Di kota ini, tidak pernah ada yang berani mendefinisikan cinta. Semua hal telah dipahami dengan baik oleh penduduknya. Pengetahuan apa pun telah tersusun dengan rapi dalam ensiklopedia raksasa yang selalu bertambah tebal setiap tahun. Apa pun, kecuali cinta.
Kenapa kecuali cinta?
Karena cinta terlalu absurd untuk diselami. Memabukkan, sekaligus membahayakan. Hanya orang-orang dengan keteguhan hati, yang mampu menyelami maknanya. Dan sayangnya, sampai detik ini semua gagal. Telak.
Jika kau tanya aku, pernahkah aku mencoba untuk mendefinisikannya, maka dengan bangga aku akan menjawab pernah. Walaupun tentu saja aku malah terhisap semakin dalam sebelum kemudian dipentalkan kembali oleh organisme abstrak serupa lubang hitam bernama cinta.
Tapi aku telah bernazar kepada langit untuk sekali lagi mencoba mendefinisikan cinta beserta segala hiruk-pikuk di dalamnya. Sebenarnya bukan semata untuk langit, juga untuk seseorang. Seseorang yang telah meninggalkan kota ini bertahun-tahun yang lalu. Untuk mencari kehidupan yang lebih baik, katanya. Alasan klise.
Kini, alasan klise itu seakan menjadi bagian malam yang kelam, siang yang terang, dan abu-abu yang tabu. Terasa sangat dekat untuk dijangkau, namun jauh sekedar diramu. Menjadikannya sepahit jamu yang dijual oleh seorang ibu tua di sudut pasar, dengan khasiat yang begitu besar. Bagi siapa? Bagi apa? Bagi keseimbangan jiwa. Menjadikan hari serupa merah jambu.
Aku memahami definisi absurd itu tak jauh berbeda dari rumus matematika, bahwa satu ditambah satu menjadi dua. Sesederhana itu saja. Namun terkadang berbagai integral, pangkat, dan logaritma menjadikan sesuatu yang sederhana menjadi terlalu istimewa--aku tak paham. Cinta, seyogyanya itu sederhana.
Tok. Tok. Tok.
Ups. Ada yang mengetuk pintu! Si cinta yang merah jambu.
"Permisi, bisakah kita kembali pada realita? Aku tak bisa menggunakan logaritma ataupun integral. Bisakah, aku menggunakan kalkulator dari warungku saja?"
"Kenapa?"
"Aku takut. Ketika idealisme itu melupakan akarnya. Dan menjadi utopis. Segera! Sebelum aku mati di awang-awang."
Maka terbanglah kembali si cinta merah jambu. Meninggalkan pintu rumahku, menuju pintu-pintu rumah lain, mengetuknya, dan memberi harapan yang samar pada manusia-manusia lain yang sedang gundah atau terlalu takut untuk merengkuh cinta. Mereka yang terlalu takut untuk jatuh setelah diterbangkan menuju nebula oleh sayapnya.
Sudah berkali-kali organisme abstrak merah jambu itu datang mengetuk pintuku. Merah jambu, warna yang menyenangkan untuk dilihat oleh siapa pun. Tapi aku cukup jeli untuk melihat, bahwa ada warna lain dalam dirinya. Hitam, warna yang menenggelamkan, warna yang mematikan. Cinta mempunyai sisi lain, sisi kelam yang bisa muncul kapan saja.
***
Aku percaya, kalau si merah jambu adalah hitam yang baru.
Lembut, namun kejam. Pendengar yang baik, namun mampu menikam.
Dan, dengan bodohnya aku masih disini, kamu masih disitu, orang-orang kota masih menunggu. Menunggu apa? Si merah jambu. Menunggu definisi cinta yang baru.
***
Tok. Tok. Tok.
Ada yang mengetuk pintu rumahnya, si merah jambu!
"Ada apa pagi-pagi begini?"
"Ini tentang orang yang pernah bernazar padamu."
"Ya? Apakah akhirnya dia berhasil mendefinisikanmu?"
"Tidak, kamu sendiri tahu tidak akan pernah ada yang bisa, dimana pun. Dia justru sudah sampai di satu titik dimana sudah tidak penting lagi untuk mendefenisikanku."
"Aku sudah pernah bilang padanya tidak ada gunanya mendefenisikanmu, tapi dia tidak pernah mendengarku. Itulah kenapa aku pergi.."
"Maka jangan pergi, karena meski virus merah jambu adalah hitam yang baru, nyatanya aku disini... mengetuk pintumu sepagi ini."
"Kenapa aku?"
"Hatimu terlalu utuh, terlalu merah jambu. Untuk secepat itu berlalu."
*sekali lagi, featuring Lulabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar