Rabu, 11 Mei 2011

Semua Berakar pada Kesosialan Manusia





Beberapa hari yang lalu saya mendapati sebuah e-mail noreply dari Twitter. Isinya? Adminnya dengan rendah hati ternyata mempertanyakan hilangnya batang hidung saya sejak berabad-abad lalu di jejaring media bericon burung biru itu. Wah, saya tersanjung—karena toh, saya benar-benar tidak peduli dengan duni per-twitter-an. Sedikit geli, ketika semua orang tampaknya begitu bangga dengan jumlah tweet ataupun siapa mem-follow siapa. Aduh, bagi saya itu samasekali tak menarik. Ya, saya sebenarnya cukup skeptis terhadap hal-hal semacam itu. Jangan tanya kenapa, karena ini pilihan semata. Ada sih, alasan lain—sekalipun saya memiliki akun dan tercantum di blog saya ini—adalah karena modem saya yang lemot, dan ponsel saya tak mendukung kecanggihan teknologi semacam ini. Jadilah saya ndeso, mengasing dari hingar-bingar Twitter, meski toh saya masih peduli dengan Facebook. Awalnya saya kira bakal kiamat, ketika perkembangan dunia hanya tampil lewat pesan singkat yang sifatnya open public. Nah, tapi tidak. I’m alive. Saya masih hidup kok. Bernapas lewat Facebook yang kering kerontang, YM, dan lebih aktif di blog. Ini kepuasan yang paling eksis bagi saya sekarang ini. Ini kalau saya lo. Kalau yang lain, ya monggo. Urusan masing-masing lah.


***


Terkait jejaring sosial, manusia memang makhluk yang tak betah hidup sendiri, betapapun autisnya ia. Saya, kamu, dia, mereka, semua, toh tetap perlu kehadiran orang lain dalam berbagai versi. Mengutip tulisan salah seorang teman,



“Karena kami takut, kami takut sendirian. Makanya kami menciptakan diri kami dalam semua hal. Dalam film kartun, dalam patung, dalam lukisan, dalam boneka salju. Supaya kami bisa melihat kemanapun kami pergi.”



Saya juga. Alasan saya membuat akun Twitter adalah agar saya tetap terhubung dengan teman-teman yang tampaknya lupa bagaimana bersosialisasi secara manual. Duh, tapi saya jadi capek sendiri. Sudahlah. Teman memang datang dan pergi. Ketika segerombolan teman dalam suatu periode menghilang dalam cara masing-masing—atau saya yang menghilang?—entah, maka saya menemukan teman yang saya temui secara aksidental. Teman blogger lain, teman satu kampus yang tak pernah bertegur sapa sebelumnya, kakak angkatan, mas-mas ex salah satu bank terkemuka yang patah hati dengan perusahaannya itu—kebetulan kami berkenalan di salah satu sesi seleksi—dan ia lebih beruntung dari saya, diterima di tempat yang lebih baik (menurutnya), mbak-mbak dari Semarang yang niat mengadu nasib lewat serangkaian seleksi di Jogja, mbak-mbak lain yang ceriwis memperkenalkan diri dan heboh ‘menuduh’ anak psikologi pasti lulus psikotest, salah satu kerabat manten putri yang (bisa-bisanya) cocok dengan saya saat pernikahan kemarin, dan sederet orang-orang baru lain.

Imbasnya apa, dong? Kehadiran orang-orang semacam itu mengetuk pikiran saya yang suka sok lupa—lupa kalau saya adalah homo socialis. Mereka juga. Sejauh apapun saya menjauh dari keramaian, saya tetaplah makhluk sosial. Mereka juga. Dengan lugasnya beberapa menceritakan cerita-cerita mereka—kepada saya—yang notabene adalah orang yang baru mereka kenal. Menjadikan saya begitu kaya, dan menyadari bahwa saya—butuh hal sesimpel mendengarkan orang lain, dan gentar jika sendiri. Pertemanan adalah semacam trade in kebutuhan psikologis, bersosialisasi.

Sedikit terkejut, ketika saya menganggap bahwa pertemuan dengan mereka yang tak ubahnya kebetulan, ternyata lumayan dimaknai. Sebut saja kerabat pengantin yang tiba-tiba meng-add akun Facebook saya (posisi WO tidak terlalu penting loh—terkadang—hingga terlalu tersembunyi untuk sekedar diingat), atau pesan singkat dari mas ex bank yang menanyakan perkembangan tes-tes saya selanjutnya di perusahaan lain, atau teman yang berbaik hati meminjami saya buku Ayu Utami serta kumpulan cerpen Seno Gumira Aji, atau teman lain dari blog tetangga yang mampir sekedar menyapa, atau proyek yang datang tiba-tiba dari seorang kakak angkatan. Kaget? Mungkin. Terkadang hal-hal kecil semacam itu dalam keseharian membuat saya tersadar berulang kali (untuk kemudian lupa, dan kembali tersadar) : selalu ada alasan, untuk mempertahankan kehidupan.   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar