





"Buat apaan, sih?" 
"Jangkar."
"Jangkar?"
"Suatu ketika kamu kehilangan arah, kamu perlu kembali dan menggali kenapa kamu niat bertahan dengan segala prinsipmu sekian lama kan?"




Here we come!


 
**



Menemukan tribe, memang tidak semudah melakukan konformitas. Namun saya masih mencoba (tampak) gigih demi menemukan tribe saya sesungguhnya. Dan dalam perjalanannya yang entah tersandung kaki sendiri, atau nyaris menyerah lelah, perlu jangkar agar kelak bisa berlabuh. You name it. 



"Fokus pada hal yang kamu kuasai dan cintai. Habis-habisanlah disana."


On the stereo
Listen as we go
Nothing's gonna stop me now
California here we come
Right back where we started from
Pedal to the floor
Thinkin' of the roar
Gotta get us to the show
California here we come
Right back where we started from



**



You're a halfway there.



**

 
Singkat cerita, sungguh saya tidak dapat lepas dari lagu tertentu, adalah karena setiap list dalam playlist selalu mampu mengkaitkan saya dengan jenis emosi tertentu--macam bank emosi--yang sungguh saya butuhkan sewaktu-waktu. Pretend-to-be, eh?




















Selasa, 20 September 2016

Move Your Ass!




Akhir-akhir ini saya sedang sibuk berjuang membangun habit kecil tiap malam : knee-up dan sit-up. Hah. Demi apa? Demi saya yang super jarang stretching setelah bekerja.  Fufufu *grin* 
Singkatnya, saya mendadak ingin melakukan rutinitas lain, dengan menyelipkan satu-dua aktivitas.


**


Ngomong-ngomong soal habit--kemudian topik ini beralih rada berat menjadi topik motivasi--baru saja saya membaca artikel nya Rene S--all-the-time-favourite-career-coach-ever--tentang motivasi. Throwback saat saya kuliah, iseng saya ikut salah satu seminar atau semacam workshop kecil tentang NLP. Ya, NLP yang itu. NLP yang Neuro Linguistic Programming. Sempat tertarik dan berminat jadi certified practioner. Namun eh namun, mental blocking saya kuatnya luarbiasa *mewek* 

Seminar ini berlangsung dua hari, dengan menghadirkan salah satu praktisi yang cukup terkenal di dunia NLP (saya lupa namanya, hahaha). So far, saya mengikuti uraian workshop dengan cukup niat. Namun semua berbalik saat mulai masuk sesi roleplay. Seorang teman yang phobia parah dengan karet kemudian mendapat psikoterapi NLP, dan amazingly phobia nya berkurang jauh! Mental blocking saya mulai bermain. Otak saya sibuk menangkis apa yang terjadi di depan mata dengan 'ah, ini tidak mungkin instan (fakta sih ini), perlu berkali-kali dilakukan NLP untuk mendapatkan hasil maksimal' dan sebagainya-dan sebagainya. Singkat cerita, disaat seharusnya saya berada dalam kondisi rileks dan mengosongkan pikiran, semakin saya mencoba justru denial saya makin parah.

Ingat malam muhasabah (spell?) saat renungan malam jaman sekolah? Saya selalu gagal menangis, sementara yang lain sampai menangis tersedu-sedu. 


**


Well, ini poinnya. Sebuah motivasi atau doktrin, dalam bentuk apapun, hanya akan ditangkis mental blocking jika mindset kita masih tertutup. Fakta. Seseorang bisa invest ratusan juta pada sebuah training motivasi, namun bila mindset kita belum mengakar sampai hati dan pikiran, efek training hanya akan berlangsung sangat temporer. Yang menggerakkan kita ya kita. So, just do it first. Move your ass!


#selfreminder 
















Rabu, 24 Agustus 2016

Coldplay, you (always) made my day!





Fixing up a car to drive in it again
Searching for the water, hoping for the rain
Up and up
Up and up

Down upon the canvas, working meal to meal
Waiting for a chance to pick on your orange field
Up and up
Up and up

See a pearl form a diamond in the rough
See a bird soaring high above the flood
It's in your blood
It's in your blood

Underneath the storm, an umbrella is saying,
"Sitting with the poison takes away the pain."
Up and up
Up and up, saying

We're gonna get it, get it together right now
Gonna get it, get it together somehow
Gonna get it, get it together and flower
We're gonna get it, get it together, I know
Gonna get it, get it together and flow
Gonna get it, get it together and go
Up and up and up

Lying in the gutter, aiming for the moon
Trying to empty out the ocean with a spoon
Up and up
Up and up

How come people suffer? How come people part?
How come people struggle? How come people break your heart?
Break your heart, oh

Yes, I wanna grow, yes, I wanna feel
Yes, I wanna know, show me how to heal it up
Heal it up, oh

Try and see the forest, there in every seed
Angels in the marble waiting to be freed
Just need love
Just need love

When the going is rough, saying

We're gonna get it, get it together right now
Gonna get it, get it together somehow
Gonna get it, get it together and flower
We're gonna get it, get it together, I know
Gonna get it, get it together and flow
Gonna get it, get it together and go

But you can say what is, or fight for it
Close your mind or take a risk
You can say, "It's mine," and clench your fist
Or see each sunrise as a gift

[2x]
We're gonna get it, get it together right now
Gonna get it, get it together somehow
Gonna get it, get it together and flower
We're gonna get it, get it together, I know
Gonna get it, get it together and flow
Gonna get it, get it together and go

Up and up and up

Oh

Fixing up a car to drive in it again
When you're in pain, when you think you've had enough
Don't ever give up
Don't ever give up

Believe in love 





Coldplay - Up and up 

 

Jumat, 19 Agustus 2016

Senin, 15 Agustus 2016

Stupid Monday





Oke. Terrible Monday.
Really, I hate slow to the max. Deeply down my heart, and soul, and life, forever and after.

Beberapa orang diciptakan memang untuk secepat siput. Hell.












Sabtu, 13 Agustus 2016

Hai, Pria Mungil Ibu









Prajna Abhirama Wibowo,


Pukul 11.12, dan seperti biasa Ibu masih terjaga gara-gara efek insomnia yang tak kunjung pergi. Dan mendadak, Ibu ingin menuliskan ini,


Hai, pria mungil Ibu,
Malam ini Ibu menatapmu yang sungguh pulas tertidur sambil sesekali teriring napas bergerak lembut.

Hai, pria mungil Ibu,
Entah sudah berapa ratus hari berselang sejak pertama kali mendengar suara tangismu. Bahkan rasa sakit pun hilang digantikan haru luarbiasa. Oya, tahukah kamu bahwa lutut Ibu sangat lemas saat kamu terlahir ke dunia dan mengeluarkan suara bersin pertama?

Hai, pria mungil Ibu,
Ibu tahu, Ibu bukanlah Ibu yang sampurna. Amat sangat jauh dari sempurna, malah. Kadang bekalmu terlalu asin, terkadang Ibu hanya sempat membelikanmu bubur untuk sarapan, atau kadang Ibu terlambat menjemput sementara sahabatmu sudah pulang lebih dulu. Namun tahukah kamu, Ibu selalu merasa bersalah setiap kali itu terjadi. Setiap ada hal tak kurang mengenakkan yang terpaksa kamu alami. Sementara kamu berhak mendapatkan semua bentuk kebahagiaan yang sempurna sampai nanti.

Hai, pria mungil Ibu,
Namun Ibu berjanji, Ibu akan mendukungmu sampai kapanpun. Dimanapun dan menjadi apapun kamu akan berlabuh atau menjadi. Ya, mungkin saat itu Ibu akan sangat sedih, karena kamu bukan pria mungil Ibu lagi.

Hai, pria mungil Ibu,
Kelak jadilah pria yang terbaik yang bisa seorang perempuan temukan. Dan jadilah imam terbaik yang bisa kamu lakukan, untuk istri dan anak-anakmu kelak. Bisa berjanji ?

Hai, pria mungil Ibu,
Terimakasih telah selalu menemani hari-hari Ibu. Dengan tawa, dengan tangisan, dengan celoteh riang. Karena saat ini tak akan menjadi begitu berarti, tanpa kamu.


Hai, pria mungil Ibu,
Ibu sayang kamu.






 


Rabu, 10 Agustus 2016

Jogja (selalu) Istimewa





Bagi saya, limatahun berada di rantau akan selalu menyisakan homesick saat jauh dari rumah. Beberapa orang mungkin akan dengan cukup mudah sekedar mengambil cuti dan kabur sehari-dua hari untuk pulang ke kampung halaman. Sayangnya, dalam case saya tak semudah itu.


**


Jantung saya serasa ingin meledak, saking berdebarnya. Kereta api Senja Utama sudah mulai langsir di stasiun Lempuyangan. Sekedar menunggu sekian menit hingga kereta benar-benar berhenti rasanya sangat menyebalkan. Buru-buru mengambil tas bawaan yang sengaja setengah terisi, sembari jari sibuk mengetik pesan singkat ke Adik yang rencananya akan menjemput. 

"Mbak!"

Adik saya melambai di kejauhan. setengah berlari saya sibuk ber permisi ke beberapa orang yang sedikit lambat jalannya.

Jogja!

Mengendarai motor ke rumah, sepanjang perjalanan saya menghirup udara dengan rakus, seakan di Bekasi jenis udaranya berbeda. Yah, memang beda. Ini--bagi saya, adalah udara kebahagiaan!

"Lewat mana, Mbak?"
rupa-rupanya Adik tahu kakaknya ingin nostalgia.

"Lewat Kotabaru dong, Yan."

Jadilah Adik membelokkan motor ke arah Kotabaru, melewati Padmanaba yang tersohor (dalam hati saya menelan ludah, kangen nasi goreng kambing Padmanaba!) - Kridosono - Flyover Lempuyangan - dan seterusnya - dan seterusnya. Yayaya, Jogja memang selalu membawa kenangan. Sekedar menyusuri jalannya pun sudah menjadi kesenangan.

"Nanti malem mau kemana, Mbak?"

"Ke Jalan Kaliurang yuk, cari cemilan-cemilan aneh." jawab saya.

**

Di depan saya ada semangkuk mie dhok dhok (sejenis kreasi Indomie rebus spicy dan tasty--yang anehnya selalu terjaga panasnya sehingga efeknya super hot di bibir, lidah, dan tenggorokan) serta segelas es teh tawar. Pukul 22.00, dan saya sedang duduk bersama Adik menikmati sajian itu di sebuah warung burjo (bubur kacang ijo) khas aa' Sunda. Di sekeliling kami penuh oleh pemuda-pemudi, saya tebak sebagian besar mahasiwa. 
Namun malam itu pikiran saya lebih banyak melayang. Bukan, bukan karena rasa mie dhok dhok yang sedikit berubah sejak terakhir saya menyantapnya jaman kuliah. Bukan.

Warung burjo itu terletak di kawasan Klebengan--daerah di seputaran Teknik UNY. Sebelum sampai warung burjo, saya meminta Adik melewati jalanan Jalan Kaliurang. Dan entah kenapa, sebersit rasa sedih muncul. Daerah utara Yogyakarta ini sudah berkembang dengan pesat, teramat pesatnya. Seakan semua pusat keramaian berpindah ke daerah ini. Yah, sangat menguntungan secara ekonomi. Namun melihat kiri-kanan jalan dipenuhi oleh billboard iklan yang super semrawut... itu bukanlah jenis pemandangan yang cukup estetis untuk saya lihat.

"Nanti kita nonton di Mall B aja, Mbak. Seru deh, bagus." perkataan Adik menyadarkan saya dari lamunan.

"Eh, mall baru? Dimana?"

"Nanti aku tunjukkin. Sekarang Jogja banyak mall nya. Gede-gede."

Well, another surprise. Sebutlah saya udik, namun perkataan Adik bukanlah hal yang menyenangkan untuk saya dengar. Tanpa saya sadari, mendadak saya menjadi protektif terhadap kota yang membesarkan saya ini.


Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja


Jadi begini rasanya, sedikit patah hati.


**


Kota ini telah bertransformasi, menjadi kota penuh gaya. Memanjakan mata, menyuarakan harapan. Dan dalam hati saya berdoa, semoga konsistensi yang kerap saya dengar saat masih kecil dari seorang Paduka Raja Sri Sultan akan senantiasa terpelihara : tidak ada bangunan yang lebih tinggi dari Hotel Ambarukkmo, atau daerah Selatan dijanjikan tak akan tersentuh oleh tangan - tangan pengembang bisnis properti spesialis pusat perbelanjaan macam mall. Konon begitu, entah benar atau tidak.

Semoga cukup daerah utara saja yang menjelma gemerlap mewah, dan biarlah daerah lainnya tetap tampil apa adanya, sederhana dan bersahaja, laksana priyayi Jawa.




Jogja.. Jogja.. tetap istimewa…
Istimewa negerinya… istimewa orangnya…
Jogja.. Jogja.. tetap istimewa..
Jogja istimewa untuk Indonesia…

Rungokno iki gatra seko Ngayogyakarta
Negeri paling penak rasane koyo swargo
Ora peduli dunyo dadi neroko
Ning kene tansah edi peni lan mardiko

Tanah lahirkan Tahta, Tahta untuk Rakyat
Di mana rajanya bersemi di kalbu rakyat
Demikianlah singgasana bermartabat
Berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat

Memayu hayuning bawono
Seko jaman perjuangan nganti merdeko
Jogja istimewa bukan hanya daerahnya
Tapi juga karena orang-orangnya

Tambur wis ditabuh suling wis muni
Holopis kuntul baris ayo dadi siji
Bareng poro prajurit lan senopati
Mukti utawa mati manunggal kawulo gusti

Menyerang tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan
Kesaktian tanpa ajian
Kekayaan tanpa kemewahan

Tenang bagai ombak gemuruh laksana merapi
Tradisi hidup di tengah modernisasi
Rakyatnya njajah deso milang kori
Nyebarake seni lan budhi pekerti

Elingo sabdane Sri Sultan Hamengku Buwono Kaping IX
Sak duwur-duwure sinau kudune dewe tetep wong Jowo
Diumpamake kacang kang ora ninggalke lanjaran
Marang bumi sing nglahirake dewetansah kelingan

Ing ngarso sung tulodo
Ing madya mangun karso
Tut wuri handayani
Holopis kuntul baris ayo dadi siji

Sepi ing pamrih rame ing nggawe
Sejarah ning kene wis mbuktikake
Jogja istimewa bukan hanya tuk dirinya
Jogja istimewa untuk Indonesia
                             ---Jogja Hip Hop Foundation












Selasa, 09 Agustus 2016

A habit






Unhappiness : When you choose not to have any other choices in life. Happiness : When you choose to – always – have choices in life



Mengerjakan apa yang tidak disukai--pada suatu titik--dapat menjadi begitu mengesalkan. Ya. Super mengesalkan. Waktu rasanya benar-benar dibatasi dan... entahlah. Ini saya alami sekitar beberapa bulan lalu. Saya mendadak 'tercemplung' di suatu rutinitas yang sungguh saya hindari dan benci selama ini. Nyaris tiap hari saya menunggu suami pulang sekedar berkeluh kesah A-Z tentang betapa buruknya hari itu, betapa chaos nya case-case absurd itu. Hingga suatu titik, saya capek dan bosan, dan pada akhirnya mulai menerima : ya sudahlah.

Time goes by. Rutinitas saya masih sama. Kerusuhan intelektual yang muncul masih belum berubah (halah). Dan case yang timbul berada pada pusaran masalah serupa. Namun rasa muak itu sedikit sedikit mulai tergantikan ritme. Konyol sih, untuk berubah maka seseorang memang hanya memerlukan konsistensi (#fakta). And, here I am


**


Saya ingat, seorang sahabat masa galau saya sebelum menikah--sebut saja C--terkadang memiliki pemikiran absurd di awang-awang. 


"Hei, ayo kita bikin challenge, duapuluhsatu hari berpikir positif!"
"Kenapa kudu duapuluhsatu hari?" saya tak paham
"Entahlah, ikut-ikutan campaign nya Peps*dent saja, duapuluhsatu hari memelihara kebiasaan baik."


Oke, saya lupa berapa hari tepatnya yang dimaksud. Namun ajakan dia sangat mengena. Tidak sekedar berpikir positif, hal apapun, sekiranya ingin menjadi habit, maka akan selelu memerlukan waktu hingga mendarah daging dalam keseharian.
Persis yang dijelaskan dalam buku The Power of Habit nya Charles Duhigg (yeah, saya membeli bukunya hanya karena cover nya yang 'cemerlang' namun menyerah ketika baru masuk halaman kesepuluh--permasalahan anak visual ketika hanya melihat deretan kalimat :D). 








Saya--yang awalnya denial luarbiasa mendapati rutinitas baru yang bukan saya banget. Efek ke badan juga lumayan : nafsu makan 'sedikit' menurun, lingkaran bawah mata tampak, kucel parah, dll dll. Namun yang namanya badai pasti berlalu. Dan memang akan selalu ada kali pertama hingga menjadi kebiasaan. Lalu apa yang saya lakukan selain 'hanya' denial? Yah, pada akhirnya saya menambahkan sedikit antusiasme dan secuil passion saya dalam rutinitas rrrr ini. Well, it works. Minimal, membuat saya terjaga alih-alih kelesotan di mushola saking mumetnya.






Ya ya ya, kita memang tidak bisa selalu menjadi Superman, kok. Jadi kendurkan bahu, pejamkan mata sejenak, dan tarik napas dalam-dalam. Satu dua katarsis nampaknya tidak masalah lah, ya :)





note : thx anw, to Rene S via Impact Factory. Posting nya ini benar-benar mirip tepukan di bahu. And yes, you're still my favourite Coach!












Selasa, 02 Agustus 2016

Psychology, for God's sake!




Malam ini saya sibuk mengingat-ingat, apa sebenarnya yang saya dapatkan dalam tiga setengah tahun masa kuliah saya? 
Dan konyolnya, jawaban yang berbisik dalam batin saya adalah : belum banyak.



**



Saat itu hari pertama kuliah saya. Entah lupa apa tepatnya mata kuliahnya, namun yang jelas ada seorang dosen yang menanyakan sebuah pertanyaan :

"Kenapa ambil kuliah Psikologi?"

Rata-rata jawaban yang muncul adalah jawaban klise. Termasuk saya, yang baru beberapa saat kemudian mencerna kembali apa (yang mungkin) yang saya sampaikan. 


Psikologi, di universitas saya adalah fakultas dengan passing grade tinggi untuk ukuran bidang sospol humaniora. Keren sekali rasanya, melihat alumnus Psikologi menjadi seorang Psikolog/Psikiater/konsultan. Saat itu, ya. Nah, apakah sarkasme itu kemudian muncul karena saya tidak menjadi salah satu dari ketiganya? Maybe yes. Maybe no.



**


 
Bukan sekali dua kali saya mendengar orang-orang berkata (yang mungkin sudah beberapa kali pula saya posting pada posts sebelumnya),

"Dulu saya juga mau masuk Psikologi."
"Saya suka ilmu Psikologi, belajar memahami orang."
"Psikologi seru, bisa belajar membaca orang."


Yang sesungguhnya saya rasakan adalah,

Pada akhirnya saya diberikan jalan mempelajari Psikologi, secara teoritis. Dan saya diberi kesempatan mempelajari sekaligus memahami--anehnya, bukan mempelajari orang lain--namun mempelajari diri sendiri. Saya belajar membaca diri sendiri. Belajar sisi mana yang mampu memicu sisi tergelap saya, atau bahkan mengoptimalkan potensi pribadi yang terkadang timbul tenggelam. Kesannya ala ala idealis sekali yak? Hahaha. Namun fakta itulah yang saya temukan. 

Mempelajari bahkan memahami diri sendiri jauh jauh jauh lebih sukar daripada sekedar mendengarkan curhatan keluhkesah duapuluhempatjam ataupun memberikan sederet wejangan ini itu. Mempelajari psikologi, bagi saya--lebih seperti mengobati diri sendiri, dari apapun. 



**

 

Pertanyaan ini sempat tercetus dalam diri saya saat mengikuti kuliah Psikologi Abnormal, di suatu sore hujan di lantai dua. Kami diberikan buku pedoman bernama PPDGJ (monggo di search kalau penasaran, hehehe) berisikan daftar lengkap gejala ataupun simptom 'penyimpangan' diri. Well, nyaris dalam diri--sebersih apapun--hampir pasti memiliki sisi abnormal. Namun terkadang berada dalam range yang variatif antarpribadi. Entah mengalami represi, ataupun justru terekspos. Dan sedikit banyak mempelajari psikologi, membuatmu memiliki pemakluman dan empati yang tidak biasa. Bisa dikatakan berlebihan? Bisa jadi.

Psikologi memang ilmu yang--yah, undefined. Beberapa orang beranggapan bahwa hal non eksak seperti psikologi terkadang tidak masuk di logika. Terlalu absurd untuk dipahami secara biasa. Namun dalam perspektif saya, terkadang ada hal-hal tertentu di luar nalar yang mendasari suatu tindakan, kok. Karena toh, komponen setiap manusia memang terbagi menjadi perasaan dan logika,kan?




Unexpressed emotions will never die. They are buried alive and will come forth later in uglier ways -- Sigmund Freud