Siapapun yang mengenal saya, pasti tahu (dan mungkin kesal) karena saya termasuk orang yang keras kepala.
Virgo, konon adalah pribadi yang susah menaruh percaya plus overthinking. Jadi terkadang hidupnya kurang praktis 😂
Yha~ saya banget.
--
Pernah melihat film Sarah Jessica Parker selain peran ikoniknya di Sex and the City? Judulnya I Don't Know How She Does it.
Di film tersebut Parker berperan sebagai Kate Reddy, seorang wanita karir yang berjuang mati-matian menyeimbangkan urusan kantor dengan rumah.
Semua tampak 'normal' dan baik-baik saja, hingga pada satu titik ia memiliki masalah prioritas. Pada akhirnya, Kate 'dipaksa' rasional agar kehidupannya tak hancur lebur.
Dan perkara manajemen prioritas, adalah hal yang menjadi momok bagi saya akhir-akhir ini.
--
Pengilustrasi paruh waktu, kadang menulis, atau mengurus usaha kecil skala rumahan. Urusan domestik rumah tangga lain; mencuci, memasak, setrika~semuanya.
Jujur saja, saya berharap mampu menyelesaikan kedua sisi itu--urusan rumah dan kesempatan mengaktualisasi diri lewat medium gambar dan tulisan--secara imbang. Agak susah saya abaikan sih, karena dengan memiliki agenda menggambar dan menulis membuat saya tetap 'waras' dan terhindar dari baby blues kelahiran anak kedua/post-power syndrome pasca resign, sekaligus.
Deretan deadline yang kadang membuat kepala pecah dan serba salah~ |
Dan ya, kadang-kadang saya terjebak dengan pengaturan prioritas atas semua hal diatas. Rasanya ingin membelah diri sebanyak mungkin. Persis seperti peran Sarah Jessica Parker di film tadi.
Beberapa kali pula Bapak Rugrats sudah mencoba mengingatkan, namun selalu saya abaikan.
"Aku nggak papa kok. Aman~"
Kenyataannya, otak saya berkejaran dengan waktu. Setiap detik.
Tubuh saya sudah seperti robot yang diatur otomatis otak, setiap hari melakukan serangkaian agenda yang tak habis-habisnya. Meski lelah, toh saya masih kerap menyangkal diri sendiri.
"Ini bagian dari rencana. Ini upaya untuk menggenapi cita-cita."
Semua masih baik-baik saja, hingga beberapa hari berselang.
--
Tengah malam lalu saya merasa tak enak badan. Kepala pengar, perut begitu begah, pusing. Jantung saya berdebar dengan cepat. Badan saya remuk redam, namun lagi-lagi otak saya tak menerima kondisi itu.
'Aduh, jangan sakit. Jangan capek. Masih banyak hal-hal yang kudu rampung minggu ini~'
Saya mencoba tidur, namun badan makin tak karuan. Nggregesi, kalau kata orang jawa.
Setelah sekian menit yang sangat tak nyaman, saya terpaksa membangunkan Bapak Rugrats.
"Ke dokter ya." katanya.
"Nggak ah! Masak kayak gini aja ke dokter!" saya--si keras kepala--lagi-lagi protes.
Bapak Rugrats menyerah. Tak ingin berdebat lebih lanjut karena sudah malam, ia menyodorkan minyak kayu putih.
"Coba istirahat dulu."
Kali ini saya menurut. Malam itu saya mencoba tertidur meski tak nyenyak.
--
Paginya, saya bangun agak terlambat. Badan masih terasa di awang-awang. Terbangunpun gara-gara mendengar suara air dituang, disertai aroma jahe yang menguar.
"Bikin apa?" tanya saya. Tentu masih mengantuk luar biasa.
Bapak Rugrats menghampiri sambil menyodorkan cangkir.
"Ini, diminum."
Dahi saya mengernyit.
Satu gelas minuman jahe, lengkap dengan irisan jahe tipis-tipis.
"Wedang jahe?" Aroma jahenya sih, cukup kuat.
"Herbadrink. Jahe."
Saya melotot.
"Ih, serbuk instan? Nggak ah!" tolak saya mentah-mentah.
Jujur, saya agak antipati dengan serbuk atau minuman instan. Beberapa bulan yang lalu Bapak saya masuk ICU gara-gara drop. Kadar gulanya tinggi. Dua tante saya, (maaf) meninggal karena hobi mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan. Plus, konon diabetes ini penyakit yang diturunkan lintas generasi-lintas gender. Ngeri, ah!
Seperti sudah tahu saya akan bereaksi seperti tadi, Bapak Rugrats menyodorkan bungkus kosong Herbadrink jahe.
Saya melirik tulisan kecil di bagian kanan bungkus.
Bebas gula.
'Ah, bebas gula. Ini sih akal-akalan marketing. Mau ditempel tulisan bikin langsing mah bisa aja juga. Wong namanya jualan~' pikir saya skeptis.
Dan, seakan sudah mahfum dengan pikiran saya barusan, Bapak Rugrats membuka smartphonenya. Beberapa jurnal kesehatan luar dengan kata kunci sama dengan satu komponen di bagian belakang bungkus tadi : sucralose.
Oya, di klik saja gambarnya biar lebih jelas tulisan jurnalnya ya!
Oya, di klik saja gambarnya biar lebih jelas tulisan jurnalnya ya!
Jurnal pertama. Secara garis besar isi penelitian ini membahas pengaruh sucralose pada penderita Diabetes Melitus tipe 2. Sucralose tidak menambah ataupun mengurangi kadar gula dalam darah. |
Saya membacanya sekilas, lalu nyengir.
"Segininya banget, ya~ sampai dicariin jurnal."
Giliran Bapak Rugrats yang mendengus,
"Habis, kalau nggak begini kamu ngeyel sih!"
Kali ini saya menurut. Satu gelas minuman jahe instan tandas dalam sekali tegukan. Rasanya mengingatkan saya pada wedang jahe angkringan dekat rumah yang kerap membuat saya rindu Yogyakarta dan Ibu.
Iya. Ibu, dengan segala keyakinannya akan rempah-rempah dan jamu.
Susah makan, anak-anaknya diboyong ke depot Jamu Ginggang di Pakualaman. Sari temulawak pahit diperas di dalam sapu tangan bersih disertai 'tombo pait' nya, gula asem yang legit.
Belum lagi kalau kami yang bukan penggemar sayur ini mulai rewel perut. Ibu akan buru-buru memetik lidah buaya untuk dimasak jadi agar-agar. Daging lidah buaya dipotong-potong dadu, lalu setelah dicuci bersih direndam campuran air, garam, serta kapur sirih selama satu jam--sebelum dimasak dalam didihan air garam, pandan, dan jeruk.
Sekarang? Wah, dengan masalah terbesar saya saat ini yang susah membagi waktu, minimal saya menurut Bapak Rugrats deh, membuat minuman sehat ala Herbadrink. Pas, sebagai penolong orang seperti saya yang banyak mau tapi malas ribet 😅😂
Toh, variannya banyak. Sari jahe, sari temulawak, dan lidah buaya. So, bye-bye doctor for a while? 😂
--
Entah sugesti atau apa, esoknya badan saya terasa lebih enteng. Alih-alih membombardir diri dengan ini itu, saya memutuskan untuk memperlambat ritme.
Kalau sudah begini, kilasan kuliah saya di psikologi lagi-lagi melesak keluar dari ingatan.
Kalau sudah begini, kilasan kuliah saya di psikologi lagi-lagi melesak keluar dari ingatan.
Here and now.
Satu prinsip dalam terapi Gestalt yang digagas Frederick Perls. Dan kutipan favorit saya,
I do my thing and you do yours. I'm not in this world to live up to your expectations, and you are not in this world to live up to mine. You are you, and I am I, and if by chance we find each other, then it's beautiful. If not, it can't be helped.
...and if by chance we find each other, then it's beautiful...
Saya pikir memang begitulah Tuhan mengolah semesta. Saya yang susah diyakinkan-ngeyel-mudah dibuat pusing oleh hal sederhana, dipertemukan dengan Bapak Rugrats yang relatif lebih efisien plus tak ambil pusing. Saya yang ngoyo sekali ingin menghajar semua pekerjaan hingga tuntas, namun badan justru mengirim sinyal untuk stop.
Pagi itu saya kembali diajarkan--tanpa sengaja, tentu--pentingnya melambatkan langkah, untuk menikmati momen. Lagipula kalau sampai ambruk lagi, yang ada pekerjaan malah makin menumpuk kan?
Ah, hari mendung. Secangkir (lagi) minuman jahe bebas gula, kenapatidak?
--
Apa kabar mbak? Sudah punya buntut 2 ya?
BalasHapus