Sabtu, 25 November 2017

Namaste.




Menjadi soliter itu menenangkan. Karena kamu tak harus memasang tampang penuh minat pada siapapun. Atau sekedar ikut arus menanggapi sebuah chat basa-basi di sebuah grup instant messaging.

Iya, mungkin masa-masa penuh pencitraan itu sudah hilang. Digantikan hasrat yang begitu besar untuk menyendiri, merefleksikan yang telah dijalani.

"Capek?"
"Iya."
"Mau nonton? Ada film box office baru besok."
"Tidak. Pasti ramai."
"Mau martabak mesir?"
Aku menggeleng.
Lalu kamu beranjak.
Dan aku patah hati, bahkan kamupun tak sanggup menemani kesunyian ini.


City of stars
Are you shining just for me?
City of stars
There's so much that I can't see
Who knows?
I felt it from the first embrace I shared with you


"Ini."
Asap-asap mengepul begitu kejam, berusaha mendesak gumpalan lamunan yang sedang berusaha kunikmati. Sungguh, melamun itu begitu hakiki.
Segelas teh tawar panas, ditemani semangkuk mie dokdok mirip abang burjo. Dengan toping ekstra irisan rawit merah menganga.
"Nanti kamu pasti lapar. Aku di depan, kalau-kalau kamu perlu sesuatu." mengacak-acak rambutku dengan tidak sopan, lalu beranjak.

Mie dokdok ini sungguh menggoda. Aku bahkan tak tahan melihat kuah kental kecoklatan yang super gurih. Enggan karena rasa gengsi yang tinggi, namun toh tanganku meraihnya diam-diam.

Asin.
Rupanya air mataku yang menambahkan citarasa.


**


Sungguh aku menyukai sunyi. Sunyi yang tenang.  

A look in somebody's eyes
to light up the skies
to open the world and send it reeling

Duduk diam menonton serial televisi yang sengaja dibiarkan menyala, atau duduk di atas lantai dingin beralaskan rug kelabu, berselimut kain usang sembari menjelajah lembar demi lembar buku favorit.

Bisa saja kamu hanya menyimak semua keheningan tanpa banyak pertanyaan dan permintaan. Hanya duduk, turut merayakan diam. Bisa saja.

a voice that says, I'll be here
and you'll be alright