Tampilkan postingan dengan label kerjaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerjaan. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Juli 2015

All of me, enthusiasm





"Kamu kan lulusan ***, kenapa mau kerja disini?"

Banyak hal, yah. Kenapa saya bekerja di suatu tempat bisa jadi karena takdir, bisa jadi karena ini adalah kesempatan pertama, bisa jadi karena saya terlalu enggan untuk menunggu lama lepas dari status sarjana (gengsi dong ya, hahaha). Atau alasan lain. Persetan masa lalu, cumlaude itu mungkin mengantarkan saya memasuki suatu fase bekerja di perusahaan A, B, C (kalau saya boleh defense), namun ketika sudah terlanjur terjerumus dan kepalang basah, cumlaude hanyalah cumlaude.



"Kamu dibayar berapa, sampai seniat ini bikin project?"

Nampaknya terlalu banyak ketidakpuasan yang muncul atau timbul, ketika seseorang berkata seperti ini kepada saya. Project, bukan juga suatu media untuk show off. A lil bit, I guess. Hehehe. Mm, pada dasarnya setiap manusia akan merasa senang ketika ada hasil kontribusi diapresiasi dengan baik. Manusiawi. Itu adalah pencapaian sederhana yang manis. Jadi, kontribusi itu bukan perkara ingin naik jabatan atau perkara ingin terpandang seantero nasional, tapi... sekedar melihat ekspresi 'senang' orang lain yang berimbas dari keisengan itu, everything. Memang kalau saya tidak dibayar, saya akan diam saja dan menjalani eight-to-five dalam kejenuhan administratif? Oh man, saya bisa mati bosan!





"Kamu nggak mirip jabatan kebanyakan, yang lain kalem, tenang, dan membumi."

Nanana. Saya mungkin tidak terlalu tenang, terlalu fluktuatif, terlalu sporadis dan disorganized. Saya benci mengisi rangkaian spreadsheet, saya benci tenggat waktu untuk mengirim report, saya kesulitan dalam hal menuangkan sesuatu dalam hal sekaku tabel excel. Saya suka berinteraksi, berhubungan dan menyelesaikan banyak case meski saya juga sering terkena--rrr---komplain (?). Saya suka kerepotan sendiri mengurus suatu acara. Karena itu, mungkin saya sangat bukan tipe pemimpin yang karismatik (nggak niat ke arah situ juga, sih). Dan karena saya tahu saya bukan tipe pemimpin, saya memilih porsi lain sesuai dengan bidang saya. Sometimes under the spotlight, or dance like crazy, or solve particular probs. Tiap orang memiliki excitement masing-masing yang sangat melekat. Dan ya, kalem-tenang-membumi sangat bukan karakter saya menjalani job saya . 



"Sudah terlalu lama kamu disini, tidak ingin berkembang?"

Bukan tidak ingin berkembang. Berkembang mungkin tidak seklise naik jabatan. Memang faktanya tidak seklise itu jika berkacanya adalah dalam kasus saya. Seorang ibu dan istri, dengan rutinitas yang (seharusnya) mobile. Pada akhirnya saya lebih suka memilih salah satu. Berkembang bagi saya sebelas dua belas dengan kontribusi. In case, belum tentu seseorang yang lebih menanjak secara karir benar-benar memiliki soul atas hal yang ia kerjakan, demikian juga sebaliknya. I need more time to play around, Sir







Begitulah. 


Seperti awal-awal yang pernah saya tulis, semua ini adalah tentang berkembang di kolam kecil untuk menjadi ikan yang besar. Besar, tidak berarti sekedar perkara jabatan setinggi apa, seberapa lama kita berkarir, ataupun seberapa banyak nominal yang kita hasilkan. Paham, itu mustahil dan klise. Semua itu penting, namun dalam perspektif saya semua hal itu tidak mutlak. Mungkin disini saya sangat bersyukur memiliki suami yang sangat mendukung kegilaan dan segala excitement saya, alih-alih hanya seperti tong kosong berbunyi nyaring.


















Kamis, 30 April 2015

Counting something




Sebuah sistem dibangun pada awalnya untuk membantu mengontrol sekaligus melekatkan orang-orang di dalamnya. Dibangun dengan sederhana dan sedikit demi sedikit sampai pada suatu titik klimaks pengembangan organisasi. Beberapa organisasi memilih untuk terus berkembang dengan perlahan, beberapa lainnya memilih untuk melakukan revolusi besar-besaran. Tujuannya sama, profit. Dengan cara yang berbeda.

**

Let me say, mungkin sudah hampir empat tahun saya disini. Well, I'm not good in counting something. Entah berapa lama tepatnya saya disini.
Empat tahun yang membawa banyak proses dalam hidup saya. Metamorfosis dari anak ingusan kemarin sore yang amat sangat idealis dengan teori, menjadi rada kekinian dan berpikir praktis. 

Dalam prosesnya, mungkin saya sudah mulai lelah.
Dalam prosesnya, mungkin saya tahu ini adalah saat untuk berubah.

"Suatu organisasi hanya memberikan kesempatan belajar ideal selama dua tahun. Jika sudah lebih dari dua tahun dan masih dalam kondisi yang sama, mungkin saatnya kamu beranjak."

Dalam kondisi yang sama. Yah, itu memang yang saya pilih.
Saya mungkin terlalu takut dan malas keluar dari zona nyaman. Karena, pun sebenarnya dalam cara hidup saya adalah lebih baik berpindah ke kolam yang baru samasekali dan merintis, daripada mengubah cara pandang. Berat sekali. Dan, kadang hal itu beda tipis dengan pelarian.

 **

A sweet escape.
Saya terlalu malas untuk membereskan ini itu. Mengikuti pola yang baru. So not me. I'm a stubborn head inside.


I'm not good in counting something, til someday which is today. It's almost four years ago, S.  


What am lookin for?








Rabu, 15 April 2015

Only Dead Fish Go With the Flow



Ini stuck. Benar-benar stuck.

Pernah kah kamu merasa amat sangat stuck dan tidak tahu harus keluar dari suatu situasi?


**


Tidak peduli itu mudah, tapi menjadi peduli lebih sukar.

"Bagaimana kalau begini?"
Bodo amat lah.
"Gimana kalau acara diundur Senin?"
Persetan lah.
"Bagusnya bagaimana ya untuk prospek kedepannya."
Biarin lah.


Gampang sekali memang ya ternyata meng-lah kan segala sesuatu. Dan kali ini tetap saja stuck. Senang sih, menjadi tidak peduli. Tapi rasanya sangat garing. Dan membosankan total. Seperti berdialog dengan tembok.

Only dead fish go with the flow.






Kamis, 19 Maret 2015

I HATE SLOW





#Ihateslow.





Saya benci bertele-tele dan ketidakpratisan. For any reason.

Cukup menyebalkan, melihat suatu hal yang langsung bisa dikerjakan harus ditunda karena beberapa kesibukan, dan ketika saya berniat take over hal tersebut dari yang bersangkutan ternyata masih saja ditolak entah karena alasan tidak percaya (yang tidak disampaikan) atau alasan lain apapun.

Saya juga tidak sempurna, sih. Tapi menjadi lambat benar-benar bisa memicu rasa kesal. Gemas dan geregetan. Just delegate it. Beda kisah jika saya hanya merongrong tanpa membantu apapun, kan?

Kalau bisa cepat kenapa lambat.
Kalau praktis kenapa dipersusah.

dan serangkaian kenapa lain. *sigh












Jumat, 30 Januari 2015

An essential thing in life





Menjadi tidak peduli itu mudah, tapi menjadi peduli butuh effort luarbiasa.


**


Ada satu author yang sangat saya kagumi, bahkan sejak buku pertamanya rilis di publik. 




taken from Google


Rene Suhardono. 

Buku- bukunya terkadang memang cukup 'idealis'. Idealis dalam tanda kutip, karena idealisme itu faktanya cukup menampar saya berkali-kali. Dan bila dibaca dalam keadaan rapuh karena tekanan kerja, bisa dipastikan buku ini seakan mendorong gerakan eksodus dari pekerjaan yang sekarang. Pathetic. Hehe.

Terlepas dari spelukasi terhipnotis, saya pribadi sangat suka dengan pola pikirnya dan hasratnya untuk 'change the world' dari skala terkecil, diri sendiri. Bukan lagi perkara apa passion mu, apakah pekerjaan sekarang sudah cocok atau tidak, perusahaan sekarang sudah memfasilitasi 'kemerdekaan' berkembang atau belum, atau alasan klise dan cere seperti masalah gaji tidak sesuai, bos tidak asyik, so on.

Tidak munafik, itu kebutuhan yang cukup mendasar untuk diperhatikan. Tapi, tetap saja, rasa-rasanya ada hal lebih dari itu.
Membaca bergantian buku-bukunya semakin mengingatkan saya tentang arti berkarya. Tidak hanya berkarya untuk pribadi atau sekedar make some profits dari karya itu, tapi lebih kepada berkarya untuk berkontribusi. Minimal dengan membaca buku-bukunya saya bisa tertantang untuk lebih dari sekedar mengeluh, mencaci, dan memaki keadaan. 



**




 taken from Google



"Adain acara yuk, biar kantor ini seru!"
"Ah, nggak usah lah ya, bos nya juga nggak care."

"Ikutan kegiatan ini yuk, biar cabang kita eksis."
"Ah, ribet ah, males ngurusinnya."

Dan sederet ah-ah lain. Menjadi berbeda, bersemangat, dan berkontribusi terkadang menjadi benar-benar diperumit oleh keadaan, lingkungan, dan peers. Dan bukan sekali dua kali, beberapa orang yang tadinya berapi-api dan cukup ekstrovert mendadak terpaksa masuk kembali ke cangkangnya. Ya, dipaksa oleh keadaan.


 **


Ada satu materi kuliah psikologi saya jaman jadul yang baru saya ngeh ketika bekerja. Teori hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan tertinggi manusia sejatinya adalah pengembangan diri atau aktualisasi diri. Membaca buku Rene yang sangat menggarisbawahi passion, passion, dan passion, yah--ternyata sangat sejalan dengan teori Bapak Maslow itu. Saat kuliah, istilah 'aktualisasi' sebenarnya sangat far away dari otak saya. Dan kini saya baru ngeh dengan arti aktualisasi ini.

Setiap orang butuh eksis, bukan ala-ala selfie
Setiap orang butuh berkembang secara IQ, EQ, dan SQ
Setiap orang butuh wadah dan mentor untuk bisa mengembangkan diri

Setiap orang, termasuk saya, terkadang terjebak diantara keinginan yang sangat kuat dan menggebu untuk bisa berkontribusi dan berkarya dan berguna menciptakan sedikit perubahan (dan terkadang terkesan sok suci, munafik, pahlawan kesiangan, banci tampil, cari muka, menjilat, dan sederet label negatif lain), tapi terkadang terdesak oleh lingkungan mayoritas. 

Dan benar,


Birds of a feather flock together.

Akan lebih mudah jika ada partner dengan kesamaan visi, misi, slogan, doktrin, ataupun passion yang serupa. Akan lebih mudah ketika suatu ide bisa digagas secara tepat dan pada porsinya. Selalu tidak mudah sendirian di tengah kerumunan. Selalu ada tantangan menjadi hijau di kerumunan berwarna merah. Susah, tapi selalu ada harapan. Dan sampai pada titik ini, rasanya benar-benar seperti sudah sangat di ujung tanduk. Pada akhinya, ternyata saya baru sadar saya PUNYA yang namanya kebutuhan akan aktualisasi diri. dan ketika itu tidak terfasilitasi, tidak tertampung dengan baik, atau minimal tertanggapi dengan baik, rasanya sangat menyebalkan. 

Yah, it's sucks

Karena lebih lanjut, aktulisasi diri tidak melulu kamu resign dari suatu pekerjaan, membuat usaha sendiri, dan sebagainya dan sebagainya (well, sometimes 'make-your-own-path-by-yourself' rule sounds tempting :p). 

Aktualisasi adalah bagaimana kamu akan berkembang dan mau belajar berkembang, di situasi dan lingkungan manapun. Yah meski setiap orang bebas menentukan di media seperti apa mereka ingin dan akan berkembang, indeed

IMO, Aktualisasi juga bukan melulu mempertanyakan dan mendebat ketiadaan mentor atau wadah, sih. Terkadang dengan at least mencoba untuk berkontribusi kamu juga bisa belajar mengembangkan diri.

Ya, aktualisasi memang sangat esensial. Tapi lebih esensial lagi cara dalam mencapainya. No pain, no gain




thx Rene Suhardono, your words really an always make my day









Sabtu, 28 Desember 2013

Ceiling Roof. Um?



Wanita hamil cenderung banyak malasnya. Phew.

Berusaha melawan argumen itu... namun kondisi tubuh suka berkonspirasi melawan niat *alibi* hahaha.
Tiap pagi saya berusaha bangun pagi, minimal mengimbangi si suami yang ngantor dari rumah sejak jam lima-an. Tidak memasak, tentu. Karena pertama, suami bukan morning person with breakfast. Kedua, kemampuan masak saya yang sebenarnya masih dalam level busuk diperparah dengan distorsi indera pengecapan yang lebih suka manis daripada asin dan kesulitan menakar rasa selama kehamilan ini. Plus, hidung saya bisa amat sangat sensitif membaui bau bawang dan penggorengan sehingga HUWEK!

Dan setelah itu, kembalilah saya menjadi work woman from eight to five.

"Bu, jangan naik turun tangga."
"Bu, jangan makan sembarangan."
"Bu, jangan naik motor."

Larangan dari si teman-teman kantor yang sebenarnya : mustahil. Naik turun tangga itu otomatis, sama otomatisnya dengan saya lebih memilih naik motor daripada angkot. Makan sembarangan... saya berharap bisa menemukan resep yang amat sangat praktis, mudah, enak, menarik yang bisa dimasak menjelang berangkat ke kantor. Euh! Kadang-kadang rindu Ibu, deh. Hehehe.

**

Ngomong-ngomong soal kerjaan, entah kemana hasrat saya untuk menjadi great achiever wanita kantoran, menurun drastis pasca seremonial. 

Mungkin, karena merasa jauh lebih secure dengan suami di sisi setiap hari.
Mungkin, karena merasa kehidupan di luar kantor lebih menyenangkan.

Mungkin.

Mengingat dulu sebelum menikah saya lebih suka menjadi ala ala workaholic lembur dan bergaul. Sekarang? Hmm... Sebenarnya siapa sih yang tak ingin menjadi wanita karir? Itu cita-cita saya, sejak dulu, sebenarnya. Namun setelah menikah memang ada beberapa value yang berubah. Ehm--atau sedikit bergeser. Pun, saya tetap menolak menjadi ibu rumah tangga full time. Bukan karena mau lari dari tanggungjawab, namun karena gambaran ibu rumah tangga full time jauh dari benak saya.

**

Ibu saya adalah gambaran ideal wanita karir + istri + ibu yang baik, yang menyeimbangkan antara karir dan keluarga sampai pensiun. Sekilas saya jadi ingat peran Tidak masalah dulu kami masuk daycare atau pre-school, toh tetap di malam hari dan hari libur Ibu selalu mengajarkan cara membaca, menulis, bercerita. Memasak untuk sarapan anak-anaknya sebelum kami bersekolah, menjemput kami jika tidak dalam kondisi yang sangat riweuh di kantor. Terkadang, Ibu membawa saya ke kantor setelah dijemput dari TK. Dan saya sangat menyukainya karena teman-teman Ibu sangat baik, sampai sekarang. Dan mungkin itu alasan saya sangat menyukai atmosfir kantor ketika stres. Agak aneh sih, memang. Saya tidak pernah merasa kehilangan Ibu meski Ibu bekerja full time. Saya tetap dekat dengan Ibu hingga sejauh ini. 

Itu bedanya jika bekerja di swasta dan negeri.

**

Ketika kamu bekerja sebagai pegawai swasta, butuh effort luarbiasa untuk bisa menormalkan semuanya dalam satu garis lurus. Keluarga dan karir. Karena orientasinya jelas kepada profit dan bukan tentang abdi masyarakat. Kata teman saya,

"Company sucks your blood til the rest of your life."

Jadi ketika semangat kerja, keinginan bersaing, inovasi itu hilang atau meluntur, itu cukup menjadi lampu hijau untuk peredupan karir. Dan saya sedang berada di fase ini. Keinginan berkarir masih sama, namun dalam kondisi stagnan. Dan itu sungguh berbahaya karena saya merasa tidak kreatif dan berguna secara fungsi kontrbusi.

Hmmm... guess is it a dilemma?






Sabtu, 26 Januari 2013

Kebaikan itu gratis



Saya suka bekerja.
Ternyata.
Meski capek, pulang malam, banyak deadline, omelan bos, waktu main hilang.
Saya suka bekerja.

**

Tidak ada yang pernah mengatakan kepada saya, bahkan ketika jaman saya kuliah dan menjadi sarjana. Dunia kerja adalah dunia sebenarnya. Dan memang sebenarnya. 
Memang ada yang mengerti beban moral atau fisik yang dialami ketika bekerja, lebih baik, selain kita, si pelaku?
Ya, tidak ada. 
Hanya diri sendiri, dan Tuhan yang tahu.
Buat saya, sekarang, bekerja adalah : seberapa banyak saya bisa membuat orang lain tersenyum dengan upaya kerja saya.
Bos yang puas dengan hasil rekruitan.
User yang bisa capai target karena rekruitan saya sudah bisa produktif.
Teman-teman yang terbantu dengan saran abal-abal saya.
Ibu yang bahagia putrinya bisa 'berguna' untuk orang lain.
Nilai yang mahal.

**

Berpindah itu mudah, yang berat adalah bagaimana mempertahankan.

Bekerja dengan senyum itu susah, karena sudah bisa dipastikan ada lebih banyak aspek yang 'menyerang' seseorang untuk cemberut, menyerah, dan kalah pada keadaan.
Sialnya, and lucky me, saya rupanya tidak diberi 'kesempatan' untuk menyerah :)

**

Hari ini saya hanya mengusulkan satu hal kecil. Dan ketika hal kecil itu berdampak, rasa 'penuh' di hati yang ada. 

Ceritanya, saya hanya meminta salah seorang staf untuk berinisiatif mengadakan game untuk mengisi sesi pagi yang sangat jenuh dan membosankan. Mengingat saya adalah human capital, it's not a big deal actually. Dan ketika fulfillment yang mereka rasakan begitu 'menyentuh' saya, saya senang :)
Saya mungkin tidak terlalu peduli kalau saya menyabotase sesi pagi ini dengan game, dan bukannya sekedar achievement review
But, who care?
Tujuan saya hanya ingin menambahkan 'kebahagiaan' di ruangan saya bekerja. Sudah macam Santa, eh?
Once again, who care.
Belajar banyak adalah, setelah kamu menghabiskan begitu banyak waktu dan kesempatan dengan menangis dan meratapi, sementara ada banyak hal yang terlewat. Ada banyak yang lebih tidak beruntung.
Satu quote yang saya note sekali pagi ini :

Kebaikan itu gratis. Jadi untuk apa menjualnya secara mahal?

Karena kebaikan itu gratis, dan saya tidak punya cukup 'modal' untuk mendirikan sekolah untuk anak yatim piatu mungkin, atau mendonasikan sekian banyak dana untuk para homeless di luar sana... dan ketika saya hanya memiliki 'senyum' untuk saya bagikan. Kenapa tidak?







Minggu, 25 November 2012

Bandung in de taak : Oude & Goed



Kalau tugas negara, ke Bandung pula, apa yang bakal dicari?

Kalau saya, makanan. 
Semakin aneh, semakin bagus.
Minat saya akan makanan, kadang-kadang sedikit berbanding lurus dengan atmosfir 'langka' dari arsitekturnya.
Semakin kuno, semakin menarik...

**

Karena saya menginap di Naripan, sementara tempat bertugas adalah di Landmark, jadilah kadang-kadang suka jalan pulang pergi sepanjang Braga. Satu yang paling menarik bagi saya di sepanjang jalan itu adalah sebuah tempat makan tempo dulu, dengan tingkat kejadulan cukup tinggi. 

Sumber Hidangan, Jl Braga 20-22.


Yang dijual? Banyak. Menu jadul dengan bahasa Belanda. Top request nya adalah sederetan menu ice cream yang manis luarbiasa, seperti Snow White ice, Fosco. Untung ada penawar berupa teh tawar hangat, karena saya tidak terlalu suka manis. Untuk beberapa menu beratnya ada menu western seperti beef steak, hot dog, spaghetti. Menu eastern-nya? Well, menu nasional Indonesia macam Nasi goreng, dan banyak lagi :)
Menambah kejadulan, pelayannya pun bapak-bapak hampir limapuluhtahunan... Yang membuat saya jatuh cinta sebenarnya interiornya yang jadul aseli. Bak dilempar ke masa lalu!


Deretan kursi yang nyaman, bikin lupa waktu


 susunan lampu gantung yang semi temaram


 Dari sudut ini, aktivitas kendaraan yang lalu lalang sepanjang Braga bisa diakses dari balik jendela. Back to the past!





 Sedikit tidak terawat, namun entah kenapa plafon ini justru menambah nilai heritage bangunan


 Bagian yang menjual kue-kue jaman dulu. Harganya lumayan, karena bahan-bahan dan cara pembuatannya masih sangat tradisional. Sebut saja soes, bokkepoot, chocolade rotajes. 
 Deze buitengewone...


Roti sederhana minimalis ini, buat saya adalah street food yang sangat menolong kegilaan perut saya yang suka berulah di tengah malam. Namanya roti kukus. 

 Sangat nikmat dilahap ketika hangat. 
Puffy. Tasty. 
Gurih dengan olesan butter, roti kukus ini ada berbagai rasa. Nyum!


 Sangat cocok, dinikmati hangat-hangat di udara Bandung yang brrr...


Sekilas tadi sambil lalu saya di Bandung, yang kebetulan sedang minim hiburan saking keterbatasan waktu. Then, sayonara!

 Landscape Bandung dari atas kereta api, sekilas mengingatkan saya pada Ubud












Minggu, 23 September 2012

Money can't (always) buy happiness, ah




Kadang-kadang sugesti akan suatu hal itu sangat-sangat menjengkelkan. Konon, sebagai seorang virgo, menjadi terlalu picky dan ribet adalah salah satu ‘sugesti’ berkepanjangan.

**
Saya tipe orang yang bisa memikirkan beribu hal dalam satu waktu, dan itu membuat hari saya kurang simple. Ada kebutuhan tertentu untuk mendengarkan pendapat dan pola pikir orang lain. Saya suka sekali memasang puzzle yang berantakan menjadi gambar utuh. Bangga. Meski sebenarnya suatu hal tersebut mungkin bukan urusan saya. 
**
Sudah hampir lewat setahun ini saya bekerja di suatu perusahaan, dengan kompleksitasnya. Single fighter. Buat sebagian besar sepantaran (atau tidak) saya, apa yang saya lakukan mungkin seperti menggali lubang sendiri. Well, sebagian rekan saya bisa jadi bekerja di suatu perusahaan yang ekstra mentereng dan prestisius. And so what? Tidak banggakah saya dengan pencapaian saya sekarang? Disaat teman-teman saya sibuk menemukan jati diri dengan berpindah-pindah pekerjaan?

Saya sangat bangga, malah.

Saya belajar amat sangat banyak. Negosiasi, kepercayaan, mental. Harganya mahal, karena mengorbankan ego. Eh salah, mempertaruhkan ego. Hehehe.
Bukan perkara zona nyaman. Bukan perkara gaji.  Bukan. Bukan karena itu saya bertahan.

“Ngapain sih, kamu hobi banget mikirin hal-hal yang di luar otoritasmu?”
“Ngapain weekend gini ngomongin  kerjaan?”

Woohoo. Fyi, saya tahu cara bersenang-senang kok, anw. Tapi, ada kalanya saya butuh obrolan-obrolan berbobot di luar perdebatan politik Jokowi vs Foke. Seperti siang tadi.
**
Siang ini saya niat sekali membicarakan masalah karir, quotient, dan beda generasi pekerja jaman dulu dengan jaman sekarang dengan pimpinan cabang tempat penempatan saya.
Niat sekali, mengingat ini adalah weekend. For God’s sake, dan saya malah membahas hal yang samasekali tidak hit. It happened, anw.
Iseng, hingga sepanjang entah berapa jam bergulir.
**
Karir. Semua orang butuh karir. Nyaman. Semua orang butuh kenyamanan. Tapi lepas dari itu, manusia butuh gaji. Butuh duit. Tak peduli mau jadi kacung seperti apa, yang penting ada duitnya. Saya ingat jelas percakapan pulang kantor saya dengan seorang rekan, dengan jelas dan tegas dia berkata,

“Gue mau aja disuruh bersihin got, selama ada duitnya. Asal duitnya gede.”

Haruskah mengkacungkan diri demi uang?
Suatu pekerjaan akan menjadi kerja rodi tak berperikemanusiaan ketika dijalani hanya demi orientasi akhir uang. Sedih ya? Buat saya sih, menyedihkan.

Sesi lain, masih dengan rekan yang sama, suatu ketika dia berkata,

“Gila, gaji gue habis. Kalau kayak gini kapan gue nikah dan kaya??”

Saya menghela napas. Sebegitunya ya, uang memperbudak? Saya langsung teringat pada orangtua saya, pada staf saya, pada pemulung yang memiliki anak istri. Uang mereka mungkin tidak sebanyak keluarga teman saya itu. Tapi mereka bisa makan, bisa hidup, bisa bahagia. Bisa kok.

Balik ke topik siang tadi, si Bapak prihatin. Kenapa generasi sekarang mematok diri dengan harga yang sangat mahal, sementara pengalaman saja belum matang? Indikator sukses dilihat dari gaji besar, mobil mentereng, posisi tinggi. Yang saya amini dengan… gaji besar, mobil mentereng, posisi tinggi, plus masa kerja berabad-abad lamanya di perusahaan yang sama, apakah sudah bisa menunjukkan kontribusi diri kepada pihak lain? Sejauh mana kontribusi kita?
Loyalitas jadi semu karena sekedar masuk zona nyaman sampai mati, tanpa adanya kontribusi.
Setahun atau belasan tahun, terkadang sama-sama tak bisa kontributif.
Sudah jadi kacung, kerja rodi, kerja sebagai mesin cetak uang, tapi minus kontribusi.
Dilema itu yang sedang hangat-hangatnya merasuk pikiran. Membuat saya tertampar akhir-akhir ini. Bisa saja saya abaikan, sayangnya saya bukan orang yang bisa segampang itu mengabaikan.

Apa kontribusiku selama hampir setahun lebih disini?
Kontribusi diluar kewajiban. Karena kewajiban tak bisa ditawar, sementara kontribusi datang dari hati.

Kapan aku beranjak dari mental konsumen menjadu mental produsen?
**
Memulai, selalu menjadi hal yang susah.
Proses, adalah rutinitas yang makin bisa dinikmati seiring intensitas.
Hasil, adalah bonus akhir.
Dan mulai dari sini, saya berjanji akan menemukan dua jawaban atas dua pertanyaan saya.
**
Maafkan, pikiran saya terlalu suka berlompatan seperti bola bekel :)