Rabu, 31 Desember 2014

Cuplis, I Love You (always) !




Di luar nampaknya langit sedang mulai berpesta tahun baru lebih awal : petir menggelegar.

Beberapa bulan berakhiran 'ber' bukanlah tipe bulan favorit saya selepas menjadi seorang Ibu. Kenapa? Karena musim basah kehujanan. Sebagaimana seorang ibu yang mecoba eksis dengan jalan tetap bekerja, berangkat mengantar dan menjemput Cuplis--sebutan favorit anak saya--adalah suatu effort tersendiri.



daycare stuff



Mmm, meski saya akui masih ada sisi mengeluh sana-sini, bagian ini sebenarnya adalah bagian favorit saya, terutama bagian menjemput Cuplis dari daycare : bisa melihat mata nya yang lucu dan berbinar saat saya jemput...priceless!

**

Daycare.
Ya daycare. Saya mengetahui daycare ini dari suatu milis di internet. Yah, sudah biasa sih menerima tatapan mengernyit tentang : astaga-yakin-tau-dari-internet-tega-gitu.

Kalau boleh jujur, ibu mana sih yang tega melepas anaknya yang sedang cemerlang sekali tingkat kelucuannya? Saya juga tidak tega. Di hari pertama, saya nyaris menangis saat meninggalkan Cuplis bersama Mbak nya yang di daycare.

'Ya ampun, Ibu macam apa saya ini?' dan serentetan kegalauan Ibu newbie.

Tapi mau bagaimana lagi?

Seiring hari berlalu saya belajar dewasa sebagai seorang Ibu, mungkin begitu juga si Cuplis, mencoba lebih mandiri di lingkungan barunya. Terdengar sebagai suatu pembenaran mungkin. Dan sementara, bentuk pembenaran seperti inilah yang saya ambil.

Kenapa tidak dititipkan atau ambil pengasuh saja dari kampung?

Well, kampung atau kota, bagi saya sama saja. Saya lebih berpikir Cuplis teredukasi dengan baik, dengan lingkungan tumbuh kembang yang baik. Bukannya saya meng-underestimate daerah tertentu, terlepas saya juga tidak memiliki opsi pengasuh dari daerah, saya sudah terlanjur klik dengan daycare ini. 

Sisanya, segala kekhawatiran dan kegalauan saya serahkan kepada Tuhan. Bismillah.

**

"Dari mana? Jalan-jalan?" 
"Nggak Bu, dari kantor."
"Loh. Anaknya dibawa?"
"Nggak Bu, saya titipkan."
"Di saudara?"
"Bukan Bu,penitipan."
"Hah? Berani Mbak? Nggak takut? Ih, nanti kalau dibawa kabur gimana??"

percakapan di suatu sore dengan Ibu penjual nasi padang. 

Saya hanya meringis dalam hati. Terkadang judgmentasi orang-orang terlalu memandang sebelah mata tentang Ibu bekerja dan menitipkan anak di daycare. Saya menjalaninya kok, dan bukan berarti karena menitipkan anak saya tidak peduli dengan golden age Cuplis. Atau tidak peduli ketika anak sakit. Atau bahkan tidak peduli dengan bentol-bentol kegigit nyamuk. 

**








Ah, persetan omongan orang lain. Ibu sayang sama Cuplis, bagaimanapun caranya :")















Rabu, 24 Desember 2014

Tak Pernah Padam




Penghujung 2012 dan awal 2013--masa terburuk sekaligus refleksi terbaik saya sebagai seorang manusia, indeed.

**

Saat itu saya terpaksa putus dengan mantan saya (yang sekarang menjadi suami saya), sekedar untuk meresapi dengan sedalam-dalamnya arti kata 'komitmen'. Masa yang sangat penuh dengan rengekan, tangisan, dan entah apa lagi yang tersisa dari sebuah semangat hidup. 

Pathetic? Ya.

Dibalik segala absurditas yang saya jalani, saya mengalami metamorfosa menjadi pribadi yang 'berwarna'. Setelah 'ditampar' berkali-kali oleh rekan saya, seorang kawan yang luarbiasa hebat, saya bisa bernapas lagi dan berusaha bangkit dari patah hati mendalam. 

Satu hal yang saya notice, kesukaan saya terhadap warna gelap menjadi pudar. Saya menolak kembali suram dengan mulai mencari dan membeli baju-baju warna-warni, beraneka bentuk, dan lebih 'wanita'. Sebuah pelarian, memang. 

Hingga pada suatu saat saya tersadar bahwa saya seperti mengalami dejavu. Saya teringat lagi dengan suatu resolusi masa kecil yang terpending bertahun-tahun lamanya karena pikiran saya teralihkan oleh kisah pacaran anak muda :)

Saya suka batik.

Saya jatuh cinta dengan batik. Apapun itu. Saya suka motifnya, saya suka warnanya, saya mengagumi filosofi dan keanggunannya, semua hal. Saya bahkan bisa saja memakai batik kapanpun saya suka, bahkan di luar stigma 'Jumat-adalah-hari-batik'. Dan saat itu saya berpikir, suatu saat mimpi saya untuk bisa membuat baju batik sendiri harus tercapai, bagaimanapun caranya.

**

Saya menceritakan cinta saya terhadap batik, entah kepada berapa banyak orang. Setiap kali ada yang menanyakan tentang passion, cita-cita, ambisi, hal yang berbau serupa itu, saya akan jawab dengan tanpa keraguan : batik.

Saya tidak tahu ini ambisi kah, passion kah, cita-cita kah. Namun saya hanya bisa membayangkan dan berapi-api dalam pikiran saya bahwa kelak saya akan memegang batik saya sendiri. Batik yang saya buat dengan sketsa pensil HB saya, di atas kertas A4, dengan pilihan batik sesuka hati saya, tanpa ada yang mengintervensi. 

Keyakinan itu saya simpan rapat-rapat, sendirian dalam hati. 


**

"You have to go whole heartedly into anything in order to achieve anything worth having." -- Frank Lloyd  Wright


Pada akhirnya, rasa itu tak pernah padam, persis seperti kata Sandy Sandoro :'))









kindly check my personal IG : @alovelypaw :)









Selasa, 23 Desember 2014

Goodluck, Boss !




So long.

Sudah lama rasanya saya tidak nyampah disini. Apa kabar, dear blog?

Akhirnya, setelah sekian lama, ada satu hal yang menggelitik saya untuk menulis lagi, disini.

**

Hari ini adalah masa counting down sebelum pergantian tahun, sekaligus pergantian atasan. Tahun baru, bos baru. 

Apa yang istimewa dari kisah ini sampai saya merasa harus menulis disini?

** 

"Learn to work with people you wouldn't go to lunch with." -- Garry Marshall

Beberapa kali saya memasang status tersebut di akun jejaring sosial saya.
Beberapa kali, dan saya semakin menyadari bahwa saya mengagumi atasan saya dalam cara yang wagu.

Kenapa wagu?
Well, mungkin sangat jarang ada bawahan yang ngefans sama bosnya karena bosnya some bad habits, and so on.

Hehehe.
Tapi justru itulah yang saya pelajari dari beliau. 

**

Hampir empat tahun saya mengenal si Bapak. Masih jelas sekali, pertama kali saya bertemu dengan beliau, aura yang timbul adalah 'Oh no, saya terintimidasi. May day. May day.'

'Orang ini cerdas parah.' begitu pikir saya waktu itu.

Dengan luarbiasa, saya--anak kemarin sore yang baru lulus training--harus bisa mengikuti ritme kerja beliau yang aduhai caranya. Tenggat waktu terbatas, permintaan tak terbatas, fasilitas seadanya. Ingin menangis setiap ada kesempatan rasanya. Saya tak paham cara berpikirnya, heran kenapa selalu saja ada celah kesalahan dalam segala strategi saya, dan sebagainya.

'Kenapa sih, cabang ini diberikan orang seperti ini?' lalu harakiri.

Di otak saya selalu berusaha mengkritisi cara kerja si bapak. Kenapa begini, kenapa begitu. Penuh rasanya kepala memutar otak. Sampai akhirnya, beberapa tahun berlalu. Dan makin kesini saya makin bisa memahami bagaimana cara memimpin beliau. Saya mungkin lebih seperti brand ambassador beliau, atau mungkin mirip Laskar Dumbledore-nya atasan saya ini. Ditengah orang lain sibuk meragukan dan memandang aneh si Bapak, anehnya saya selalu bisa menemukan sisi positifnya.

Apakah beliau sebaik itu dengan saya? Tidak.
Apakah beliau rajin mentraktir? Tidak
Apakah saya sering menangis curhat di depan dia? Tidak.
Apakah saya sering dipuji? Tidak.

Konyolnya, karena semua tidak-tidak diatas, saya menjadi terpacu untuk bisa mendapat satu kata pujian. Well, bapak ini memang minim sekali pujian, banyak musuh, dan punya prinsip yang sangat teguh. Sekilas saya jadi ingat karakter Alpha Man di suatu buku. Keras, tangguh, tak tergoyah--mirip batu karang. Dan sekali lagi, itulah yang saya pelajari. 
Saya belajar bagaimanapun caranya saya harus bisa menemukan solusi, bagaimanapun kondisinya saya akan lebih keren ketika bisa melaluinya, bagaimanapun busuknya orang-orang disekitar kita--yah, tidak semua orang harus menyukai cara dan pola berpikir kita. Cadas sekali *danmendadaksayabisaberapiapisepertidifilmpearlharbour*

**
'Lebih baik berkaki satu karena pincang daripada berkaki utuh namun berduri.'

Those words are, epic.

Tulisan ini sebenarnya bukan edisi pemujaan terhadap Bos saya sih, walau terlihat seperti itu. Namun lebih mirip suatu refleksi sederhana bahwa terkadang tidak semua pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang hujan puja-puji, royal terhadap sesama, ataupun sesuai dengan koridor peraturan. Tidak selalu. 

Bahkan, beliau adalah sedikit dari sekian banyak orang yang mugkin pada awalnya saya sangat malas untuk sekedar makan siang bersama (yang mana memang tidak pernah terjadi). Hehehe.

Anw, selamat bertugas di tempat yang baru, Pak. Terimakasih untuk mengajari saya menjadi baik tanpa perlu bersikap terlalu baik. Semoga kesuksesan dan kebahagiaan menyertaimu. Amin.



Wanna have any lunch, Sir ?