Apa sih yang menarik dari pekerjaan sebagai WO alias wedding organizer? Saya juga bingung. Tidak semua orang mau mengisi waktunya yang berharga dengan bermuka dua dan bermanis ria di depan klien. But, I did it.
Sejak beberapa minggu yang lalu, saya dan teman-teman saya kudu terlibat di salah satu pernikahan lintas gereja dan lintas budaya. Dan tantangan kali ini, lebih cihui dari beberapa event sebelumnya. Alias, rumit.
Klien kami kali ini adalah salah satu adik Jak*b Oetama. Duh, baru tau aja sempat keder. Plus membayangkan posisi saya sebagai pendamping pengantin perempuan yang secara otomatis berhadapan dengan keluarga mempelai selama DUA hari sekaligus. Dan saya kudu behave mati-matian ditopang hi-heels yang sangat menyiksa selama dua hari berturut-turut itu. Saya kudu bertanggungjawab sebagai timer, memastikan semua keluarga telah selesai di make-up, mengecek perlengkapan adat, membantu si ibu mempelai yang kerepotan saat dodol dawet, mencarikan kursi sementara untuk mempelai, memastikan korsase telah tersemat pada semua panitia yang terdiri atas para anggota keluarga, menghapalkan nama dan wajah panitia yang sekiranya berhubungan dengan tim kami dan saya sendiri, dan seterusnya.
Gampang? Tidak sulit, tapi ribet. Rempong bo!
Keinginan klien kali ini sebenarnya tak jauh beda dengan orang kebanyakan, Mereka menginginkan pernikahan si putri tunggal diadakan dengan adat sedetail-detailnya. Masalahnya adalah, kami juga memiliki pemahaman abal-abal tentang adat. Apalagi adat Jawa, lengkap dari midodareni, panggih, tarian-tarian, bla-bla-bla. Belum lagi, sebagian besar dari kami muslim, sementara pasangan klien nasrani. Kami harus bisa memahami garis besar acara dan menjelaskan kepada keluarga lain maupun tamu lain yang mungkin kurang memahami prosesinya (padahal kami juga :p) karena kebetulan mereka sama seperti kami.
Jujur deh, suatu pernikahan, atau mungkin event apapun, tak akan berjalan ketika kita bahkan tak bisa mengorganisir semua pihak yang terlibat. Judulnya saja sebagai organizer. Mau tak mau, suka tak suka, memang itulah yang kudu dijalani. Meski kaki gempor, meski lebih banyak capeknya, meski kadang kena jackpot dari vendor atau bahkan pihak keluarga… well, itulah esensi pekerjaan ini.
Beberapa candid colongan ketika on duty...
dekor di rumah CP putri
beberapa uba rampe siraman
lupa apaan :p
mobil pengantin yang sejak awal pengen kami ajak foto-foto
tapi kudu profesional...
tampak depan pintu masuk gereja Kota Baru
bentuk unyu kami
kecipratan sisa souvenir
Tidak semua vendor, tidak semua klien, tidak semua orang, bersikap senang hati ketika diajak kerjasama. Apalagi ketika kami tampak so young (mungkin, bentuk kami terlalu unyu :p). Dengan usia yang hijau kencur, kudu mengarahkan sebagian besar orang yang jauh di atas kami, tak jarang menduduki posisi penting, perlu lebih dari ketabahan hati dan fisik yang oke. Kami harus siap dengan serangkaian plan B, C, D, E, dan seterusnya ketika plan A gagal. Bisa jadi kami kena semprot pemuka agama, dimaharahi kepala pembantu gara-gara kursi tambahan tidak datang tepat waktu, kudu angkut-aangkut sana-sini, talent yang membatalkan keikutsertaan mereka di detik terakhir, hujan becek. Saya sempat kena sinis salah satu tamu yang--tampaknya penting dan kaya--kesal harus menunggu antrian sementara ia kenal orangtua mempelai dengan (lumayan) baik. Kebetulan rombongan sebelum beliau diminta pasangan untuk berfoto bersama dulu, sehingga mau tak mau saya berperan sebagai stopper dan menghentikan arus tamu—tepat pada bapak itu—demi menghindari penumpukan tamu di atas podium. Itu—jujur, menyebalkan. Tidak mudah mengenal muka orang-orang baru, apakah tamu itu VIP, keluarga, atau orang biasa. Karena bahkan keluarga pun kadang tak ingat si tamu teman siapa atau kerabat siapa. Tapi saya belajar banyak dari pekerjaan semacam ini.
Di satu sisi, mungkin saya bisa saja menolak pekerjaan semacam ini, karena konsekuensinya tak bisa membayar semua waktu dan tenaga. Tapi justru pekerjaan yang dianggap remeh oleh sebagian besar orang yang memilih kerja kantoran dengan gaji berlipat inilah yang melatih saya untuk lebih sabar, efektif, dan tentunya--menghargai orang lain, sekecil apapun posisi mereka.
Muka badak, jiwa besar mengakui kesalahan, mengingat kata tolong dan terimakasih, itu hal terpenting (setidaknya menurut saya) kalau kita ingin menekuni bisnis semacam ini. Attitude menjadi hal wajib untuk membentuk kepercayaan klien, Saat menangani keluarga mempelai, saya berusaha melapangkan hati karena toh tidak semua anggota keluarga klop dengan kita. Dan saya juga berterimakasih, bagi anggota keluarga lain yang sangat membantu. Hajat ini, toh mereka yang butuh, kan? Saya, kami, hanya eksekutornya :)
*ditulis di tengah-tengah kesibukan merendam kaki dengan air hangat plus garam, memijat-mijat lengan yang pegal, dan muka kusut gara-gara bangun tidur. Thanks to lupita bambang, zuppa soup, tensoplast. Well done, my killer-hi-heels! *meringis*
hohohohohohoho
BalasHapuswow... klo lewat kotabaru aq suka beli nasi goreng kambing yang sebelah selatan gereja kotabaru ...uenak tenan....
BalasHapussalam kenal... blog kamu jogja banget...
aq coba bikin blog ada fasilitas "Free Internet Marketing Training" dalam bentuk file presentasi dan ebook.klo sudah bisa blogging berarti sudah bisa dapet penghasilan tambahan dari blognya.Semoga bisa membantu bagi temen2 yang membutuhkan penghasilan dari internet.
aq suka blog kamu ... kayanya aq bakal jadi pembaca setia blog ini ... go girl.... keep in touch yach...