Jumat, 11 Desember 2015

Service with Heart




Caption di atas cenderung rada.--rrr--basi ya?
Judul di atas dipilih karena akhir-akhir ini lingkungan sekitar saya sedang berjibaku dengan hakikat service

**

Service, atau pelayanan adalah hal yang tangible (kalau menurut teori di perusahaan saya). Tangible, karena cenderung bisa dirasakan dan tak semata teraba. Bisa sih diraba, tapi dengan hati :) 
Entah kenapa saya pribadi merasa sangat dekat dengan kata 'pelayanan' setelah...

Mungkin karena saya pernah menjadi part-timer di sebuah gerai belanja, dan rasanya senang dan bangga ketika orang lain mengapresiasi pelayanan kita.
Mungkin karena saya mempelajari psikologi yang sangat erat dengan empati--perlakukanlah orang lain seperti kamu ingin diperlakukan dengan memahami terlebih dahulu kebutuhannya.

Pelayanan adalah hal yang kompleks, yang kadang suka diabaikan dengan beberapa statement picik :

"Ngapain ah, males! Kita nggak digaji untuk bikin seperti itu."
"Nggak usah lah ya, uda oke ini hasilnya."
" Nggak efektif kayaknya, nggak usah trial lah ya."

dan sederet konten-berujung-intinya-malas lainnya. Miris sih, karena ketika kamu bergerak dalam bidang jasa, yang bisa dijual HANYA pelayanan. Tidak kurang, tidak lebih, tidak berlebihan. Dan tetap saja ada segelintir orang yang merasa dirinya terlalu keren untuk sekedar peduli dan antusias dalam memberikan pelayanan maksimal. 

**

Suatu ketika kita memberikan extra effort dalam bekerja--just go miles away a lil bit--itu adalah ruang bagi kita untuk mendapatkan komplimen. 

Bukan karena sudah oke,
atau profit
atau buang-buang waktu

Cobalah dulu, dengan maksimal dan antusias, atau berikan extra effort pada daily routine yang ada, itu bisa menjadi feedbcak yang luarbiasa keren.

**

Dan di penghujung hari saya membuat ini saking gregetnya :




sebuah self reminder untuk sebisa mungkin berkarya dan berupaya dengan hati, bahwa setiap orang berhak atas pencerahan yang 'segar'.

Saya tidak peduli mau dibaca atau diabaikan atau ditertawakan atau bahkan disobek dan dibuang--sakit, sih, pasti--tapi minimal sudah ada sesuatu yang kita lakukan dan tidak menjadi bagian lingkungan masabodoh lainnya.





Rabu, 11 November 2015

What's Loyalty ?


Rupa-rupanya saya sudah benar-benar bergeser dari mindset bahwa loyalitas hanya ditunjukkan dengan setor tampang all-day-long.

Bukan itu.

**

Inilah kenapa dalam psikologi sangat ditekankan yang namanya observasi dan empati. Karena dari dua hal tersebut lah kita baru bisa menemukan hakikat human well-being yang sebenarnya.
Loyalitas, setelah saya jalani bertahun-tahun dari suatu budaya perusahaan, tidak semata perkara datang paling pagi pulang paling malam, menerjang hujan dan badai, dan hadir di setiap kegiatan. Bukan. Bukan perkara itu semua.

Semua kembali kepada sesuatu yang--setidaknya menurut saya--saya sebut purpose of life

Prihatin adalah ketika mendapati bahwa bekerja ala kadarnya kemudian menjadi hal yang biasa dan legal. Tidak salah, bahwa akan selalu ada beberapa pihak yang lebih money oriented ataupun achievement oriented. Itu lumrah, yang lebih tidak lumrah adalah ketika beberapa pihak hanya terfokus pada 'ala kadarnya'.

Mungkin hanya saya yang merasa greget.

Productive employees are happy employees.

Saya baru merasa produktif ketika saya merasa bahagia. Saya bahagia ketika menemukan apa tujuan saya bekerja 'mati-matian'. Mati-matian berpikir apalagi yang bisa membuat orang lain bahagia, senang, nyaman, dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Berusaha memfasilitasi ini itu. Yea, shit happens sometimes. Ketika sudah full charge siap melakukan eksekusi ternyata ujungnya digagalkan hanya karena masalah birokrasi atau rasa malas karena ribet. 

**

Beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan hati dan sukacita, terkadang tidak dihitung sebagai definisi harafiah bekerja. Bagi sebagian orang bekerja adalah berapa banyak yang kamu hasilkan. 

Quantity.

Semata kuantitas (Yaya, di bidang tersebutlah saya bekerja : kuantitas). Tidakkah rasanya sangat kosong ketika rutinitas kita hanya mengejar yang disebut kuantitas? Tidak bosankah ketika aktivitas dari hari ke hari, hingga bertahun-tahun ke depan ternyata hanya memberi dampak alakadarnya pada kantong dompet, tapi tidak 100% bisa mengisi hati?

Well, sayangnya tidak semua orang memiliki pola pikir yang sama. 









Selasa, 27 Oktober 2015

Weekendgetaway : BOGOR



Kemarin weekend judulnya kami bertiga (saya-suami-cuplis) ngebolang. Well, nggak pure ngebolang sih, secara bawa bayi. Jadi ceritanya setelah imunisasi (yayaya, Ibu macamapa habis imunisasi malah dibawa jalan, tapi feeling keibuan saya berkata bahwa Cuplis tidak akan ada gejala anget anget badan *ngeles*) mendadak muncul ide gila untuk jalan ke Bogor. Tak ada tujuan pasti. Niat gila awalnya adalah mlipir di pom bensin (kayak orang susah) untuk istirahat, tapi kemudian iseng ngublek situs pegipegi.com dan mendapat best deal hotel di The Sahira di Ahmad Yani Bogor. Dengan misi utama adalah menuju Kebun Raya Bogor keesokan harinya. Okay, here we go !


Anak ini gumunan. Minta digigit banget !

Bapak dan anak

Cuplis senang sekali bisa berlarian heboh

"Yak yak tangkap! Hap Hap!"

"Follow me, Ibuk!"

Run baby, run!

Bahkan ranting pohon jadi mainan paling asyik.

Transit kuliner sebelum balik hotel. Canai Rasso. Tampaknya sih baru dibuka. Saat mampir kesana owner nya menawari yoghurt yang rekomendasi nya enak. Sayang bukan kali kemarin, hehe. Later!

Spoiler harga Canai Rasso di Jl Ahmad Yani Bogor. Hehe

Enak. padat. Gendut. Pas. Duh saya nulis ini sambil ngiler. Canai Onion Egg.

Pilihan si suami. Canai Keju. Enak si, tapi terlalu tipisss.

Hotel The Sahira. Yang digadang gadang hotel dengan aura keislaman. Suasanya sih tenang, tapi yang penting : Great room, affordable price. Hahaha.

Check out yang dilanjut berburu kuliner ke Jl Suryakencana. Hasil googling sana sini yang rekomen adalah Soto Kuning, Doclang, Combro, dan sederet menu lain. Sayang, saya sedang tidak tertarik makan berat plus suasana panas sambil membawa Cuplis itu adalah perpaduan yang rada kurang heits. Jadilah saya hanya menemukan Es Pala yang... segar sih, namun manis pisannn. Tak apalah.




hanya sekedar #weekendgetaway dari rutinitas robotic kantor. Lalalala.




 
 

Sabtu, 22 Agustus 2015

These Ambience





Entah kenapa pikiran saya campur aduk akhir-akhir ini.

**

Ketika seseorang mendapatkan porsi ideal dalam menuntut ilmu dan terlalu banyak terdoktrin oleh gambaran baku, dan terjerumus dalam kenyataan yang samsekali kontradiktif. Itu sama dengan matilah awak!

Mungkin rada menyakitkan secara intelektual, halah. Rasanya ingin maju beberapa langkah, namun faktanya mundur beberapa langkah. 

Beberapa saat lalu saya terjebak dengan pembicaraan 'lagi-lagi-itu' dengan seseorang. Dia menerka--ya, dalam bahasan saya dia menerka--sedang terjadi apakah dalam otak saya sehingga saya mulai berulah. Entah kenapa otak saya memerintahkan saya untuk : sekarang saatnya, berontaklah atau tidak sama sekali! Hahaha.

Terjebak dalam hal monoton benar-benar membuat saya muak. Sungguh, karakter saya rasanya mendadak berubah, karena awalnya monoton dan rutinitas adalah hal yang saya amini sebagai karakter tunggal saya. Gatal rasanya untuk sekedar mengkritisi peraturan atau kebijakan baru, dan karena saya terjebak dalam lingkaran daily nya, mau tidak mau saya harus melewatinya. Dan tingkat keenggannya luarbiasa buat saya. Ini menantang, tapi bukan menantang saya secara kompetensi. Ini menantang saya untuk bagaimana seorang saya menuruti peraturan, dan jadwal, dan rutinitas. Saya beralih dari pribadi yang baik-baik saja dan patuh, menjadi who-the-hell-on-earth-making-these-rules-?


Bukan-saya-banget-tapi-apesnya-harus-saya-lakukan-dem. 



 


Senin, 06 Juli 2015

All of me, enthusiasm





"Kamu kan lulusan ***, kenapa mau kerja disini?"

Banyak hal, yah. Kenapa saya bekerja di suatu tempat bisa jadi karena takdir, bisa jadi karena ini adalah kesempatan pertama, bisa jadi karena saya terlalu enggan untuk menunggu lama lepas dari status sarjana (gengsi dong ya, hahaha). Atau alasan lain. Persetan masa lalu, cumlaude itu mungkin mengantarkan saya memasuki suatu fase bekerja di perusahaan A, B, C (kalau saya boleh defense), namun ketika sudah terlanjur terjerumus dan kepalang basah, cumlaude hanyalah cumlaude.



"Kamu dibayar berapa, sampai seniat ini bikin project?"

Nampaknya terlalu banyak ketidakpuasan yang muncul atau timbul, ketika seseorang berkata seperti ini kepada saya. Project, bukan juga suatu media untuk show off. A lil bit, I guess. Hehehe. Mm, pada dasarnya setiap manusia akan merasa senang ketika ada hasil kontribusi diapresiasi dengan baik. Manusiawi. Itu adalah pencapaian sederhana yang manis. Jadi, kontribusi itu bukan perkara ingin naik jabatan atau perkara ingin terpandang seantero nasional, tapi... sekedar melihat ekspresi 'senang' orang lain yang berimbas dari keisengan itu, everything. Memang kalau saya tidak dibayar, saya akan diam saja dan menjalani eight-to-five dalam kejenuhan administratif? Oh man, saya bisa mati bosan!





"Kamu nggak mirip jabatan kebanyakan, yang lain kalem, tenang, dan membumi."

Nanana. Saya mungkin tidak terlalu tenang, terlalu fluktuatif, terlalu sporadis dan disorganized. Saya benci mengisi rangkaian spreadsheet, saya benci tenggat waktu untuk mengirim report, saya kesulitan dalam hal menuangkan sesuatu dalam hal sekaku tabel excel. Saya suka berinteraksi, berhubungan dan menyelesaikan banyak case meski saya juga sering terkena--rrr---komplain (?). Saya suka kerepotan sendiri mengurus suatu acara. Karena itu, mungkin saya sangat bukan tipe pemimpin yang karismatik (nggak niat ke arah situ juga, sih). Dan karena saya tahu saya bukan tipe pemimpin, saya memilih porsi lain sesuai dengan bidang saya. Sometimes under the spotlight, or dance like crazy, or solve particular probs. Tiap orang memiliki excitement masing-masing yang sangat melekat. Dan ya, kalem-tenang-membumi sangat bukan karakter saya menjalani job saya . 



"Sudah terlalu lama kamu disini, tidak ingin berkembang?"

Bukan tidak ingin berkembang. Berkembang mungkin tidak seklise naik jabatan. Memang faktanya tidak seklise itu jika berkacanya adalah dalam kasus saya. Seorang ibu dan istri, dengan rutinitas yang (seharusnya) mobile. Pada akhirnya saya lebih suka memilih salah satu. Berkembang bagi saya sebelas dua belas dengan kontribusi. In case, belum tentu seseorang yang lebih menanjak secara karir benar-benar memiliki soul atas hal yang ia kerjakan, demikian juga sebaliknya. I need more time to play around, Sir







Begitulah. 


Seperti awal-awal yang pernah saya tulis, semua ini adalah tentang berkembang di kolam kecil untuk menjadi ikan yang besar. Besar, tidak berarti sekedar perkara jabatan setinggi apa, seberapa lama kita berkarir, ataupun seberapa banyak nominal yang kita hasilkan. Paham, itu mustahil dan klise. Semua itu penting, namun dalam perspektif saya semua hal itu tidak mutlak. Mungkin disini saya sangat bersyukur memiliki suami yang sangat mendukung kegilaan dan segala excitement saya, alih-alih hanya seperti tong kosong berbunyi nyaring.


















Rabu, 24 Juni 2015

Damn





Pagi ini, sama seperti hari-hari setelahnya.
Entah saya galau.
Entah saya bosan.
Entah saya jenuh.

Rasanya amat sangat malas melakukan rutinitas eight-to-five lagi. Seperti...rrr, kehilangan nyawa.
Saya muak berinisiasi atas sesuatu
Saya muak sekedar berbasa-basi busuk
Saya muak untuk mendengarkan request, kemudian melakukan kesalahan, kemudian disindir atau ditegur
Saya bosan
Bosan yang sangat absolut


Harusnya saya menyadari ini sejak beberapa tahun lalu.
Tiap orang tidak selalu harus peduli, termasuk saya

Kadang saya meluangkan terlalu banyak pritilan kepedulian yang malah menggerogoti ego saya.
Dan, entah ya ada berapa helaan yang silih berganti di tiap menit.

Saya tahu solusinya, solusi dari tiap permasalahan hanya ada satu :

Take it or leave it.

Ambil, beserta konsekuensinya.
Atau tinggalkan sekalian, beserta konsekuensinya.







Kamis, 30 April 2015

Counting something




Sebuah sistem dibangun pada awalnya untuk membantu mengontrol sekaligus melekatkan orang-orang di dalamnya. Dibangun dengan sederhana dan sedikit demi sedikit sampai pada suatu titik klimaks pengembangan organisasi. Beberapa organisasi memilih untuk terus berkembang dengan perlahan, beberapa lainnya memilih untuk melakukan revolusi besar-besaran. Tujuannya sama, profit. Dengan cara yang berbeda.

**

Let me say, mungkin sudah hampir empat tahun saya disini. Well, I'm not good in counting something. Entah berapa lama tepatnya saya disini.
Empat tahun yang membawa banyak proses dalam hidup saya. Metamorfosis dari anak ingusan kemarin sore yang amat sangat idealis dengan teori, menjadi rada kekinian dan berpikir praktis. 

Dalam prosesnya, mungkin saya sudah mulai lelah.
Dalam prosesnya, mungkin saya tahu ini adalah saat untuk berubah.

"Suatu organisasi hanya memberikan kesempatan belajar ideal selama dua tahun. Jika sudah lebih dari dua tahun dan masih dalam kondisi yang sama, mungkin saatnya kamu beranjak."

Dalam kondisi yang sama. Yah, itu memang yang saya pilih.
Saya mungkin terlalu takut dan malas keluar dari zona nyaman. Karena, pun sebenarnya dalam cara hidup saya adalah lebih baik berpindah ke kolam yang baru samasekali dan merintis, daripada mengubah cara pandang. Berat sekali. Dan, kadang hal itu beda tipis dengan pelarian.

 **

A sweet escape.
Saya terlalu malas untuk membereskan ini itu. Mengikuti pola yang baru. So not me. I'm a stubborn head inside.


I'm not good in counting something, til someday which is today. It's almost four years ago, S.  


What am lookin for?








Rabu, 22 April 2015

Never be the same






Madness.

Ternyata rasa kehilangan bisa sangat-sangat riil, hingga masuk mimpi beberapa kali.

**

Saya belajar banyak. A lotta learn

Belajar tidak terlalu baik.
Belajar berpikir praktis.
Belajar tidak terlalu lugu.
Belajar menjadi problem solver.
Belajar lebih berpendirian.
Belajar lebih berempati.


"Kamu pasti bisa lah, ya."

Kamu pasti bisa. Saya pasti bisa. Saya yakin saya bisa. Namun feel nya tidak akan pernah sama :')



Thx a lot, Sir.









Rabu, 15 April 2015

Only Dead Fish Go With the Flow



Ini stuck. Benar-benar stuck.

Pernah kah kamu merasa amat sangat stuck dan tidak tahu harus keluar dari suatu situasi?


**


Tidak peduli itu mudah, tapi menjadi peduli lebih sukar.

"Bagaimana kalau begini?"
Bodo amat lah.
"Gimana kalau acara diundur Senin?"
Persetan lah.
"Bagusnya bagaimana ya untuk prospek kedepannya."
Biarin lah.


Gampang sekali memang ya ternyata meng-lah kan segala sesuatu. Dan kali ini tetap saja stuck. Senang sih, menjadi tidak peduli. Tapi rasanya sangat garing. Dan membosankan total. Seperti berdialog dengan tembok.

Only dead fish go with the flow.






Jumat, 10 April 2015

A crazy hard feeling





Guilty feeling.

It's crazy hard being a woman-career mother. 

**

Kemarin sore ketika menjemput si Cuplis, Mbak di daycare nya bilang kalau anak saya habis jatuh. Mendengar kata 'jatuh' sendiri, hati saya langsung mencelos. Yah mungkin alay, tapi rasanya sangat bersalah. Tidak dalam pengawasan kita dan anak jatuh itu... rasanya mendadak gagal menjadi seorang Ibu.

Saya menulis ini setengah mati berusaha tidak mewek. Huhu.

Cuplis sedang aktif-aktifnya bereksplorasi.

Paham sih kalau yang namanya dititipkan di daycare berarti cuplis harus berbagai perhatian.
Dan kudu siap mendengar case batuk-pilek karena tertular teman-teman lucunya
Dan kudu siap mendengar dia lagi mogok makan dan tidak mau apa-apa
Dan kudu siap kalau ekspresi mbak daycare nya jengkel karena dia rewel terus karena tumbuh gigi
Dan kudu siap mendengar dia 'jatuh'

Seperti kemarin sore.
Tampak konyol mungkin, karena jatuhnya di atas matras. Tapi entah kenapa rasanya nyesek sekali. Dan malamnya saya langsung mengirimkan pesan singkat ke pengurus daycare tersebut. Dan setelah pesan itu terkirim, saya mendadak merasa bodoh...

Kan saya yang menitipkan si cuplis ke mereka, jadi itu risiko
Kan saya yang memutuskan untuk berkarir karena beberapa alasan
Kan saya yang kekeuh memilih daycare

Yes, it's crazy hard being a mother :(













Kamis, 19 Maret 2015

I HATE SLOW





#Ihateslow.





Saya benci bertele-tele dan ketidakpratisan. For any reason.

Cukup menyebalkan, melihat suatu hal yang langsung bisa dikerjakan harus ditunda karena beberapa kesibukan, dan ketika saya berniat take over hal tersebut dari yang bersangkutan ternyata masih saja ditolak entah karena alasan tidak percaya (yang tidak disampaikan) atau alasan lain apapun.

Saya juga tidak sempurna, sih. Tapi menjadi lambat benar-benar bisa memicu rasa kesal. Gemas dan geregetan. Just delegate it. Beda kisah jika saya hanya merongrong tanpa membantu apapun, kan?

Kalau bisa cepat kenapa lambat.
Kalau praktis kenapa dipersusah.

dan serangkaian kenapa lain. *sigh












Senin, 23 Februari 2015

Surat terbuka untuk para Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe



Surat terbuka untuk Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, siapapun yang pada saat ini memiliki putra-putri dan sudah menimang cucu.


**


Selamat siang, Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, saya berdoa semoga hari ini adalah hari yang luarbiasa bagi panjenengan semua.

Hari ini saya sedikit kesal, sedikit sih, dan semi terintimidasi oleh (mohon maaf) generasi panjenengan


Jleb #1

"Ini tadi kesini naik motor? Dengan seorang bayi?" 
seorang Ibu dari salah satu kerabat penitipan, sekaligus seorang Nenek dari seorang cucu teman main Abhi.

"Iya, Bu. Naik motor."

Ibu itu menatap saya dan Abhi--bergantian--dengan ekspresi amat sangat khawatir dan tidak tega yang teramat sangat menyiksa. Tipe tatapan yang saya kategorikan sebagai 'parah-sekali-anak-sekecil-ini-naik-motor-kesana-kemari'.

Saat itu saya gatal sekali untuk mengeluarkan statement rada pedas yang akhirnya saya tahan : "Kalau adanya cuma motor terus bagaimana lagi, Bu?" - yang mana statement itu saya tahan dalam-dalam agar tidak keluar dari ucapan saya. Takut kualat.

Melihat situasi awkward itu, owner daycare Abhi langsung menimpali bahwa saya diantar dan tidak sendirian bersama Abhi.

Saved by the bell--namun tetap saja rasanya menyebalkan loh Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe, 

Jleb #2

Minggu pagi lalu, suami saya pulang dari jalan-jalan pagi bersama Abhi, sementara saya sibuk doing some housekeeping tasks--jenis pekerjaan yang baru bisa saya lalukan di hari libur karena ada suami saya yang bisa menjaga Abhi.

"Tadi ketemu ibu-ibu tetangga di gang depan."
"Lalu?"
"Iya tadi cerita-cerita tentang Abhi, lalu dia mendadak menitikkan air mata ketika bercerita setiap hari melihat Abhi dibawa kesana kemari kehujanan dan kepanasan. Berangkat pagi, pulang malam."

Saya diam, suami saya diam.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe.
Saya paham betapa tidak teganya kalian melihat anak sekecil Abhi menjalani hidup sedemikian beratnya, dengan jam operasional di luar rumah sama seperti ayah dan ibunya. Tapi, jika boleh saya kembalikan kegelisahan itu kepada anda, Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe...

Jika ada pilihan lebih baik menurut panjenengan sekalian apakah saya akan sebodoh itu mengikhlaskan periode terlucu Abhi kepada orang lain? 

Sudah cukup berat rasanya tiap hari saya harus mengenyahkan perasaan 'terpaksa' ketika mengantarkan Abhi 'sekolah', membawakan makanan dalam kondisi tidak benar-benar fresh from the oven, secara berkala menelepon untuk memastikan kondisi Abhi baik-baik saja atau sedang apa, atau bergulat dengan perasaan bersalah bila mendadak hujan turun sangat deras di pagi hari dan saya mau tidak mau tetap harus masuk kantor dan itu berarti Abhi kehujanan.


**


Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,

Bisakah saya sedikit meminta tolong, sedikit bantuan, untuk bersedia mengerti dan memaklumi--sedikiiiiit saja, bahwa beginilah realita hidup di ibukota. Bahwa jaman memang sudah berubah. Bahwa pekerjaan tak lagi hanya seperti PNS yang selo dan mudah, ataupun berlokasi sejengkal dua jengkal dari rumah.

Ibukota yang keras dan berat. Ibukota yang terkadang memberikan pilihan teramat sulit bagi otak dan badan untuk sejenak beristirahat. 


**

Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,
Tentunya kami tidak ingin berada dalam kondisi ini selamanya. Ada masanya kami ingin menjadi guru bergelar S1 yang well educated, great manner bagi anak-anak kami. Ada masanya kami ingin dan pasti menjadi koki terhandal dengan menu-menu bintang lima bagi putra-putri kecil kami. Ada masanya kami ingin memberikan pelukan terhangat ketika mereka sedang sakit ataupun sedih. Kami--dan bukannya nanny, babysitter, pembantu, ART, guru, mbak, om, tante, atau bahkan Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe sekalian. Akan ada masanya kami yang menjadi dan pasti mengambil semua peran itu.

Eyang, Mbah Uti, Yangkung, Ibu, Bapak, Uwak, Pakdhe, Budhe,
Sampai masa itu tiba, bantulah kami dengan sedikit pengertian dan senyuman alih-alih ekspresi sedih tak tertahankan karena cucunya berada jauh dari kenyamanan rumah sendiri selama sekian jam. Karena jika ada yang lebih sedih, tentulah itu kami sebagai seorang Ibu :') 









Jumat, 30 Januari 2015

An essential thing in life





Menjadi tidak peduli itu mudah, tapi menjadi peduli butuh effort luarbiasa.


**


Ada satu author yang sangat saya kagumi, bahkan sejak buku pertamanya rilis di publik. 




taken from Google


Rene Suhardono. 

Buku- bukunya terkadang memang cukup 'idealis'. Idealis dalam tanda kutip, karena idealisme itu faktanya cukup menampar saya berkali-kali. Dan bila dibaca dalam keadaan rapuh karena tekanan kerja, bisa dipastikan buku ini seakan mendorong gerakan eksodus dari pekerjaan yang sekarang. Pathetic. Hehe.

Terlepas dari spelukasi terhipnotis, saya pribadi sangat suka dengan pola pikirnya dan hasratnya untuk 'change the world' dari skala terkecil, diri sendiri. Bukan lagi perkara apa passion mu, apakah pekerjaan sekarang sudah cocok atau tidak, perusahaan sekarang sudah memfasilitasi 'kemerdekaan' berkembang atau belum, atau alasan klise dan cere seperti masalah gaji tidak sesuai, bos tidak asyik, so on.

Tidak munafik, itu kebutuhan yang cukup mendasar untuk diperhatikan. Tapi, tetap saja, rasa-rasanya ada hal lebih dari itu.
Membaca bergantian buku-bukunya semakin mengingatkan saya tentang arti berkarya. Tidak hanya berkarya untuk pribadi atau sekedar make some profits dari karya itu, tapi lebih kepada berkarya untuk berkontribusi. Minimal dengan membaca buku-bukunya saya bisa tertantang untuk lebih dari sekedar mengeluh, mencaci, dan memaki keadaan. 



**




 taken from Google



"Adain acara yuk, biar kantor ini seru!"
"Ah, nggak usah lah ya, bos nya juga nggak care."

"Ikutan kegiatan ini yuk, biar cabang kita eksis."
"Ah, ribet ah, males ngurusinnya."

Dan sederet ah-ah lain. Menjadi berbeda, bersemangat, dan berkontribusi terkadang menjadi benar-benar diperumit oleh keadaan, lingkungan, dan peers. Dan bukan sekali dua kali, beberapa orang yang tadinya berapi-api dan cukup ekstrovert mendadak terpaksa masuk kembali ke cangkangnya. Ya, dipaksa oleh keadaan.


 **


Ada satu materi kuliah psikologi saya jaman jadul yang baru saya ngeh ketika bekerja. Teori hirarki kebutuhan manusia. Kebutuhan tertinggi manusia sejatinya adalah pengembangan diri atau aktualisasi diri. Membaca buku Rene yang sangat menggarisbawahi passion, passion, dan passion, yah--ternyata sangat sejalan dengan teori Bapak Maslow itu. Saat kuliah, istilah 'aktualisasi' sebenarnya sangat far away dari otak saya. Dan kini saya baru ngeh dengan arti aktualisasi ini.

Setiap orang butuh eksis, bukan ala-ala selfie
Setiap orang butuh berkembang secara IQ, EQ, dan SQ
Setiap orang butuh wadah dan mentor untuk bisa mengembangkan diri

Setiap orang, termasuk saya, terkadang terjebak diantara keinginan yang sangat kuat dan menggebu untuk bisa berkontribusi dan berkarya dan berguna menciptakan sedikit perubahan (dan terkadang terkesan sok suci, munafik, pahlawan kesiangan, banci tampil, cari muka, menjilat, dan sederet label negatif lain), tapi terkadang terdesak oleh lingkungan mayoritas. 

Dan benar,


Birds of a feather flock together.

Akan lebih mudah jika ada partner dengan kesamaan visi, misi, slogan, doktrin, ataupun passion yang serupa. Akan lebih mudah ketika suatu ide bisa digagas secara tepat dan pada porsinya. Selalu tidak mudah sendirian di tengah kerumunan. Selalu ada tantangan menjadi hijau di kerumunan berwarna merah. Susah, tapi selalu ada harapan. Dan sampai pada titik ini, rasanya benar-benar seperti sudah sangat di ujung tanduk. Pada akhinya, ternyata saya baru sadar saya PUNYA yang namanya kebutuhan akan aktualisasi diri. dan ketika itu tidak terfasilitasi, tidak tertampung dengan baik, atau minimal tertanggapi dengan baik, rasanya sangat menyebalkan. 

Yah, it's sucks

Karena lebih lanjut, aktulisasi diri tidak melulu kamu resign dari suatu pekerjaan, membuat usaha sendiri, dan sebagainya dan sebagainya (well, sometimes 'make-your-own-path-by-yourself' rule sounds tempting :p). 

Aktualisasi adalah bagaimana kamu akan berkembang dan mau belajar berkembang, di situasi dan lingkungan manapun. Yah meski setiap orang bebas menentukan di media seperti apa mereka ingin dan akan berkembang, indeed

IMO, Aktualisasi juga bukan melulu mempertanyakan dan mendebat ketiadaan mentor atau wadah, sih. Terkadang dengan at least mencoba untuk berkontribusi kamu juga bisa belajar mengembangkan diri.

Ya, aktualisasi memang sangat esensial. Tapi lebih esensial lagi cara dalam mencapainya. No pain, no gain




thx Rene Suhardono, your words really an always make my day









Jumat, 23 Januari 2015

Do somethin



Do something. 

** 

Beberapa orang terkadang baru menyadari karakter lain dirinya ketika tertekan. Termasuk saya. Akhir-akhir ini saya mudah terbakar berapi-api oleh oranglain. Tepatnya oleh pencapaian orang lain. Bukan pencapaian secara materi, namun lebih ke eksistensi diri. Yayaya. Saya ingin eksis. Eksis dalam apa yang menjadi minat saya. Gemas sekali rasanya melihat orang lain 'sukses' dalam membudidayakan eksistensi. Lalu bagaimana cara? Kepala saya kian sering berkerut memikirkan ini tiap harinya. 

** 

Teman saya bernama Aichiro. Kami biasa memanggilnya Chiro. Dulu kami mengenalnya sebagai seorang teman SD yang cukup nakal, terlalu aktif, dan jago matematika. Kini, namanya familiar dengan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, founder Sabangmerauke.org, student exchange Belgia, dan sederet prestasi lainnya. Bahkan menulis satu buku. Ya, saya iri secara positif. 

** 

Buku itu berjudul Stargirl. Tokoh utamanya adalah ABG wanita bernama Stargirl. Karakter yang sangat menonjol dengan segala polapikir, perasaan, dan kebiasaan. Bahwa berbuat baik itu adalah kebahagiaan. Bahwa berbuat baik itu bisa sangat sederhana, sesederhana ucapan terimakasih. Bahwa memiliki tujuan untuk membahagiakan orang lain bisa jadi adalah tiket utama menjadi bahagia. Truk makan siang silver dimanapun kamu berada, selalu menginspirasi. 

** 

Bob Sadino. Beliau berpulang belum lama. Dan cara yang nyentrik dalam berbisnisnya sangat menyentuh pikiran saya : Bisnis bukan dipikir, tapi dijalankan! Persetan tanpa modal, tanpa sumberdaya, niat adalah modal terbesar. 

** 

Hmm, terlalu banyak inspirasi. Kini cita-cita saya benar-benar diujung tanduk untuk diwujudkan. Dan harus berwujud! Mbuh piye carane, pokoke gasrukke wae! 




Rabu, 21 Januari 2015

Absurd



  

**
Terkadang ya, bentuk emosi itu seperti celah di dinding yang merembes ketika musim penghujan turun dan lupa dilapisi lapisan anti air.

**