Sabtu, 29 Juli 2017

You've Got so Selfish




You've got so selfish.


**


Kita berbicara tentang sebuah mental berani pasang badan. Yang menggelontorkan waktunya untuk apa yang diyakini.

Dan biasanya hal itu akan disambut dengan pikiran nyinyir,

"Buang-buang waktu."
"Ah, sok pahlawan kesiangan."
"Gunakan cara yang smooth."
"Ah, itu sangat tidak menguntungkan secara organisasi."
"Kerjaan sudah banyak, kenapa harus meribetkan hal konyol seperti ini?"

Iya, karena hal seperti ini adalah bunuh diri. Mental berani pasang badan adalah 'bunuh diri' secara citra. Apalagi jika hidup kita memang didedikasikan untuk meraih gemerlap tepuk tangan. Tapi, apakah benar esensi kerja keras atau kerja cerdas--whatever, you named it--hanya berakhir dengan rasa enggan karena konformitas? Kenapa kadang masih ragu untuk mempertahankan hal kecil yang cenderung remeh, hanya karena khawatir nama tercemar, sementara hal itu sebenarnya sangat prinsipil dan konyolnya--hal yang benar?

Karena, dunia tidak sesederhana dan senaif itu, dear.

Dan karena dunia tidak sesederhana dan senaif itu,

Saya pernah mengalami bullying saat remaja, karena alasan terkonyol yang pernah saya temukan dan melibatkan rekan sekelas hanya karena mereka--yang tak tahu apa-apa--takut ikut dibully kalau tidak memusuhi saya,
Para working-mother yang mendapat judge sosial karena dianggap mentelantarkan anak hanya karena mereka memilih bekerja membantu keluarga, berimbas stress berat dan menghambat produksi ASI,
Dua wanita di Bandung hingga Chester yang memilih tutup usia dengan bunuh diri, keduanya sama-sama terindikasi stress berat karena coping strategy nya gagal. Keluarga kaget (?)
Ah, entah apa lagi.

Dan karena dunia tidak sesederhana dan senaif itu, apakah benar-benar tak ada ruang keberanian manusia untuk sekedar menyuarakan apa yang seharusnya diperjuangkan?

Hanya karena nama baik?

Beberapa orang mungkin akan menjawab,
Iya.


Pilihan. Dan selalu ada kesempatan untuk benar-benar berbuat baik dan berguna untuk orang lain, kok. Bukan sekedar 'punya' nama baik.
















Selasa, 11 Juli 2017

#yangtersisa dari Mudik Nekat 1438 H




Mudik beneran pakai mobil dan berduyun-duyun seperti orang-orang, merasakan euforianya setelah entah berapa abad menghindari itu...hits! Padahal biasanya hobi ngecengin mereka yang niat banget mudik belasan jam demi keluarga handai taulan di kampung halaman. Yang lebih lebih, ini tanpa persiapan. TANPA. Alhamdulillah dikasih lancar ya Allah. Tapi nggak kalau diulangi lagi dalam waktu dekat (kayaknya).



Buku yang sukses menemani sepanjang perjalanan di sela-sela Cupis minta pangku, minta di puk puk, minta bikin susu. Bukunya bagus! Lebih banyak mengulas branding sih. 











Untung anaknya kooperatif. Paling rewel-rewel ringan yang begitu diajakin bercanda langsung on lagi. Kamu keren, Nak! 



Mudik lama perdana, melewati jalan tol fungsional Batang (?) yang masih jauh dari sempurna tapi sangat alhamdulillah karena ada. Dari yang awalnya excited menikmati jalan yang bergelombang macam roller-coaster, hingga bosan-jenuh-emosi karena berasa pisan jauhnya di ujung mata.


"Ini jauh dari standar per-tol-an nggak sih?" tanya saya pada suami yang memang anak Teknik Sipil. Bikin JORR kan dulu makanannya pas magang kuliah, kan? Pertanyaan basa basi biar ada topik aja, karena doi sudah nyanyi nyanyi nggak jelas--tanda mulai mengantuk. Deh, memang bukan mental supir AKAP malam hari dia. Jadi rada ngeri-ngeri sedap kalau perjalanan jarak jauh begini *sigh*
"Jauh sih, tapi yang udah lumayan deh."

Setelah entah berapa jam yang panjang dan pegal, akhirnya keluar dari tol dadakan tersebut dan masuk ke daerah Waleri, Kendal, Jawa Tengah. Lapar? Lapar!!

Mampir ke asal-tunjuk lesehan. Niat utama ingin sop yang hangat-panas, akhirnya memesan something-hype (katanya) di Waleri situ : Sate Ayam! Ih asli, ginuk-ginuk bahagia gitu dagingnya. Nyenengke, kalau kata orang jawa. Dan enak! Yang sop pas dicicip mah lebih pas disebut Sop balungan Ayam. Kalau balungan sapi atau kambing sip sih, kalau ayam kok rada wagu demikian. 

Hingga perjalanan dilanjutkan dan KZL sendiri macetnya justru pas akan masuk kota Yogyakarta.  Stuck-stuck-stuck! Ini nih, hasrat segera menyentuh rumah Jogja sudah sedemikian di ubun-ubun!


__



And finally, Jogja!


Pantai, pagi hari. 
Ah, selalu suka jalanan Jogja setelah sumpek sama jalanan kota tinggal. Mau jauh kayak apa juga tetap terasa dekat. Sampai tetap nggak enak klakson sembarangan kalau disini mah. Lengang begitu. 

Blue, what a blue sky. Ini jalanan akses menuju deretan pantai selatan Yogyakarta. Duh. Bandingkan dengan jalanan menuju surga pantai Gunungkidul yang selalu super padat saat libur panjang begini. Ekspansi plat B! 



Retribusi.
Masak sih lebih pilih Disneyland? :d Iye, masih 'murah' sih. Dan semoga meski murah Pemda dan warga setempat tetap bersemangat merawat area wisata semacam ini. Aminn.
Destinasi pantai kali ini yang dekat karena super kejar-kejaran sama tenggat waktu.
Pantai Goa Cemara.
Kata adek sih yang lagi 'bagus' yang ini. Kalau Pantai Depok atau Parangtritis sudah khatam banget lah ya. Sedihnya, Parangtritis kini kotor oleh sampah :( rajin-rajin bawa plastik sampah sendiri deh kalau lagi 'bertamu' begini.



 


 Khas pantai selatan, ombaknya selalu besar. Jadi selalu ada larangan untuk bermain apalagi mandi sampai ke tengah. Padahal sebenarnya kalau rada jeli, batas antara pantai dengan laut cukup jelas, warnanya cukup kontras :) 





 



 


 
Apa maksud foto ini? 
Nggak ada. 
Semacam menegaskan bahwa Lebaran bisa dimanapun, kok. Hahaha. 





Anaknya jijikan (kayak siapaaaa? hahaha). Pas mau turun menginjak tanah aja dia bertahan angkat kaki tinggi-tinggi gelantungan emaknya. Baru setelah emaknya mengotori diri dengan timbunan pasir, Cupis mulai ikutan heboh. Zzzt!



 















Masih, mandatory place ketika waktu berkunjung hanya 1 X 24 jam. Arrrrrghhhhhh!

Rujak es krim legend. Berdiri sejak lama sekali. Kayaknya ada pas masih TK deh, jaman rumah orangtua masih kontrakan sepetak di belakang Puro Pakualaman. Time flies!











 Kudapan wajib dari tetangga : tape ketan ijo featuring emping
Nyes-asem-krenyes.
Enak loh ini.
Jarang-jarang yang jual atau bikin (kayaknya) karena sudah tergantikan dengan kue pabrikan.


___



Sedih ya, cepat sekali. Dan masih hutang satu lokasi halal-bihalal lagi dari pihak bapak suami. Purworejo.


Purworejo.


Inget Smallvile? Asli, ini mengingatkan Smallville. Rerun?















Terakhir masak pakai alat masak begini jaman-jaman KKN, nih. Asli effort memang. 
Tapi masak lontong opor pakai anglo begini hasilnya super yumm deh.



Macam Kuntum Farm Nurseries di Bogor, kan? Kan? Kan? Yang penasaran Kuntum kayak gimana, klik disini.





















Pernah mainan begini? Daun singkong dijepit diantara pangkal ibu jari, lalu ditiup kuat-kuat. Suaranya mirip suara kentut. Ini si Cupis kesenengan sendiri, coba-coba tapi nggak bisa. Haha. Senang itu bisa murah ya, Cupis! 


















Ini garu, alat yang terbuat dari kayu. Fungsinya untuk meratakan padi yang dijemur.






 Induk ayam ini protektif sama telurnya (iyalah!). Cupis sampai mlipir-mlipir. Pertama kali lihat dengan mata sedekat ini ayam bertelur ya Nak!

Sampai jumpa lagi, Purworejo!


---


Gringsing.
#dibuangsayang Es Dawet Ireng yang cukup ditebus dengan empat lembar uang seribuan saja. Maka nikmat mana yang kamu dustakan? Senja yang macet dengan berderet-deret kendaraan berplat B, nyaman disimak sambil menyesap es dawet homemade sambil ngobrol ngalor-ngidul. Kind of perfecto! 



___




Kapan ke Jogja (dan sekitarnya) lagi?