Minggu, 04 Desember 2011

Se-ma-rang!

Ini adalah sebuah perjalanan spontan saya ke Semarang dalam rangka pelarian diri dari rutinitas kerja yang bikin mata pedes, kepala pening, dan badan pegel-pegel... Spontan tak terencana. Jadinya ya...sepintas lewat...

 Spot #1 Sam Po Kong








Spot #2 Pabrik rokok Praoe Lajar


Spot #3 Gereja Blenduk




Spot #4 Klentheng


Spot#5  Tugu Muda & Lawang Sewu
Tugu Muda
Semacam Tugu-nya Semarang. Sama seperti di Jogja, tugu ini juga 'rajin' menjadi sasaran foto

Lawang Sewu (sisi megah)
Saat pertama kali berdiri di depan bangunan Lawang Sewu di kala malam, 
saya tidak ngeh bahwa ini adalah bangunan Lawang Sewu. Susunan pohon dan permainan cahaya justru mengingatkan saya pada euforia Natal *loh* 
Indah dan jauh dari kesan angker...


 Spot #6 Nasi Ayam Mbok Ru
Nasi ayam disini bukan nasi + ayam goreng lo. 
Tapi nasi plus suwiran ayam yang disiram kuah santan kuning sayur labu, 
krecek/rambak, dan telor bebek. Didominasi rasa manis, kuliner ini mengingatkan saya pada gudeg Jogja, namun dalam balutan warna kemuning. Sebagai pelengkap, tinggal pilih mau sate usus/sate telur puyuh/ceker/pelengkap lain. Menu ini disajikan dalam pincuk sederhana. Nyoosss!

Saya sendiri menginap di sebuah kawasan Pecinan Semarang, Hotel Nan Yon nan antik... Tanpa pretensi dan preferensi apa-apa, short trip sebelum kembali pada realita dunia kerja ini sungguh sangat menghibur. Dan pastilah, satu hari tidak cukup untuk mengeksplorasi kota unik ini. Next time (again), Semarang!









Senin, 14 November 2011

HR for Hell (wanna be) Resource

Jujur saja, saya menuliskan ini dengan muka yang saya kondisikan se-flat mungkin. 
Seni menjadi HR adalah, berusaha pada titik netral dengan segala pertentangan diantara atas dan bawah. It's hard, man.
Disini, saya bisa menarik kesimpulan, terlepas dari apakah terlalu prematur atau tidak.

**

Kerjasama tim--hal yang dulu sebatas saya amini di balik buku manajemen tebal--adalah penting. Dan pentingnya mutlak 100%, kalau perusahaan mau maju. Sejak awal duduk di bangku kuliah, belajar menjadi HR adalah belajar bagaimana memfasilitasi dan mengakomodasi kebutuhan kedua belah pihak yang mungkin bersinggungan. 

**

Kerjasama, bukan semata hubungan horisontal. Percuma. Kerjasama, adalah bagaimana atasan mau sama-sama berusaha memikirkan bawahannya secara lebih proper. Tidak hanya berlindung di bawah kenyamanan AC dan kursi kulit yang empuk dan hangat. Apakah bawahan hanya semata mengharapkan gaji besar? Tidak kok. Saya bisa menjamin itu. Gaji, bukanlah hal yang dapat meningkatkan motivasi karena itu lebih mengacu pada hak seorang karyawan seiring dengan upaya yang telah ia keluarkan semaksimal mungkin. Situasi kerja, bagaimana atasan bisa merangkul bawahan, adalah hal yang krusial. Terutama ketika gaji tidak dapat menjadi tolak ukur kepuasan seorang karyawan. Dan HR, adalah posisi strategis yang serba salah diantara dua kepentingan. 

Apakah menjadi HR perlu hati nurani? Idealnya, iya.

Menjadi HR adalah, bagaimana kamu tahu bahwa atasan tidak melulu benar dan perlu diluruskan
Menjadi HR adalah, bagaimana kamu tahu jika bawahan perlu situasi dan kondisi kerja yang mendukung untuk bisa menampilkan performansi terbaiknya
Menjadi HR adalah, ketika karyawan tidak mungkin dapat 'dipuaskan' melalui satu perspektif maka dia harus diarahkan pada perspektif lain
Menjadi HR adalah, menjadi orangtua angkat bagi karyawan meskipun mereka masih menganggapmu sebelah mata entah karena kamu junior ataupun anak kemarin sore
Menjadi HR adalah, ketika kamu bisa berempati pada setiap peran dalam bagian perusahaan dan mengetahui dampak jangka panjangnya
Menjadi HR adalah, bukan semata kamu mendapat nilai sempurna karena bekerja berdasarkan tugas, namun mendapat nilai sempurna dari bawahan karena bekerja berdasarkan nurani

Dan ketika menjadi HR membuatmu bekerja tanpa hati dan hanya karena KPI? Apakah itu layak dibenarkan?





Minggu, 06 November 2011

Different is (still) Different



Perkenalkan. Saya Reni. Saya suka hujan, menyeduh kopi pahit, membaca buku. Jawa tulen dan bercita-cita menaikkan kedua orangtua saya haji.”
“Hei. Aku Robin. Mulai detik ini aku akan memandu kamu selama dua minggu ke depan. Kapan-kapan kamu harus mampir ke dekat gerejaku, ada spot menarik yang bisa dijadikan spot kegiatan photo shoot kita."

**

“Ah ya, yang namanya berbeda ya tetap bakal berbeda. Sampai mati perbedaan itu mutlak. Dan pasti mengundang masalah.”
“Kamu picik, ya, Re.”
“Nggak. Rasanya sama pahit seperti ketika kamu menelan obat cina. Hanya saja, efeknya berkebalikan. Pahit pada akhirnya.”
“Dan kalau aku tetap berkata aku sayang kamu?”
It isn’t workin’.”

**

Ko, apa yang menjadi dasar sebuah hubungan?”
“Banyak. Memangnya kenapa?”
“Tampaknya aku jatuh cinta.”
“Pastikan dia sama seperti kita, Ro. Kamu pasti tak ingin seperti Cici.”
“Apakah memang semata hanya kata ‘sama’ yang menjadi dasar dari semua hubungan, Ko? Aku pikir manusialah yang menciptakan kata ‘sama’ untuk memukul rata perbedaan itu sendiri? Menjadi kotak-kotak seperti itu?”
“Tak sesederhana itu, Ro. Tak sesederhana itu.”

**

Bibit, bebet, bobot. Ibu ndak mau kamu punya pasangan aneh-aneh, Nduk. Cukup bibit, bebet, bobot.”
“Ro—“
“Ibu ndak melarang kamu berteman dengan Ro. Tapi sebatas itu saja, Nduk. Kamu kayak ndak tau Bapak mu saja. Mau apa kamu jadi gosip pas arisan trah?”
“Ibu—sebelum sama Bapak, Ibu pernah jatuh cinta dengan orang lain?”
“Pernah, Nduk.”
“Ibu nggak melanjutkan hubungan itu?”
Eyangmu ndak setuju… pacar Ibu dulu cuma lulusan SMP.”
“Tapi Ibu cinta?”
“…cinta. Tapi—“
“Ibu sayang?”
“…iya Nduk. Tapi itu dulu—“
“Bu, maaf Re lancang. Tapi-tapi itu, Ibu mengabaikan semuanya hanya karena dia lulusan SMP—karena Eyang? Padahal entah kapan takdir mungkin menjadikan pacar Ibu dulu sebagai atasan Bapak.”
“Itu berbeda, Nduk. Tolong. Jangan Ro. Tidak sesederhana itu. Perbedaannya terlalu jauh. Tidak sama.”



**

“Kita kawin lari saja, Re.”
“Kamu gila.”
“Aku nggak gila. Aku masih punya cukup logika untuk sekedar berpikir. Aku, dan kamu berbeda. Beda etnis. Beda agama. Beda budaya. Perbedaan signifikan yang sialnya memang ada sejak awal sebagai benteng. Dan masing-masing Tuhan kita yang mungkin sedang ‘iseng’ menuntun kita untuk bertemu seperti ini pada awalnya.”
“Dan aku harus mundur, sejauh ini. Setelah semua ini?”
“Aku bingung. Kamu tahu posisiku.”
“Dan tolong pertimbangan juga posisiku. Posisi hatiku yang menjadi tak karuan sejak kamu datang pertama kali.”
“…”
“Re…?”
“Aku tidak bisa. Kita—tetap berbeda.”
“…”
“Ro?”
“Aku berharap reinkarnasi dan masa depan setelah kematian itu ada, Re.”



Minggu, 23 Oktober 2011

L-O-V-E thisjob


Kerjaan saya memang luarbiasa.
Luarbiasa, karena saya harus mengikuti ritme mereka yang gila-gilaan.
Dengan load yang perfecto.
But, I'm tryin' to love this job :)

Banyak yang saya pelajari sebagai seorang HR Specialist *saking banyaknya sampai pusing*
Visit cabang-cabang, jobfair ini itu, turn over karyawan, riweuh media promosi, deadline  pemenuhan SDM dalam satu minggu, concern performa cabang,  Yang saya bisa bilang cuma :

G-I-L-A! 

Tapi saya janji, saya bakal jadi HR Specialist yang sama gila-nya :p


Any applicant? Please mail me : hr_reg23@bfi.co.id *promosigretongan* tee-hee :D






Minggu, 16 Oktober 2011

It's a Crap! Oh Noooo



"You're not your Facebook status. You're not how many friends you have. You're not the smart phone you own. You're not the apps of your phone. You're not your fucking iPad. You're the all-planking, e-consuming crap of the world." 
(status salah satu teman) 
Oh my. Am I? Are You??
 
 
 

*hottielunchwishes*


 #praying : semoga si Abi tembus yang sayembara buku indie *numpangbeken* amin.amin.amin.

Aduh...pengen duet nulis lagiiiii (ngintip tulisan lama, ini dan itu)


Mary & Max

 
Bagi penggemar film animasi, film ini bukan tipe film romantic anak-anak ataupun petualangan bocah-bocah luarbiasa atau icon petualang. Itu aturan pertamanya.
         Film ini adalah sebuah claymation—macam Shaun the Sheep, dengan dominasi warna hitam putih abu-abu. Bagi saya film ini tergolong out of the box, dan… based on true story.

Menceritakan seorang anak nerd dengan kacamata tebal ala Betty Lafea dan tanda lahir mirip kotoran burung di dahi, Mary—an ordinary-eight-years-old-girl. Ia dibesarkan oleh ibunya yang mirip Cruella de Vil, hobi menenggak sherry, klepto, dan gemar merokok. Ayahnya adalah pekerja pabrik. Tinggal di Melbourne, Australia. Dan tak punya teman.

Mary. Nerd. Inferior. Broken home. Lonely

Sementara itu Max adalah seorang pria berusia 44 tahun, mengalami obesitas dan anxiety disorder. Max juga didiagnosa mengidap asperger’s syndrome. Dan tak punya teman. 
Sebagai seorang aspie, Max memiliki hambatan dalam hal sosial. Ia tak mampu mengungkapkan ekspresi lain selain muka marah, pandai dalam angka, namun minim kemampuan afektif. Max sangat terganggu dengan hal-hal yang sifatnya melanggar peraturan. Seperti orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Dan itu bisa memicu kemarahannya. Tinggal di New York yang riuh, namun kesepian. 

 Max. Aspie. Obese. Anxiety disorder. Lonely.

Mereka bertemu melalui korespondensi. Dimana Mary bercerita tentang dirinya. Membuka diri kepada Max. Memperkenalkan Max kepada hal-hal baru yang mungkin tergolong aneh dan unik. Demikian pula Max, yang membantu Mary mengatasi ejekan teman-temannya tentang noda lahir di dahinya, hingga membangun kepercayaan Mary sebagai sosok yang pantas pula untuk dihargai. Hingga keduanya merasa cocok satu sama lain, dengan cara mereka. Keduanya sama-sama kesepian, bermasalah secara hubungan sosial, penggemar acara TV The Noblets dan mengoleksi miniaturnya.
Max selalu mendorong semangat Mary dengan cerita-ceritanya, dalam surat yang selalu disisipi cake atau cokelat atau susu kaleng. Hingga suatu ketika Max terpicu oleh surat Mary yang membangkitkan kenangan buruknya di masa lalu. Max harus menjalani terapi dan menghentikan korespondensinya. Mary sedih, dan kecewa. Ia berpikir bahwa Max membenci dia karena aneh dan bernoda di dahi. Sampai pada satu titik ia nekat mengoperasi tanda lahirnya.
Setelah serangkaian kesalahpahaman, Max mulai menulis lagi untuk Mary. Menjelaskan kemana dan apa yang menimpanya hingga divonis mengalami gangguan secara mental. Saat itu Mary sudah menikah dengan Damian—tetangga depan rumahnya yang dipuja sejak kecil. Kepercayaan diri Mary kian meningkat. Ia matang secara mental, memiliki rumah tangga yang mapan dan meraih gelar akademisi. Mary mengambil mata kuliah tentang gangguan mental, dengan menjadikan Max sebagai bahan studi kasusnya.
Saat Mary siap dengan bukunya tentang Max, ia mengirimkan kopian buku itu kepada Max. Tak disangka, Max marah. Benar-benar marah. Ia mengetik balasan yang penuh kebencian kepada Mary, bahkan mematahkan tuts huruf M di mesin ketiknya saking emosinya. Mary kecewa, dan ia merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta maaf, namun Max tak membalas. Hidup Mary menjadi kacau. Ia menjadi tak punya semangat hidup. Damian yang pada awalnya memujanya atas kepercayaan diri Mary, menjadi tak nyaman. Hingga pada suatu titik, ia memilih pergi demi mengejar cintanya kepada Desmond, seorang petani dan peternak domba yang ditemui melalui korespondensi. Desmond adalah seorang pria. Mary makin hancur.
Max—tanpa Mary, lama-lama pun merasa kesepian. Ia telah menemukan bentuk persahabatan yang sebenarnya, tidak hanya ilusi. Bersama Mary ia bisa merasakan emosi yang sesungguhnya. Bukan cinta, namun persahabatan yang tulus. Yang tidak semata hanya karena fisik atau hal praktis lain. Max pun tersadar, ia menulis sebuah surat dan mengirimkan semua koleksi The Noblets nya kepada Mary sebagai tanda bahwa ia telah memaafkan Mary.

“The reason I forgive you is because you are not perfect. You are imperfect, and so am I.

Setahun kemudian, Mary memutuskan untuk mengunjungi Max—setelah bertahun-tahun lamanya. Ia berangkat ke New York, dengan bayinya dalam gendongan. Sesampainya disana, ia menemukan Max. Namun Max telah meninggal.

“…if I was on a desert island then I have to get used to my own company just me and the coconuts. He said I would have to accept my self, my warts and all, and that we don’t get to choose our warts. They are parts of us and we have to live with them…”

Mary terharu, karena Max ternyata sangat menganggapnya sebagai sahabat. Satu-satunya sahabat di muka bumi. Max bahkan masih menyimpan seluruh surat dari Mary di dinding ruangannya, serta barang-barang dari Mary. Max meninggal, namun dengan tenang, karena keinginannya untuk memiliki sahabat telah terwujud.

“…everyone’s lives are like a very long sidewalk. Some are well paved, others, like mine, have cracks, banana skin, and cigarette butts. Your sidewalk is like mine, but probably not as many cracks. Hopefully one day our sidewalks will meet and we can share a can of condensed milk. You are my best friend. You are my only friend.”

Sumpah. Film ini sangat menarik dan bermoral sekali. Absolutely recommended.


Sabtu, 15 Oktober 2011

On-Off


"I wanna off."
"Kamu egois."
"Tak peduli. Aku punya hak mengatur alurnya. Karena itu, maka aku bebas menentukan kapan garis ini berakhir dong."
"Tidak bisa."
"Bagaimana bisa?"
"Karena aku juga punya hak mengatur hidup kita. Tolong kesampingkan semua mood mu yang mirip jungkat-jungkit itu. Kamu harus mencoba dewasa."
"Tapi aku capek."
"Dan kamu capek di garis start. Tidakkah itu memalukan? Tak perlu dijawab, ini retorik kok."
"Stupid...  but I wanna quit from this silly game."
"Masalah ini tidak semasif itu. Itu hanya perasaan rumitmu saja yang mengkontaminasiku."
"Jadi kapan aku bisa mengeluh padamu? Bahwa aku benar-benar merasa lelah dan bodoh menghadapi ini semua?"
"Saat kamu menyentuh garis akhir, perasaan. Rasakanlah dengan diriku. Sampai titik akhir. Itu batas kadaluarsanya."
"Seberat apapun yang kamu lihat sejak garis start, pikiran?"
"Seberat apapun itu, perasaan."






Senin, 10 Oktober 2011

Alhamdulillah Yah!


Saya tetap memaksakan posting hari ini karena satu yang jelas :
Inspirasi suka ngasal datangnya, suka ngawur hilangnya. Jadi daripada saya kehilangan momen-momen mengetik di depan laptop ini kelak (JANGAN SAMPAI!!), maka mengetiklah saya dengan mata sayu mengantuk, kaki pegal-pegal, dan badan tidak karuan. 

*** 

Ada alasan-alasan tertentu yang membuat saya masih bisa bersyukur hari ini meski badan saya rontok sekali. Dari pagi saya bolak-balik area Kwitang-Kebon Sirih-Senen-Kebon Sirih, dengan tas berisi laptop yang--thank's God--berat sekali. Saya memandu beberapa potong psikotes hari ini, banyak berdiri dan berjalan kesana-kemari. Hebatnya, entah bagaimana logikanya ya, mendadak yang terbesit dalam pikiran adalah film Kiamat Sudah Dekat yang dibintangi anak band yang kini menjadi pelawak itu. Dan saya baru sadar, ilmu ikhlas itu hal yang eksis.

Ikhlas.
Kata itu terkesan sakti dan angker. Berat. Mudah diucapkan, susah dijalankan. Saya suka menghindari kata ikhlas, karena untuk menjadi ikhlas itu dibutuhkan lebih dari sabar dan lapang dada. Serem ah.
Ikhlas.
Ikhlas adalah, bagaimana menjalani kehidupan, berangkat dari titik 'show must go on' serta berakhir pada poin 'whatever will be, will be'. 
Ikhlas adalah, ketika aturan pertama adalah 'enthusiasm' dan yang kedua adalah 'nothing to loose'.
Ikhlas adalah, ketika badan terasa remuk dan gilanya masih ada setitik kepuasan atas apa yang dijalani hari ini.
Ikhlas adalah, ketika apa yang kita jalani hari ini--berantakan--tapi ada keyakinan bahwa esok adalah titik terang. 
Ikhlas adalah, ketika saya mulai mengetik kata-kata tak beraturan disini, dan KALIAN masih saja setia membacanya sampai SINI :)

Saya sedang tidak menggurui siapapun loh ya. Jadi baca posting ini tidak perlu sampai mengernyit begitu. Hehe. Karena saya juga hanya menuliskan apa yang berlompatan dalam pikiran saya. Mirip-mirip katak. Asal lompat. Asal tinggi :p



*well, jarang-jarang saya relijius seperti sekarang ini. Alhamdulillah yah.






Jumat, 07 Oktober 2011

Hell yeah, I'm a Recruiter *songong*



Ketika saya menjadi seorang rekruiter, saya mendadak bisa merasakan emosi orang-orang yang terlibat di dalam perhelatan bernama jobfair.
Rasanya?
Lengkap.
Saya pernah menjadi seorang pelamar, si jobseeker. Dari satu jobfair ke jobfair lain. Satu perusahaan ke perusahaan lain. Berdoa dan memohon, tiap kali memasukkan aplikasi, 
"Tuhan, semoga ini memang jalan saya."
Menjalani dengan sepenuh hati rangkaian demi rangkaian tes yang kadang lebih menyita mental dan emosi daripada kecerdasan otak.
Kesal, kecewa, bahagia, terkejut. Semuanya saya rasakan ketika menjadi jobseeker. Ketika harapanmu melambung dan kemudian gagal di tengah jalan. Itulah proses. 
Dan ada kalanya kesempatan itu datang, sebagai seorang rekruiter. Melihat para pelamar--sama seperti saya pada beberapa saat lalu, berusaha hal yang sama dengan tujuan berbeda. Dari yang idealis setengah mati, yang dilirik hanya perusahaan ber-merk, sampai yang hanya mengadu peruntungan ke semua booth. Mondar-mandir, lengkap dengan pasfoto, tumpukan CV, satu bendel brosur dan pamflet dari anekarupa perusahaan. 
Saya kadang perlu mengesampingkan rasa iba saya, tiap berhadapan dengan pelamar tertentu. 
"Mbak, saya tadi lupa ada psikotes. Ada psikotes ulang tidak?"
atau,
Seorang pelamar yang mendadak sakit perut dan dia 'terpaksa' meninggalkan separuh sesi tes. 
Saya hanya bisa berkata dalam hati,
"Kalau memang jodoh, pasti tak kemana."



jobfair @Binus Anggrek 4-5 Oktober 2011

Jobfair di Binus kemarin, adalah sesi formal saya sebagai seorang recruiter. Bahkan ya, setelah saya bekerja pun, aura persaingan pun tetap terasa. Maksud saya seperti ini, kebetulan perusahaan saya berdampingan dengan perusahaan lain. Kalau perusahaan kami, ndilalahnya ya nggak ngoyo. Entah ya, apakah karena kami adalah anak Psikologi/Manajemen, jadi lebih beretika begitu? *preettt* Nah, perusahaan saingan, ceritanya adalah perusahaan swasta perbankan, cara pendekatan mereka pada para pelamar cukup signifikan. Kebetulan yang meng-handle booth adalah marketing mereka sendiri, barangkali sebagai daya tarik. Dan mereka mengejar pelamar sampai di depan muka kami, dengan pendekatan marketing kartu kredit.  Waduh… luarbiasa. Saya dan teman hanya ketawa-ketiwi cengengesan. Benar-benar prinsip kami, “Kalau jodoh ya nggak kemana”. Hahaha *ups*
Lain lagi cerita salah satu pelamar. Ada seorang pelamar datang ala kadarnya. Satu yang nyeleneh dengan dia,
“Mbak, saya mau melamar dong. Tapi yang peminatnya sedikit saja ya. Kalau banyak saya malas saingannya. ”
“Mm…okai. Ada pengalaman kerja sebelumnya?”
“Ada Mbak. Tapi Mbak mesti nggak percaya sama pekerjan saya. Yang punya saya ini kebetulan.”
“Oh ya, apa memangnya?”
“Saya produser Mbak. Sudah 3 tahun. Mbak mesti nggak percaya. Kecil si Mbak, bla bla bla.”
“…”
“Ini tahapnya apa saja, Mbak?”
“Oh, ini nanti ada psikotes. Jangan lupa membawa kalkulator dan alat tulis, ya.”
“Hah, pakai kalkulator Mbak? Yah, ada psikotesnya, ya?? Kalau cuma nulis daftar identitas begini sih nggak papa Mbak. Kan sama-sama yang dilihat tulisan pakai  tinta. Tapi kalau di psikotes yang dilihat kan beda, nggak cuma tinta—”
“…”
Oh. Well. Hell yeah, I'm a Recruiter and I'm in.



Selasa, 04 Oktober 2011




"We both are awesome in our field"



Percakapan dalam salah satu aplikasi messenger dengan rekan lama, setelah sekian bulan tanpa percakapan berarti...




Senin, 03 Oktober 2011

Memori Daun Pisang


Rintik-rintik hujan
Hujan malam-malam
Malam yang semi sepi dan biasa
Biasa terbiasa ditemani sepatah dua patah kata
Kata yang abstrak, disusun untuk menemani kepulan kopi
Kopi tiga sendok gula, sedikit pahit
Pahit mengenang
Mengenang bahwa hari ini hujan
Hujan yang sama
Sama seperti tahun lalu

**

Saat aku sendirian
Sendirian memandang hujan yang sama
Sama sepertimu



kangen




*menyetotalmenjelangpenempatan*
Kwitang, 03102011





Ketika Lapar Tingkat Dewa, Itulah Cemas!

 
Berat badan saya bertambah sekian kilo.
Saya bahkan baru sadar ketika teman saya berkomentar lebih dari beberapa kali dalam beberapa pekan terakhir.
Saya tidak percaya.
Tapi, mengingat saya mengalami kecemasan luarbiasa akhir-akhir ini… well. It happened.

**

Saya suka makan. Suka sekali makan. Tapi saya tak bisa gendut. Entah ini sombong atau prihatin ya. Yang jelas, saya tak bisa gendut. Lalu apa hubungannya dengan hobi makan?
Setelah sekian lama, saya baru menyadari fakta ini :
Saya suka makan. Suka sekali makan. Saya tak keberatan makan berat lagi meskipun sudah makan sebelumnya. Makan berdua pacar, kami bisa makan dua bakul kecil (kami makan mirip kuli…ouch), praktis masing-masing kebagian satu bakul *wth* saya sendiri, hobi ngemil nasi. Tolong ya, ngemil. Tanpa garam atau MSG yang bikin bodoh itu. Masalahnya, sebakul dua bakul, saya tetap segini aja badannya. Lantas, kemana larinya asupan gizi saya?

**

Saya mudah cemas dan hobi berpikir tentang hal-hal tak penting sekalipun. Gara-gara waktu saya yang 24 jam itu banyak saya habiskan untuk mencemaskan hal-hal yang diluar kendali, energi saya terkuras!! Dan karena energi saya habis, saya gampang sekali lapar. GAMPANG. Tiga jam sekali, saya pasti merasakan lapar. Dan itu sangat menyiksa! Karena jika lapar, saya akan mudah merasa pusing, mual, dan gelisah. Teman saya bahkan menyadari perubahan ekspresi dan mood saya tepat setelah saya makan—makan apapun, termasuk lemper sekalipun. Duh.

**

And thank’s to my job. Saya mulai merasakan excited luarbiasa sehubungan isu penempatan saya sebagai HR Specialist (berarti saya lulus tuh, amin). Saking excitednya, saya cemas. Karena saya cemas, menjelang penghujung minggu saya makin gampang lapar. Argh.
Penyakit lama kambuh, keberatan hengkang zona nyaman saya. Keberatan yang tak tertolong untuk kali ini. Rarrwr. Hola Ambon—Banjarmasin—Kerawang. Dipilih… Dipilih… Dipilih… *tepokjidat*