Tampilkan postingan dengan label growing up. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label growing up. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Juni 2018

We'll rock each other



          Aku duduk diam di bangku kelas. Sengaja tidak keluar kelas karena terlalu takut mendapat pandangan sinis dan kata-kata kasar. Namun, duduk diam di kelaspun tidak lebih baik.


Pluk.


Sebuah kulit kacang dilempar, ke arahku. Aku bahkan enggan untuk sekedar melihat dimana kulit kacang itu jatuh. Di dekat kaki kah? Di depan meja kah? Aku diam. Gelombang kepanikan mulai terasa. Jantungku berdebar keras. Marah, sakit hati. Tapi tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan di situasi ini. Terus terang, aku tidak termasuk golongan yang ‘menghadapi’ konflik.


Dalam hati aku berpikir,


“Seriously, what the hell they’re thinking, huh?” berusaha tidak menggubris, dan hanya fokus pada buku pelajaran yang sebenarnya tidak kubaca.


Pluk.


Kulit kacang yang lain. Kali ini mengenai punggung. Aku masih diam dan menunduk. Jangan pernah tanyakan kenapa aku diam. I wanna scream it out loud, if you asking me. Tapi, menurutku itu hanya akan memperburuk keadaan. Aku hanya bersyukur, air mataku cukup tangguh untuk tidak menetes, karena bisa-bisa justru memberi kesempatan bagi mereka makin menjadi.


Siang itu aku disudutkan di kelas. Dan ternyata, itu salah satu puncaknya. Aku tak tahan dan pulang sambil menangis. Seingatku aku tak menangis di depan mereka. Aku menangis sesenggukan di rumah, hingga membuat Bapak dan Ibu memutuskan hal ini harus dilaporkan ke pihak sekolah. Yang aku tahu, laporan ini tentu akan membuat situasi makin tak nyaman.


Esoknya aku dipanggil guru konseling. Diberi wejangan ini itu. Secara terpisah, beberapa dari mereka juga dipanggil. Entah apa yang disampaikan guru konseling. Yang pasti, suasana ‘sedikit’ lebih baik. Meski aku tetap dianggap invisible di kelas.


Mau tahu alasan mereka?

Pertama, karena menolak ‘berteman’ dengan seorang teman. She’s asking me. But I thought it’s bit too much. Why we don’t just get along? Let's be friend without any declaration. Come on.

Kedua, ‘terpaksa’ membonceng kekasih seorang kawan. As a friend. No body-contact. And it seems me flirting with her boyfriend (?). Come on.



Ada beberapa hal yang aku tak yakin mana pemicu sesungguhnya : menolak seseorang, atau, bagaimana aku suka memicingkan mata menyerupai tatapan sinis (padahal itu karena mataku minus~), entah yang mana.


Aku bersyukur, aku masih bisa melalui itu. Tidak berpikir hal yang aneh-aneh meskipun rasanya sangat tertekan. Nyaris dua tahun (hal itu terjadi sejak kelas dua akhir hingga menjelang kelulusan—yea, kind of hell) menjadi seorang anak yang disudutkan oleh seisi kelas (hanya beberapa orang yang tidak menyukaiku, sisanya? Entahlah) itu sungguh buruk. Aku bukan anak yang terlalu pintar, jadi hal busuk seperti di atas tentu sangat menyulitkan.


Beberapa tahun kemudian, saya baru menyadari kata yang mewakili semua peristiwa di atas : bullying.





**




Baru kali ini saya merasa perlu menuliskan ini. Setelah semuanya cukup rapi disimpan dalam buku harian lebih dari satu dasawarsa lalu. Dan beberapa dari kalian mungkin berpikir itu berlebihan, atau bahkan kondisi kalian lebih buruk dari itu semua.


Hei.

Permasalahannya adalah, tidak semua dari kita berada di posisi yang sama. Tidak semua dari kita memiliki self-esteem yang baik. Dan belum tentu juga, memiliki support-system yang sangat fungsional.


Sebagai manusia biasa, saya tentu mengharapkan ada seseorang yang bisa memahami betapa sucks-nya situasi saat itu. Betapa sakit hatinya ketika kamu dilempar kulit kacang—right in front of you.




**




Kesehatan mental itu penting. Depresi itu tidak baik. Stress itu menyiksa. Dan tolong pahami, tidaklah mudah bagi seseorang yang insecure untuk sekedar menceritakan hal-hal semacam itu kepada orang lain. Syukur saja bila tidak sampai ditertawakan atau tidak dianggap berlebihan. Beberapa dari kita memerlukan lebih dari keberanian untuk menutup luka lama dan membuka lembaran baru. Jika itu sudah cukup melelahkan, apalagi bercerita karena berarti dua kali usaha.


So, please stop judging.


      Jika kamu berada di situasi yang sama, sebagai ‘korban’. Jangan diam dan mengurung diri. Cobalah ‘berbicara’. Jika tidak bisa, cari selembar kertas—tuliskan ketakutan-ketakutanmu, segala sesuatu yang membuatmu membekap mulut karena ngeri di tengah malam, gambar sesuatu sebanyak mungkin. ‘Bicaralah’ lewat karya. Lepaskan. Perhaps it helps you a lot. Mungkin itu juga yang ‘menyelamatkan’ saya. Menulis.


Dan, ketika takdir menempatkanmu di kursi penonton—jangan diam saja, apalagi menertawakan. Satu masalah yang mungkin remeh bagimu, bisa saja berarti kiamat baginya. Dekati, rangkul siapapun yang tampak sedih atau tertekan. Berbuat baik tidak selalu berarti sok kenal sok dekat atau menjadi pahlawan kesiangan, kok. Pahami, jangan membuat asumsi sepihak tanpa tahu dari perspektifnya. Mungkin dia tak membutuhkanmu sekarang. Bisa jadi lusa, atau tahun depan. It’s okay. At least, kamu tidak berada dalam sisi yang apatis. Siapa tahu satu gesture atau ucapan atau tindakan kecil justru menjadi sarana penyelamat hidupnya. Karena ketika saya merasa tersudut saat itu, satu pelukan dan sepasang hati yang bersedia ‘mendengar’ lebih dari cukup daripada sebuah ceramah panjang.


Due to mental health awareness, even a nameless thing matters.








Note : segala peristiwa ambyar di masa lalu itu, yang pada akhirnya membuat saya ingin menamai anak kedua saya, Ken. Setidaknya, salah satu alasan adalah rentetan busuknya masa lalu saya :') Bila diterjemahkan bebas, Ken bisa berarti kuat dan tangguh. Karena seperti itulah saya menginginkan putri saya. Kelak, dia akan jauh lebih berani dan tangguh, daripada Ibunya.








Rabu, 23 Mei 2018

Kelas Bermain Rabu : Keep going, Kid


Ahem.
Alhamdulillah saya 'masih' membulatkan tekad bikin kelas bermain untuk Cupis. Sebenarnya ingin membuat materi untuk mengembangkan pencil grasp Cupis. Bahannya sudah ada separuh, namun waktunya~ah sudahlah. Terus terang saya memang perlu sembunyi-sembunyi bikin materi agar pas hari H tetap jadi kejutan untuk Cupis. Jadi, mau tak mau materi pencil grasp 'khusus' ala idealisme tadi di skip dulu untuk kelas berikutnya. Kali ini harus 'puas' dengan materi lain dulu :')

Dari hasil review per kelas bermain Senin lalu, saya tetap mempertahankan waktu yang singkat per materi atau kondisional demi melihat mood Cupis. Dan tetap ada hint di akhir, dong. Iya, masih mencari cara agar proses belajar ini menjadi unconditional willing (istilah apa sih, Bu~ hahahaha), tidak dipaksa karena selalu ada reward, begitu.


Kelas Bermain Rabu.


Masih berbau tracing pola seperti kelas Senin lalu, kali ini Cupis disodorin tracing alfabet A sd D. Responnya? Langsung mendesah dan bilang, "Banyak kali, Ibu." bikin gemes geregetan. Alhasil menyemangati dia untuk mengerjakan satu per satu. Garapnya pun random, dari A lalu B, bali A lagi, dst dst. Yasudahlah~ yang penting #lemesinjari

Coba tebak, ini apa? Hahaha. Mendadak saya kepikiran bikin cottonball-sheep. Tapi tetap ingin ada unsur gunting dan tracing. Okelah, buk!

Yang ini ide last-minute. Konsep matching number.

Sempat galau apakah Cupis diajarkan mewarnai secara 'pakem' atau sekalian asah kreativitas dengan tidak melulu sesuai aturan. Akhirnya saya lebih memilih untuk mengajarkan 'kreativitas' . Maksudnya, Buk? Nanti ada, kok di bawah. Hehehe.

#lemesinshay

Pencil grasp nya bikin saya gemas! Sabar Buk, sabar! It's all about process and consistency. Amin.





Agak berlebihan plus tricky, sih. Apalagi guntingnya rada kurang sesuai usia... Tak apa ya Nak, dicoba *ngeles* tapi so far so good, kok!



 

Sampai di aktivitas ini, Cupis sudah mulai gelisah dan drama. Saatnya kesabaran Ibuk diuji. Hahaha. Cupis perlu beberapa kali diarahkan apa yang dimaui dari tugas 'matching number' ini. Yang penting 'matching' dulu, perkara ini itu angka berapa, nanti ya Nak!





Hari ini saya kembali disadarkan tentang pentingnya 'kerjasama' dengan Cupis. Terutama lebih tanggap dengan mood dia. Ya, meski bagaimanapun, Cupis masih anak-anak, kan? Inner child saya harus lebih digali, sepertinya. Because it should be fun. More!

Dan inilah, hasil jadi 'kerjasama' Ibuk yang keringetan plus Cupis yang berusaha bertahan dari bosan dengan bujukrayu hint :')


Keriting. Ibuk sebenarnya sudah memberi instruksi arah mulai menggoreskan huruf, namun sepertinya Cupis belum ingin mengikutinya :0 oya, sheet ini saya laminating biar awet berkali-kali. Hehe.

Si domba kapas. Pretty cool Kid, no? Saya pikir Cupis bakal menempelkan kapasnya jarang-jarang sampai keluar garis. Eh ternyata tidak! *claps*

Another matching number game. Ini yang tadi saya bilang 'mengasah kreativitas'. Saya terpikir mengajarkan Cupis, bahwa dalam dunia kreatif tidak selalu harus pakem. Warna rambut sengaja biru, misal. Tadi Cupis--sebelum benar paham maksud mencocokkan angka antara krayon dengan lembar gambar--sudah berniat mengambil warna hitam untuk rambut. Namun saya mencoba setengah mati mengarahkan Cupis agar lebih memperhatikan warna-warna mana yang sudah dilabeli (hitam tidak termasuk). Yaa, meski anaknya sudah ogah-ogahan, dia tetap bertahan menyelesaikan sheet ini. Sip!




Kelas Bermain Senin : Perdana!



Pada akhirnya saya 'menyentuh' agenda belajar agak serius bersama Cupis. Iya, setelah sekian lama berkelit. Hmm.

Terimakasih kepada artikel yang di share di IG @the_urbanmama, bahwa kegiatan menulis--literally--memiliki korelasi dengan kecerdasan anak di masa depan. Oke, saya resah.

Jadi meskipun sebenarnya saya dan Bapaknya Cupis tipe orangtua yang percaya pada proses belajar alami, masa iya sih saya diam saja tak melakukan stimulus apapun *ew* Jadilah saya meniatkan diri membuat 'kurikulum' ala saya untuk Cupis, dengan kiblat fun activity di Pinterest (well, jangan ditiru, huhu) yang sesuai umur/kemampuan Cupis plus observasi gaya belajar Cupis. Alasan kedua, ya karena kelas PAUD gratisan di kompleks rumah rada on-off (iyalah, namanya juga gratisan). Sekalian mengisi waktu luangnya, begitu. Kenapa Cupis tidak mencoba kelas berbayar sesungguhnya? Kapan-kapan saya share, ya. Hahaha.

Akhirnya, per Senin kemarin kelas perdana dimulai. Kelak, kelas tersebut dilakukan seminggu dua kali, masing-masing selama tigapuluh hingga enampuluh menit. Agak riskan jika lebih lama, karena Cupis tipe mudah bosan dan mudah terdistorsi. Karena hal itu juga, saya sengaja menggunakan ruangan di lantai dua rumah agar dia tak mendadak ingin menonton televisi atau apalah. Berhasil?

Berikut sedikit review,

Kelas Senin.
Karena 'isu' Cupis adalah bagaimana memegang alat menulis dengan baik, saya sengaja membuat worksheet yang setidaknya bisa meningkatkan pencil grasp-nya.


Melipat dan melepas kancing. Iya, Cupis masih berlatih dua hal ini :)



Menggunting pola.


Tracing line. Dapat inspirasi ini dari Pinterest, for sure! Gara-gara case bom gereja kemarin, jadi terinspirasi mengenalkan perbedaan agama di Indonesia. Dan ketika sheet ini sengaja saya bikin PDF nya plus di share ke siapapun yang berminat, saya malah mendapat beberapa masukan. Senang!

Hint. Disimpan di akhir, menjadi semacam reward karena Cupis sudah mau bersabar menyelesaikan proses belajar.

Blur-blur, deh. Saya sengaja meminta Cupis melipat pakaian, tanpa arahan sebelumnya. Here we go~ Lumayan lah untuk ukuran inisiasi pribadi :)

Setelah diberi contoh. Kece, Nak!

I know this scissors not suitable for him. But hey, pretty good for first trial, kid!



This grasp. Awalnya saya pikir Cupis baru 'sampai' level menggenggam ini. Ternyata tidak juga...

Nah kan~

Dan, berikut hasil 'karya' Cupis,






Yang dinanti.



Kesimpulan kelas perdana.
Cupis bosenan, I know. Saya sengaja meletakkan hint pasir tadi di belakang agar ada goal yang ia tuju. Dan daya minat Cupis per aktivitas sekitar 5 hingga 10 menit awal, sisanya perlu encourage plus diberi semangat oleh lingkungan, alias saya yang rada geregetan. Hahaha. Asumsi lain, karena ia bertemu saya nyaris setiap detik, sehingga rasanya mungkin kurang 'challenging' ketika saya yang memberikan arahan. Jadi dia lumayan ngeles kalau Ibunya memberi contoh. It's okay sih, yang jelas saya harus punya hint yang cukup banyak agar dia tetap fokus.

Yang jelas, tujuan saya membuat kelas ala-ala ini adalah agar Cupis 'belajar' suasana kelas (minus crowd nya, tentu), belajar fokus mendengarkan instruksi, dan solve beberapa tugas yang diberikan. Motif awal sih pastinya membiasakan dia luwes memegang alat tulis dulu, dong.

Harapannya sih semoga kelas berikutnya lebih baik. Amin! (Kelas Rabu akan diupdate di post selanjutnya, ya!)







Selasa, 20 Februari 2018

Your Calling



Nobody tells this to people who are beginners, I wish someone told me. All of us who do creative work, we get into it because we have good taste. But there is this gap. For the first couple years you make stuff, it’s just not that good. It’s trying to be good, it has potential. But it’s not. But your taste, the thing that got you into the game, is still killer. And your taste is why your work disappoints you. A lot of people never get past this phase, they quit. Most people I know who do interesting, creative work went through years of this. We know our work doesn’t have this special thing that we want it to have. We all go through this, and if you are just starting out or you are still in this phase, you gotta know its normal and the most important thing you can do is do a lot of work. Put yourself on a deadline so that every week you will finish one story. It is only by going through a volume of work that you will close tat gap. And your work will be as good as you ambitions—Ira Glass.


Saya menemukan quoted pin ini saat mencari referensi di Pinterest. Saya tertegun. Otak saya menekan saya untuk melakukan hal yang sudah cukup lama terhenti karena beberapa kesibukan : kembali blogging.

Tepat satu setengah bulan lima hari saya melepaskan diri sebagai pekerja kantoran, suatu hal yang kemudian ‘disayangkan’ oleh sebagian besar orang yang mengenal saya. Ini adalah keputusan tergila yang saya lakukan dalam sekian tahun terakhir, mengingat saya adalah tipe individu yang membenci ketidakpastian. Lalu, bagaimana rasanya?

Ini berat, men.

Menjadi ibu rumah tangga dengan satu anak yang sedang sangat aktif sekaligus dalam kondisi usia kehamilan besar, sementara menjalani hubungan jarak jauh, bukanlah tipe hal yang dengan mudah saya lewati dengan sukacita. Saya telah mendengar ada banyak kisah post-power syndrome, salah satunya Ibu saya sendiri. Dan saya menolak untuk menjadi salah satu bagian yang menyedihkan itu, meskipun saya pikir itu hal yang manusiawi ketika kamu berganti rutinitas. 

“Kamu yakin, mau resign? Nggak sayang?”

Jujur, saya pun tak terlalu yakin apa yang sebenarnya saya sayangkan atau perjuangkan sekali saat itu. Setelah melalui beberapa minggu yang menguras emosi, hingga pada akhirnya memutuskan mengajukan surat pengunduran diri, ini seperti momen AHA! dalam hidup. Sekarang atau tidak samasekali. Sekarang atau jangan pernah menyesal kemudian.


**


“Kamu mau hidup susah sama aku?” pertanyaan itu pernah terlontar jaman kami masih pacaran. Yang tentu saja saya amini. Namun jika saat ini saya ditanyai hal yang sama—yeah, he did—jawabannya sudah berbeda.
 
“Nggak mau,” jawab saya saat itu, yang disambut dengan ekspresi kaget suami (hehe, maaf ya).

“Nggak mau,” lanjut saya, “—menyerah dalam kondisi terburuk yang ada sementara bisa melakukan sesuatu.”

Oke, ini terdengar ambisius dan mengada-ada. Dan kurang ajar. Istri mana yang menolak hidup susah menua bersama? Saya mau menua bersama, tapi tidak dengan hidup susah. Tapi saya juga tak ingin memberatkan siapapun dengan kondisi ‘susah’ itu, bagaimanapun definisinya.

Saya percaya—terlampau percaya—setiap orang memiliki momen masing-masing. Entah di atas atau di bawah, mudah atau susah. Saya bahkan cukup yakin setiap dari kita dibekali senjata ketika lahir, untuk bertahan hidup dan mengeluarkan potensi terbaik yang kita miliki. Jangan salah, sesi paling menyebalkan ketika menjadi human capital di perusahaan lama adalah ketika berhadapan dengan karyawan yang memiliki semangat juang rendah. Rasanya ingin mentoyor kepala dan mengguncang bahu mereka. Kamu kepala keluarga, istri tidak bekerja, dan selemah ini?! Atau, kamu anak sulung dan menjadi tulang punggung, namun daya juangmu selemah ini?!

Yah, beberapa hal memang cukup membuat gusar.


**


Jadi, ketika saya mengutarakan ide saya—ide kesekianjuta, karena sejujurnya saya lemah di eksekusi—kepada kerabat saya, mereka lebih banyak mengernyit. Rasanya mustahil hidup dari apa yang disuka dan melibatkan kreativitas dan seni. Begitu, ya.

Saya nekat memulainya. Lagi.

Saat saya kelas tiga sekolah dasar, saya cukup iseng untuk menyusun sisa-sisa lembaran buku tulis yang masih kosong (kebanyakan buku tulis halus), menyampulinya dengan cover buku tidak terpakai sebelumnya dilapisi kertas kado bekas), lalu menjualnya kembali dengan harga tiga ratus rupiah. Benda ini rajin dipesan sat ulangan matematika, untuk lembar corat-coret. Pesanan meningkat dengan pembuatan kartu ucapan entah natal atau tahun baru atau ulangtahun (zaman dulu kartu ucapan masih keren, namun terlalu mahal untuk dibeli anak sekolah dasar tanpa persetujuan orangtua). Biasanya saya menunggu sisa-sisa map karton tebal yang dibawa Ibu dari kantor, mengguntingnya persegi, lalu menggambarinya dengan tokoh-tokoh favorit di loose leaf bergambar, menjualnya seharga tiga ratus hingga tujuh ratus rupiah, tergantung ukuran kartu ucapan. Kantong saya lumayan tebal saat itu, apalagi orangtua saya jarang sekali memberi uang jajan banyak. 

Saat saya dewasa, saya nyaris melupakan kesenangan semacam itu. Terlalu takut dan ragu untuk kembali mencoba. Terlalu mengkhawatirkan hasil akhir. Padahal yang sungguh saya senangi adalah proses kreatif tersebut.

Sekarang, tugas saya adalah menyemangati diri sendiri untuk tidak menyerah pada apa yang saya yakini dan telah saya ambil. Yah, yang memiliki mimpi toh bukan mereka.


**


Satu setengah bulan dan lima hari, saya pikir ambisi yang menyelamatkan saya untuk tetap hidup dan produktif. Untuk tidak mati merana karena post-power syndrome dan mengikuti arus. 

Whatever it takes, let’s fight.