“Iya, kamu dapet pembimbing Bu ***.”
“Hah!?”
**
Adam Lambert – No Boundaries *press play*
Just when you think the road is going nowhere
Just when you almost gave up all your dreams
They take you by the hand and show you that you can
There are no boundaries
**
Campur aduk mirip gado-gado. Kira-kira begitu rasanya pas pertama kali dapat pengumuman nama dosen pembimbing skripsi tercinta. Rada stress—tepatnya—mengingat si ibu yang sibuk itu sedang tambah sibuk karena merawat suaminya. Ya, suaminya menderita kanker. Saya—yang orangnya nggak enakan dan nggak tegaan, kudu memberanikan diri untuk rajin ngapel si ibu, demi mengejar tenggat Februari. Entah apa yang saya kejar sebenarnya—apakah demi menghindari omelan ibu saya yang tak henti-hentinya mengomentari skripsi saya yang tak selesai-selesai (for God’s sake, padahal saya angkatan yang masih hijau *it means, bahkan kalau saya mau masih ada bertahun-tahun jatah sebelum kena DO—tapi tentu saya tak sebodoh itu*), atau keinginan untuk menyusul ‘seseorang’ ke kota kejam berawalan J gara-gara capek long distance relationship, atau muak setiap hari kudu memelototi antara laptop, jurnal dengan huruf kecil-kecil bahasa inggris yang bikin pusing, atau insomnia di saat semua orang sedang bermimpi indah. Kemungkinan-kemungkinan itu benar-benar mendorong saya untuk segera keluar dari lubang buaya, ternyata.
Seconds hours so many days
You know what you want but how long can you wait
Bulan-bulan awal saya masih semangat ’45, menyingsingkan lengan baju demi menggarap skripsi. Lama-lama? Sungguh, saya muak. Tapi saya benar-benar tak punya sesuatu (--atau seseorang?) yang bisa saya jadikan tong sampah. Sayangnya belum ada. Saya tidak bisa cerita kepada orangtua saya, karena mereka akan lebih menangkap bahwa saya mengeluh—alih-alih saya sebenarnya mulai merasakan tekanan batin. Dengan teman? Sangat tidak solutif, karena sejujurnya curhat dengan teman seringkali hanya memberikan penghiburan semu (saya rasa, tidak ada teman dalam fase yang sama yang akan sepenuh hati mendukung semangat kita—yang ada (mungkin) mereka sedikit berbisik dalam hati dengan iri kenapa temannya melaju begitu kencang. Paling pol saya dikomentari, “Kamu ngapain sih, cepet-cepet banget? Nyantai dikit lah… “ Geez. Prioritas tiap orang, memang berbeda, sih). Pacar? Tumpuan terakhir ini tentu lebih sulit dijangkau lagi—secara harafiah—karena kami ber-long distance ria.
Seconds hours so many days
You know what you want but how long can you wait
Every moment lasts forever
When you feel you've lost your way
Pacar saya, kakak angkatan saya, teman-teman saya, bahkan orangtua saya, pasti tahu betapa stressful-nya fase tugas akhir. Tapi tetap saja, semua orang menjadi begitu tak paham kondisi menyebalkan yang saya alami. Keluar dari penelitian payung, memulai dari nol besar, salah skala, suami dosen pembimbing meninggal, kemudian disambung dengan putra beliau mengalami kecelakaan… belum lagi ketidakcocokan antara teori, skala, dan pembahasan menjelang detik-detik sidang—sumpah! Sepet sesepet-sepetnya. Dan masih saja ditanyai, sidang kapan? Lulus kapan? *so RAARRWWR
Memang tak bisa, ketika berharap semua menjadi sesempurna rencana kita, kan?
What if my chances were already gone
I started believing that I could be wrong
Waktu kemarin saya ngebut skripsi, terus terang saya sudah hampir sangat menyerah. Beberapa minggu yang tergadai karena Merapi ngamuk, suami dosen berpulang, dan kecelakaan parah putra beliau—praktis menggerogoti hari minimalis konsultasi saya. Semua orang begitu yakin bahwa saya akan tembus Februari (entah atas dasar apa)—yang sangat menekan saya. Mungkin, memang tak ada yang bisa menyelamatkan waktu yang berputar cepat selain keajaiban dan secuil keyakinan.
I fought to the limit you stand on the edge
What if today is as good as it gets
Tapi ternyata yang namanya skripsi—suka-nggak-suka, pahit-nggak-pahit—kudu dijalani. Pilihannya cuma maju atau diam. Bisa saja sih, saya diam. Sebodo amat sama omongan orang, yang penting saya eksis. Hahaha. Tapi toh, saya hanya akan menunda sesuatu yang pada akhirnya tetap harus saya hadapi, kan? Sama saja, ketika saya berharap saya bisa lompat hari, tau-tau saya sudah sidang, atau wisuda—tanpa mau repot menghadap dosen yang selalu menemukan cacat dalam kerjaan saya—dan saya sadar itu adalah doa orang bodoh :) Ketika (akhirnya) saya, bisa wisuda lebih awal dari teman-teman saya, boleh lah saya sombong, semua penghargaan dan pujian itu memang patut ditujukan pada saya, karena toh yang jungkir-balik mau gila adalah saya sendiri. Hahaha (jadi berpikir, kenapa saya tidak menulis halaman persembahan untuk diri saya sendiri, ya? Atas dedikasi, semangat, dan perjuangan tidak kenal lelah atas kegilaan tugas akhir selama ini xp Beneran deh, saya malah kudu berterimakasih kepada de*an yang barangkali tidak berkontribusi apa-apa selain membubuhkan tandatangan berharganya itu—tentunya setelah bolak-balik menanti di lorong. Hehe *ups, no offense Sir!)
**
Itu adalah cerita saya beberapa bulan lalu. Sekarang, cerita saya sudah berganti. Hari ini adalah ulangbulan ke tiga saya resmi menyandang gelar jobseeker. Skripsi yang pada waktu itu saya anggap sebagai ujian mahadahsyat, mendadak menjadi tak berarti. Dan saya semakin akrab dengan kosa kata alay, #galau. Saya sebenarnya menikmati libur panjang ini, saat dimana saya bisa bangun siang dan jalan-jalan kemana-mana tanpa perlu ada tanggungjawab berarti. Tapi mungkin orangtua saya gerah, demi melihat saya bermalas-malasan tiap hari. Maka komentar mereka pun jadi lebih merepet. Duh…
Saya tahu, kali ini tak ada yang bisa menyelamatkan saya dari fase ini—tidak lagi masalah dosen, tidak lagi masalah jurnal yang susah, tidak lagi masalah mengejar yudisium—bahkan mungkin pacar saya pun dalam hati akan menyontek Kings of Convenience, “I don’t know what I can save you from…”
Saat skripsi, separah apapun keadaan saya, saya tahu dengan pasti bahwa saya akan lulus—entah bagaimana caranya. Sama seperti ketika saya lulus SD, saya pasti akan masuk SMP, dan dari SMP saya akan melanjutkan SMA, kemudian perguruan tinggi. Tapi kini, tidak sesimpel itu. Saya galau, karena lebih tidak mungkin menebak pola pikir perusahaan yang menjadi incaran saya, kan? Lebih tidak mungkin, menebak takdir saya sekarang ini.
Saat skripsi, separah apapun keadaan saya, saya tahu dengan pasti bahwa saya akan lulus—entah bagaimana caranya. Sama seperti ketika saya lulus SD, saya pasti akan masuk SMP, dan dari SMP saya akan melanjutkan SMA, kemudian perguruan tinggi. Tapi kini, tidak sesimpel itu. Saya galau, karena lebih tidak mungkin menebak pola pikir perusahaan yang menjadi incaran saya, kan? Lebih tidak mungkin, menebak takdir saya sekarang ini.
Don't know where the future's headed
Nothing's gonna bring me down
Jumped every bridge I've run every line
I risk being safe, I always knew why
So here I am still holding on
With every step you climb another mountain
Every breath it's harder to believe
You'll make it through the pain
Just when you think the road is going no where
Just when you almost gave up all your dreams
They take you by the hand and show you that you can
There are no boundaries
Kita—saya, memang tak akan tahu kemana kaki ini berlabuh.
* No Boundaries – Adam Lambert, benar-benar mampu menguatkan di fase terburuk—sama baiknya seperti doa *proud* Penggalan ini sebenarnya nggak ada apa-apanya dengan perjuangan rekan lain yang lebih heboh dari saya. Tapi bagi saya sih, hal sesimpel ini pun tetap jadi pembuktian--bahwa saya pun bisa menyelesaikan 'sesuatu' yang menjadi momok mahasiswa tingkat akhir. Hahaha. Terutama, percayalah, menyelesaikan tugas akhir jauh lebih nggak ada apa-apanya daripada ketabahan mencari penghasilan *curhat mode : on*
Hohohohohohohoho..,Laik This Non..
BalasHapusMungkin kata-kata yang saya baca di sebuah novel tetralogi tepat untuk postingan ini...
"Bermimpilah.,Karna Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu"
- Arai -