Aku duduk diam di bangku kelas. Sengaja tidak keluar kelas karena terlalu takut mendapat pandangan sinis dan kata-kata kasar. Namun, duduk diam di kelaspun tidak lebih baik.
Pluk.
Sebuah kulit kacang dilempar, ke arahku. Aku
bahkan enggan untuk sekedar melihat dimana kulit kacang itu jatuh. Di dekat
kaki kah? Di depan meja kah? Aku diam. Gelombang kepanikan mulai terasa. Jantungku
berdebar keras. Marah, sakit hati. Tapi tak ada yang benar-benar bisa aku
lakukan di situasi ini. Terus terang, aku tidak termasuk golongan yang ‘menghadapi’
konflik.
Dalam hati aku berpikir,
“Seriously, what the hell they’re thinking,
huh?” berusaha tidak menggubris, dan hanya fokus pada buku pelajaran yang
sebenarnya tidak kubaca.
Pluk.
Kulit kacang yang lain. Kali ini mengenai
punggung. Aku masih diam dan menunduk. Jangan pernah tanyakan kenapa aku diam. I
wanna scream it out loud, if you asking me. Tapi, menurutku itu hanya akan
memperburuk keadaan. Aku hanya bersyukur, air mataku cukup tangguh untuk tidak
menetes, karena bisa-bisa justru memberi kesempatan bagi mereka makin menjadi.
Siang itu aku disudutkan di kelas. Dan
ternyata, itu salah satu puncaknya. Aku tak tahan dan pulang sambil menangis.
Seingatku aku tak menangis di depan mereka. Aku menangis sesenggukan di rumah,
hingga membuat Bapak dan Ibu memutuskan hal ini harus dilaporkan ke pihak
sekolah. Yang aku tahu, laporan ini tentu akan membuat situasi makin tak
nyaman.
Esoknya aku dipanggil guru konseling. Diberi
wejangan ini itu. Secara terpisah, beberapa dari mereka juga dipanggil. Entah apa
yang disampaikan guru konseling. Yang pasti, suasana ‘sedikit’ lebih baik. Meski aku tetap dianggap invisible di kelas.
Mau tahu alasan mereka?
Pertama, karena menolak ‘berteman’ dengan
seorang teman. She’s asking me. But I thought it’s bit too much. Why we don’t just
get along? Let's be friend without any declaration. Come on.
Kedua, ‘terpaksa’ membonceng kekasih seorang
kawan. As a friend. No body-contact. And it seems me flirting with her
boyfriend (?). Come on.
Ada beberapa hal yang aku
tak yakin mana pemicu sesungguhnya : menolak seseorang, atau, bagaimana aku suka memicingkan
mata menyerupai tatapan sinis (padahal itu karena mataku minus~), entah yang mana.
Aku bersyukur, aku masih bisa melalui itu. Tidak
berpikir hal yang aneh-aneh meskipun rasanya sangat tertekan. Nyaris dua tahun
(hal itu terjadi sejak kelas dua akhir hingga menjelang kelulusan—yea, kind of
hell) menjadi seorang anak yang disudutkan oleh seisi kelas (hanya beberapa
orang yang tidak menyukaiku, sisanya? Entahlah) itu sungguh buruk. Aku bukan
anak yang terlalu pintar, jadi hal busuk seperti di atas tentu sangat menyulitkan.
Beberapa tahun kemudian, saya baru menyadari
kata yang mewakili semua peristiwa di atas : bullying.
**
Baru kali ini
saya merasa perlu menuliskan ini. Setelah semuanya cukup rapi disimpan dalam
buku harian lebih dari satu dasawarsa lalu. Dan beberapa dari kalian mungkin
berpikir itu berlebihan, atau bahkan kondisi kalian lebih buruk dari itu semua.
Hei.
Permasalahannya adalah,
tidak semua dari kita berada di posisi yang sama. Tidak semua dari kita
memiliki self-esteem yang baik. Dan belum
tentu juga, memiliki support-system
yang sangat fungsional.
Sebagai manusia
biasa, saya tentu mengharapkan ada seseorang yang bisa memahami betapa sucks-nya situasi saat itu. Betapa sakit
hatinya ketika kamu dilempar kulit kacang—right
in front of you.
**
Kesehatan mental
itu penting. Depresi itu tidak baik. Stress
itu menyiksa. Dan tolong pahami, tidaklah mudah bagi seseorang yang insecure untuk sekedar menceritakan
hal-hal semacam itu kepada orang lain. Syukur saja bila tidak sampai
ditertawakan atau tidak dianggap berlebihan. Beberapa dari kita memerlukan
lebih dari keberanian untuk menutup luka lama dan membuka lembaran baru. Jika itu sudah cukup melelahkan, apalagi bercerita karena berarti dua kali usaha.
So, please stop judging.
Jika
kamu berada di situasi yang sama, sebagai ‘korban’. Jangan diam dan mengurung
diri. Cobalah ‘berbicara’. Jika tidak bisa, cari selembar kertas—tuliskan ketakutan-ketakutanmu,
segala sesuatu yang membuatmu membekap mulut karena ngeri di tengah malam, gambar sesuatu sebanyak mungkin. ‘Bicaralah’
lewat karya. Lepaskan. Perhaps it helps
you a lot. Mungkin itu juga yang ‘menyelamatkan’ saya. Menulis.
Dan, ketika
takdir menempatkanmu di kursi penonton—jangan diam saja, apalagi menertawakan. Satu masalah yang mungkin remeh bagimu, bisa saja berarti kiamat baginya. Dekati, rangkul
siapapun yang tampak sedih atau tertekan. Berbuat baik tidak selalu berarti sok
kenal sok dekat atau menjadi pahlawan kesiangan, kok. Pahami, jangan membuat
asumsi sepihak tanpa tahu dari perspektifnya. Mungkin dia tak membutuhkanmu
sekarang. Bisa jadi lusa, atau tahun depan. It’s
okay. At least, kamu tidak berada dalam sisi yang apatis. Siapa tahu satu gesture atau ucapan atau tindakan kecil
justru menjadi sarana penyelamat hidupnya. Karena ketika
saya merasa tersudut saat itu, satu pelukan dan sepasang hati yang bersedia ‘mendengar’
lebih dari cukup daripada sebuah ceramah panjang.
Due to mental health awareness, even a
nameless thing matters.
Note : segala peristiwa ambyar di masa lalu itu, yang pada akhirnya
membuat saya ingin menamai anak kedua saya, Ken. Setidaknya, salah satu alasan adalah rentetan busuknya masa lalu saya :') Bila diterjemahkan bebas, Ken bisa
berarti kuat dan tangguh. Karena seperti itulah saya menginginkan putri saya. Kelak,
dia akan jauh lebih berani dan tangguh, daripada Ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar