Minggu, 28 Oktober 2018

Here & Now : Memperlambat Langkah, Jiwa yang Sehat



Siapapun yang mengenal saya, pasti tahu (dan mungkin kesal) karena saya termasuk orang yang keras kepala.

Virgo, konon adalah pribadi yang susah menaruh percaya plus overthinking. Jadi terkadang hidupnya kurang praktis 😂
Yha~ saya banget.

--



Pernah melihat film Sarah Jessica Parker selain peran ikoniknya di Sex and the City? Judulnya I Don't Know How She Does it.

Di film tersebut Parker berperan sebagai Kate Reddy, seorang wanita karir yang berjuang mati-matian menyeimbangkan urusan kantor dengan rumah.

Semua tampak 'normal' dan baik-baik saja, hingga pada satu titik ia memiliki masalah prioritas. Pada akhirnya, Kate 'dipaksa' rasional agar kehidupannya tak hancur lebur.

Dan perkara manajemen prioritas, adalah hal yang menjadi momok bagi saya akhir-akhir ini.

--

Pengilustrasi paruh waktu, kadang menulis, atau mengurus usaha kecil skala rumahan. Urusan domestik rumah tangga lain; mencuci, memasak, setrika~semuanya.

Jujur saja, saya berharap mampu menyelesaikan kedua sisi itu--urusan rumah dan kesempatan mengaktualisasi diri lewat medium gambar dan tulisan--secara imbang. Agak susah saya abaikan sih, karena dengan memiliki agenda menggambar dan menulis membuat saya tetap 'waras' dan terhindar dari baby blues kelahiran anak kedua/post-power syndrome pasca resign, sekaligus.

Deretan deadline yang kadang membuat kepala pecah dan serba salah~

Dan ya, kadang-kadang saya terjebak dengan pengaturan prioritas atas semua hal diatas. Rasanya ingin membelah diri sebanyak mungkin. Persis seperti peran Sarah Jessica Parker di film tadi.

Beberapa kali pula Bapak Rugrats sudah mencoba mengingatkan, namun selalu saya abaikan.

"Aku nggak papa kok. Aman~"

Kenyataannya, otak saya berkejaran dengan waktu. Setiap detik.

Tubuh saya sudah seperti robot yang diatur otomatis otak, setiap hari melakukan serangkaian agenda yang tak habis-habisnya. Meski lelah, toh saya masih kerap menyangkal diri sendiri.

"Ini bagian dari rencana. Ini upaya untuk menggenapi cita-cita."

Semua masih baik-baik saja, hingga beberapa hari berselang.

--

Tengah malam lalu saya merasa tak enak badan. Kepala pengar, perut begitu begah, pusing. Jantung saya berdebar dengan cepat. Badan saya remuk redam, namun lagi-lagi otak saya tak menerima kondisi itu.

'Aduh, jangan sakit. Jangan capek. Masih banyak hal-hal yang kudu rampung minggu ini~'

Saya mencoba tidur, namun badan makin tak karuan. Nggregesi, kalau kata orang jawa.

Setelah sekian menit yang sangat tak nyaman, saya terpaksa membangunkan Bapak Rugrats.

"Ke dokter ya." katanya.

"Nggak ah! Masak kayak gini aja ke dokter!" saya--si keras kepala--lagi-lagi protes.

Bapak Rugrats menyerah. Tak ingin berdebat lebih lanjut karena sudah malam, ia menyodorkan minyak kayu putih.

"Coba istirahat dulu."

Kali ini saya menurut. Malam itu saya mencoba tertidur meski tak nyenyak.

--

Paginya, saya bangun agak terlambat. Badan masih terasa di awang-awang. Terbangunpun gara-gara mendengar suara air dituang, disertai aroma jahe yang menguar.


"Bikin apa?" tanya saya. Tentu masih mengantuk luar biasa.

Bapak Rugrats menghampiri sambil menyodorkan cangkir.

"Ini, diminum."

Dahi saya mengernyit.


Satu gelas minuman jahe, lengkap dengan irisan jahe tipis-tipis.

"Wedang jahe?" Aroma jahenya sih, cukup kuat.
"Herbadrink. Jahe."


Saya melotot.
"Ih, serbuk instan? Nggak ah!" tolak saya mentah-mentah.

Jujur, saya agak antipati dengan serbuk atau minuman instan. Beberapa bulan yang lalu Bapak saya masuk ICU gara-gara drop. Kadar gulanya tinggi. Dua tante saya, (maaf) meninggal karena hobi mengkonsumsi minuman manis dalam kemasan. Plus, konon diabetes ini penyakit yang diturunkan lintas generasi-lintas gender. Ngeri, ah!

Seperti sudah tahu saya akan bereaksi seperti tadi, Bapak Rugrats menyodorkan bungkus kosong Herbadrink jahe.

Saya melirik tulisan kecil di bagian kanan bungkus.

Bebas gula.

'Ah, bebas gula. Ini sih akal-akalan marketing. Mau ditempel tulisan bikin langsing mah bisa aja juga. Wong namanya jualan~' pikir saya skeptis.

Dan, seakan sudah mahfum dengan pikiran saya barusan, Bapak Rugrats membuka smartphonenya. Beberapa jurnal kesehatan luar dengan kata kunci sama dengan satu komponen di bagian belakang bungkus tadi : sucralose.

Oya, di klik saja gambarnya biar lebih jelas tulisan jurnalnya ya!

Jurnal pertama. Secara garis besar isi penelitian ini membahas pengaruh sucralose pada penderita Diabetes Melitus tipe 2. Sucralose tidak menambah ataupun mengurangi kadar gula dalam darah.


Jurnal kedua. Nah, kalau bagian ini merupakan 'penegasan' bahwa sucralose sudah teruji secara ilmiah; tidak memiliki efek pada kadar gula darah dan insulin (monggo dicek bagian kesimpulan, ya). Sugar-free, worry-free!

Saya membacanya sekilas, lalu nyengir.
"Segininya banget, ya~ sampai dicariin jurnal."

Giliran Bapak Rugrats yang mendengus,
"Habis, kalau nggak begini kamu ngeyel sih!"

Ha! Ah, you know me so well. Five years of marriage and still counting ðŸ™ˆðŸ˜‚



Kali ini saya menurut. Satu gelas minuman jahe instan tandas dalam sekali tegukan. Rasanya mengingatkan saya pada wedang jahe angkringan dekat rumah yang kerap membuat saya rindu Yogyakarta dan Ibu.

Iya. Ibu, dengan segala keyakinannya akan rempah-rempah dan jamu.

Susah makan, anak-anaknya diboyong ke depot Jamu Ginggang di Pakualaman. Sari temulawak pahit diperas di dalam sapu tangan bersih disertai 'tombo pait' nya, gula asem yang legit.

Belum lagi kalau kami yang bukan penggemar sayur ini mulai rewel perut. Ibu akan buru-buru memetik lidah buaya untuk dimasak jadi agar-agar. Daging lidah buaya dipotong-potong dadu, lalu setelah dicuci bersih direndam campuran air, garam, serta kapur sirih selama satu jam--sebelum dimasak dalam didihan air garam, pandan, dan jeruk.

Sekarang? Wah, dengan masalah terbesar saya saat ini yang susah membagi waktu, minimal saya menurut Bapak Rugrats deh, membuat minuman sehat ala Herbadrink. Pas, sebagai penolong orang seperti saya yang banyak mau tapi malas ribet 😅😂

Toh, variannya banyak. Sari jahe, sari temulawak, dan lidah buayaSo, bye-bye doctor for a while? 😂

--

Entah sugesti atau apa, esoknya badan saya terasa lebih enteng. Alih-alih membombardir diri dengan ini itu, saya memutuskan untuk memperlambat ritme.



Kalau sudah begini, kilasan kuliah saya di psikologi lagi-lagi melesak keluar dari ingatan.

Here and now.

Satu prinsip dalam terapi Gestalt yang digagas Frederick Perls. Dan kutipan favorit saya,

I do my thing and you do yours. I'm not in this world to live up to your expectations, and you are not in this world to live up to mine. You are you, and I am I, and if by chance we find each other, then it's beautiful. If not, it can't be helped.

...and if by chance we find each other, then it's beautiful...

Saya pikir memang begitulah Tuhan mengolah semesta. Saya yang susah diyakinkan-ngeyel-mudah dibuat pusing oleh hal sederhana, dipertemukan dengan Bapak Rugrats yang relatif lebih efisien plus tak ambil pusing. Saya yang ngoyo sekali ingin menghajar semua pekerjaan hingga tuntas, namun badan justru mengirim sinyal untuk stop.


Pagi itu saya kembali diajarkan--tanpa sengaja, tentu--pentingnya melambatkan langkah, untuk menikmati momen. Lagipula kalau sampai ambruk lagi, yang ada pekerjaan malah makin menumpuk kan?

Ah, hari mendung. Secangkir (lagi) minuman jahe bebas gula, kenapatidak?

--

Rasanya hangat, sampai ke hati.







Selasa, 12 Juni 2018

Halo, Ujian Kehidupan!



It takes two to tango.
Karena itu beberapa hal memang diciptakan berpasangan, kan?




"Aku besok pulang ya. Flight paling malam."
"Serius?"
"Iya."
Seharian itu aku tak bisa tenang. Rasanya seperti bahagia dan tak sabar yang bercampur. Sibuk memikirkan agenda apa yang bisa dilakukan bersama.




Kupikir, Tuhan memang selalu memiliki master-plan yang tidak dapat dibantah. Meski seringkali hambaNya ngeyel dan sok tahu, melobi ini itu.

"Kenapa begini, Tuhan?"
"Aku sudah merencanakannya, Tuhan. Kenapa mendadak terjadi~"

Iya.
Kadangkala manusia terlalu sombong untuk mengamini dahulu setiap kehendak yang melewati ujian.
Tak sanggup, katanya.
Kataku juga.




Aku berusaha menghitung,
berapa kali mencoba membantah, menangis, marah--ketika rencanaku di utak-atik oleh Tuhan?
Banyak, tak terhitung.




Pada akhirnya kita hanya akan menertawakan masa lalu,

 


menertawakan ketidakmampuan kita untuk menerima ujian di awal dulu,




mengeluh, menolak peluh.




menutup diri,




melupakan fakta bahwa Tuhan itu luarbiasa dengan ujiannya.




Ujian-ujianmu itu, berbeda dari soal matematika di ujian kelulusan sekolah menengah. Atau ujian masuk universitas bergengsi. Atau ujian lamaran beasiswa ke luar negeri.




Diam-diam,
Tuhan sudah mempersiapkan kunci jawaban di antara tanda-tanda yang tidak terlihat mata, didengar telinga, atau diucapkan lisa.
Sadar?




Selalu ada jawaban dan akhir yang baik menurutNya. Selama kamu bersetia pada upaya dan tak terputus doa.




Seperti waktu itu.




"Aku dipindahtugaskan."
"Kapan?"
"Akhir bulan."
Rasanya mengerikan. Aku sudah hampir yakin aku akan lumpuh secara mental. Bagaimana bisa aku bertanggungjawab seorang diri? Dan ribuan bagaimana-bagaimana lain. Tentu, aku ingin menyerah saat itu. Karena menyerah selalu tampak mudah, kan?




Lalu di suatu titik, aku tersadar.
"Lepaskan satu. Atau beberapa."
Rela? Belum!
Aku masih selalu bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa. Masih terus meragukan jalan pikir Tuhan. Manusia diliputi egoisme luarbiasa, ah ya.




Pernah mendengar kisah tentang seekor monyet yang tangannya terjebak dalam kaleng dan tidak bisa keluar--ulah para pemburu--hanya karena si monyet nekat menggenggam seluruh kacang dalam kaleng--memaksa tangannya keluar sekaligus beserta seluruh kacang? Akhirnya tangannya terluka sekaligus ditangkap oleh pemburu.

Ego manusia, jika diibaratkan bisa jadi begitu.




Jangan lupa juga, dengarkan tubuhmu. 
Beberapa pertanda, kadangkala muncul dari gerakan indra.
Entah berapa kali aku mengeluh ingin pingsan. Terlepas dari apakah itu sugesti yang menjurus psikosomatis, pada akhirnya aku paham,

Berhenti. Energimu sudah nyaris terkuras. Hidup tak melulu harus berlari untuk mengejar mimpi, ya? Coba nikmati sebentar, sekelilingmu. Siapa tahu ada yang terlewat




Eh sebentar. Mengejar mimpi, atau memaksakan diri?




Sedikit-sedikit, kini aku mulai bisa berkata padamu,

"Hei, jangan khawatir. Aku sekarang lebih berdaya. Meskipun masih selambat siput."




Mari, melanjutkan perjuangan.




Tuhan Maha Adil.
Per penantian akan diganjar kenyataan. Bisa sama, bisa berbeda.
Aku pikir, itu tidak masalah.
  


Yang penting jangan menyerah.




Kan?



















It takes two to tango, right?









 
Greenhost Boutique Hotel
Jl Prawirotaman 2 No 629
Brontokusuman, Mergangsan
Yogyakarta 55153
+2 274 389 777










Sabtu, 09 Juni 2018

We'll rock each other



          Aku duduk diam di bangku kelas. Sengaja tidak keluar kelas karena terlalu takut mendapat pandangan sinis dan kata-kata kasar. Namun, duduk diam di kelaspun tidak lebih baik.


Pluk.


Sebuah kulit kacang dilempar, ke arahku. Aku bahkan enggan untuk sekedar melihat dimana kulit kacang itu jatuh. Di dekat kaki kah? Di depan meja kah? Aku diam. Gelombang kepanikan mulai terasa. Jantungku berdebar keras. Marah, sakit hati. Tapi tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan di situasi ini. Terus terang, aku tidak termasuk golongan yang ‘menghadapi’ konflik.


Dalam hati aku berpikir,


“Seriously, what the hell they’re thinking, huh?” berusaha tidak menggubris, dan hanya fokus pada buku pelajaran yang sebenarnya tidak kubaca.


Pluk.


Kulit kacang yang lain. Kali ini mengenai punggung. Aku masih diam dan menunduk. Jangan pernah tanyakan kenapa aku diam. I wanna scream it out loud, if you asking me. Tapi, menurutku itu hanya akan memperburuk keadaan. Aku hanya bersyukur, air mataku cukup tangguh untuk tidak menetes, karena bisa-bisa justru memberi kesempatan bagi mereka makin menjadi.


Siang itu aku disudutkan di kelas. Dan ternyata, itu salah satu puncaknya. Aku tak tahan dan pulang sambil menangis. Seingatku aku tak menangis di depan mereka. Aku menangis sesenggukan di rumah, hingga membuat Bapak dan Ibu memutuskan hal ini harus dilaporkan ke pihak sekolah. Yang aku tahu, laporan ini tentu akan membuat situasi makin tak nyaman.


Esoknya aku dipanggil guru konseling. Diberi wejangan ini itu. Secara terpisah, beberapa dari mereka juga dipanggil. Entah apa yang disampaikan guru konseling. Yang pasti, suasana ‘sedikit’ lebih baik. Meski aku tetap dianggap invisible di kelas.


Mau tahu alasan mereka?

Pertama, karena menolak ‘berteman’ dengan seorang teman. She’s asking me. But I thought it’s bit too much. Why we don’t just get along? Let's be friend without any declaration. Come on.

Kedua, ‘terpaksa’ membonceng kekasih seorang kawan. As a friend. No body-contact. And it seems me flirting with her boyfriend (?). Come on.



Ada beberapa hal yang aku tak yakin mana pemicu sesungguhnya : menolak seseorang, atau, bagaimana aku suka memicingkan mata menyerupai tatapan sinis (padahal itu karena mataku minus~), entah yang mana.


Aku bersyukur, aku masih bisa melalui itu. Tidak berpikir hal yang aneh-aneh meskipun rasanya sangat tertekan. Nyaris dua tahun (hal itu terjadi sejak kelas dua akhir hingga menjelang kelulusan—yea, kind of hell) menjadi seorang anak yang disudutkan oleh seisi kelas (hanya beberapa orang yang tidak menyukaiku, sisanya? Entahlah) itu sungguh buruk. Aku bukan anak yang terlalu pintar, jadi hal busuk seperti di atas tentu sangat menyulitkan.


Beberapa tahun kemudian, saya baru menyadari kata yang mewakili semua peristiwa di atas : bullying.





**




Baru kali ini saya merasa perlu menuliskan ini. Setelah semuanya cukup rapi disimpan dalam buku harian lebih dari satu dasawarsa lalu. Dan beberapa dari kalian mungkin berpikir itu berlebihan, atau bahkan kondisi kalian lebih buruk dari itu semua.


Hei.

Permasalahannya adalah, tidak semua dari kita berada di posisi yang sama. Tidak semua dari kita memiliki self-esteem yang baik. Dan belum tentu juga, memiliki support-system yang sangat fungsional.


Sebagai manusia biasa, saya tentu mengharapkan ada seseorang yang bisa memahami betapa sucks-nya situasi saat itu. Betapa sakit hatinya ketika kamu dilempar kulit kacang—right in front of you.




**




Kesehatan mental itu penting. Depresi itu tidak baik. Stress itu menyiksa. Dan tolong pahami, tidaklah mudah bagi seseorang yang insecure untuk sekedar menceritakan hal-hal semacam itu kepada orang lain. Syukur saja bila tidak sampai ditertawakan atau tidak dianggap berlebihan. Beberapa dari kita memerlukan lebih dari keberanian untuk menutup luka lama dan membuka lembaran baru. Jika itu sudah cukup melelahkan, apalagi bercerita karena berarti dua kali usaha.


So, please stop judging.


      Jika kamu berada di situasi yang sama, sebagai ‘korban’. Jangan diam dan mengurung diri. Cobalah ‘berbicara’. Jika tidak bisa, cari selembar kertas—tuliskan ketakutan-ketakutanmu, segala sesuatu yang membuatmu membekap mulut karena ngeri di tengah malam, gambar sesuatu sebanyak mungkin. ‘Bicaralah’ lewat karya. Lepaskan. Perhaps it helps you a lot. Mungkin itu juga yang ‘menyelamatkan’ saya. Menulis.


Dan, ketika takdir menempatkanmu di kursi penonton—jangan diam saja, apalagi menertawakan. Satu masalah yang mungkin remeh bagimu, bisa saja berarti kiamat baginya. Dekati, rangkul siapapun yang tampak sedih atau tertekan. Berbuat baik tidak selalu berarti sok kenal sok dekat atau menjadi pahlawan kesiangan, kok. Pahami, jangan membuat asumsi sepihak tanpa tahu dari perspektifnya. Mungkin dia tak membutuhkanmu sekarang. Bisa jadi lusa, atau tahun depan. It’s okay. At least, kamu tidak berada dalam sisi yang apatis. Siapa tahu satu gesture atau ucapan atau tindakan kecil justru menjadi sarana penyelamat hidupnya. Karena ketika saya merasa tersudut saat itu, satu pelukan dan sepasang hati yang bersedia ‘mendengar’ lebih dari cukup daripada sebuah ceramah panjang.


Due to mental health awareness, even a nameless thing matters.








Note : segala peristiwa ambyar di masa lalu itu, yang pada akhirnya membuat saya ingin menamai anak kedua saya, Ken. Setidaknya, salah satu alasan adalah rentetan busuknya masa lalu saya :') Bila diterjemahkan bebas, Ken bisa berarti kuat dan tangguh. Karena seperti itulah saya menginginkan putri saya. Kelak, dia akan jauh lebih berani dan tangguh, daripada Ibunya.