Rabu, 22 Desember 2010

Plastic Bag, I’m in Love! (Just Re-use, please)




“May… kantong-kantong plastikmu dibuang aja yaaa! “

Teriakan Auli lebih mirip suara orang terjepit pintu saking nyaringnya, sukses membangunkan saya dari acara eksperimen masker ceria bersama setengah cangkir oatmeal mentah, tiga sendok teh madu, serta satu butir telur. Huhuhu maafkan saya, tapi terkadang menjadi ‘aneh’ dengan cara masing-masing adalah terapi ampuh untuk mengukuhkan eksistensi diri…
            
           Aduhh… anak yang satu itu kadang rajinnya benar-benar sangat berlebihan! Dengan setengah kesal saya terpaksa menyeret diri menuju ruang tengah : sukses mendapati Auli beserta kemoceng, vacuum-cleaner, serta lap.
            
          “Aku buang ya, May! Berantakan… “ tangannya sudah sibuk mengacung-acungkan kotak sepatu berisi tas plastik warna-warni yang sebenarnya telah terlipat rapi itu.

Saya berdecak kesal.

“Jangan. Aku masih perlu itu semua.”

“Untuk apa? Berminat ikut Guinness Book of Record—pengepul tas kresek terbanyak?” kekehnya geli.

Saya mengibaskan tangan dengan tak sabar, tak peduli pasti muka sudah tak karuan karena masker belum bekerja maksimal.

“Merawat bumi.” Dan saya sangat bisa memastikan reaksi Auli.

“Halahhh…apaan si kamu? So kinda something called go green wannabe deh. Sibuk aja mikirin bumi. Isu itu sedang mengering akhir-akhir ini. Lebih eksis Gayus sama si Bachdim. GoGreen campaign disini hangat-hangat tapal kuda, May.”

Ya ya ya.

Hangat-hangat tapal kuda.

“Dan lagi—“ Auli masih bersemangat melanjutkan ocehannya sembari sibuk mendorong jauh-jauh debu tipis di atas rak buku. Kebetulan kami memang sharing apartemet. Jangan keburu beranggapan kami sok kaya—sumugih, kata Ibu—meskipun rekanan saya ini lebih apatis pada pentingnya menjaga lingkungan dari ancaman global warming, namun setidaknya kami memiliki visi yang sama bahwa ‘kami-tak-ingin-tampak-kurang-keren-dengan-tertangkap-basah- terjangkit-tipus-karena-tinggal-di-kos-kumuh’. Ada investasi-investasi tertentu yang menyebabkan saya berjuang mati-matian untuk tetap adil diantara stiletto Manolo Blahnik dan apartemen. Hahaha. Kembali pada Auli, “—sama saja berteriak di tengah gurun kalau hanya kita sendiri yang melakukan hal itu sementara orang lain tidak. Toh, orang-orang lebih suka beli tas baru non plastik demi isu ini. Kamu ini, melawan arus kemana-mana ya. Orang-orang pada demo anti kresek, ehh kamunya bawa kresek kemana-mana. Menurut hematku… “

“ Menurut hematku—“ kali ini aku melakukan manuver balik, “—kalau hal itu tak dimulai oleh individu-individu, senyeleneh apapun, maka ide itu hanya menjadi seonggok kaleng rombeng. So, sini plastikku. Aku berhak dong atas teritoriku, selama aku tak mengganggu koleksi Victoria Secret-mu. ” sambungku kemudian dengan jail.

Muka Auli jadi merah padam.

“ Mayyyyy!!! Jangan bilang kamu mengacak-acak lemariku ya??? “

Saya terkikik geli mendengar suara panik Auli. Yah, saya sudah melarikan diri lebih dulu dong sebelum kena sambit kemoceng.





Sore hari, hypermart dekat kantor.

“…totalnya 190.450 rupiah, Mbak. “

Sembari mengangsurkan empat lembar limapuluhribuan, saya melirik hasil belanja bulanan kali ini. Hmm… cukup banyak.

Pramuniaga lain langsung dengan sigap menarik plastic-plastik putih demi membungkus belanjaan saya.

“Emm, nggak usah pakai plastik itu Mas. Saya bawa sendiri.” Tangan saya ganti sibuk mengaduk-aduk tas, mencari si tas plastik yang selalu saya simpan sebagai cadangan kala bepergian.

Sekali lagi saya bisa membayangkan cibiran Auli, bahkan membayangkan apa yang pasti dikatakannya,

“Semua sudah disusun sedemikian efisien. Dan kamu mengubahnya menjadi sedikit lebih rumit dan ribet.”

Hm, cuma sedikit kan, Li?

Senin, 20 Desember 2010

It feels like everything could go wrong in the world, and it's okay






...

cukup  diam dan menikmati setiap detik jantung berdetak

ketika mendengar suaranya,

meresapi sesederhana apapun yang ia katakan,

setelah seharian penuh menghadapi pucatnya dunia,

itu cinta

...



Me Vote Myself


Beberapa hari lalu ucapan seorang teman pasca curhat tentang temannya membuat saya terdiam dan berpikir selama beberapa saat. Dia merasa bahwa seorang temannya yang lain, lebih mirip menyerupai sahabat palsu. Dan saya hanya tertegun,

“Kenapa?” tanya saya pelan. Agak susah menghadapi orang yang sedang diliputi cipratan emosi dan kekecewaan.

Dia hanya mengangkat bahu, berusaha tak peduli namun sebenarnya sangat peduli.

“Kompleks. Yang jelas, aku sendiri kok jadi nggak yakin ya, ada sahabat yang benar-benar tulus.” Sahutnya setengah jutek.

Whoaaaa… dan saya hanya mesam-mesem sambil menenangkan teman saya tadi. Sekali lagi, susah memang menghadapi orang yang sedang diliputi cipratan emosi dan kekecewaan. Hehehe.

Ucapan seorang rekan tadi mengingatkan saya sekaligus pada potongan film 3 Idiots, scene ketika Farhan dan Raju bersimpati ketika tak menemukan nama Rancho di lembar pengumuman hasil ujian, perasaan itu kemudian berbalik menjadi setengah bahagia setengah sedih ketika mengetahui sahabat mereka itu justru menduduki peringkat pertama. So pathetic


Seakan perasaan itu terbagi dua dan bipolar : dia yang berempati, menghargai serta memahami kepiluan sahabatnya. Sementara di sisi lain dia yang ambisius dan terus berjuang mencapai puncak prestasi. Oh, life. Mungkin, yang perlu digarisbawahi ‘hanyalah’ (oke, sedikit menyederhanakan rumitnya permasalahan bipolar di atas, sih) bahwa diri kita adalah satu-satunya yang bisa kita andalkan untuk mengatasi semua stressor yang membabibuta, jika kita memang tak ingin terjebak dalam segala bentuk kemenye-menyean. Hanya diri kita. Selesai.

Tidak ada yang benar-benar berduka atas kegagalan seorang teman.
(Gore Vidal, 1925)

         
Gore Vidal tampaknya menghadapi permasalahan serupa :p

Jumat, 17 Desember 2010

Judge A Book by Its Cover



Saya setuju bahwa mata adalah sumber segala bentuk permasalahan di muka bumi ini. Bukannya menggeneralisasi, ataupun terlalu psikologis. Namun fakta yang saya temui adalah sebagian besar waktu dan tenaga dan biaya habis demi memuaskan pantulan yang ditangkap mata dan meracuni pikiran serta hati. Oke, indera lain juga berkontribusi sih. Tapi mata tetap jawaranya. Hehe. 

Beberapa teman saya tergolong cukup konsumtif, entah itu untuk celana model baru (yang ironisnya selalu berulang berpuluh tahun kemudian), atau tumpukan buku (saya!),bahkan mencicipi menu di salah satu franchise donat terkemuka. Dan, dari mana kita mendapat keyakinan bahwa celana A tampak tepat untuk dibeli, atau sebuah buku tampak sangat mengesankan untuk dimiliki, atau kenapa fast food itu tampak sangat memukau?

Kebiasaan terburuk saya adalah selalu terjebak dalam sebuah pameran atau toko buku. Dua tempat itu adalah favorit saya dalam melarikan diri. Dan mata sangat berperan disini. Selain aroma yang khas (entah aroma lapuk atau kamfer) sebagai feromon yang tak bisa saya hindari, cover sebuah buku adalah hal krusial yang kerapkali menjebak saya untuk memboroskan cadangan financial saya. Beberapa kali saya merasa tertipu membeli sebuah buku yang tampak mahadahsyat (dari sampulnya, dan… terkadang resensinya). Tapi untungnya saya tak pernah terlalu menyesali kenapa membeli buku dengan warna oranya ngejreng—sebuah buku setebal 320 karangan Richard Brodie (yang baru saya ketahui bahwa buku tersebut adalah favorit Dewi Lestari, jelaslah saya tidak terlalu kecewa :p) yang dijual hanya 10.000 rupiah saja. Buku lain yang menjadi sasaran tebak-tebak berhadiah adalah buku sains popular berjudul Murphy’s Law. 






terjebak 'hanya' karena ini?? Absolutely yes



versi aseli nya... simpel :)





Jujur, saya bahkan menggadaikan niat saya untuk membeli Traveler’s Tale demi buku itu. Tentunya buku itu harus cukup berharga, bukan?

Awalnya saya menyesal. Beberapa halaman pembukanya membuat saya bosan setengah mati karena membahas psikologi umum, yah… saya bukanlah fans setiap sesuatu bernama persepsi dan kedalaman—hal yang wajib dibahas dalam ilmu psikologi itu. Tapi karena saya merasa harus bertanggungjawab atas buku aneh ini, saya memutuskan untuk membacanya. Dan buku ini memang konyol tapi ilmiah. Tanpa bermaksud menghibur diri saya sendiri,tapi kebodohan saya mengutuk benda-benda mati sebagai kambing hitam menjadi rada reasonable :p


Akhir-akhir ini saya sangat jarang menata kembali buku-buku yang saya gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir saya. Hingga suatu ketika saya pasti repot sendiri mencari sebuah buku tebal bersampul biru diantara tumpukan dalam kondisi terburu-buru. Dan sialnya buku tersebut tetap tak nongol. Hingga adik saya pun bertanya,

“Nggak ada disitu mungkin Mbak…” demi melihat saya berkali-kali mengacak-acak tempat yang sama.

Tapi dasar ngeyel, saya tetap saja mencari di tempat yang sama. Entah setelah melewati kelelahan dan sebagainya dan entah keajaiban alam atau apa… voila! Buku itu terletak disana, masih disana padahal saya yakin sudah menelusuri dengan teliti tumpukan buku itu.

Dan, kenapa?

Ketika saya mencari buku yang saya maksud, rupanya saya tak melihat dengan benar karena saya mengambil shortcut ingatan mengenai si buku biru : buku berwarna biru. Titik. Dengan demikian saya cenderung akan memindai seluruh ruangan dan mencari ‘alien’ tersebut sesuai shortcut yang saya miliki tadi. Dan ketika saya terburu-buru maka daerah pindaian pun menjadi lebih sempit, dengan memusatkan perhatian pada shortcut tadi tanpa melihat rincian lain. Hal itu tentu menjadi masalah, karena rupanya saya melupakan kenyataan bahwa si buku biru tertinggal tempo hari dalam keadaan terbalik dan warna biru itu tak terlihat, dan bodohnya saya memang yakin buku itu masih berada di tempat yang sama.

Dalam buku ini, saya jadi menertawakan kenaifan saya : kenapa sih seisi alam semesta selalu berkonspirasi ketika saya sedang dikejar tenggat waktu?? (Terlepas dari asumsi Law of Attraction dan The Secret, tentu) padahal tentu dan selalu ada alasan rasional dibalik itu.

Saya bukan penikmat buku berat, dan saya merekomendasikan buku ini. Terutama, saya sangat menyukai quote yang banyak bertebaran di setiap halaman. Beberapa yang saya kutip : 


Hidup hanya bisa dipahami bila kita melihat kebelakang, dan hanya bisa dijalani bila kita melihat ke depan (Soren Kierkegaard)

Semua yang anda suka adalah illegal, immoral, atau menggemukkan (Alexander Woollcott)




... dan favorit saya...


Ornag tidak bermaksud melontarkan yang mereka ucapkan, tidak juga mengicapkan apa yang mereka maksudkan



Sekali dua kali, salah beli buku gara-gara artistik dan permainan kata yang memikat mata sah-sah saja,ah! 


 

Minggu, 12 Desember 2010

Bittersweet coffee

 

Berada dalam kehangatan sementara hujan petir menyambar-nyambar di luar sana memang jauh lebih baik daripada menunggu di lobby. Itu pikiranku ketika nyaris 3 jam menunggu Galih datang. Laptop Mac ku telah rapi jail berada di dalam Anya Hindmarch favoritku, tak ketinggalan secangkir kopi setengah kosong dan remahan hazelnut tiramisu. Akhir-akhir ini cuaca sangat tak menentu. Byarpet, kata Galih. Bagiku hal itu bukanlah masalah besar, karena selalu saja ada alasan untuk menghindari badai, tanpa aku sengaja. Bagaimana tidak? Nyaris waktuku tersita dalam marathon meeting, dari satu tempat ke tempat yang lain. Nyaman dari lindungan hujan, tapi terkadang tidak dari semprotan klien dan atasan.

Hm.. menghadapi klien memang lebih susah daripada menjinakkan bom. Kadang-kadang aku berkelakar seperti itu dengan Galih, ketika ia memprotesku gara-gara (katanya) aku gila kerja. Aku tak gila kerja, aku hanya mengalihkan semua perhatianku pada satu hal yang jelas-jelas aku kuasai dengan sangat  baik melebihi apapun. Jujur, berkutat dengan rentetan klien itu memiliki tantangan tersendiri.

Yes. I’m coffeeholic. More than four cups a day or you’ll get me dying in my desk. Hehehe.

Well, aku bukan maniak kopi tertentu, jadi jangan salah kira ketika kau menemukanku di pojokan sofa hotbrown empuk ini = aku pemuja prestise. Beberapa coffee shop modern, sebagaimana yang kerap aku singgahi ini memang menjual prestise : sophisticated lifestyle, extra-comfy furniture, elegant-but-chic interior design… khas kafe-kafe komunal di Italia, berbandrol sekian dolar.

Dan, jika aku boleh berkoar, kurasa bandrol harga yang lumayan ‘nendang’ untuk ukuran satu cup kopi terbilang wajar. Benar. Wajar. Harga itu tampak wajar karena barista mereka mendapat pelatihan ketat mengenai aroma, rasa, sekaligus ketebalan kopi demi menghasikan masterpiece. Harga itu tampak wajar karena mereka mencari biji-biji kopi terbaik ke seantero bumi. Harga itu wajar, karena ada konsistensi yang kuat di dalamnya. Dan konsistensi selalu berharga mahal. Konsistensi selalu dibayar oleh pengorbanan yang terkadang tidak sedikit. Aku bahkan tidak peduli meskipun Galih selalu bawel menghakimi hobiku melumat kafein sebagai sarana katarsis pribadi yang berlebihan. Yeah, konsistensi.

Hmm, image branding yang sempurna untuk menarik orang-orang yang merasa dirinya berkelas dan pantas, seperti aku yang masih saja terseret arus euphoria utopis ini. Jangan salah, aku masih salah satu big fan kopi-kopi lokal yang mungkin kerap kau temui di pinggiran lengkap dengan jajanan ala kadarnya. Dan jangan salah, bahkan kopi lokal yang ada pun tetap memiliki konsistensi. Bedanya? Antara prestise dan membumi. Sejauh ini kopi jos di utara Stasiun Tugu tetaplah menjadi jawaranya bagiku. Dengan arang yang dicemplungkan secara biadap ke dalam kopi.

Pahit!

Itulah reaksi pertamaku ketika Galih mencekoki kopi jos untuk pertama kalinya. Aroma harum, panas, pahit, plus membumi bersinergi dengan kuatnya. Nyaris mengalahkan getirnya perasaanku pada saat itu. Sebenarnya efek yang sama tetap akan muncul pada kopi jenis manapun. Kopi adalah stress detox yang ampuh. Setidaknya bagiku. Sama seperti secangkir kopi yang tengah kunikmati dalam kehangatan yang menenangkan diantara hingar bingar kosmopolitan ini.

Hmm… masih hujan. Dan anak itu mungkin terjebak macet entah di persimpangan mana. Kopiku telah tandas. Setengah melirik waitress di dekat mesin espresso, tiba-tiba dengan ajaibnya lirikan tanpa arti aku langsung menempatkan waitress itu di hadapanku lengkap dengan senyum cerah cemerlang pepso***.

“Ada yang bisa saya bantu, Kak?”

Sstt… sapaan khas dengan selipan kata ‘kak’ ini selalu mengundang senyum jika kebetulan aku mendengar waitress menyapa pengunjung berusia lanjut. Kak Bob Sadino? Errr, I don’t think so :p

“Hmm… frappucino.” 

“Baik, Kak. Ada yang lain?”

Gelengan pelan.

Konsistensi bisa dalam bentuk apapun, bukan? *devillaugh*

10 : 13 PM





Seperti cermin
Memantulkan apa yang ada dan ‘ada’,
Bergantian,
tak terjadwal
entah hanya  cahaya 5 watt,
10 watt,
Semungil lilin,
semegah lampu sorot
Cukup menangkap berkas dari lampu sen mobil jalanan
Bahkan sekelebat cahaya temaram lampu malam
Dan memantulkannya kembali,
Ke diri kita
Seperti cermin
Bergantian




Ode

 
 

Yogyakartaku kota yang tabah,
Retakan tanah yang membabat rumah tak menjadikan semangat patah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Letupan teguran Merapi bukanlah ancaman untuk takut berbenah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Kali-kali itu boleh saja muntah sepanjang bantaran dan menakut-nakuti seisi rumah
Yogyakartaku kota yang tabah,
Bahkan referendum menjadi saksi Sultan tetap paling mbaureksa
Yogyakartaku kota yang tabah,
Boleh saja kota ini diuji oleh guncangan,
Atau lelehan awan,
Atau lumpur ganas,
Atau isu konstitusi,
Tapi ya tetap saja…
Yogyakartaku kota yang tabah
Bukan, bukan karena dia sekedar nrimo
Tapi karena dia memiliki kami,
Kami yang percaya bahwa Yogyakarta kota yang tabah 



* Big Salute for GBPH Prabukusumo, atas kelegowoannya melepas posisi ketua Partai Demokrat Region Yogyakarta demi baktinya atas sejarah yang direkatkan ayahanda, Ngarsa Dalem kaping sanga



…Dengan atau tanpa sebutan ‘istimewa’ seyogyanya DIY tetaplah ‘istimewa’...




yang berminat mp3 'Jogja Istimewa' download disini

Kamis, 09 Desember 2010

C'est la vie


R n B adalah salah satu genre musik favorit dari jaman saya masih bermerah-putih (era Craig David dengan Walking Away) hingga saya menikmati gaya ‘serius’ anak kuliahan (era Bruno Mars, uhh…he’s so damn cool with sexy curly hair :p). Ketika jaman saya SMP, Hot Chord adalah salah satu sasaran update lagu (yah, sangat mengenaskan bila dibandingkan dengan perkembangan teknologi masa kini hahaha). Yah, ada sekitar tujuh nomor yang saya koleksi dan mengendon berdebu di rak buku saya.

Belum lama ini saya iseng menata tumpukan buku, koleksi majalah, dan aneka newsletter yang teronggok sempurna di sudut kamar. Kebetulan, saya menemukan sebuah lagu yang sampai saat ini belum pernah saya dengar seperti apa wujudnya (Hot Chord edisi Oktober-November 2003, harga Rp 5000,00 :p). Judulnya Windmill.


Time goes whenever you are,
time is your guiding star
That shines all thru your life,
makes you feel and move
My dreams are out in the far
 So are yours a part of secret fairy tales,
dripped on the wings of a mistery mill
Windmill, windmill…
Keep on turning,
show me the way, take me today
Windmill, windmill…
 Hearts are yearning, longing for love and a chance to be free
Don’t feel alone and depressed
 Someone will come at last,
 to soothe your stumbling mind,
to keep it away from the evil storm


Dan kenapa dengan Windmill ? Lucu, karena saya pernah mendedikasikan lagu ini untuk seseorang, dan mungkin lebih tepat untuk saya sendiri. Hm… setiap orang memang memiliki kenangan masing-masing.

Pahit.

Manis.

Getir.

Berwarna.

Kinda bittersweet memories.

Kepingan diri kita pernah terganjal kerikil sekedar untuk melangkah. Teman saya, memerlukan tiga tahun untuk melupakan patah hatinya. Teman saya yang lain, hanya memerlukan tak kurang dari seminggu untuk berganti halauan. Seorang Ibu, perlu setahun untuk bisa tegar menghadapi kehilangan besar atas putrinya. Seorang ayah, harus merelakan anaknya yang senantiasa digendong dengan penuh sayang telah beranjak dewasa dan harus mengikuti suaminya ditugaskan. Logika kecil saya, dalamnya kenangan tak pernah berbanding lurus dengan fungsi waktu, jika kita bisa menentukan dengan tepat posisi kenangan itu berada. Sehingga tak perlu melukai hati terlalu dalam. Semacam kenangan yang salah di saat yang tepat.

Ada potongan scene dalam manga Detektif Conan #37 yang begitu mengena. Dalam File 1 bertajuk Bye-Bye, Takugi kepada Miwako :

“Jangan pernah melupakan kenangan. Jika itu adalah kenangan yang berarti, jangan pernah lupakan. Karena jika manusia mati maka mereka hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain.”


Ketika saya mengutip bait Windmill untuk seseorang, mungkin pada saat itu artinya tidak sedalam ketika saya menemukan Hot Chord lawas saya kembali beberapa tahun kemudian. Saya mengingat apa yang terjadi antara saya dan sebuah lagu yang samasekali abstrak bahkan hingga hari ini. Dan sesuatu yang timbul lebih kepada satu kalimat, membuat saya terkejut sendiri.

“Oh iya, ya.”

Ada beberapa dari kita yang setia dengan kenangan, menjadikannya satu tak terlupakan. Namun ada juga yang memilih beranjak dan menutup pintu rapat-rapat, membiarkannya padam dengan luka. Bagi saya, cara terbaik memposisikan kenangan justru membuka pintu kenangan sedikit saja sebagai pelajaran (tentunya hipotesis ini muncul setelah ada pengalaman lapangan :grinning: ).

Jujur, barangkali bertahun lalu ‘Oh iya, ya’ tak lebih dari sikap ‘OHH-whatever-but-DAMN-I-remember-things!’. Bertahun lalu. Saya bahkan lupa hingga menemukan si Windmill itu dan menjadikan ‘Oh iya, ya’ sebagai titik balik saya. Bahwa saya sudah selesai dengan kenangan masa lalu namun masih membuka pintu sedikit—tak perlu lebar-lebar, hanya mengintip. Bagaimana dengan anda?

Backsong of this post :
-          Daughtry – What About Now
-          John Mayer – Dreaming with a Broken Heart
-          OneRepublic – Come Home