Selasa, 25 Desember 2012

Not a travel freak



Saya menyukai perjalanan.

Bukan sebagai travel freak. Atau backpacker
Saya penikmat perjalanan. Bukan karena tempat itu mahal dan komersil macam GWK atau Disneyland. Bukan.
Terapi.

**

"Hidup kamu membosankan."
"Ya?"
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah blingsatan mencari kesenangan."
"Sayangnya, aku bukan kamu."

**

Hidup saya membosankan. Justifikasi dari seseorang yang bukan diri saya. Itu lucu. Sebegitu gerahnya beberapa orang dengan urusan orang lain, eh?

Beberapa orang tampak begitu penting menjadi orang lain agar diakui sebagai 'orang yang menyenangkan.

**

'Keluar' selalu menjadi hal yang menyenangkan. 
Tapi bila definisi keluar, perjalanan, dan berjalan-jalan saya berbeda dengan kamu, kamu, atau kamu, apakah itu dosa?
Setiap orang berhak atas perjalanan dan kesenangannya sendiri, kan?

Sebagai terapi.
Sebagai privasi.
Entah itu hanya untuk makan pecel lele di ujung kompleks, atau membeli satu dua keperluan bulanan, atau ikut Bapak ke pengrajin kayu langganan.

Bukan atas nama wisata atau efek prestisius yang didapat di balik suatu lensa kamera, lalu di share di socmed. Bukan.


 long way to Solo. Golek gawe. 2011


long way to Mojokerto. Golek gawe. 2011 


 
Bantul. handicraft shop 


 uthik-uthik batik unik. wayang


"Ibu kedah lenggah mawon, pun kula ingkang tumandang menika..."
(Ibu duduk saja, biar aku yang melanjutkan ini) 


Bantul. piece of masterpiece 



Perjalanan untuk dinikmati, karena setelah satu rutinitas, ada hal-hal kecil yang selalu terlewat mata. Bentuk syukur yang sederhana. 

Perjalanan untuk dilakukan, karena mungkin suatu jalan terlalu lurus tanpa tikungan, tanjakan, belokan, lampu merah, jalan berlubang mampu membuat terlena lupa untuk berjuang.

Perjalanan untuk dilakukan, bahwa setelah saya sibuk 'berpetualang' ke mana-mana, maka saya ingat satu tempat untuk kembali,

Rumah.


   
...and come home...


Kak W, untuk travelogue yang menyadarkan bahwa perjalanan itu 'manusiawi'
Terimakasih :)






Minggu, 23 Desember 2012

Lo-ne-ly




Kenapa hubungan jarak jauh itu menjadi sangat berat?

Karena mindset selalu terarah pada satu kalimat : satu dunia berkonspirasi.

Well, mungkin karena saat jarak menjadi terlalu pendek kita terlalu mengabaikan hal lain di sekitar kita. Jadi ini adalah kompensasinya. Mungkin.

Alasan itu yang sekarang sedang selalu saya manterakan di otak. Setiap kali.

Karena ada hal lain yang perlu kembali diperhatikan
Karena ada hal lain yang perlu kembali diperhatikan
Karena ada hal lain yang perlu kembali diperhatikan
Karena ada hal lain yang perlu kembali diperhatikan

Karena

ada

hal

lain

yang

perlu

kembali

diperhatikan

Mantera itu berhasil, beberapa kali. Tapi ya... ada suatu waktu dimana pekerjaan, kesibukan, teman-teman, keluarga, semua tidak bisa mengambil alih. Satu celah yang bahkan sangat sempit yang masih bisa ditelusupi makhluk unik menyebalkan tak berbentuk bernama kangen.

Saat itu, dunia sangat konspiratif. Dari mendadak dia mendapat kesempatan jalan-jalan tiga hari di kota orang sementara saya stuck di kamar karena hujan, sinyal sama-sama ogah bertemu, saya yang terlalu lelah untuk ditelepon atau dia yang sedang sibuk memenuhi janji dengan klien, batere mendadak sekarat, asupan kopi terlalu banyak selama seharian yang berefek pada insomnia panjang, berbagai adegan PDA (public display affection) teman terdekat, dan...entah.

Dan ketika semua itu menyerang, saya cuma bisa berharap :

Ini waktunya, ketika ada hal lain yang harus lebih diperhatikan...

Menyiksa? Ya, menyiksa. Bukan hanya dia yang stres ketika melihat orang lain bisa bertemu secara 'nyata'. Bukan hanya dia yang merasa sendiri di tengah keramaian. Bukan hanya dia yang tak tahu harus bercerita kemana lagi ketika merasa tertekan. Bukan hanya dia yang tiap kali menonton berharap bahwa yang ada di sebelahnya adalah seseorang yang bisa disebut 'kekasih'. 

Saya juga.

Ini bukan perjuangan sepihak, baik secara apapun. Mental, material, perasaan, logika. Kan?

**

Buat dia yang disana untuk berusaha sama tegarnya dengan saya disini, Ya Tuhan.
Amin.

Ini bukan Jakarta - Birmingham
Ini bukan Yogyakarta - India
Ini hanya, yah, Bekasi - Makassar



Ada hal lain, yang rupanya harus kembali diperhatikan (lebih dulu).



 

 

Jumat, 21 Desember 2012

A domino Life


Saya galau. Ya, saya dengan amat terbuka dan bodoh mengaku bahwa saya GALAU.

Sebulanan ini hujan, dan sedikit banyak mempengaruhi kondisi mood menjadi gloomy, seperti langit Mordor menjelang perang.

Semua aspek dalam hidup saya, beberapa hari ini tambah carut marut. Karena kebodohan dan galian lubang sendiri. Kenapa saya malah cerita disini? Karena saya tahu barangkali ini lebih baik daripada saya gantung diri di pohon toge...
Dan, tidak semua orang mau ikut campur juga dalam masalah saya ini, kan?

Well,
Beberapa hari yang berantakan. Dan otak saya penuh dengan pikiran-pikiran yang lebih gila. Lebih tidak jelas pula mainstream nya. Saya terpikir bahwa wanita itu seperti Dewa (atau Dewi? Saya lupa. Hehehe) Kali, bertangan banyak, dan multitasking. Tidak hanya tangan, namun pikiran. 

Terkadang, wanita menjadi begitu rumit, dikarenakan pikirannya yang tak pernah (atau minimal, jarang) terfokus pada satu hal saja. Dan imbas dari pikiran itu, berpengaruh kepada eksekusi akhir : berantakan. Kenapa? Karena... yah, diperlukan lebih dari sekedar otak yang terfokus sempurna.

Dan sampai pada pikiran saya kemarin lusa, sore. Di tengah badan yang meriang, mata nanar, hujan deras, asupan gizi hanya dari se cup mie instan :

Saya tak ingin semua aspek yang saya perjuangkan hancur merata, keseluruhan.

Hidup saya, sampai kemarin saya tersadar, adalah deretan domino. Saya tipe domino. Dimana satu masalah mencuat, maka hal itu bisa menjadi trigger yang lain. Dan sia-sia begitu saja.

Saya berpikir ulang, semua kebodohan, kesalahan, dan kefatalan yang saya lakukan. Menimbang dan berpikir sampai saya kembali lapar dan terbangun di tengah malam. Banyak hal yang saya perjuangkan, banyak hal yang saya lepaskan, dan semua ini tentang pilihan. Dan ketika ada satu pilihan saya tidak bekerja... NO

Kali ini, entah angin apa, saya tak ingin semua kartu domino yang saya pasang pelan-pelan dengan setengah mati hancur bersamaan. Harus ada satu, minimal, yang bisa bertahan. Bagaimanapun caranya. 

Yang namanya kesalahan bisa jadi tak akan ada pemakluman. Tapi yang wajib saya pegang, mulai sekarang, ada banyak hal lain, yang harus saya perjuangkan. Lagi. Dan lebih.


Merusak itu gampang, tapi sekedar 'mau' untuk mempertahankan (lagi), buat saya itu....hhh. luarbiasa.


Ayok S, berjuang lebih. Untuk sisa hal yang masih bisa diperjuangkan.



Senin, 17 Desember 2012

Sometimes, nothing means something...


 
Ada begitu banyak hal. Begitu banyak hari. Begitu banyak detik.
Terlewati dari kumpulan momen-momen kecil yang tak berharga.
Dan terkadang, hinggap dan pergi begitu saja.

Senyuman dari seorang asing di pojokan gang.
Dua butir permen murahan yang diestafetkan antara satu tangan ke tangan yang lain dalam sebuah rapat panjang membosankan.
Sapaan khas yang terkadang menyebalkan
atau,
...
Telepon berharga sepuluh menit

Itu sederhana.

Begitu banyak hari,
Begitu banyak detik,
Sudah berjalan

Hari ini seperti sebuah tamparan
Sederet momen kecil, simplifikasi atas suatu manifestasi hal yang abstrak,
mendadak menjadi begitu... datar

Sudah terlalu lama, sudah terlalu biasa
Hingga lupa rasa penasaran, sedih, senang
Kumpulan momen kecil yang sediki demi sedikit mengurai,
seperti cacing tanah

Hm. Dan ya, semua semua semua semua, ya semua...
Momen-momen tidak penting yang lewat sambil lalu.
Momen-momen tidak penting yang sebenarnya adalah fondasinya.
Momen-momen tidak penting yang mengajarkan bagaimana cara bersabar, mengerti, dan tersenyum.
Momen-momen tidak penting yang kini hanya berakhir dengan sebuah 'ya, sudahlah'

Ini simpel.
Hanya momen-momen tak penting.
Tapi pada akhirnya, menjadi begitu penting.

"Ya sudahlah."










Minggu, 16 Desember 2012

You can never take JOGJA out from me


You can never take JOGJA out from me.

Barangkali mirip seperti apa yang dirasakan Merry Riana, siapapun tak bisa 'mengambil' akar dari dalam diri seseorang. Dan akar saya adalah Jogja. Jawa.
Tanpa bermaksud rasis, namun itu yang mungkin saya rasakan. Siang tadi.

**

"Gue mau beli make-up dulu dong. Mampir yuk."
Seorang teman.
Masuklah saya ke sebuah counter kosmetik yang...well, berasal dari salah satu negara adikuasa. Produk luar. Teman saya sibuk memilah dan memilih. Sementara saya sibuk berdecak 'kagum' dengan harganya :p
"Lu kaga beli?"
Saya hanya mengangkat bahu. 
"Bukan disini. Hehehe."
Saya beranjak, ke counter lain. Yang jelas-jelas dari namanya memang 'milik' Indonesia. 
Make-up itu relatif. Make-up itu kecocokan. Dan rupanya, kecocokan saya dengan atmosfer Indonesia :) Secara harga, secara sensitivitas. 
Ndeso dong saya? Persetan :))

**

Itu cameo. Lintas random.
Saya, kehabisan kata-kata bagaimana saya mencintai budaya Jawa. 
Meski saya tidak bisa luwes menarikan Srimpi Sangupati
Meski saya tidak terlalu suka rasa manis khas lidah Jawa
Meski saya bahkan masih suka nyasar di Jogja gara-gara kemampuan spasial saya yang mengerikan
But, after all...
Saya sangat menikmati setiap potongan percakapan ngoko dengan sesama perantau dari Jawa. Atau hampir gila menghabiskan gaji demi sepotong dua potong batik unik. Atau tertawa cenderung bangga karena seorang teman dengan usilnya mengatai logat saya adalah janglish alias javanese english. Hehehe.

Sedemikian bangganya, sehingga saya suka kulit cokelat saya, menggunakan batik sesering yang saya mau bahkan terobsesi meracuni semua orang agar berbatik : seven days a week, memutar mp3 gamelan jawa di sela-sela deadline, menyelipkan satu dua potongan kromo inggil ketika berbicara dengan bos yang kebetulan juga dari Jawa.

**

Ada yang salah dengan kulit cokelat?


 taken from somewhere in google

 
 taken from somewhere in google






You can never take JOGJA out from me. 
Dan, lagi-lagi kangen Jogja saya.





Rabu, 12 Desember 2012

Bore.dom


Hari yang malas.

Amat sangat malas. Ini jam kerja. Dan saya malah blogging ria. It means, hari ini sangat memuakkan. Hell yeah.

Mana, yang bilang jadi HR itu gampang?
Mau bertukar?

Mengurus isi kepala delapan puluhan orang itu bukan perkara mudah.
Pagi-pagi sudah ditodong laporan, email yang masuk betubi-tubi macam anak kelinci, pendingan-pendingan ABC. Oh my...

Stuck moment does exist. I'm here. Hello!

*nangis*

Dan saya melarikan diri dengan nge-blog -________-" 



Minggu, 02 Desember 2012

choice



Dan, sebuah short message, menampar saya :


"Pilihan, kok. 
Kamu juga bisa jadi apa aja kalau kamu mau. 
Aku sih sekarang mikirnya gitu. 
Rugi e, hidup cuma sekali."


Pretty damn good.
He's right.

Dan, aku mau. Tapi yang lain?

Well, get real, S. This is my life. My rules, then. Run.








Judul : Kangen Jogja




Saya kangen Jogja. Teramat dalam :')


Kangen Jogja itu sederhana.
Sesederhana ngangkring di angkringan.
Sesederhana umpel-umpelan cari batik di Beringharjo.
Sesederhana ngadem ngunyah cendol di Sidosemi.
Karena sederhana kotanya, 
Jogja itu ngangeni
Kangen Jogja 

*sun*





Minggu, 25 November 2012

Bandung in de taak : Oude & Goed



Kalau tugas negara, ke Bandung pula, apa yang bakal dicari?

Kalau saya, makanan. 
Semakin aneh, semakin bagus.
Minat saya akan makanan, kadang-kadang sedikit berbanding lurus dengan atmosfir 'langka' dari arsitekturnya.
Semakin kuno, semakin menarik...

**

Karena saya menginap di Naripan, sementara tempat bertugas adalah di Landmark, jadilah kadang-kadang suka jalan pulang pergi sepanjang Braga. Satu yang paling menarik bagi saya di sepanjang jalan itu adalah sebuah tempat makan tempo dulu, dengan tingkat kejadulan cukup tinggi. 

Sumber Hidangan, Jl Braga 20-22.


Yang dijual? Banyak. Menu jadul dengan bahasa Belanda. Top request nya adalah sederetan menu ice cream yang manis luarbiasa, seperti Snow White ice, Fosco. Untung ada penawar berupa teh tawar hangat, karena saya tidak terlalu suka manis. Untuk beberapa menu beratnya ada menu western seperti beef steak, hot dog, spaghetti. Menu eastern-nya? Well, menu nasional Indonesia macam Nasi goreng, dan banyak lagi :)
Menambah kejadulan, pelayannya pun bapak-bapak hampir limapuluhtahunan... Yang membuat saya jatuh cinta sebenarnya interiornya yang jadul aseli. Bak dilempar ke masa lalu!


Deretan kursi yang nyaman, bikin lupa waktu


 susunan lampu gantung yang semi temaram


 Dari sudut ini, aktivitas kendaraan yang lalu lalang sepanjang Braga bisa diakses dari balik jendela. Back to the past!





 Sedikit tidak terawat, namun entah kenapa plafon ini justru menambah nilai heritage bangunan


 Bagian yang menjual kue-kue jaman dulu. Harganya lumayan, karena bahan-bahan dan cara pembuatannya masih sangat tradisional. Sebut saja soes, bokkepoot, chocolade rotajes. 
 Deze buitengewone...


Roti sederhana minimalis ini, buat saya adalah street food yang sangat menolong kegilaan perut saya yang suka berulah di tengah malam. Namanya roti kukus. 

 Sangat nikmat dilahap ketika hangat. 
Puffy. Tasty. 
Gurih dengan olesan butter, roti kukus ini ada berbagai rasa. Nyum!


 Sangat cocok, dinikmati hangat-hangat di udara Bandung yang brrr...


Sekilas tadi sambil lalu saya di Bandung, yang kebetulan sedang minim hiburan saking keterbatasan waktu. Then, sayonara!

 Landscape Bandung dari atas kereta api, sekilas mengingatkan saya pada Ubud












Aku suka makan, masalah buatmu?





Aku suka makan. Masalah buatmu? 
Aku tak peduli mau macam apa makanannya, tempatnya, atau atmosfernya, yang penting makan. Seperti yang kamu bilang, makanan buatmu itu cuma dua : enak atau enak banget. 
Tidak ada justifikasi khusus bahwa perut harus diisi di tempat A, dengan menu B, dan dengan C.

*** 

Pertama kali aku mengenalmu dari suatu angkringan di pojokan jalan.
Ya, angkringan.
Angkringan sederhana, dengan lampu teplok temaram, nyamuk celamitan, dan guyub yang spontan. Dengan celana pendek, kaos lawas extra satu ukuran, sandal jepit, sendiri--mencomot bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, dan wedang jahe. Tak peduli keriuhan, tak peduli kepengapan yang ditimbulkan asap rokok bersahut-sahutan. Aku lapar. Masalah, buatmu?


Entah seasyik apa bentukku saat makan, sampai suatu titik aku menemukan perasaan ganjil--merasa diamati. Sebisa mungkin tak peduli, aku menambahkan kembali dua potong mendoan hangat di atas nasi teri yang masih separuh jalan.
Hingga, lama-lama gerah pun menjadi jengah. 
Entah naluri mana yang menggiring, hingga mata tertumbuk ke sepasang mata lain, yang balas menatap dengan minat--err...atau mungkin lebih tepatnya--heran. 

"Laper, Mbak?" tanyanya, lebih ke arah geli.

Aku tak mengenalmu. Bukan orang daerah sini pula. Jadilah aku hanya sekedar membalas dengan senyum ala kadarnya.

Aku lapar, masalah buatmu?

"Piro, Mas?"

Buru-buru aku mengeluarkan gumpalan uang dari dalam saku celana. Uff, mau hujan!

"Pitung ewu, Mbak."

Selembar uang sepuluhribuan bertukar manis dengan tiga lembar seribuan yang tak kalah kucel, dan aku buru-buru berlalu, meninggalkan pandangan gumun-mu yang masih terasa mengikuti.

*** 

Setiap orang butuh pelarian, kan? 
Pelarian dari rasa bersalah, takut, stres, dan entah apa lagi. Seperti kali ini. Malam yang stres. Malam yang mawut. Efek sempurna ulah bos besar yang memberikan draft deadline dalam jangka waktu satu kali duapuluhempatjam. Errr... ralat, kurang dari duapuluhempatjam, karena hingga saat ini menunjukkan jam sembilan seperempat, aku masih duduk di pojokan lounge. Bengong, blank, sementara minuman dingin warna-warni di depan yang masih utuh malah jadi seperti mengejek. Sudah tiga jam berlalu, dan screen di depan mata samasekali kosong, tidak terisi bahkan oleh satu huruf pun.
Tempat ini, adalah lounge favorit untuk pelarian dadakan. Favorit karena tuna sandwich-nya yang teristimewa.Tempat ini adalah pelarian, ketika otak sedikit perlu privasi dan badan sedang tidak ingin terlibat personal space yang terlalu dekat dengan orang terdekat sekalipun. 


Dan ya, berpikir terlalu lama selalu menguras energi. Usus mulai mencerna hal semu, berteriak-teriak untuk segera diisi. Well, tuna sandwich's time.
Mata mulai jelalatan mencari sosok pramusaji yang rada-rada nganggur, mengingat malam ini entah kenapa lounge ini agak padat oleh manusia. 
"Mas!"
"Silakan, Mbak."
List menu diletakkan di meja.
"Tuna sandwich, satu." tanpa membuka list menu samasekali—saking hapalnya—aku mengembalikannya pada si pramusaji.
"Loh--"
"Wah--"

Feeling my hands start shaking
Hearing your voice I’m overjoyed

Dan untuk kali kedua ada dua pasang mata beradu.

I’m sorry but I have no choice, you’re only getting better
Maybe you have your reasons
Maybe you’re scared, you’ll be let down


It happen.

*** 

"Nih."

Gulali. Bolang-baling. Telur merah. Sate kikil.
Dengan agak semena-mena kamu menjejalkan kombinasi makanan tadi di pangkuanku. 

"Sebegitunya aku tampak kelaparan, ya?"

Selarik cengiran membalas sambil mengangkat bahu. Sementara mulutnya tak kalah sibuk mengunyah bolang-baling.
Sekaten hari kedua. Selalu penuh. Selalu bergairah. Berburu jajanan murah meriah. 
Entah berapa periode Sekaten yang aku absen. Event wajib masa kecil yang kini berlalu begitu saja. Tergerus dengan hal-hal lain yang konon lebih penting. Meski dalam hati, kadang ada selipan doa : ijinkan aku datang kembali ke Sekaten ini. Dan doaku terkabul. Kali ini, menyambangi Sekaten sebagai perhelatan masa kecil, aku tak sendiri. 

"Bianglala, yuk!"

Tanpa tedeng aling-aling, kesigapan yang mengejutkan, kamu memasukkan semua jajanan di atas pangkuanku ke dalam tas. 
Aku kaget. Aku kehabisan kata-kata. Aku terkena serangan jantung dadakan--ouch.
Dengan semena-mena kamu menggandeng tanganku, setengah menariknya, tanpa aba-aba. Menunjuk-nunjuk bianglala yang berputar ala kadarnya, hiburan murah rakyat semesta. Tertawa.
Kamu...terbuat dari apa?



Oh then maybe, maybe if you hold me baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed

*** 

Gemerisik rintik hujan yang samar-samar, malu-malu untuk mengguyur jalanan, musikalisasi yang pas untuk menemani senja. 

"Lama sekali, yaaa."
"Kenapa, kamu sudah lapar ya?" dia tampak begitu geli demi melihat tampangku yang sudah semi kusut. Yah, kelaparan.
"Iya, aku lapar. Masalah buatmu?"

Kamu langsung tertawa, 

"Tetap, tidak berubah. Hehehe."
"Monggo, Mas, Mbak."

Dua piring beralas daun pisang semi pincuk,  telur bebek, ayam suwir, areh, sambel goreng krecek kacang tolo, menyelimuti nasi pulen yang mengepul pekat di udara. Gudeg.
Tanpa banyak kata, sesendok demi sesendok mulai beradu cepat masuk ke mulut. Panas, lapar, pedas, sementara hujan masih mengguyur. Nikmat!

"Hmmmmm..."
"Enak?" kamu bertanya, dengan heran, seperti beberapa tahun lalu.
"Iya!" jawabku dengan terus menyendok nasi. Persis seperti kuli yang dipaksa membangun candi dan tidak diberi makan tigapuluh hari.
"Bu, boleh tambah suwiran ayamnya?" dan, aku makin tak tahu malu.
Si Ibu cuma mesam-mesem, lalu mengangguk. 

Aku makan kian lahap. Hingga aku merasa ada yang memperhatikanku. Kamu. 

"Kok nggak dimakan? Enak lho." aku menunjuk piring nasinya yang baru setengah dimakan, dengan mulut masih setengah mengunyah.
"Beberapa tahun kedepan, aku bakal kangen lihat ekspresimu waktu makan seperti ini..."


Aku tahu, mungkin aku harusnya berhenti makan. Dan menanggapi perkataanmu barusan dengan lebih serius. Tapi maaf, aku tak bisa. Aku terus mengunyah, minum seteguk, lalu mengunyah lagi. Seakan-akan ini adalah kesempatan terakhir aku menyantap makanan selezat gudeg. Maaf, jika tidak terus mengunyah, aku akan menangis. Dan itu pasti akan lebih memberatkanmu pergi.

Ini, deja vu.

***

And maybe, maybe let me hold you baby
Let me come over I would tell you secrets nobody knows
I can not overstate it, I will be overjoyed
  
Happy birthday, dear.
You're a box of chocolate. Surprising.
You're a whole package of 'nasi teri' set. Mix my feeling, indeed.
Stay hungry, stay lovely.
For the next 1001 culinaries trip ahead, wait for me
Happy birthday, dear.

Sekotak cokelat. 
Dua voucher buatan tangan—tulisan tanganmu—bertuliskan : voucher makan angkringan sepuasnya, untuk yang berulangtahun hari ini.

"...beberapa minggu lalu ada yang kesini, Mbak. Pokoknya kalau Mbak dateng, Mbak bebas mau makan apa aja...Oya, selamat ulang tahun ya, Mbak." 

Mas-mas angkringan nampaknya juga kok kamu bodohi, ya? Aku tersenyum simpul. 

" Bakwan, ceker, sate usus, nasi bakar dua, sama wedang jahe ya, Mas!”
“Waduh, lapar Mbak?”

Iya, masalah Mas? Dalam hati aku membatin setengah geli.
Kalau buat kamu, kelak aku lapar itu juga akan jadi masalahmu :)



And if you want, we’ll share this life
Anytime you need a friend, I’m gonna be by your side
When nobody understands you, well I do