Sabtu, 26 Januari 2013

Kebaikan itu gratis



Saya suka bekerja.
Ternyata.
Meski capek, pulang malam, banyak deadline, omelan bos, waktu main hilang.
Saya suka bekerja.

**

Tidak ada yang pernah mengatakan kepada saya, bahkan ketika jaman saya kuliah dan menjadi sarjana. Dunia kerja adalah dunia sebenarnya. Dan memang sebenarnya. 
Memang ada yang mengerti beban moral atau fisik yang dialami ketika bekerja, lebih baik, selain kita, si pelaku?
Ya, tidak ada. 
Hanya diri sendiri, dan Tuhan yang tahu.
Buat saya, sekarang, bekerja adalah : seberapa banyak saya bisa membuat orang lain tersenyum dengan upaya kerja saya.
Bos yang puas dengan hasil rekruitan.
User yang bisa capai target karena rekruitan saya sudah bisa produktif.
Teman-teman yang terbantu dengan saran abal-abal saya.
Ibu yang bahagia putrinya bisa 'berguna' untuk orang lain.
Nilai yang mahal.

**

Berpindah itu mudah, yang berat adalah bagaimana mempertahankan.

Bekerja dengan senyum itu susah, karena sudah bisa dipastikan ada lebih banyak aspek yang 'menyerang' seseorang untuk cemberut, menyerah, dan kalah pada keadaan.
Sialnya, and lucky me, saya rupanya tidak diberi 'kesempatan' untuk menyerah :)

**

Hari ini saya hanya mengusulkan satu hal kecil. Dan ketika hal kecil itu berdampak, rasa 'penuh' di hati yang ada. 

Ceritanya, saya hanya meminta salah seorang staf untuk berinisiatif mengadakan game untuk mengisi sesi pagi yang sangat jenuh dan membosankan. Mengingat saya adalah human capital, it's not a big deal actually. Dan ketika fulfillment yang mereka rasakan begitu 'menyentuh' saya, saya senang :)
Saya mungkin tidak terlalu peduli kalau saya menyabotase sesi pagi ini dengan game, dan bukannya sekedar achievement review
But, who care?
Tujuan saya hanya ingin menambahkan 'kebahagiaan' di ruangan saya bekerja. Sudah macam Santa, eh?
Once again, who care.
Belajar banyak adalah, setelah kamu menghabiskan begitu banyak waktu dan kesempatan dengan menangis dan meratapi, sementara ada banyak hal yang terlewat. Ada banyak yang lebih tidak beruntung.
Satu quote yang saya note sekali pagi ini :

Kebaikan itu gratis. Jadi untuk apa menjualnya secara mahal?

Karena kebaikan itu gratis, dan saya tidak punya cukup 'modal' untuk mendirikan sekolah untuk anak yatim piatu mungkin, atau mendonasikan sekian banyak dana untuk para homeless di luar sana... dan ketika saya hanya memiliki 'senyum' untuk saya bagikan. Kenapa tidak?







Senin, 21 Januari 2013

Mentalitas itu...



Setiap orang punya pilihan masing-masing, kan?

**

24/7

Semua aspek hidup, bisa jadi kini menjadi deadline. Semua mendadak menjadi tenggat waktu yang (kadang) tidak berperikemanusiaan. Dan pada akhirnya, orientasi manusia tentang sukses terkadang hanya perkara mobil mewah, rumah megah, karir wah. 
Sah sih, dan pilihan kok. Tapi, esensinya seharusnya bisa lebih dari itu.

**

"Sudah beres?"
"Sudah, Pak."

Bos, di suatu pagi.

Pertanyaan itu sudah seperti mantera, yang agaknya wajib saya jawab secara gemilang. Pekerjaan saya, tidak ubanhnya seperti kotak kejutan di setiap pagi. Saya tak pernah tahu akan menjadi apa hari saya, tidak tahu akan ada masalah apa di setiap detiknya. Pikiran dan perasaan, adalah hal yang paling susah didefinisikan dan ditebak. Dan disinilah saya berada, diantara dua kepentingan yang lebih sering berseberangan. 

Apakah saya tahu tantangan saya, pada akhirnya, adalah seperti ini?
Tidak.

**

"Sebagai seorang human capital, sudah seharusnya kita harus memiliki kode etik dan integritas yang tinggi."

Seorang dosen pada suatu mata kuliah, di suatu sore.

Bertahun-tahun lalu, saat menjadi mahasiswi, otak saya dipenuhi teori ideal untuk menjadi seorang human capital. Bagaimana saya harus menjadi profesional. Kalau bisa, mungkin, membela kepentingan yang 'tertindas'. Dan dalam otak saya, kaum tertindas tentu saja golongan staf, yang 'diinjak-injak' perusahaan. Pada saat itu, misi mulia saya adalah bagaimana saya membela kepentingan kaum-kaum tersebut. Mutlak, tanpa melihat jalinan masalah dan titik tolak mulanya. Hanya beralaskan emosi dan empati semata.

Saya, beberapa tahun yang lalu.

**

Hampir dua tahun saya berada di suatu perusahaan, membuat saya belajar banyak. Teramat banyak dan tidak terhitung. Sarjana, tidak lagi melulu perkara memegang idealisme--maaf. Saya mengalami jetlag idealisme, saat bekerja untuk pertama kalinya. Netral diantara dua kepentingan bawah dan atas, jujur saja, itu bukan perkara mudah, kawan. 

Berpolitik cantik. 

Hal itu, terus terang tidak digambarkan secara gamblang di bangku kuliah. 

**

Ada beda mendasar menjadi mahasiswa dan pekerja, atau bahkan wiraswasta.
Dan setiap pribadi memiliki ceritanya.

Ketika seseorang menjadi mahasiswa, mau tidak mau ada 'kertas' putih yang akan dibentuk dalam tahun-tahun di bangku kuliah. Membangun mindset, kemampuan penyampaian aspirasi. Hingga lulus dan menjadi sarjana. Dan beranjaklah seseorang itu ke dunia kerja. Idealisme yang membentuk kumpulan ego, ego jiwa-jiwa muda yang haus akan 'pengakuan' dan 'eksistensi', mau tidak mau akan bertransformasi dengan sendirinya. 
Gampangnya, ketika ego idealisme itu melebihi realita, mungkin seseorang hanya bertahan selama satu dua tahun di suatu perusahaan. Dengan alasan beragam, mulai dari gaji yang kurang, atasan yang diktator otoriter, lingkungan kerja yang tidak representatif, sistem yang berantakan, fasilitas yang kurang memadai. Banyak. Hingga seseorang lebih suka menjadi kutu loncat. Namun juga tidak selalu seperti itu, orang bertahan lama adalah karena dia bahagia, belum tentu. Namun bisa jadi karena masalah zona nyaman.

Beda cerita juga ketika saya, yang pusing luarbiasa di bulan-bulan awal bekerja. Idealisme saya carut marut 'dihajar' budaya perusahaan. Tidak terhitung berapa malam begadang, otak terkuras, badan terperas. Hingga suatu ketika saya ngobrol dengan bos saya, 

"Tugas kamu agak keteteran, apa ada yang kamu pikirkan?"
"Ng, nggak Pak."
"Yakin?"
"Iya, Pak..."

Lalu bos saya tersenyum, dan melanjutkan kata-katanya,

"Semua adalah proses belajar. Berproses. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak bisa menjadi bisa. Seiring usia, suatu ketika kamu akan paham kenapa 'politik' dalam bekerja itu diperlukan. Minimal, cobalah percaya dulu terhadap atasan kamu. Saya, menjadi bos bukan karena saya pintar, atau hebat. Ini hanya perkara saya yang 'lebih dulu' terjun ke bidang ini dibanding kamu..."

Bos saya sebenarnya bukanlah orang proses. Dia orang hasil. Diapun merestrukturisasi idealismenya, menjadi lebih adaptif. Dan empati.

"Oya..."
"Ya, Pak?"
"Cita-cita kamu apa?'
"Saya...ingin jadi pengusaha, Pak."
"Nah, ini adalah jalan awalnya. Kamu harus bisa belajar menjadi bawahan dulu, tahu rasanya dipimpin, baru pada akhirnya kamu akan belajar cara memimpin."

Suatu sore, ketika otak saya dipenuhi deadline dan merasa merana karena idealisme saya 'hilang'.
Rupanya, idealisme saya tidak hilang. Namun--seperti kata bos saya--ia bertransformasi, menjadi bentuk idealisme yang lebih pragmatis.

**

"Sudah berapa lama kerja disini?"
"Hampir dua tahun."
"Nggak bosen?"
"Nggak."
"Tugasnya banyak?"
"Tak terhingga."
"Wah, pasti gajinya besar!"
"Buat saya, ada hal yang lebih penting dari sekedar gaji."
"Mana ada?"
"Ada."
"Apa?"
"Mentalitas untuk terus belajar dan berproses."









*catatan ayam, teruntuk ECC UGM :) Saya bangga, menjadi bagian almamater Gadjah Mada...






Selasa, 15 Januari 2013

If happy ever after did exist


"Maaf."

Pernah mendengar, konon satu maaf bisa membuyarkan ribuan hari? 

And in our time that you wasted
All of our bridges burned down


**

"Nanti aku mau begini, mau begitu, mau banyak sekali."
"Kamu kayak Doraemon..."
"Biar. Pokoknya nanti aku pengen set rumah macam minimalis Jawa."
"Hah? Minimalis Jawa?"
"Iya. Berkarakter, tapi tetap njawani."
"Hehe, ya ntar diatur aja..."
"Dit?"
"Ya?"
"Aku sayang kamu."

You turned your back on tomorrow
'Cause you forgot yesterday.
I gave you my love to borrow,
But you just gave it away


**

"Halo, selamat pagi."
"Selamat pagi."
"Sibuk?"
"Lumayan. Baru bangun?"
"Iya, semalam lembur diantara spreadsheet. Deadline akhir tahun."
"Oh... ehh--nanti aku telepon lagi, ya."
"Emang lagi dimana, Dit?"
"Nggak sih, lagi jalan aja ini, mumpung weekend."
"Oh. Iya."
"Sudah dulu, ya." 
KLIK.

You can't expect me to be fine,
I don't expect you to care
I know I've said it before,
But all of our bridges burned down


**

"Eh, bagusan yang mana? Lu pilih yang bener kenapa?"
"Yaelaa, ini juga lagi milih. Ng, ini bagus sih."
"Coba-coba. Mana? Ini? Lingkarannya pas sih di jari. Yang ini?"
"Coba yang ini deh, simpel tapi chic. Cocok buat cewek lu."
"Eits, bukan 'cewek'. Tapi 'calon bini'."
"Iye iye. Calon istri lu."
"..."
"Kok diem?"
"Iya, gue nggak nyangka, gue yang begajulan begini bisa juga berkomitmen."
"Hahaha. Finally, eh?"
"Yes. Hehe. Thank's anyway. Lu, kapan?"

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone, baby it's all wrong
Where are the plans we made for two?


**

"Ada beberapa hal yang masih harus dipertimbangkan, Re. Ini bukan hal yang gampang."
"Meski ada batasan jarak?"
"Ya."
"Jadi?"
"Jadi...aku mempertimbangkan karirku. Karirku baru saja naik, menanjak. Jadi...mungkin ditunda dulu..."
"Oh..."
"Kamu?"
"Entahlah."

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone, baby it's all wrong
Where are the plans we made for two?


**

"How's life?"
"Plain."

If "Happy Ever After" did exist,
I would still be holding you like this
All those fairy tales are full of shit
One more stupid love song, I'll be sick




 

Minggu, 13 Januari 2013

It will rain





"Jadi...?"

Nada ini menggantung di udara. Meninggalkan berkas-berkas di sela-sela embun sisa hujan.
Dia menahan napas. Kamu menahan napas. 
Kenapa justru napas yang kalian pertahankan?

"Jadi..."
"Jadi...sudah. Sudah saja. Sampai disini saja."

If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door

Orang-orang mulai berlalu-lalang. Terminal ini mendadak menjadi begitu sibuk luarbiasa. Kamu disana. Dia terdiam disana. Sama-sama memegang cola yang bahkan tak terteguk sedikitpun. Berantakan dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang mungkin sudah tidak menemukan titik temu. Aku disini, memandang kalian. Dengan kasihan, dengan kesal, dengan kecewa.
 
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,

Final boarding.
Aku tahu, kamu menyimpan kata-kata yang tidak tersampaikan. Sudut-sudut matamu mulai panas. Menggenang kesal. Tapi kenapa kamu tak juga berucap? Hei! Dia disana!

Travel bag yang membosankan dan seakan membuncah keluar menolak ikut. Lalu-lalang yang kian sesak. Cola yang terabaikan. 

"Aku berangkat..."

Kamu masih saja diam. Aku disini benar-benar gemas melihatmu. Hingga suara roda travel bag yang beradu dengan lantai berlalu, dan kamu hanya diam. Diam.

To realize what we used to have,
We don't have it anymore

Kamu tahu, rasa sakitmu ternyata baru terasa setelah dia benar-benar pergi, kan? Lebih pedih dan bernyawa, dalam keheningan diam.

 **

"Hai. Saya Abdi. Salam kenal."
"Salam kenal."
"Mulai hari ini saya akan asistensi. Mohon bimbingannya."
"Oh."

Hei kamu, kamu yang disana. apa kabar? Aku rindu.

Ups. Aku seperti mendengar sesuatu? Apa itu? 

Hssssh.

Suara angin berdesir.
Oh, aku salah dengar.

"Mbak, untuk jadwal hari pertama ini, nantinya--"

And just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away

Sudah lama ya, ternyata. Apakah kamu baik-baik saja disana? Sehat? Tambah gendut? 

Duh, nampaknya pendengaranku harus dipertajam. Akhir-akhir ini aku sering berhalusinasi mendengar kamu 'berkata'.

"MBAK?"
"Oh! Maaf... Bagaimana? Ayo, kita makan dulu."
"Mbak?"
"Ya?"
"Diluar hujan, Mbak..."

Everyday it'll rain
 
** 

"Prambanan, yuk!"
"Nggak mau. Nanti putus."
"Nggak! Nggak akan."
"Aku takut. Nggak mau putus."
"Nggak. Semua akan baik-baik saja. Nanti kita ke Prambanan. Tapi setelah itu ke Boko. Konon, kalau pasangan ke Boko, nantinya akan langgeng. Mau ya?"
"Ng..."
"Ayolah. Semua akan baik-baik saja. Aku masih disini, kok. Di depanmu. Ya?"
"Hmm... iya deh."

Ingat?

**

"Maaf. Aku salah."

Kamu diam. Dia diam. Lama-lama aku menebak kalau diam adalah cara berkomunikasi kalian. Tanpa kata-kata. Mirip seperti dukun. Barangkali kalian juga merapel mantera satu sama lain, eh?

"Iya."

So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
To keep you by my side
To keep you from walkin' out the door.

**

"Undangane wis disebar, cah ayu?"
"Sampun, Bu."
"Wis kabeh?"

Kamu, seperti hobi lamamu, cuma bisa tercenung. Semenit, dua menit.

"Nduk?"
"Eh--nggih, Bu. sampun. Sampun sedaya."

But they're just afraid of something they can't understand
Ooh, but little darlin' watch me change their minds

**

Sepucuk undangan. Marun. Warna yang sempat pernah 'disepakati' oleh kalian. Mendarat di atas tumpukan buku tebal dengan tenang. Tanpa mengharapkan seorangpun untuk membukanya. 

Kamu tahu? Kemarin aku sempat melihatnya diam dengan undangan bersampul cantik itu di tangan. Sementara sebotol wine dan berbatang-batang rokok menemani. Menimang dan menimang. Namun, lagi-lagi, barangkali dugaanku benar, kalian memang berbahasa dengan diam.

Mungkin, pada akhirnya aku baru akan belajar memahami arti 'diam' mu sekarang. Diam untuk memberinya waktu 'berbicara'. Dan diam mu benar. Seolah-olah benar. Dia, sekali lagi, sama sepertimu. Dia lebih suka berbahasa dalam diam. Kalian. Kamu dan dia.

'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby

**

"Saya terima nikahnya, Rea Satyaputi binti Ahmad Prasetyo, dengan seperangkat alat sholat dan mas kawin, dibayar tunai."
"Sah?"
"SAH."

Pesta ini pesta yang meriah. Dihiasi oleh rekahan senyuman setiap tamu, setiap kerabat, setiap sahabat, setiap keluarga, mempelai...tunggu. 
Tidak semua mempelai, salah satu mempelai. Kamu...ah, lagi-lagi. Kamu memilih diam seperti patung yang dipaksa bernyawa. Menolak tertawa.

Tunggu,

Hei, hei. Kamu, kamu yang menjadi ratu sehari ini. Bisakah kamu melihat sosok yang terlindung aman di dalam kerumunan ujung buffet dessert
Dia. 
Dia yang kamu tunggu dalam diam.
Yang kini menatapmu juga tidak kalah diam.

Sekarang aku tanya padamu, apakah dalam diam dan di hati kalian terasa nyaman?

I'll pick up these broken pieces 'til I'm bleeding
If that'll make it right

** 

Aku?
Yah, aku cuma suatu definisi perasaan bernama cinta yang kalian abaikan begitu saja, dalam diam.








Sabtu, 05 Januari 2013

Jangan, main-main dengan jarak


Jangan main-main dengan jarak.

**

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love
Purpose hard to find

Jangan main-main dengan jarak, kalau memang belum dan tidak siap bahkan tidak yakin. Karena hanya menjadi trial and error. Ini bukan lagi kamu bepergian dengan satu dua bis, kereta, atau pesawat. Bukan pula perkara duabelas atau dua jam perjalanan. Dan samasekali tidak semata beda satu atau dua jam.

Some search, never finding a way
Before long, they waste away


Jarak, bukan perkara kejutan satu dua. Pengaminan dua pihak. Bukan satu, bukan sepihak. 

Bagaimana rasanya, kamu berbicara dengan tembok, berkaca pada batu, dan menatap awan mendung?
Tidak berbalas? Ya.
Jangan main-main dengan jarak.

**

Jangan main-main dengan jarak.

There's nothing here for me on this barren road
There's no one here while the city sleeps
And all the shops are closed


 
Kecuali kamu Superman yang bisa menembus tahun cahaya.
Atau Doraemon berpintu ajaib.
Atau, yah, Harry Potter yang bisa ber-portkey.
Kamu bukan.
Pilihan yang kamu miliki adalah beberapa hal bernama intensitas, komunikasi, komitmen, kesabaran.
Dan banyak, dan banyak.
Ramuan masing-masing akan berbeda.
Dewasalah,  jangan tolol seperti manekin.
Lalu diam, kekanak-kanakan, ketika berhadapan jarak.

**

Jangan menyalahkan, jika jarak itu menjadi gundukan busuk.
Karena yang membusukkannya adalah salah satu dari dua, atau keduanya
Yang mulai tak peduli, memelihara batu di kepala dan hati, melupakan kepingan yang membangun komitmen, lalu gugur mati.
Lihat kaca, lihat diri, lihat masing-masing
Mampu mengambil risiko bernama jarak?
Jangan.
Jangan main-main dengan jarak...

Dear God the only thing I ask of you
Is to hold him when I'm not around
When I'm much too far away







Kamis, 03 Januari 2013

Terimakasih


Saya benar-benar kehilangan tumpuan.
Dan saat saya sadar, saya tahu, saya memiliki keluarga dan teman-teman yang sangat menyayangi saya...

**

"Sudah makan?"
Ibu saya selalu menanyakan ini setiap kali. Tidak peduli hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu.
Dan saya sendiri? Saya masih suka tidak peduli, jarang bertanya, Ibu sudah makan atau belum.

"Ayo, jalan."
Teman saya, meskipun baru saling kenal, si A, B, C, D, dan seterusnya... mereka yang mengingatkan saya, untuk tetap tersenyum, tertawa, makan, tidur, bersenang-senang.
Dan saya sendiri? Saya masih suka tidak peduli.

Soliter. Egois. 
Saya.

**

Telepon Ibu, short message dari seorang teman, menyentak saya :

Ini tentang kamu,
tentang kamu yang memilih untuk berjuang atau diam
tentang kamu yang memilih bergerak
tentang kamu yang memilih kembali ke jalan yang benar
tentang kamu yang tahu kemana harus melangkah setelah melakukan kesalahan
jika sesuatu memang pantas untuk diperjuangkan, rasanya mungkin tidak semenyakitkan itu

Dia atau mereka?
biarlah itu menjadi urusan dia atau mereka
ini tentang kamu yang berjuang,
bukan lagi tentang dia atau mereka yang terdiam
kamu, karena hidupmu adalah tentang kamu
tentang kamu dan orang-orang seperti saudara, orangtua, dan teman yang ada saat kamu hancur

Dan saat usahamu ternyata gagal, selalu ada alasan bahwa kegagalan itu adalah pintu yang belum waktunya terbuka...







Tuhan, boleh?


"Kenapa kamu mengantarku ke bandara?"
"Karena... hanya disinilah tempat terjauh ku untuk mengantarmu."
Sementara ini.

**

Tuhan,
Ini sudah menjelang Subuh. Tapi maaf, karena hari ini masih absen. Nitip sepucuk doa ya? 
Boleh?
Wah, terimakasih.

**

Tuhan,
Sebelumnya, aku mengucapkan terimakasih. Satu-dua terimakasih. Ng, tidak. Mungkin lebih. Berkarung-karung. Tapi, di tempatMu ada tempat tidak ya, untuk menyimpannya? 
Ada?
Baiklah, kalau begitu aku sampaikan terimakasih. Lagi. Tidak terhingga. Mohon diterima...

Tuhan,
Terima kasih karena di suatu waktu Kau telah mengenalkanku, kepada seseorang
Seseorang yang selalu berusaha disimpan di hati dan pikiran. Yah, meski terkadang dia suka kehabisan tempat lega, ketika otak penuh dan hati buntu. Tapi selalu ada tempat, kok. 
Hmm...

Tuhan,
Terimakasih. Meski caraMu agak aneh. Mengirimkan seseorang secara tiba-tiba. Dulu. Dan memaksaku untuk 'berdamai' dengan cara-caranya. Apa memang begitu, Tuhan, caraMu menguji?
Jika iya... wah... sedikit kesal padaMu Tuhan.
Eh, tapi...
Apa berhak marah seperti ini, ya? 
Dia, hadiah terbaik, salah satunya, yang Kau berikan.

Tuhan,
Aku ingin bercerita.
Satu dua kata. Ng, tidak. Lebih. Mungkin agak sedikit berloncatan. Tidak apa-apa kan, Tuhan?

Tuhan,
Ada yang bilang masalah itu seperti level game. Bertahap. 
Tap-tap-tap. Hap-hap-hap.
Aku sudah berhasil menamatkan entry level, Tuhan. Dan...hmm...nampaknya Kau belum puas ya?
Kau mengirimkan bagian berikutnya, yang kataMu lebih seru.
Keringat dingin.
Judulnya, jarak.

Tuhan,
Sungguh aku merinding. Brrr. Pertama kali Kau gulirkan dadu. Dan opsi yang keluar adalah jarak.
Seperti apa permainannya?
Lalu aturannya?
Hukumannya?
Hadiahnya?
Aku mulas berhari-hari, demi menyambut 'kado' dariMu.
Seperti bermain Jumanji. Hii.

Tuhan,
Kau agak curang.
Clueless.
Harus pakai taktik apa, ya Tuhan?
Setengah diri sih, ingin menyerah saja. 
"Sudah dong, Tuhan. Stop! Mati kutu!."
Tapi, dasarnya egois mungkin ya?
"Ah, ini belum ada apa-apanya! Masa hanya seperti ini?"  
sebagian lain berulah.

Tuhan,
Sudah beberapa pekan aku tidak bisa tidur dengan tenang, pola makan acak-adul. Cuma gara-gara penasaran sama kiriman 'kado'Mu kali ini.
Hm.

Tuhan,
Aku sudah mengocok dadu dan berbagai angka sudah muncul,
Strategi pun sudah nyaris habis untuk menjalankan bidak,
Waktunya juga menipis.
Jadi...
kalau aku menyerah kalah, apakah Kau mengijinkan?

Tuhan,
boleh?

Tuhan,
Sudah ya. Mohon dijawab segera. 




tertanda,
hambaMu yang bandel 







 

Lagi?


Terbangun. Sejak dua jam lalu.
Rasa yang tertinggal seperti luka baru yang menganga lebar, lalu dilumuri jeruk nipis dan garam.
Sakit.

**

Mimpi buruk.
Perut sakit.
Mulas.
Acara TV masih berwarna pelangi. Dan busuk.
Air hangat tidak ada. 
Dingin. Dengan kibasan kipas angin yang agak berisik.
Semua, yang membuat pikiran berputar-putar seperti bolang-baling.
Ketakutan teramat sangat,
ketika puluhan PING, belasan missed call, beberapa short message,
berakhir pada ketidakpastian.
Ketakutan teramat sangat,
mendapati terbangun dan sendirian
Takut.
Kalut. 
Hati ribut.

**

Seorang teman berkata,
"Hadapi ketakutanmu. Hadapi."
Sudah dihadapi, gagal. Bagaimana?
Ingin kembali meringkuk di balik selimut, diam. Diam. Diam. Diam.
"Hadapi ketakutanmu. Hadapi."
Sudah, cukup. Aku takut.

**

Perasaan yang terasah seperti mata pisau. Logika yang mulai menggapai batas dengan kalap.
Sedikit lagi.

**

Pukul 04.08.
Dua jam sejak ketakutan yang teramat sangat.
Kehengingan ini mengerikan. 
Seperti anak naga yang mulai bergejolak.