Minggu, 30 April 2017

Balada Tongkol Balado




Pertemuan keramat.
Iya, dilakukan di malam Jumat, namun bukan membahas sesuatu yang berhubungan dengan laknat.

Aku menyesap wedang beras kencur dengan estetis, sementara dia sibuk bermain kartu.
Aku pengamat yang baik--jika kata itu lebih halus untuk menyebut seorang mata-mata.


**


"Dibayar berapa?"
Aku mengangguk. Menjadi mata-mata bukan hal yang gampang, kan? Maksudku, aku menghabiskan setiap Jumat sore dan terkadang hingga menjelang malam, mengabaikan setumpuk tanggungjawab, hanya demi tugas mengamati dari seorang teman. Sebut saja, Anini.

Anini merengut.
"Nanti, buku biografi bertandatangan biduan Pantura favoritmu itu. Bagaimana?"
Wah, anak ini sungguh petaruh handal. Dengan riang, aku menjabat tangan Anini.


**


"Anini anak yang baik."
"Lalu?"
Sabtu sore kelima. Tubuhku tampaknya lebih bugar, setelah rutin bertandang ke bar jamu kekinian seminggu sekali, hanya demi mengamati subjek intaian Anini. Ro.

"Lalu apa? Ya sudah."
"Dia tampaknya tertarik padamu." aku baru sadar, cassava wedges ala bar ini sungguh menarik. Dengan dicocol sambal Roa apalagi.

Ro menoleh malas, mengamatiku yang asyik dengan kunyahan sepotong besar cassava wedges sang primadona sore itu.

"Aku ceritakan sebuah rahasia, sebenarnya bukan lagi rahasia. Karena ketika satu hal yang disebut rahasia telah dibagikan kepada orang lain, status rahasia-nya telah larut ke bumi--,'
Oke, hasil pengamatan yang lain. Pria ini sanggup mendramatisasi keadaan,
'--dia menyukaimu."
"Siapa?"
"Dia. Anini."


**


Kamu tahu, orang dengan kesedihan mendalam sering disalahartikan sebagai penikmat lagu sendu mendayu-dayu. Faktanya? Penggemar musik dan lagu 'keras', semi hardcore, seringkali adalah pribadi yang paling mampu menyelami emosi. Semakin keras entah lirik dan hentakannya, semakin tersalur himpitan emosi. Apa itu istilah masakininya? Nah, baper. Baper secara anti-mainstream.

Itu Anini.
Mengenalnya sejak kelas dua sekolahdasar. Anini, anak yang kerap di bully rekan-rekannya hanya karena bertubuh kecil, berkulit legam, dan suara ringkih seperti mencicit. Sudah bicara, bukan karena tak bisa berkata. Namun karena rasa percaya dirinya redup entah kemana.

Lalu masa sekolah menengah pertama. Masih sama.
Lalu sekolah menengah atas. Tetap sama.

Karena apa?
Mungkin karena ia hanya memiliki seorang Ibu yang entah berada dimana, sementara Bapaknya menikah lagi dengan pemudi kampung tetangga. Kudengar, Ibunya sangat dikenal di kisaran sepertiga akhir malam, diantara lampu-lampu jalanan dan hingar bingar hiburan.

Peranku?
Sudah kubilang sejak awal. Aku setia menjadi pengamat. Diam saja. Jahat? Aku hanya menjaga jarak. Karena orangtua menjunjung pergaulan terhormat. Rupanya mereka tak tahu, anaknya ini memuja lagu Pantura, meski bukan goyangannya.

"Sudah Jumat kedelapan, Anini. Ayo, mana janjimu, biografi bertandatangan?" kataku di corong telepon. Janji yang diiyakan palsu oleh Anini. Semoga masih terdengar wajar.
"Sore ini. Ketemu dimana?"
"Warung padang biasa saja."
"Oke."


**


Yang aku suka dari warung masakan padang adalah tatanan hidangnya di meja. Seluruh menu lezat sengaja dihidangkan, seakan-akan kamu mampu membayar keseluruhannya dan perut sanggup mencerna.

"Bagaimana dia?" Anini menatapku tajam, ia bahkan tak tertarik dengan tongkol balado yang mencolok indra. Padahal ia suka sekali. Loh, aku tahu? Iya, aku tahu. Aku hapal. Anini penyuka warna pastel. Benci hujan dan lagu dangdut. Kadang minum kopi sachet seribuan tapi lebih sering menyesap minuman liang teh kalengan. Hanya mampu mengitari lapangan tiga kali ketika pelajaran olahraga, dan masih setia mendengar My Chemical Romance sementara dunia sudah terhipnotis EDM. Aku tahu.

Segelas teh manis langsung habis setengah kutenggak.
"Dia--baik."
"Baik?"
"Anini, aku ceritakan sebuah rahasia, sebenarnya bukan lagi rahasia. Karena ketika satu hal yang disebut rahasia telah dibagikan kepada orang lain, status rahasia-nya telah larut ke bumi--,'
"Apa itu?"
"Kenapa harus aku?"


**


Kelak, mungkin akan ada seorang ilmuwan yang mampu menciptakan anestesi untuk perasaan. Karena kadang sentilan di hati rasanya jauh lebih sakit daripada di amputasi.


**


"Terimakasih sudah menjadi pengamat, kamu. Setelah belasan tahun. Sendiri, namun diamati. Tak masalah meski dicaci, selama masih ditunggui. Di kejauhan."
"Tongkol balado, Anini?"
"Aku belum mendapat tandatangan biduan Panturamu."
"Jumat depan, aku ke rumahmu, ya."


**


Ini Jumat sore. Ibukota gerah. Polusi masih mendominasi. Jangankan pelangi, turun hujan saja Alhamdulillah. 


So many
Bright lights, they cast a shadow
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak

Dan entah kenapa, aku jatuh cinta pada wedang beras kencur dan tongkol balado.
















Minggu, 23 April 2017

Darurat Piknik untuk Semua!




Indonesia Darurat Piknik! 



Post di sebuah media online nasional tertanggal tujuhbelas April lalu. Kebetulan dibagikan di sebuah lapak instant messaging di kantor. Dari membaca judulnya saja, saya langsung merefleksikan hal itu ke dalam diri. Jyan.


**


Akhir-akhir ini saya cukup sering mengagendakan trip dadakan, tanpa pertimbangan. Karena toh sekedar killing time dengan strolling around di swalayan saja sudah luarbiasa menyenangkan.

Dan itulah yang terjadi beberapa saat lalu. Ulah impulsif untuk book sebuah tempat menginap di detik terakhir via sebuah aplikasi--Airbnb 
Norak yak. Sungguh. Kali pertama saya menggunakan aplikasi ini. Unik, mengingat yang disewakan adalah kediaman yang personal sekali. Saking personalnya, kamu bahkan bisa menebak-nebak buah manggis, kepribadian ataupun latarbelakang dari si empunya rumah. Fyuuu--kebiasanya observasi anak Psikologi yang suka otomatis muncul :')


**


Selalu ada yang pertama untuk setiap hal. 

Tiga hari terakhir bolak-balik buka web, beberapa aplikasi, googling sana-sini, terutama karena saya sangat picky dalam hal toilet ataupun aspek kebersihan lain. Hingga pada akhirnya saya menetapkan pilihan di sebuah guesthouse yang paling menarik di detik terakhir.  

Saya percaya bahwa jatuh hati pada pandangan pertama adalah esensial, termasuk dalam memilih tempat untuk ditinggali, meski hanya untuk sekian belas jam. Dan mengetahui profil si host--konyolnya--jika bisa, ternyata adalah hal yang tak kalah penting. Cara mengatur dekorasi rumah, attention to detail pada setiap titik, keseharian si host, cara ia berinteraksi dengan setiap orang yang menjadi tamu--sedikit banyak akan mampu memberikan gambaran tentang guesthouse incaran. A good host, a good guesthouse. Thanks to psychology *meh*

Dan karena saya percaya bahwa gambar mewakili ribuan kata, berikut resume hal yang paling menarik bagi mata,




Kenyataan bahwa pemilik rumah ini sangat menyukai tanaman, entah kenapa sangat menenangkan. Ya, hal terakhir yang sungguh dibutuhkan untuk piknik adalah sesuatu yang hijau :)



Aslinya lebih hijau, kok. Maafkan kualitas jepretan yang hanya mengandalkan kamera handphone ala kadarnya :')


An interesting corner


Kinda attention to detail




















Karena kelak yang menemanimu mungkin sama nyamannya dalam keheningan...


...hanya diam tanpa perlu banyak penjelasan. Itu cukup :)






 Iya! Ada raket dan kok untuk bermain bulutangkis! So much fun!








 Yay, what a spacious garden.

Sarang burung. Too cute!




Sudut favorit. Sungguh memaksimalkan cahaya matahari untuk masuk ke dalam rumah, meminimalisasi penggunaan lampu berlebih di siang hari.


 Cukup surprise mendapati host kami kali ini adalah seorang kolumnis--atau travel writer(?)--sangat masuk akal melihat koleksi buku-bukunya yang--duh--menarik sekali! Bahkan adik saya yang mudah bosan bisa rada tenang semalaman demi membaca buku-buku yang ada.








Kesan menggunakan layanan Airbnb? Senang! Apalagi langsung mendapat rumah dengan kriteria favorit : rapi, bersih, wangi, banyak buku, memiliki halaman luas untuk Cupis berlari kesana-kemari. Efek sampingnya adalah Bapak-Ibu bahkan malas keluar rumah saking nyamannya. Padahal niat awal adalah untuk eksplorasi kota Bogor. Hehe. Pun, sifat OCD saya keluar, bukan cuma sekali saya bertanya kepada keluarga,

"Bagus kan ya? Nyaman kan ya?" berkali-kali macam kaset rusak, sekedar untuk memastikan apakah pilihan guesthouse ini sungguh pas.

"Kok dia percaya sekali ya kita tinggal disini, check-out nya pun ndak ketemu." komentar Bapak suatu ketika, sambil sibuk membolak-balik lembar sebuah majalah travelling.

Dan rasanya ini seperti pembenaran dari post saya sebelumnya,
Technology makes stranger, closer.
It makes us--citizen of the world.

Iya, saya norak. Asli. Tapi norak yang sebanding dengan rasa senang dan puas seluruh keluarga :') Karena membahagiakan orang lain mungkin memang sesederhana itu.


**


Pada akhirnya, mengutip kalimat Seno Gumira Ajidarma di bagian akhir post yang tadi saya sebut di awal,

 “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”








Ayo piknik.










*Penasaran untuk book guesthouse keren ini? Klik disini. Host nya super ramah!























Minggu, 16 April 2017

Local Wisdom Masih Ada? Ya, Masih.



Menemukan celah lalu mengkritisinya lewat sarkasme atau skeptical-thinking. Apakah itu bisa menjadi suatu keahlian? Hehehe.

Iya, salah satunya. Si sarkas *eh
Bedanya dengan beberapa tahun lalu adalah kini (rada) mencoba menjadi bagian solusi (baca : mencari solusi) setelah puas mencecar. Dan, susah. Asli.


**


Barusan sekali, otak terbagi konsentrasi. Dengan tumpukan buku-buku tentang generasi perubahan, millenials, lalu teknologi dalam masyarakat uber, pikiran tiba-tiba mengembara ke suasana persawahan menghijau, udara pegunungan yang segar, suara debur ombak di kejauhan.

Katakanlah, ini muak. Di lingkungan terdekat akhir-akhir ini seperti kecanduan teknologi. Iya, terlepas dari jenis gadgetnya maksud saya. Semua ada dalam genggaman. Semua ada dalam sekali sentuh atau klik.

Mendadak tadi, saya ingin sekali makan Fish Streat. Sebuah resto baru di bilangan Galaxy Bekasi. Dua kali lewat sana, saya dan suami kehilangan nyali sekedar untuk antri. Gila parah antrinya. Masih kapok pasca-antri Flip Burger di Senopati tempo hari. 

Thanks to technology. Dengan mudah kami mengetahui apa yang sedang menjadi tren dan viral. Adalah keren, ketika berhasil mencicipi atmosfer viral tersebut, kan?

Namun di sisi lain, ada rasa timpang ketika melihat deretan pria berjaket hijau sedang sibuk mengantri. Kepala mereka menunduk, jari-jari sibuk bertarung dengan keypad demi mendapat orderan. Entah hujan entah panas. Itu halal. Betul. 

Dan otak saya yang kadang penuh sarkasme ataupun sok rajin mengkritisi, langsung teringat sepenggal adegan dalam film Wall-E.

Wall-E, 2008. Source : YouTube


Film ini dibuat tahun 2008. Sekian tahun yang lalu dari teknologi berkembang. Dan hanya dalam jangka sekian tahun, adegan yang tercapture di film ini bukan lagi menjadi hal mustahil. Melihat penggalan film Wall-E ini kok rasanya, nyes.



**



Jika ada yang mendesak dan mendebat untuk menggunakan teknologi,

"Hei, jangan gaptek! Kamu harus update."

dan detik itu juga rasanya ingin mengernyit,

"Are you sure about that, huh?"

Yakin, kamu berkata seperti itu? Seakan-akan yang tidak melek teknologi hanyalah penghalang kemajuan. Rasa-rasanya kok egois sekali.


**


Bapak saya, adalah seorang wiraswasta. Berbagai usaha telah beliau tekuni dengan sepenuh hati. Apa saja. Hingga sewindu terakhir ini cukup mantap dengan usaha kerajinan tangan. Bapak sudah sepuh, dan anak-anaknya termasuk saya cukup gatal untuk membantu Bapak. 

"Pak, tak jualin di internet ya Pak."
"Ndak usah. Begini saja sudah laku kok."
"Biar Bapak nggak capek, angkut-angkut barang terus. Kan kalau pakai internet tinggal duduk, enak."
"Ndak usah. Nanti ditiru orang."

Itu Bapak. Dengan (yang mungkin menjadi) ketakutannya. Disini saya tak akan membahas betapa beratnya meyakinkan Bapak untuk mengubah model penjualan. Ataupun cara Bapak melakukan penetrasi pasar. Yang saya tahu saat itu--saat masih kuliah--ada gap generasi antara kami dan Bapak. Bapak, dengan metodenya yang kami pikir kuno. Dan kami, yang rasa-rasanya merasa paling melek teknologi di muka bumi.

Hingga suatu ketika, saya memahami apa yang miss dari beda generasi ini. Kecanggihan teknologi seakan-akan tidak memiliki rentang kesalahan. Yang terbaik. Namun ternyata, pelakunya yang kadang menimbulkan keraguan dan mendorong beda persepsi dalam lintas generasi. Bapak mungkin khawatir menggantungkan hidupnya dari sebuah teknologi yang memang sangat dinamis. Benda mati. Namun dinamis. Dan kami, dengan minat yang fluktuatif, kadangpun belum tentu mampu mengikuti ritmenya :)

Wajar, karena sekarang prinsipnya adalah,
Makes stranger closer.
Cukup kontradiktif dengan persepsi jaman Bapak dulu mungkin, kepercayaan itu ada dengan cara pembiasaan dan tidak semata diberikan.

Dan saya baru paham saat itu, ada value yang tak tergantikan teknologi. Gethok tular dan guyub. Bapak, menghubungkan antara satu rantai pengrajin dengan pengrajin yang lain. Berkunjung secara rutin satu-persatu. Dari awam menjadi kerabat. Menyapa langsung. Menyampaikan maksud dan keinginan, namun di satu sisi juga bertanya kabar. Mengenal pengrajin atau mendapatkan ide baru hasil brainstorming pun tidak dari internet atau surat kabar, melainkan gethok tular, info dari orang ke orang. Itu yang esensial. Sesuatu yang tak terbeli meski dengan versi teknologi manapun : local wisdom. Melibatkan pikiran, rasa, dan raga hingga terkonversi menjadi rasa percaya.


Bapak sehat?


**


Lalu, kemana arah dari tulisan absurd ini?
Arahnya hanya satu. Bagi yang sudah sangat melek teknologi, ayolah bersama mendorong yang masih merem teknologi. Jangan sampai, yang maju makin maju. Yang masih dibelakang makin terbelakang. Yang canggih seharusnya bukan teknologinya, namun manusia pelakunya, yang mampu menempatkan teknologi secara lebih bijak diantara hubungan lintas-manusia.

Be part of solution, not problem.











*sebuah catatan pribadi. Karena menjadi bijak tak selalu mudah.





















Minggu, 09 April 2017

Tiket Kebahagiaan



"Berangkat kapan?"
"Malam ini. Habis Isya'."
"Yakin nggak naik pesawat?"
"Kering kantong gue."
"Pinjem gue aja. It's okay."
"Nggak usah. Hahaha. Anggap aja gue mau refleksi sepanjang perjalanan."
"Refleksi? Pijat?"
"Ha-ha. Asli. Lu garing banget."
"Take care, ya."

 Dalam. Sangat dalam.


**


Perjalanan, semewah atau semurah apapun, tak pernah membuat sesal. Jujur, yang paling menyenangkan dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri. Beserta segala keheningannya. Aku bahkan tak keberatan menghabiskan berjam-jam tanpa kepastian hanya karena hal seremeh delay. Konyol ya? Karena buatku, hanya dengan sebuah perjalanan membosankan kamu akan menghargai interaksi dengan orang lain.

'Selalu lihat dari sisi baiknya, Nak,' demikian Ibu selalu berkata. 

Saat itu H-sekian menjelang Hari Raya. Setelah sekian lama, tahun itu kami akan melakukan mudik. Ya. Tinggal di kota setenang Klaten membuatku dan adik terbiasa dengan rasa tenang dan kedamaian. Dan kini kami harus seperti kaum urban yang berduyun-duyun memenuhi kota kecil sekitar kami saat Lebaran tiba, lengkap dengan berbagai buntalan oleh-oleh di atas kendaraan hingga nyaris tumpah ke sisi jalan? Bedanya, kami melawan arus.

"Kenapa Bapak tidak pulang saja, Bu? Ini kan Lebaran. Aku mau Lebaran sama Bapak disini, malam takbiran sambil lihat pawai bedug di alun-alun," Aku baru sadar, saat itu aku cenderung merengek.

Ibu, dengan tumpukan pakaian yang sedang dipilah untuk dibawa mendadak berhenti, lalu berlutut di hadapanku yang masih keras kepala.

"Bapak ndak bisa pulang, Nak. Kita yang kesana, ya."

Aku tak penah tega melihat Ibu sedih, apalagi sampai memohon di depan wajahku. Dan entah kenapa, kali itu Ibu sangat sedih. Tak mungkin tak ku iyakan, kan?

Dan rupanya itu adalah mudik terakhirku ke ibukota untuk menemui Bapak. Di pemakaman. Aku ingat, saat itu aku memakai baju koko berwarna putih gading. Dibelikan Bapak dan dikirimkan ke rumah untuk aku dan adik beberapa minggu sebelum Lebaran tiba. Bapak tahu anaknya tidak suka warna putih bersih.


240 thousand miles from the Moon, we’ve come a long way to belong here,
To share this view of the night, a glorious night, over the horizon is another bright sky
Oh, my my how beautiful, oh my irrefutable father,
He told me, "Son sometimes it may seem dark, but the absence of the light is a necessary part.
Just know, you’re never alone, you can always come back home


**


"Nak, tawaran Pakdhe bagus kok. Ndak diambil?"

Aku memandang setumpuk pisang goreng hangat mengepul di hadapan. Sore tadi ibu memetiknya dari kebun belakang rumah.

"Nggak ah Bu. Aku mau disini saja, menemani Ibu."
"Ndak papa Ro. Ibu ada Nani kok disini."
"Iya Mas, Nani kan kuliahnya cuma di Jogja, dan bisa pulang pergi." adikku menimpali.
"Nanti kamu capek--"

Ibu geleng-geleng kepala,
"Masmu atos tenan Nduk."
yang disambut tawa Nani.


**


"Aku bakal sering-sering pulang kok Bu."

Ibu mengelus kepalaku dengan lembut. Ah. Kok rasanya ingin mengumpat.

"Iya Nak. Hati-hati ya. Ibu baik-baik saja kok. Kan ada adikmu."
"Iya Mas. Ibu sama Nani, kok."
"Jaga Ibu, ya Nik."

Suara derap kereta, peluit pertanda ada kereta langsir, penanda palang kereta bersahut-sahutan di kejauhan. Rasanya tak ada yang lebih berat daripada meninggalkan itu semua. Di tanganku ada sebuah kotak makan berwarna hijau. Bergambar kartun katak. Ibu telah mengisinya dengan oseng tempe, ayam goreng, dan tumis genjer. Tak lupa jeruk pontianak sebuah. Biar tak usah jajan, selalu kata Ibu ketika membawakan bekal untuk aku dan Nani.


93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
'cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon into our eyes
Oh, my my how beautiful, oh my beautiful mother
She told me, "Son in life you’re gonna go far, and if you do it right you’ll love where you are
Just know, that wherever you go, you can always come home


Tumis genjer Ibu biasanya enak sekali. Kali ini tetap enak, namun sedikit pahit. Dan pahitnya sampai ke hati.



**


Orang-orang yang bekerja di Ibukota, pada akhirnya akan menggadaikan rasa lelahnya dengan tiket ratusan hingga jutaan rupiah saat Hari Raya menjelang. Ya, rasa lelah setahun. Kamu tak akan sungguh peduli lagi dengan makian bos, rapat-rapat tak penting yang menyita waktu seharian tanpa hasil berarti, jam kerja diluar ambang batas normal terutama ketika tumpukan target berhamburan, pekaknya telinga dengan klakson panjang saat beradu kendaraan di pagi hari--melintasi jalanan yang tergerus banjir atau lubang-lubang menganga. Tak peduli, selama semuanya demi tiket mudik. Tiket menuju  kebahagiaan, demikian aku menyebutnya. Apalagi yang kamu tunggu selain ekspresi bahagia seluruh keluarga besar di kampung saat melihatmu tiba, dengan tentengan berkodi-kodi baju yang dibeli berdesakan di Tanah Abang?

"Pakdheeeeee!"

Lamunanku terhenti diudara. 

"Hei, Mas!" suara Nani.

"Loh, kamu sudah besar!" aku buru-buru menggendong Aleesha--iya, nama anak sekarang mudah dilafalkan namun sukar ditulis, haha--keponakanku yang mulai bergelanyut di pinggangku. Ahya, Nani sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan manis.

"Sudah dari tadi, Mas?"
"Nggak, barusan kok. Suamimu mana?" 
"Di parkiran, tadi ban nya rada kempes. Eh, bawa barang banyak ya? Kutelepon dia, deh--"
"Nggak usah, nggak usah."
"Icha, ayo sama Ibu. Pakdhe capek itu baru sampai."
"Nggak mau! Icha mau sama Pakdhe!"
"Udah, nggak papa Nik." ujarku geli.
"Yasudah. Mas, mau langsung?"
"Iya. Langsung saja."
"Tapi langsung kami tinggal gimana? Ada njagong temen Bapaknya Icha."
"Iya, langsung aja nanti kamu."


**


"Sehat Bu? Ro kangen Ibu,"

Udara sore itu sungguh sejuk. Berkali-kali aku menghirup udara banyak-banyak, maruk sekali seakan itu adalah stok udara terakhir di muka bumi. Faktanya, bahkan udara pagi hari di Ibukota adalah udara yang telah tercemar, kok. Wajar kalau aku maruk, kan?

"Ro sekarang sudah naik jabatan Bu. Seperti yang Bapak pengen dulu. Jadi orang sukses. Yaa, mungkin belum sukses sekali sih Bu. Tapi cukup. Ro sekarang punya rumah di daerah Kebagusan. Ibu tau nggak daerah Kebagusan? Hehehe."

Kamu tahu, sesuka-sukanya aku dengan keheningan, aku tetap tak suka keheningan detik ini.

"Ro bawakan Ibu anggrek bulan ya Bu. Bunganya bagus sekali, Bu."

Kali ini, biarlah anggrek bulan yang menemani tidur panjang Ibu.


93 million miles from the Sun, people get ready get ready,
'cause here it comes it’s a light, a beautiful light, over the horizon into our eyes


"Ro pamit, Bu."


**


"Mas, ada tamu di depan." Nanik menepuk punggungku yang sedang sibuk memperbaiki kursi. Kursi kesayangan Bapak.
"Mas Bayu ya? Ngajak jalan ke alun-alun lihat pawai bedug dia." sahutku masih sibuk memaku ujung kursi.
"Bukan--"

Entah kenapa kali ini jantungku berdegup kencang. Jantungan?

"Hai."

"Loh--"

"Mau melihat pawai bedug di alun-alun?"
"Lu naik apa?" alih-alih menjawab, aku justru mengajukan pertanyaan.
"Pastinya naik pesawat, sih." ekspresi mukamu tampak geli dan penuh kejutan.

Iya, kejutan. 


Every road is a slippery slope
There is always a hand that you can hold on to.
Looking deeper through the telescope
You can see that your home’s inside of you.


"Pulangnya jangan malem-malem Mas, besok Sholat Ied pagi lo!" Nani, sedemikian iseng. Aku yakin dia menahan tawa karena saat aku berbalik badan dengan muka merah padam terdengar suara cekikikan beradu dengan dentingan rantang sambal goreng krecek, panci berisi opor ayam kampung, dan semangkuk acar nanas.


Just know, that wherever you go, no you’re never alone, you will always get back home


'Bapak, Ibu, selamat Idul Fitri. Maaf kalau Ro banyak salah.' bisikku dalam hati. Semoga kalimat ini sampai ke atas sana, ditemani suara takbir bersahutan di udara malam.















Ditulis dengan rasa kangen udara Yogyakarta dan Gudegnya yang legit rupawan. Ditemani 93 Million Miles-nya Jason Mraz. Replay lagu ini berkali-kali dan langsung mendapat mood bercerita dengan plot diatas :')