Minggu, 29 Mei 2011

Aku, Reja, dan Andri






“Aku suka sama Reja.”

Uhukhoek!

Secangkir latte langsung kandas. Auli hanya bisa meringis menahan perih dan efek kebas sesaat. 

“Maaf…”

“Kenapa harus kamu…?”   


** 


“Oya, kenalin Ja, ini sobatku.” Auli sibuk memperkenalkan kedua orang yang asing satu sama lain itu. Yang satunya sahabat kentalnya, yang satu lagi…ehm…calon gebetan.

Kedua orang dihadapan Auli hanya saling mengangguk sopan dan bersalaman ala kadarnya.

“Sori Ja, aku buru-buru banget nih, Ntar lagi ya aku telepon, deh.” Auli buru-buru kabur dari tempat itu, menghindari Reja. Beberapa belas meter berselang,

“Kenapa sih?”

“Aduuuhhh…aku suka salah tingkah di depan Reja! Daripada lagi-lagi berbuat bodoh, mending kabur sekarang, deh.” Auli masih saja setengah berbisik sambil memasang tampang waspada, jaga-jaga kalau Reja nongol tiba-tiba.

“Oh…”

“Hmm.”

So, kamu serius suka sama Reja?”

“Iya.”

“Apa sih, istimewanya dia?”

“Klise atau beneran nih?”

“Dua-duanya?”

“Klisenya, dia baik, perhatian, charming, kinda Mr. Right that I ever dreamed about…”

“Yang beneran?”

“…aku juga nggak ngerti, kenapa dia sebegitu menariknya. Ketika aku lebih banyak menemukan sisi negatifnya, tapi aku masih saja berpikir bahwa dia Mr. Right. He’s the it man.”

“Kamu bodoh, berarti?”

“Iya ya? Nggak apa-apa, deh.”


** 


Espresso berpadu Ernest Hemingway, di antara hujan rintik-rintik. Hmm, nikmat.

Akhir-akhir ini Auli punya hobi baru, ngendon di pojokan hangat kafe kecil yang baru buka seminggu lalu. Atmosfirnya sangat menyenangkan. Cocok untuk melarikan diri sesaat dari rutinitas. Siang ini, Auli seorang diri. Teman janjiannya bakal telat gara-gara ada sedikit urusan.

Mata Auli tertumbuk pada halaman kelimapuluh, ketika ponselnya bergetar.

Reja?

Jantung wanita itu langsung berdetak terlalu kencang mendapati nama Reja di layar ponselnya.

Damn! Aduh, sial—deg-degan segala.

Saking tegangnya, siku Auli menyenggol cangkir espresso-nya dengan cukup keras. Latte art dalam espresso Auli mendadak buyar, bercampur warna.

Tapi rupanya, pesan singkat dari Reja lebih membuyarkan pikiran Auli dalam sekejap, lebih daripada latte art yang melebur itu.

Tanpa menyentuh cangkir espresso-nya yang setengah hangat, Auli bergegas mengambil hand bag Samsonite-nya, sekaligus Ernest Hemingway yang mendadak begitu menjemukan.

Latte art jantung hati dalam espresso Auli semakin samar, seiring secangkir yang dingin itu.





** 


“Aku mau jalan sama Reja, yippie! Mau nitip apaan?”

“Malam ini?”

“Sore ini—“ Auli mengoreksi. Dalm hati wanita itu tak henti mengagumi pantulan dirinya di cermin. Oh, kenapa sih, hanya perasaan berbuncah bernama cinta yang bisa membuatku merasa secantik ini?

“Nggak, deh. Gara-gara kamu ada kencan—berarti aku sendirian, ke mini concert jazz itu?”

Auli tertawa mendengar keluhan sahabatnya. Sudah beberapa minggu ia intens berjumpa dengan Reja—the only one future Mr. Right.

“Cari pacar, lah. Masa nggak ada yang berminat sama kamu, sang manager eksekutif?”

“Cih—haha. Sudah jam segini, berangkatlah.”

Jari Auli baru memutar kenop pintu, saat ia teringat sesuatu,

“Eh—beberapa kali Reja nanyain kamu, kira-kira kapan bisa ketemu? Dia tertarik dengan lini usaha perusahaanmu.” 

“Oh—oke. Besok deh, aku hubungin dia.”


** 


Espresso lagi, kali ini tanpa rintik-rintik. Dan tanpa Ernest Hemingway.

Sebenarnya malam ini Auli ada janji dengan Reja, tapi mendadak pria itu membatalkan janji di detik-detik terakhir. Dan biasanya ia akan mencadangkan sahabatnya ketika ‘ditinggal’ Reja. Sayangnya si sahabat juga mendadak tak bisa tepat waktu menemani.

Sesosok orang menerobos masuk kafe kecil itu, mendekati meja Auli.

“Aduhh, lama deh!” ringan Auli memeluk sahabatnya, ber-cipika-cipiki seperti biasa, ritual wajib mereka.

“Maaf.”

Deg!

“Parfum mu…ganti?”

“Nggak. Kenapa?”

“Oh—nggak. Baunya lebih enak.”

“Nggak kok, sebentar ya, aku pesan sesuatu dulu di bar.”

Yang diajak bicara mengangguk singkat. Memandangi sahabatnya dari kejauhan, Auli menelan ludah dengan sangat terpaksa. Bertahun-tahun berkawan, Auli tahu dengan pasti parfum favorit seumur hidup sahabatnya itu.

Ponsel Auli bergetar.

“Halo?”

“Halo—hei, Li. Aku tadi mampir apartemenmu tapi kamu nggak ada, mau balikin Zara. Oiya, tadi aku ketemu Reja, sama sahabatmu—aduh, siapa itu namanya? Eh—“

Klik.

Reja?


** 


“Aku suka sama Reja.”

Uhukhoek!

Secangkir latte langsung kandas. Auli hanya bisa meringis menahan perih dan efek kebas sesaat. Di hati, bukan di tenggorokan.

 “Maaf…”

“Kenapa harus kamu…?” kepala Auli jadi pening sendiri. Pasti telinganya salah mendengar. Halusinasi. Ya! halusinasi. Pasti gara-gara over caffeine. Pasti!

“Maaf, Li. Aku salah…”

“Kenapa harus kamu… Andri, kamu kan sahabat baikku… kenapa harus Reja??!!”

Andri, si sahabat, hanya bisa tertunduk. Mungkin, kalau otaknya adalah radio, dan radio itu bisa memutar soundtrack-nya pada detik ini, Sobat-nya Padi bakal jadi pengiring perasaannya yang paling tepat. Ia adalah sahabat—sahabat laki-laki—yang berselingkuh dengan pacar sahabat perempuannya!

Jantung hati di latte art Andri, langsung lumer diantara espresso. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar