Tampilkan postingan dengan label family. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label family. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Mei 2017

Harta Karun itu (masih) ada di Belantara Ibukota




Sejak kapan keranjingan bunga? Tidak  pernah. Atau setidaknya, bukan saya. Namun ternyata hobi suami ini sangat menyenangkan untuk diabadikan. Sementara ia sibuk menawar, dan saya sibuk membidik dengan lensa seadanya :')

Akhir-akhir ini cukup intens menyisihkan sereceh-duareceh untuk hunting tanaman, anggrek. Entahlah, namun anggrek tak pernah gagal membuat doi sumringah. Awal hunting dimulai sejak beberapa bulan kebelakang, diawali daerah Cibungur Purwakarta. Anggrek yang dijual disana tak terlalu variatif, namun harganya lumayan terjangkau. Bisa loh seratusribu dapat tiga! Lalu sempat hunting di Yogyakarta, di pusat tanaman hias. Terakhir meniatkan hati hunting di daerah Ciapus Tamansari, Bogor. Namun ternyata tutup. Sempat terpikir ke Kebun Raya Bogor, konon ada satu lokasi khusus menjual tanaman. Namun keinginan itu dipatahkan dengan sempurna oleh kemacetan dan hujan deras. Memeng, kalau kata orang Jawa.


Thanks to IG, it works
Ragunan? 
Iya dari Terminal Bus Ragunan masuk ke arah akses GOR Ragunan lalu ambil ke kiri, mengikuti jalan. Di kiri jalan kamu akan menemukan hartakarun!



Tempat apa?
Namanya Taman Anggrek Ragunan. 
Tak meyakinkan? Iya betul. 
Lokasi ini hampir terlewat saking penandanya tertutup tanaman-tanaman. Sedikit kurang terawat. Namun rasa penasaran jauh lebih besar karena eksistensi post terakhir hasil random search IG masih di kisaran bulan Maret-April 2017. Asumsinya, masih buka lah ya. 
Saat masuk ke lokasi parkir, hanya ada sekitar tiga mobil, dan sepi sekali. Iseng tanya ke penjual di depan lokasi, dan disarankan untuk langsung masuk saja. Fyuu-- 
Oya, masuknya gratis.


What a breathtaking view
Iya, katalog ingatan akan tanaman bagus memang masih terbatas seputaran Pulau Jawa, sih. Jadi lihat begini di tengah-tengah ibukota lumayan jadi oase. Duh mak, cantik sekali! Dan anggrek tanah cantik ini pun sukses diboyong ke rumah :) Satu pot dihargai delapanpuluh ribu rupiah. Murah? Mahal? Sudahlah, namanya juga hobi :)






Kalau tak salah sok tahu, ini Bunga Talang (atau Telang?). Beberapa saat lalu sempat ingin sekali beli versi yang sudah dikemas rapi di online-shop. Sempat ingin mengadopsi tanaman ini juga, tapi niat hati tak sedalam itu. Dipandang saja lah.


 Entah ada berapa kavling yang menjual tanaman hias. Yang pasti saat datang kesana hanya ada beberapa kavling yang buka. Tidak jelas juga apakah di hari biasa memang sesepi ini atau tidak. Namun hunting dengan kondisi yang sepi seperti memang lebih kondusif, sih :)















Eyes.





































Nah! Mengincar ini awalnya. Suka sekali dengan bunganya yang cantik dan besar. Next time, mungkin :)










Senang. 
Namun memang bukan hobi saya, sih. Sejak dulu sudah paham kalau memelihara binatang dan tanaman bukan keahlian saya. Menanam bangsa succulent yang gampang saja mati :'( 
Senang, karena pada akhirnya pria datar ini menemukan hobi terkait interaksi dengan non-benda mati. Hahaha. 



Hunting kemana lagi kita?









Sabtu, 28 Desember 2013

Ceiling Roof. Um?



Wanita hamil cenderung banyak malasnya. Phew.

Berusaha melawan argumen itu... namun kondisi tubuh suka berkonspirasi melawan niat *alibi* hahaha.
Tiap pagi saya berusaha bangun pagi, minimal mengimbangi si suami yang ngantor dari rumah sejak jam lima-an. Tidak memasak, tentu. Karena pertama, suami bukan morning person with breakfast. Kedua, kemampuan masak saya yang sebenarnya masih dalam level busuk diperparah dengan distorsi indera pengecapan yang lebih suka manis daripada asin dan kesulitan menakar rasa selama kehamilan ini. Plus, hidung saya bisa amat sangat sensitif membaui bau bawang dan penggorengan sehingga HUWEK!

Dan setelah itu, kembalilah saya menjadi work woman from eight to five.

"Bu, jangan naik turun tangga."
"Bu, jangan makan sembarangan."
"Bu, jangan naik motor."

Larangan dari si teman-teman kantor yang sebenarnya : mustahil. Naik turun tangga itu otomatis, sama otomatisnya dengan saya lebih memilih naik motor daripada angkot. Makan sembarangan... saya berharap bisa menemukan resep yang amat sangat praktis, mudah, enak, menarik yang bisa dimasak menjelang berangkat ke kantor. Euh! Kadang-kadang rindu Ibu, deh. Hehehe.

**

Ngomong-ngomong soal kerjaan, entah kemana hasrat saya untuk menjadi great achiever wanita kantoran, menurun drastis pasca seremonial. 

Mungkin, karena merasa jauh lebih secure dengan suami di sisi setiap hari.
Mungkin, karena merasa kehidupan di luar kantor lebih menyenangkan.

Mungkin.

Mengingat dulu sebelum menikah saya lebih suka menjadi ala ala workaholic lembur dan bergaul. Sekarang? Hmm... Sebenarnya siapa sih yang tak ingin menjadi wanita karir? Itu cita-cita saya, sejak dulu, sebenarnya. Namun setelah menikah memang ada beberapa value yang berubah. Ehm--atau sedikit bergeser. Pun, saya tetap menolak menjadi ibu rumah tangga full time. Bukan karena mau lari dari tanggungjawab, namun karena gambaran ibu rumah tangga full time jauh dari benak saya.

**

Ibu saya adalah gambaran ideal wanita karir + istri + ibu yang baik, yang menyeimbangkan antara karir dan keluarga sampai pensiun. Sekilas saya jadi ingat peran Tidak masalah dulu kami masuk daycare atau pre-school, toh tetap di malam hari dan hari libur Ibu selalu mengajarkan cara membaca, menulis, bercerita. Memasak untuk sarapan anak-anaknya sebelum kami bersekolah, menjemput kami jika tidak dalam kondisi yang sangat riweuh di kantor. Terkadang, Ibu membawa saya ke kantor setelah dijemput dari TK. Dan saya sangat menyukainya karena teman-teman Ibu sangat baik, sampai sekarang. Dan mungkin itu alasan saya sangat menyukai atmosfir kantor ketika stres. Agak aneh sih, memang. Saya tidak pernah merasa kehilangan Ibu meski Ibu bekerja full time. Saya tetap dekat dengan Ibu hingga sejauh ini. 

Itu bedanya jika bekerja di swasta dan negeri.

**

Ketika kamu bekerja sebagai pegawai swasta, butuh effort luarbiasa untuk bisa menormalkan semuanya dalam satu garis lurus. Keluarga dan karir. Karena orientasinya jelas kepada profit dan bukan tentang abdi masyarakat. Kata teman saya,

"Company sucks your blood til the rest of your life."

Jadi ketika semangat kerja, keinginan bersaing, inovasi itu hilang atau meluntur, itu cukup menjadi lampu hijau untuk peredupan karir. Dan saya sedang berada di fase ini. Keinginan berkarir masih sama, namun dalam kondisi stagnan. Dan itu sungguh berbahaya karena saya merasa tidak kreatif dan berguna secara fungsi kontrbusi.

Hmmm... guess is it a dilemma?