Sabtu, 28 Desember 2013

Ceiling Roof. Um?



Wanita hamil cenderung banyak malasnya. Phew.

Berusaha melawan argumen itu... namun kondisi tubuh suka berkonspirasi melawan niat *alibi* hahaha.
Tiap pagi saya berusaha bangun pagi, minimal mengimbangi si suami yang ngantor dari rumah sejak jam lima-an. Tidak memasak, tentu. Karena pertama, suami bukan morning person with breakfast. Kedua, kemampuan masak saya yang sebenarnya masih dalam level busuk diperparah dengan distorsi indera pengecapan yang lebih suka manis daripada asin dan kesulitan menakar rasa selama kehamilan ini. Plus, hidung saya bisa amat sangat sensitif membaui bau bawang dan penggorengan sehingga HUWEK!

Dan setelah itu, kembalilah saya menjadi work woman from eight to five.

"Bu, jangan naik turun tangga."
"Bu, jangan makan sembarangan."
"Bu, jangan naik motor."

Larangan dari si teman-teman kantor yang sebenarnya : mustahil. Naik turun tangga itu otomatis, sama otomatisnya dengan saya lebih memilih naik motor daripada angkot. Makan sembarangan... saya berharap bisa menemukan resep yang amat sangat praktis, mudah, enak, menarik yang bisa dimasak menjelang berangkat ke kantor. Euh! Kadang-kadang rindu Ibu, deh. Hehehe.

**

Ngomong-ngomong soal kerjaan, entah kemana hasrat saya untuk menjadi great achiever wanita kantoran, menurun drastis pasca seremonial. 

Mungkin, karena merasa jauh lebih secure dengan suami di sisi setiap hari.
Mungkin, karena merasa kehidupan di luar kantor lebih menyenangkan.

Mungkin.

Mengingat dulu sebelum menikah saya lebih suka menjadi ala ala workaholic lembur dan bergaul. Sekarang? Hmm... Sebenarnya siapa sih yang tak ingin menjadi wanita karir? Itu cita-cita saya, sejak dulu, sebenarnya. Namun setelah menikah memang ada beberapa value yang berubah. Ehm--atau sedikit bergeser. Pun, saya tetap menolak menjadi ibu rumah tangga full time. Bukan karena mau lari dari tanggungjawab, namun karena gambaran ibu rumah tangga full time jauh dari benak saya.

**

Ibu saya adalah gambaran ideal wanita karir + istri + ibu yang baik, yang menyeimbangkan antara karir dan keluarga sampai pensiun. Sekilas saya jadi ingat peran Tidak masalah dulu kami masuk daycare atau pre-school, toh tetap di malam hari dan hari libur Ibu selalu mengajarkan cara membaca, menulis, bercerita. Memasak untuk sarapan anak-anaknya sebelum kami bersekolah, menjemput kami jika tidak dalam kondisi yang sangat riweuh di kantor. Terkadang, Ibu membawa saya ke kantor setelah dijemput dari TK. Dan saya sangat menyukainya karena teman-teman Ibu sangat baik, sampai sekarang. Dan mungkin itu alasan saya sangat menyukai atmosfir kantor ketika stres. Agak aneh sih, memang. Saya tidak pernah merasa kehilangan Ibu meski Ibu bekerja full time. Saya tetap dekat dengan Ibu hingga sejauh ini. 

Itu bedanya jika bekerja di swasta dan negeri.

**

Ketika kamu bekerja sebagai pegawai swasta, butuh effort luarbiasa untuk bisa menormalkan semuanya dalam satu garis lurus. Keluarga dan karir. Karena orientasinya jelas kepada profit dan bukan tentang abdi masyarakat. Kata teman saya,

"Company sucks your blood til the rest of your life."

Jadi ketika semangat kerja, keinginan bersaing, inovasi itu hilang atau meluntur, itu cukup menjadi lampu hijau untuk peredupan karir. Dan saya sedang berada di fase ini. Keinginan berkarir masih sama, namun dalam kondisi stagnan. Dan itu sungguh berbahaya karena saya merasa tidak kreatif dan berguna secara fungsi kontrbusi.

Hmmm... guess is it a dilemma?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar