Senin, 28 Agustus 2017

Perlukah Yogyakarta Menjadi Kekinian? Uneg-uneg kangen terhadap kota sendiri



Terlalu tahu itu kadang tabu.
Sudah sekian tahun saya meninggalkan Yogyakarta secara fisik, namun tidak dengan segala kesannya. Iya, mana bisa saya mengabaikan segala detail tentang kota yang akan selalu menjadi tempat berpulang?

**

Besar di Yogyakarta dengan hasil kerjakeras Bapak menjual barang kerajinan tangan, membuat saya sangat berterimakasih pada kentalnya doktrin Yogyakarta sebagai kota wisata. Ingat betul, setiap menjelang peak season bahkan sampai saat ini, Bapak akan dengan sukacita membawa barang dagangan bertumpuk-tumpuk di dalam karung dengan motor bebeknya. Mendatangi setiap pusat oleh-oleh di Malioboro ataupun Jalan Kaliurang. Karena Bapak, saya berhasil menyelesaikan kuliah saya dan bekerja. Demikian juga adik-adik.

Wisata Yogyakarta, adalah support system terbaik yang pemerintah kota Yogyakarta berikan kepada keluarga kecil kami meski secara tidak langsung. Dan mungkin juga, ratusan bahkan ribuan orang lain di kota ini.

Kompleksitas Yogyakarta dengan segala kearifan lokal dan unggah-ungguhnya, membuat saya terkadang cukup 'tinggi' memandang suku sendiri. Karena saya bangga, sedemikian bangganya.

Hingga kemudian waktu berlalu, wajah kota ini telah berubah. Mungkin bagi siapapun yang hidup sejak lahir hingga merenta di Yogyakarta, yang terasa adalah kota ini kian maju. Benar, Yogyakarta telah sedemikian berbenah. Menjadi cantik, menarik, dan kekinian. Tak percaya? Lihatlah utara Yogyakarta yang tak lagi lengang untuk sebutan kota pelajar. Jam Belajar Masyarakat? Ah.

Dan, nyaris setiap jeda tak lagi kita temukan ruang kosong selain billboard. Tapi kok cukup (maaf) semrawut, Pak Bu Mas Mbak. Atau, tengoklah media sosial. Betapa banyak sudut photogenic wisata yang mendadak ada. Yogyakarta yang kekinian. Tapi, sungguhkah itu yang diinginkan?

**

Kembalikan Yogyakarta yang penuh kearifan lokal tanpa embel-embel pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan. Ayolah. Ketika kamu nyaris tersesat dalam arus informasi SARA, korupsi ini itu, berbagai provokasi media yang makin sukar terfilter, terkadang yang kita harapkan hanyalah pulang ke rumah yang tenang, disuguhi segelas teh tubruk hangat, sambil memandang hijaunya sawah dengan suara klinthingan yang dipasang di teras. Ditemani laron, suara jangkrik, ciplukan tumbuh liar di persawahan, dengan kecebong asyik berenang.
Bagi saya, Yogyakarta itu rumah.

**

"Ke pantai yuk Dek." ajak saya setiap saya pulang. Rutinitas kota besar benar-benar kompak melemahkan setiap sendi dan indera tubuh hingga wajib diganjar vitamin sejauh mata memandang. Alam.
"Wah, nggak ke Mall A aja Mbak? Atau kuliner B? Lagi hits loh Mbak."
Saya, miris.
"Bisa ndak, tempatnya jangan yang mainstream? Jangan yang sudah terlalu banyak di post di media sosial? Mbak kangen tempat yang tak tersentuh media."
"Seperti apa Mbak?"
"Banyak, Dek. Makam Raja Imogiri, Benteng Vredenburg, Museum Biologi, Alun-alun, Plengkung Gading, Goa Selarong, Es Dawet Sidosemi, Museum Ngoto?"
"... "
Adik diam. Saya terdiam. Rasanya, masalalu dan kata sederhana menjadi sedemikian jauh.

**

Karena Yogyakarta istimewa-seistimewanya,
Mari kembali kepada akar. Di atas tanah mana kita berpijak. Yogyakarta boleh saja makin berbenah, namun harga diri dan akar budaya pantang berubah. Saya tak henti-hentinya bersyukur dan selalu merinding,  meski selama ini hanya sekedar mengintip dari media sosial. Berbagai komunitas yang bermunculan dan mulai pasang badan menjadi pelindung Yogyakarta yang istimewa. Pernah mendengar Malamuseum, dengan segala komitmennya tentang optimalisasi museum dan cagar budaya? Atau komunitas Jogja Nyahnyoh yang masih rutin menambal jalan berlubang di sela kesibukan? Atau yang lebih ekstrim, komunitas Dodok Jogja dengan tagar #jogjaasat #jogjaoradidol #berbagiairruangkehidupan ?
Sebagai orang awam yang baru dapat sekedar menyimak dalam diam, di kepala pun sekelebat muncul,

Jika hak untuk mempertahankan harga diri sudah tabu disebut dalam balutan resmi pakaian dinas dan atasnama unggah-ungguh, menjadi bengal terkadang adalah jawaban.

**

Menjadi Jogja, menjadi Indonesia. Kota priyayi yang warganya sering disalahartikan sebagai sekumpulan orang yang nrimo (ya, statement yang sedikit menjurus diskriminasi, karena sayapun turut mengalaminya di kota besar. Ayo, kamu boleh halus halus di tanah sendiri namun jadilah macan di tanah orang dengan cara yang santun), penuh tepa selira, susah marah apalagi berontak, namun pada suatu titik pasti ingin berteriak.

Rasa-rasanya, tak ada jalan yang lebih adil selain kembali kepada sejarah betapa istimewanya Yogyakarta dengan nilai-nilai lokalnya. Ayolah, Yogyakarta tak perlu lebih banyak mall, apartemen, gedung bertingkat, billboard semrawut hanya untuk tampak maju dan kekinian. Ayolah, kita tak memerlukan lagi kisah-kisah lain seperti wartawan Udin, Ibu Patmi dalam babak Kendeng Lestari, dan entah kisah mana dan siapa lagi yang akan tertoreh.

Ayolah, Yogyakarta tidak perlu dijual. Yogyakarta tidak perlu dijual untuk menjadi sedemikian mentereng. Karena itulah Yogyakarta istimewa. Karena Yogyakarta sebenarnya sejarah dimulai. Lantas kenapa terlalu sibuk mematut diri menjadi berbeda? Menjadi Jogja, menjadi Indonesia. Kalau bukan kita sebagai native-nya Yogyakarta yang mulai bangga tanpa menjadikan Yogyakarta komersil, siapa lagi?

**

Ditulis, dengan rasa rindu yang sangat luarbiasa kepada kampung halaman, karena baru berkesempatan mudik saat Hari Raya Kurban. Saya rindu, dengan Yogyakarta yang tenang dan tidak semrawut dengan berbagai kepentingan. Apa salah?






Sabtu, 26 Agustus 2017

Secangkir Kopi di Seberang Jalan



Hampir malam di Yogya,
ketika keretaku tiba,
remang-remang cuaca,
terkejut aku tiba-tiba


Kali ini, aku tak akan bercerita tentang rindu, rintik hujan, pelangi. Bagiku, itu terlalu lemah. Terlalu kumpulan puisi. Dan tampaknya aku tak mewakili kualitas melankolis tersebut.

Sudah sekian minggu aku tak tersentuh, ditengokpun jarang. Sedikit berharap, kelak ketika ada kesempatan semoga aku tak menyeruak dengan bau yang menjengkelkan.

Apa yang salah?
Sebenarnya, tak ada. Sedikit dengki, mungkin ya. Karena disini gelap, nyaris lembab. Aku merasakan Tuan risau, hingga terkadang enggan membuka pintu untuk para tamu. Barangkali sibuk menimbang dan menimang, kalkulasi ini itu. Tuan, bersabarlah.


**


Aku iri, melihatmu di kejauhan, seberang jalan yang penuh gemerlap meski hanya disinari lampu temaram. Menguar aroma hingga ke pelosok kota. Bahkan dari jauh para tamu mampu mengira-ira, kamu berasal dari dataran mana. Bersenandung riang dengan komposisi saksofon yang diputar dari pengeras suara. 

Jadi tak masalah, kan? Jika aku merasa iri kemudian?
Memandang dari sudut kaca jendela, tiap tamu yang hilir mudik macam sungai mengalir. Menyaksikan gelak tawa dan berbagai jenis emosi. Ahya, kata orang kamu memang penetral segalanya. Rasa penat, jenuh, kesal, depresi, tertekan. Mungkin, kamu lebih tepat disebut obat sakit kepala. Anti-depressant (?). Kamu pernah bercerita, kompleksitasmu mampu 'memaksa' orang-orang hadir dalam ketidakmampuan materi mereka, sekedar untuk segelas eksistensi. Prestise, ya. Berpura-pura mampu secara lahir batin, ya. Darimu aku belajar getir. Namun aku masih tetap iri. Jangan salahkan aku.


**



Ya, malam makin naik. Dan ya, sebentar lagi aku akan kembali ke peraduan. Sudut gelap yang lembab. Dan Tuan, akan kembali naik ke loteng atas dengan gundah. Tak bisakah aku melakukan sesuatu untuk Tuanku?

Dan mendadak rasanya seperti mendapat ilham dari langit. 

Ah, sekarang atau kapan lagi?!
Kali ini aku akan bertahan. Aku harus mendapatkan satu tamu. Tepat sebelum Tuan menyerah kalah, aku memaksa menggulingkan bagian tubuhku, menggelinding hingga masuk ke celah sempit diantara kaki lemari keropos dan tembok. Aku sempat mendengar Tuan mengumpat. Sedikit terantuk ujung meja. Tuan marah! Dengan kepanikan luarbiasa, aku menatap jendela. Ada sekelompok pemuda yang akan melewati etalase kami. Sekuat tenaga, aku menggeser tombol radio tua, semoga masih ada suara yang keluar. Ayolah, malam ini harus lebih berguna meski hanya ditemani alunan musik tua. Yang penting semangat pantang merenta!

Dua pemuda dengan gaya cukup kasual melenggang begitu saja melewati etalase. Aduh! Aku sengaja membenturkan diri ke etalase, sedikit keras hingga rasanya sedemikian ngilu. Pemuda terakhir berlalu begitu saja. Dan aku lemas. Gagal sudah. Aku terdiam di pojokan kusen, masih mendengar Tuan yang sibuk mengusap ujung kening yang sedikit membiru. 'Maaf Tuan.' seruku dalam diam.

"Maaf, ini masih buka?"

Aku sama kagetnya dengan Tuan, meski tak sepucat Tuan. Tuan bahkan lebih mirip mayat hidup saking syoknya. Pemuda tadi--bersama rekan-rekannya! Astaga. Cubit aku. Aku takut ini hanya khayalan.

"Eh--masih. Masih! Silakan!" terbata Tuan menyambut tamu. Satu-dua-enam orang!

"Saya Teh Oolong."
"Oolongnya dua."
"Mm, rosella saja mungkin ya? Kamu apa?"
"Yang chamomile dua."

Aku terdiam. Sedikit sedih karena tidak ada yang berminat denganku. Tuan memandangku dengan prihatin.

"Saya, ng--teh hitam saja." pemuda terakhir. Terakhir melewati etalase, terakhir menyelamatkanku.

Aku lega. Sekilas aku melihat Tuan tersenyum, setelah mungkin--sekian bulan lalu. Aku menemani Tuan meracik segala pesanan dadakan hari itu. Tangan Tuan bergetar hebat, nyaris menjatuhkan cangkir-cangkir tua yang disimpan entah berapa abad. Kita berhasil, Tuan.

Sepasang mata bola,
dari balik jendela,
datang dari Jakarta,
menuju medan perwira

Kagumku melihatnya,
sinar sang perwira rela,
hati telah terpikat,
semoga kita kelak berjumpa pula


**


Aku tak akan iri. Sudah tidak. Perlahan tapi pasti, etalase kami pasti akan kembali menyala, memberi warna lain berseberangan denganmu, kedai kopi di ujung jalan.

Ya, mungkin aromaku tak menguar hingga memenuhi ujung jalanan, namun penikmat sejati akan menemukan. Rasa nyaman, seringkali muncul dari hal yang sederhana, bukan? 


**


Ditulis sambil menyesap teh tubruk hangat, dengan dua sendok teh gula. Nyamannya sampai ke hati :)