Minggu, 23 September 2012

Money can't (always) buy happiness, ah




Kadang-kadang sugesti akan suatu hal itu sangat-sangat menjengkelkan. Konon, sebagai seorang virgo, menjadi terlalu picky dan ribet adalah salah satu ‘sugesti’ berkepanjangan.

**
Saya tipe orang yang bisa memikirkan beribu hal dalam satu waktu, dan itu membuat hari saya kurang simple. Ada kebutuhan tertentu untuk mendengarkan pendapat dan pola pikir orang lain. Saya suka sekali memasang puzzle yang berantakan menjadi gambar utuh. Bangga. Meski sebenarnya suatu hal tersebut mungkin bukan urusan saya. 
**
Sudah hampir lewat setahun ini saya bekerja di suatu perusahaan, dengan kompleksitasnya. Single fighter. Buat sebagian besar sepantaran (atau tidak) saya, apa yang saya lakukan mungkin seperti menggali lubang sendiri. Well, sebagian rekan saya bisa jadi bekerja di suatu perusahaan yang ekstra mentereng dan prestisius. And so what? Tidak banggakah saya dengan pencapaian saya sekarang? Disaat teman-teman saya sibuk menemukan jati diri dengan berpindah-pindah pekerjaan?

Saya sangat bangga, malah.

Saya belajar amat sangat banyak. Negosiasi, kepercayaan, mental. Harganya mahal, karena mengorbankan ego. Eh salah, mempertaruhkan ego. Hehehe.
Bukan perkara zona nyaman. Bukan perkara gaji.  Bukan. Bukan karena itu saya bertahan.

“Ngapain sih, kamu hobi banget mikirin hal-hal yang di luar otoritasmu?”
“Ngapain weekend gini ngomongin  kerjaan?”

Woohoo. Fyi, saya tahu cara bersenang-senang kok, anw. Tapi, ada kalanya saya butuh obrolan-obrolan berbobot di luar perdebatan politik Jokowi vs Foke. Seperti siang tadi.
**
Siang ini saya niat sekali membicarakan masalah karir, quotient, dan beda generasi pekerja jaman dulu dengan jaman sekarang dengan pimpinan cabang tempat penempatan saya.
Niat sekali, mengingat ini adalah weekend. For God’s sake, dan saya malah membahas hal yang samasekali tidak hit. It happened, anw.
Iseng, hingga sepanjang entah berapa jam bergulir.
**
Karir. Semua orang butuh karir. Nyaman. Semua orang butuh kenyamanan. Tapi lepas dari itu, manusia butuh gaji. Butuh duit. Tak peduli mau jadi kacung seperti apa, yang penting ada duitnya. Saya ingat jelas percakapan pulang kantor saya dengan seorang rekan, dengan jelas dan tegas dia berkata,

“Gue mau aja disuruh bersihin got, selama ada duitnya. Asal duitnya gede.”

Haruskah mengkacungkan diri demi uang?
Suatu pekerjaan akan menjadi kerja rodi tak berperikemanusiaan ketika dijalani hanya demi orientasi akhir uang. Sedih ya? Buat saya sih, menyedihkan.

Sesi lain, masih dengan rekan yang sama, suatu ketika dia berkata,

“Gila, gaji gue habis. Kalau kayak gini kapan gue nikah dan kaya??”

Saya menghela napas. Sebegitunya ya, uang memperbudak? Saya langsung teringat pada orangtua saya, pada staf saya, pada pemulung yang memiliki anak istri. Uang mereka mungkin tidak sebanyak keluarga teman saya itu. Tapi mereka bisa makan, bisa hidup, bisa bahagia. Bisa kok.

Balik ke topik siang tadi, si Bapak prihatin. Kenapa generasi sekarang mematok diri dengan harga yang sangat mahal, sementara pengalaman saja belum matang? Indikator sukses dilihat dari gaji besar, mobil mentereng, posisi tinggi. Yang saya amini dengan… gaji besar, mobil mentereng, posisi tinggi, plus masa kerja berabad-abad lamanya di perusahaan yang sama, apakah sudah bisa menunjukkan kontribusi diri kepada pihak lain? Sejauh mana kontribusi kita?
Loyalitas jadi semu karena sekedar masuk zona nyaman sampai mati, tanpa adanya kontribusi.
Setahun atau belasan tahun, terkadang sama-sama tak bisa kontributif.
Sudah jadi kacung, kerja rodi, kerja sebagai mesin cetak uang, tapi minus kontribusi.
Dilema itu yang sedang hangat-hangatnya merasuk pikiran. Membuat saya tertampar akhir-akhir ini. Bisa saja saya abaikan, sayangnya saya bukan orang yang bisa segampang itu mengabaikan.

Apa kontribusiku selama hampir setahun lebih disini?
Kontribusi diluar kewajiban. Karena kewajiban tak bisa ditawar, sementara kontribusi datang dari hati.

Kapan aku beranjak dari mental konsumen menjadu mental produsen?
**
Memulai, selalu menjadi hal yang susah.
Proses, adalah rutinitas yang makin bisa dinikmati seiring intensitas.
Hasil, adalah bonus akhir.
Dan mulai dari sini, saya berjanji akan menemukan dua jawaban atas dua pertanyaan saya.
**
Maafkan, pikiran saya terlalu suka berlompatan seperti bola bekel :)