Rabu, 06 November 2019

[Walk-the-Talk] : Kebaikan dalam Sebuah Rantang Gratisan








Tulisan ini barangkali adalah hutang terlama saya sejak awal tahun. Terlebih setelah hiatus lama pasca-melahirkan ditambah domain yang satu lagi tak terurus. Jadilah, rutinitas Walk-the-Talk tempo hari saya lanjutkan di sini.

So, here we go.



**


Saya tanpa sengaja menemukan akun @anakkostlaparmedan saat saya iseng mencari tentang informasi katering rumahan. Dan berakhir dengan rasa penasaran karena kok ada yang kepikiran untuk berbuat semacam itu.

Ada banyak sekali pertanyaan dalam benak saya setelah mengobrol panjang dengan Putri--pemilik akun ini. Yang paling utama adalah, bagaimana mungkin kamu bisa percaya dengan orang--dalam hal ini adalah mahasiswa--yang mengaku lapar sekian hari tidak makan untuk mendapatkan makanan, GRATIS?



**



@anakkostlaparmedan , diinisiasi oleh Putri dari Bali. Kebetulan ia memang tinggal di Bali, sementara keluarga besarnya tinggal di Medan. Alasannya sederhana, konon saat ia kuliah dulu, ada temannya yang tak memiliki uang untuk makan padahal si teman adalah pribadi yang pintar secara akademis.

Hal sederhana (dan mungkin bagi sebagian orang terkesan klise) tersebut, akhirnya bergulir menjadi sesuatu yang lebih besar. Dalam praktiknya, Putri tidak bekerja seorang diri. Ia dibantu keluarganya, dimana sang kakak yang memiliki katering pun turut serta membantu prosesnya.

Saya lumayan kaget, ketika tahu bahwa sasaran akun ini tidak hanya  anak-anak kuliah yang dikenal (inner circle's founder)--tapi SIAPAPUN.

Bayangkan saja, siapapun bebas menghubungi kontak @anakkostlaparmedan di jam berapapun (begitu obrolan terakhir kami) semisal dia lapar. Nantinya ada pilihan apakah si pemohon ini akan membayar (semampunya) atau gratis sama sekali. Yang lebih luar biasa, bahkan makanan bisa diantarkan semisal si pemohon sungguh tak mampu datang.



Tumpukan menu yang siap diantar atau diambil langsung.



Huhu, hati kecil saya tentu protes keras mendapati hal yang terkesan tidak realistis ini :")

"Mbak, bagaimana kalau kamu sampai dibohongi?"
"Nggak rugi kah, Mbak?"
dsb, dsb :(

Menurutnya, ada sejumlah cara untuk mengetahui apakah si mahasiswa berbohong atau tidak. Namun menurut saya pribadi, ada campur tangan Tuhan disini yang membantu. Just because she's a kind-hearted person :)

Terus terang, ada banyak hal yang saya obrolkan dengan Putri. Dari proses memasak, perputaran uang--mengingat konsep dari gerakan ini adalah semacam sedekah, hingga mimpi-mimpi. 

Akun ini, dibangun atas dasar kekeluargaan. Kak Ledy--sang kakak, membantu dengan memasak (psst, kalau iseng mampir ke akun anakkostlapar dan melihat deretan foto menu menggugah selera, itu lah masakan Kak Ledy :)), lalu si Abang pun yang mengantar paket makanan semisal dalam kondisi khusus.

Nah, namun meski 'kekeluargaan', gerakan kecil ini memiliki kas tersendiri dengan metode subsidi silang. Lebih lanjut, konsep kebaikan ini bercita-cita tak hanya berhenti pada rantang makan, namun cakupan yang lebih luas. Bergerak dalam misi kebaikan seperti ini tentu tak mudah. Kepercayaan pun juga tak semudah itu di dapat. Bahkan tak hanya sekali dua kali kebaikannya disalahgunakan. Yah, tapi hal itu rupanya tak menyurutkan semangatnya untuk '?membesarkan' gerakan ini.

"Kami ingin kelak bisa lebih terbuka lapangan kerja yang lain untuk anak muda, Mbak. Entah itu laundry, menjual kaos, apapun." katanya.



Mereka yang datang, mereka yang lapar.
Saya terkadang masih tak habis pikir bagaimana kebaikan bisa bekerja  demikian ajaib,
di hati beberapa orang.



Kalimat itu terus terang membuat saya lumayan tersentak. Fisik yang sehat nan aktif, adalah nikmat tertinggi yang dimiliki seseorang dalam rentang usia dewasa muda, kan? Dimana seharusnya kerja keras dengan cerdas adalah satu-satunya jalan untuk 'hidup', menolak nglokro--lesu, kalau kata orang jawa.

Ironis memang, karena tak hanya sekali dua kali pintu mobil diketuk sejumlah pemuda yang memilih sekedar meminta-minta. Atau dalam kondisi yang lebih baik, keluhan tak berujung di sebuah kubikel kala mendapat 'sedikit' teguran dari atasan karena satu kesalahan lalu berlanjut pada status-status tak senonoh di media sosial *eh

Ah, mengambil sisi positif atas suatu hal memang tak selalu mudah :')

Barangkali cita-cita Putri terkesan idealis, namun toh ia memulainya dalam tindakan-tindakan kecil yang terlihat.

Kita, bagaimana?



**



Untung rugi, seyogyanya memang relatif. Namun berbuat baik, adalah pilihan yang bisa dilakukan siapapun. @anakkostlaparmedan , muncul tidak hanya karena alasan pertemanan. Namun lebih lanjut, sebagai bentuk refleksi perempuan lulusan D3 Pariwisata - Usaha Wisata USU ini atas rasa syukur atas apa yang dimiliki sekarang.

Juni tahun lalu, ibu Putri berpulang. Hancur? Tentu. Dulu ia merantau ke Bali bukannya tanpa alasan. Menyenangkan Mamak--begitu ia memanggil ibu--adalah tujuan utamanya. Bahkan hasil kerja keras telah ia sisihkan sedemikian rupa untuk mengajak sang ibu ke Singapura.

"Setibanya sudah terkumpul uang, Mamak justru dipanggil Tuhan. Terpikir untuk apa semuanya saya lakukan toh juga Mamak sudah tidak ada. Saya keluar dari pekerjaan, pindah dari kos lama, hanya karena kenangan akan Mamak yang sedemikian kuat."

Dalam proses recovery yang tak mudah, pada akhirnya Putri mulai membuka diri kembali. Ia tergerak untuk bangkit , demi menyadari bahwa alasan dia hidup bukan hanya untuk sang Mamak, namun juga untuk banyak orang :)

Ah ya, saya sempat pula mengintip channel YouTube-nya disini. Awalnya saya pikir isinya hanya sekedar tentang daily life-nya selama di Bali. Eh tidak loh. Bahkan ada serangkaian 'amunisi' A-Z tentang bagaimana ia bisa bertahan di  Bali dari nol :)

Beberapa orang mungkin akan berkomentar remeh,

"Elah, sudah banyak kali yang seperti itu. Yang lebih ABCDESZ, banyak! Apa istimewanya?"

Istimewanya, ia memulainya dengan satu langkah nyata. Tidak sekedar nyinyir, tidak hanya berkomentar atau perang jempol di media sosial.

Istimewanya, ia merangkul semua orang yang mungkin tidak ia kenal, ia membagikan 'cara' menemukan kebahagiaan melalui kerja keras dan berbuat baik.





Menu masakan rumahan. Duh, saya saja lapar melihat foto ini :")
 Terlihat sederhana, namun sebenarnya sungguh lebih padat gizi dari pada menu-menu siap saji
ala jaringan kuliner ternama :')



She's one of a kind.



**



Saya masih dan selalu percaya, bahwa berbuat baik memang seharusnya tidak pernah melihat latar belakang apapun. Menjadi baik, ya baik saja. Kepada semua orang, kepada setiap makhlukNya. Tanpa perlu ditimbang untung ruginya, anggap saja sebagai tabungan di akhirat nanti.

Dan lagi-lagi, menjadi baik itu sangat mudah. Lakukan saja. Karena yang paling adil membuat penilaian baik/buruk, halal/haram, pantas/tidak bukanlah manusia/netizen yang terhormat/warga negara berflower/warga +62, namun Alloh--pemilik semesta alam.



@putripablo















Jumat, 01 November 2019

Sabar atau sadar?




Saya tahu ada yang tidak 'sehat' dengan diri sendiri saat mengalami banyak kemarahan dan banyak iri. Huh, dengki itu benar penyakit hati kok. Hahaha.

Jika dulu saya percaya pada teori bahwa saya harus lebih banyak bersabar, tidak kali ini.

Sudah beberapa minggu terakhir ini saya mencoba lebih 'sadar' alih-alih sekadar 'sabar' dengan apa yang terjadi dalam diri, mencoba mencari akar sebabnya dulu alih-alih mencari pelarian dengan hal-hal yang sifatnya temporer : makan coklat, membeli buku, mengobrol tentang isi hati,dan sebagainya.




**


Ada satu tulisan menarik dari Mbak Hanny di blog-nya. Tentang self-care. dan saya pikir itu relevan sekali :)

Tulisan itu kemudian membuat saya ingat kembali pada yang satu ini,

Harus selesai dengan diri sendiri sebelum memikirkan orang lain

Kalimat yang muncul di suatu hari saat mendapati Ibu yang kelelahan setelah hari-hari di rumah sakit bersama Bapak. 

Ew, seems like a strong words, huh? And slightly egocentric, nah?

Tapi sebenarnya begini,


**



Saya mempelajari psikologi saat kuliah, dan sampai sekarang masih jatuh cinta dengan teori Abraham Maslow--iya, yang tahap kebutuhan manusia itu; dimana untuk 'naik kelas' ke kebutuhan selanjutnya maka kebutuhan sebelumnya harus selesai atau dipenuhi terlebih dulu.

Selama sekian tahun saya terjebak dengan melakukan serangkaian keinginan orang lain, tak mampu menolak atau berkata tidak, dan akhirnya saya menemukan diri saya tertekan. Sedikit banyak sarkasme dan residu negatif saya timbul akibat represi ini :))



**


Tentang kemarahan dan dengki tempo hari, saya sadar bahwa paparan negatif itu sudah sampai pada tahap memusingkan, sehingga mau tak mau saya harus melakukan screening diri. Elah bahasanya, screening. Eh tapi benar deh, bukan hanya kondisi fisik saja yang harus rutin menjalani medical check-up, jiwa pun. Karena setiap emosi negatif, sebenarnya memiliki sebab. Baik secara langsung, maupun tidak langsung. Ndak ujug-ujug datang begitu saja, sih.

Dalam kasus saya, menurut kontemplasi ((kontemplasi)) tempo hari, saya masih menyisakan baby blues dan post-power syndrome.

"Ya ampun, kan sudah lama."

Betul. Karena itu pasti ada yang salah, kan. Sungguh, self-esteem 'diserang' oleh pikiran sendiri itu ironis loh. Pikiranmu sendiri mem-bully jiwamu ki konyol tenin :')

Dan akhirnya, untuk berdamai dengan kegilaan yang lumayan bikin swing mood itu, saya memutuskan untuk benar-benar meluangkan waktu khusus untuk melakukan yang saya bisa (agar merasa capable dan utuh kembali, karena permasalahan saya adalah pada post-power syndrome ). Dan setelah diri merasa 'penuh' barulah saya mencoba untuk berdiskusi lagi dengan para bayi yang memang sedang super aktif plus sedang super njelei itu. Saya tidak memungkiri bahwa rutinitas yang sama setiap hari ini lumayan bikin stress, kok. Jadi mau tak mau saya harus menemukan polanya dulu, menyeimbangkan antara apa yang saya mau dan apa yang harus saya lakukan sebagai tanggung jawab. 

Jadi, bereskan dahulu isi kepala, urai satu-satu, baru mengurus hal-hal di luar diri. Niscaya ((niscaya)) akan lebih sehat si jiwa ceunah.

*Heiii, Bapak Rugrats! Aku mencoba mengamalkan saran-saranmu lagi, nih!


**


Serius, menyadari pusaran emosi dalam diri ini sungguh bagus kok. Karena setelahnya (meskipun ini proses yang panjang), diri terasa lebih mampu bersiap dengan kemungkinan-kemungkinan pemicu yang membuat suasana hati buruk.

Well, somehow 'it's okay not to be okay' is the best way to maintain your mental health.


Anyway, memiliki kontrol terhadap diri memang tak selalu mudah. Namun itulah hal terbaik dan lebih mudah dilakukan daripada mengatur mulut dan isi kepala orang lain :)






Jumat, 27 September 2019

Dunia Saat Ini


Pada beberapa titik, dunia maya itu melelahkan. Sungguh.

Saya bicara begitu lebih karena saya mengalaminya; segala unsur psikosomatis akibat paparan berita yang terlalu negatif.

Betul, berita negatif memang sangat mudah dijual (dan digoreng). Namun ternyata, sangat mudah juga 'menyerang' kesehatan jiwa.

"Ah, mental kamu lemah berarti."

Ahahaha. Mungkin ya.

Tidak cuma sekali saya mendiskusikan ini dengan Bapak Rugrats, bahwa menjadi bahagia di masa seperti sekarang ini bisa jadi sangat sederhana atau bahkan sangat rumit. Saya mengalaminya.

Dan ketika saya sering merasa panik mendadak, saya tahu ada hal yang harus saya lakukan.

Ada serangkaian akun di media sosial yang terpaksa saya unfollow, sejumlah tautan otomatis yang saya skip saat membaca kata kunci yang memicu rasa panik, dan lebih banyak membenamkan diri di proyek-proyek gambar. Saya akui, menggambar masih menjadi bentuk penenang yang sama efekifnya dengan Xanax.

Beberapa tahun lalu, saya pikir microblogging adalah hal luar biasa. Tapi setelah semua orang seakan mempu berpendapat tanpa tahu benar atau salah, berdasar atau tidak, rasanya itu semua menjadi semakin mengerikan.

Kadangkala saya tak paham cara kerja dunia ini.

"Itu biasa." kata Bapak Rugrats.

Biasa, namun dalam dunia kecil saya, yang terjadi adalah sebaliknya. Entah kenapa saya selalu percaya bahwa kedamaian adalah benar ada, bahwa seharusnya alam dan manusia bisa bersinergi bersama, bahwa menjadi orang baik adalah selalu menjadi pilihan mutlak. Namun tak semua orang berpikir hal yang sama. Ada banyak sekali kepentingan yang terjadi di luar sana, banyak sekali hal-hal tidak penting yang bersinggungan--yang sayangnya, menyengsarakan banyak orang.

Memikirkan itu semua, kepala rasanya sedemikian pening.

Minggu, 28 Oktober 2018

Here & Now : Memperlambat Langkah, Jiwa yang Sehat



Siapapun yang mengenal saya, pasti tahu (dan mungkin kesal) karena saya termasuk orang yang keras kepala.

Virgo, konon adalah pribadi yang susah menaruh percaya plus overthinking. Jadi terkadang hidupnya kurang praktis 😂
Yha~ saya banget.

--



Pernah melihat film Sarah Jessica Parker selain peran ikoniknya di Sex and the City? Judulnya I Don't Know How She Does it.

Di film tersebut Parker berperan sebagai Kate Reddy, seorang wanita karir yang berjuang mati-matian menyeimbangkan urusan kantor dengan rumah.

Semua tampak 'normal' dan baik-baik saja, hingga pada satu titik ia memiliki masalah prioritas. Pada akhirnya, Kate 'dipaksa' rasional agar kehidupannya tak hancur lebur.

Dan perkara manajemen prioritas, adalah hal yang menjadi momok bagi saya akhir-akhir ini.

--

Pengilustrasi paruh waktu, kadang menulis, atau mengurus usaha kecil skala rumahan. Urusan domestik rumah tangga lain; mencuci, memasak, setrika~semuanya.

Jujur saja, saya berharap mampu menyelesaikan kedua sisi itu--urusan rumah dan kesempatan mengaktualisasi diri lewat medium gambar dan tulisan--secara imbang. Agak susah saya abaikan sih, karena dengan memiliki agenda menggambar dan menulis membuat saya tetap 'waras' dan terhindar dari baby blues kelahiran anak kedua/post-power syndrome pasca resign, sekaligus.

Deretan deadline yang kadang membuat kepala pecah dan serba salah~

Dan ya, kadang-kadang saya terjebak dengan pengaturan prioritas atas semua hal diatas. Rasanya ingin membelah diri sebanyak mungkin. Persis seperti peran Sarah Jessica Parker di film tadi.

Beberapa kali pula Bapak Rugrats sudah mencoba mengingatkan, namun selalu saya abaikan.

"Aku nggak papa kok. Aman~"

Kenyataannya, otak saya berkejaran dengan waktu. Setiap detik.

Tubuh saya sudah seperti robot yang diatur otomatis otak, setiap hari melakukan serangkaian agenda yang tak habis-habisnya. Meski lelah, toh saya masih kerap menyangkal diri sendiri.

"Ini bagian dari rencana. Ini upaya untuk menggenapi cita-cita."

Semua masih baik-baik saja, hingga beberapa hari berselang.

--

Tengah malam lalu saya merasa tak enak badan. Kepala pengar, perut begitu begah, pusing. Jantung saya berdebar dengan cepat. Badan saya remuk redam, namun lagi-lagi otak saya tak menerima kondisi itu.

'Aduh, jangan sakit. Jangan capek. Masih banyak hal-hal yang kudu rampung minggu ini~'

Saya mencoba tidur, namun badan makin tak karuan. Nggregesi, kalau kata orang jawa.

Setelah sekian menit yang sangat tak nyaman, saya terpaksa membangunkan Bapak Rugrats.

"Ke dokter ya." katanya.

"Nggak ah! Masak kayak gini aja ke dokter!" saya--si keras kepala--lagi-lagi protes.

Bapak Rugrats menyerah. Tak ingin berdebat lebih lanjut karena sudah malam, ia menyodorkan minyak kayu putih.

"Coba istirahat dulu."

Kali ini saya menurut. Malam itu saya mencoba tertidur meski tak nyenyak.

--

Paginya, saya bangun agak terlambat. Badan masih terasa di awang-awang. Terbangunpun gara-gara mendengar suara air dituang, disertai aroma jahe yang menguar.


"Bikin apa?" tanya saya. Tentu masih mengantuk luar biasa.

Bapak Rugrats menghampiri sambil menyodorkan cangkir.

"Ini, diminum."

Dahi saya mengernyit.


Satu gelas minuman jahe, lengkap dengan irisan jahe tipis-tipis.

"Wedang jahe?" Aroma jahenya sih, cukup kuat.
"Herbadrink. Jahe."


Saya melotot.
"Ih, serbuk instan? Nggak ah!" tolak saya mentah-mentah.

Jujur, saya agak antipati dengan serbuk atau minuman instan. Beberapa bulan yang lalu Bapak saya masuk ICU gara-gara drop. Kadar gulanya tinggi. Dua tante saya, (maaf) meninggal karena hobi mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan. Plus, konon diabetes ini penyakit yang diturunkan lintas generasi-lintas gender. Ngeri, ah!

Seperti sudah tahu saya akan bereaksi seperti tadi, Bapak Rugrats menyodorkan bungkus kosong Herbadrink jahe.

Saya melirik tulisan kecil di bagian kanan bungkus.

Bebas gula.

'Ah, bebas gula. Ini sih akal-akalan marketing. Mau ditempel tulisan bikin langsing mah bisa aja juga. Wong namanya jualan~' pikir saya skeptis.

Dan, seakan sudah mahfum dengan pikiran saya barusan, Bapak Rugrats membuka smartphonenya. Beberapa jurnal kesehatan luar dengan kata kunci sama dengan satu komponen di bagian belakang bungkus tadi : sucralose.

Oya, di klik saja gambarnya biar lebih jelas tulisan jurnalnya ya!

Jurnal pertama. Secara garis besar isi penelitian ini membahas pengaruh sucralose pada penderita Diabetes Melitus tipe 2. Sucralose tidak menambah ataupun mengurangi kadar gula dalam darah.


Jurnal kedua. Nah, kalau bagian ini merupakan 'penegasan' bahwa sucralose sudah teruji secara ilmiah; tidak memiliki efek pada kadar gula darah dan insulin (monggo dicek bagian kesimpulan, ya). Sugar-free, worry-free!

Saya membacanya sekilas, lalu nyengir.
"Segininya banget, ya~ sampai dicariin jurnal."

Giliran Bapak Rugrats yang mendengus,
"Habis, kalau nggak begini kamu ngeyel sih!"

Ha! Ah, you know me so well. Five years of marriage and still counting ðŸ™ˆðŸ˜‚



Kali ini saya menurut. Satu gelas minuman jahe instan tandas dalam sekali tegukan. Rasanya mengingatkan saya pada wedang jahe angkringan dekat rumah yang kerap membuat saya rindu Yogyakarta dan Ibu.

Iya. Ibu, dengan segala keyakinannya akan rempah-rempah dan jamu.

Susah makan, anak-anaknya diboyong ke depot Jamu Ginggang di Pakualaman. Sari temulawak pahit diperas di dalam sapu tangan bersih disertai 'tombo pait' nya, gula asem yang legit.

Belum lagi kalau kami yang bukan penggemar sayur ini mulai rewel perut. Ibu akan buru-buru memetik lidah buaya untuk dimasak jadi agar-agar. Daging lidah buaya dipotong-potong dadu, lalu setelah dicuci bersih direndam campuran air, garam, serta kapur sirih selama satu jam--sebelum dimasak dalam didihan air garam, pandan, dan jeruk.

Sekarang? Wah, dengan masalah terbesar saya saat ini yang susah membagi waktu, minimal saya menurut Bapak Rugrats deh, membuat minuman sehat ala Herbadrink. Pas, sebagai penolong orang seperti saya yang banyak mau tapi malas ribet 😅😂

Toh, variannya banyak. Sari jahe, sari temulawak, dan lidah buayaSo, bye-bye doctor for a while? 😂

--

Entah sugesti atau apa, esoknya badan saya terasa lebih enteng. Alih-alih membombardir diri dengan ini itu, saya memutuskan untuk memperlambat ritme.



Kalau sudah begini, kilasan kuliah saya di psikologi lagi-lagi melesak keluar dari ingatan.

Here and now.

Satu prinsip dalam terapi Gestalt yang digagas Frederick Perls. Dan kutipan favorit saya,

I do my thing and you do yours. I'm not in this world to live up to your expectations, and you are not in this world to live up to mine. You are you, and I am I, and if by chance we find each other, then it's beautiful. If not, it can't be helped.

...and if by chance we find each other, then it's beautiful...

Saya pikir memang begitulah Tuhan mengolah semesta. Saya yang susah diyakinkan-ngeyel-mudah dibuat pusing oleh hal sederhana, dipertemukan dengan Bapak Rugrats yang relatif lebih efisien plus tak ambil pusing. Saya yang ngoyo sekali ingin menghajar semua pekerjaan hingga tuntas, namun badan justru mengirim sinyal untuk stop.


Pagi itu saya kembali diajarkan--tanpa sengaja, tentu--pentingnya melambatkan langkah, untuk menikmati momen. Lagipula kalau sampai ambruk lagi, yang ada pekerjaan malah makin menumpuk kan?

Ah, hari mendung. Secangkir (lagi) minuman jahe bebas gula, kenapatidak?

--

Rasanya hangat, sampai ke hati.







Selasa, 12 Juni 2018

Halo, Ujian Kehidupan!



It takes two to tango.
Karena itu beberapa hal memang diciptakan berpasangan, kan?




"Aku besok pulang ya. Flight paling malam."
"Serius?"
"Iya."
Seharian itu aku tak bisa tenang. Rasanya seperti bahagia dan tak sabar yang bercampur. Sibuk memikirkan agenda apa yang bisa dilakukan bersama.




Kupikir, Tuhan memang selalu memiliki master-plan yang tidak dapat dibantah. Meski seringkali hambaNya ngeyel dan sok tahu, melobi ini itu.

"Kenapa begini, Tuhan?"
"Aku sudah merencanakannya, Tuhan. Kenapa mendadak terjadi~"

Iya.
Kadangkala manusia terlalu sombong untuk mengamini dahulu setiap kehendak yang melewati ujian.
Tak sanggup, katanya.
Kataku juga.




Aku berusaha menghitung,
berapa kali mencoba membantah, menangis, marah--ketika rencanaku di utak-atik oleh Tuhan?
Banyak, tak terhitung.




Pada akhirnya kita hanya akan menertawakan masa lalu,

 


menertawakan ketidakmampuan kita untuk menerima ujian di awal dulu,




mengeluh, menolak peluh.




menutup diri,




melupakan fakta bahwa Tuhan itu luarbiasa dengan ujiannya.




Ujian-ujianmu itu, berbeda dari soal matematika di ujian kelulusan sekolah menengah. Atau ujian masuk universitas bergengsi. Atau ujian lamaran beasiswa ke luar negeri.




Diam-diam,
Tuhan sudah mempersiapkan kunci jawaban di antara tanda-tanda yang tidak terlihat mata, didengar telinga, atau diucapkan lisa.
Sadar?




Selalu ada jawaban dan akhir yang baik menurutNya. Selama kamu bersetia pada upaya dan tak terputus doa.




Seperti waktu itu.




"Aku dipindahtugaskan."
"Kapan?"
"Akhir bulan."
Rasanya mengerikan. Aku sudah hampir yakin aku akan lumpuh secara mental. Bagaimana bisa aku bertanggungjawab seorang diri? Dan ribuan bagaimana-bagaimana lain. Tentu, aku ingin menyerah saat itu. Karena menyerah selalu tampak mudah, kan?




Lalu di suatu titik, aku tersadar.
"Lepaskan satu. Atau beberapa."
Rela? Belum!
Aku masih selalu bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa. Masih terus meragukan jalan pikir Tuhan. Manusia diliputi egoisme luarbiasa, ah ya.




Pernah mendengar kisah tentang seekor monyet yang tangannya terjebak dalam kaleng dan tidak bisa keluar--ulah para pemburu--hanya karena si monyet nekat menggenggam seluruh kacang dalam kaleng--memaksa tangannya keluar sekaligus beserta seluruh kacang? Akhirnya tangannya terluka sekaligus ditangkap oleh pemburu.

Ego manusia, jika diibaratkan bisa jadi begitu.




Jangan lupa juga, dengarkan tubuhmu. 
Beberapa pertanda, kadangkala muncul dari gerakan indra.
Entah berapa kali aku mengeluh ingin pingsan. Terlepas dari apakah itu sugesti yang menjurus psikosomatis, pada akhirnya aku paham,

Berhenti. Energimu sudah nyaris terkuras. Hidup tak melulu harus berlari untuk mengejar mimpi, ya? Coba nikmati sebentar, sekelilingmu. Siapa tahu ada yang terlewat




Eh sebentar. Mengejar mimpi, atau memaksakan diri?




Sedikit-sedikit, kini aku mulai bisa berkata padamu,

"Hei, jangan khawatir. Aku sekarang lebih berdaya. Meskipun masih selambat siput."




Mari, melanjutkan perjuangan.




Tuhan Maha Adil.
Per penantian akan diganjar kenyataan. Bisa sama, bisa berbeda.
Aku pikir, itu tidak masalah.
  


Yang penting jangan menyerah.




Kan?



















It takes two to tango, right?









 
Greenhost Boutique Hotel
Jl Prawirotaman 2 No 629
Brontokusuman, Mergangsan
Yogyakarta 55153
+2 274 389 777