Jumat, 29 Juni 2012

Tabularasa



Macet dua jam, sebenarnya cukup untuk membuat saya terkapar malam ini. Dan mendadak teringat sesuatu, dan disinilah saya, detik ini, mengetik apapun ini.

Saya akui, saya bisa menjadi workaholic. Kecanduan. Tiap malam, bahkan sebelum mata bisa seratus persen terpejam, episode demi episode pekerjaan dan se-gaban masalah itu semua menggumpal jadi satu. Dan mengendap. Saya lupa, kalau saya adalah sebuah gelas. Gelas yang tiap hari diisi oleh endapan lumpur : masalah, inputan, info baru. Dan saya lupa membuangnya, lupa mengalirkannya. Akibatnya? Gelas saya penuh. Pikiran saya overload. Masalah membuncah. Stres bertumpuk. 

Septin, kamu tidak mengalirkan gelasmu. Kamu tidak mencoba menampung, atau membuang, atau meminum gelas yang penuh itu. 

Hmm... saya lupa. Menjadi workaholic tidak menjadikan ataupun memberikan apapun. Lupa bersyukur. Lupa berbagi. Tidak secara nominal, namun secara batin.


***


Obrolan sore ini menyentak saya, 

"Office boy sama sekuriti kita itu... polos dan lugu ya." seseorang nyeletuk.

Mendadak kok saya seperti disadarkan. Langsung mulut itu gatal dan menyahut,

"Mereka polos. Hidup mereka nothing to lose. Mereka hidup, untuk hari ini."


Hanya untuk hari ini.  
Hari ini makan apa? Bagaimana ongkos pulang? 

Oh well, let it be. Legowo yang mengambilalih. Apa yang terjadi, terjadilah hari ini. Ketakutan akan masa depan pasti ada. Tapi tidak berlebih, seperti saya.

Pendidikan, materi, kehidupan, pengalaman... saya lebih beruntung dari mereka. Saya bahkan bisa menyusun sederet visi, misi, prioritas, baik lewat analisis SWOT ataupun fishbone. Tapi apa? Hidup saya sebatas untuk masa depan. Tidak salah, kok. Tapi saya melupakan masa kini. Sekarang. Ketika saya lebih mementingkan : 

Bagaimana besok? 
Apakah besok semua akan baik-baik saja? 

 BESOK. BESOK. BESOK.

Hari ini?

Padahal besok dituai dari hari ini.



 ***


Hari ini adalah hari sederhana. Satu dari ribuan hari lainnya. Dan saya, kembali diingatkan.



Now is PRESENT. Grab today as a PRESENT.  Future? Let it takes a lead, LATER. 



Hadiah terbaik yang Tuhan berikan tiap harinya adalah hari ini. Now is present from God.






Minggu, 10 Juni 2012

11 : 22



Kata siapa egoisme mengalahkan jarak?

Kata siapa kesibukan mengalahkan jarak?

Kata siapa kekesalan terhadap bos, pekerjaan, waktu yang tergerus di kantor mengalahkan jarak?

Kataku.

Beberapa saat yang lalu.

Dan?

Aku bohong.

Jarak berpengaruh. Seperti milisekon ketika kamu dihadapkan kematian. Terasa. Menggila. Milimeter jengkalan peta yang berubah menjadi ribuan kilo disini dan disana. Terasa ketika suara yang teraba dibatasi cuaca. Terasa ketika bulan yang sama tampak begitu hampa. Semua tak serupa. Dengan kamu tidak disini. 

Menyebalkan ya?

*** 

Aku sudah mulai melupakan hari terakhir kita bertemu. Yang selalu diwarnai debatan semu. Argumen abu-abu. Memaksaku terus bertanya, kenapa kamu? 
Dan semua menjadi begitu berbeda ketika ada jarak yang nyata. Sekeras apapun menolak, berteriak, menebak. Akhir dari semua ini adalah misteri.
Bukan sekedar melompati zona waktu, bermain dengan jadwal flight, menyelipkan jadwal telepon dalam agenda. Bukan. Tidak sesimpel itu. 

*** 


Minggu pertama di pertengahan tahun. 11 : 22 
Segera bersatu. Amin.



*kangen yang teramat sangat





Jumat, 08 Juni 2012

Oh-just-shut-up-ur-big-melo-drama !

Hujan deras parah.

Suasana mood sedang luarbiasa tidak kondusif. Otak penuh untuk menulis tentang suatu isu, yang sukses mengusik hari, plus imbasnya menempatkan saya yang labelnya seorang human capital, di posisi ujung garpu. Terpojok. Tersudut. Big sh*t happened. Totally argh.

Okay, what kinda issue that make my day successfully, he?

I called it ... leadership.

Bergumul dengan para anak muda kemarin sore yang diberi tugas negara membangun cabang (termasuk saya), dan menemukan banyak loop hole yang luarbiasa didalamnya.
Saya berbicara tentang program MT. Management Training yang sukses menjadi trendsetter di nyaris semua aspek bisnis dewasa ini. Middle level yang dibentuk secara instan, berbanding terbalik antara proses dan hasil. Short process, higher impact

Imbasnya?

Pemimpin karbitan kalau saya bilang. Analoginya mirip bayi belajar jalan. Pada saatnya dia seharusnya belajar merangkak, baru berjalan, ini dipaksa langsung berlari. Saya, sejak awal kuliah selalu berpikir bahwa pemimpin itu tidak serta merta dilahirkan. Insting memimpin boleh jadi memang ada. Namun bila sebatas insting tanpa jam terbang... wassalam lah. At least, in my opinion.

Anak kemarin sore yang diarahkan untuk handle suatu cabang. Dengan komposisi bawahan yang secara usia dan asam garam kadang lebih matang. Ironi. Masih ada pengaruh hormonal pubertas, rasan-rasan saya. Perlu upgrade pengetahuan, kematangan emosi, ketepatan problem solving. Too many things to learn before someone recognize himself... to be a leader. Kenapa banyak? Karena kualitas tersebut yang akan berdampak langsung pada staf bawah : cara handling complain, argumentasi dengan atasan/rekan kerja, memanusiakan manusia. 

Apakah, sekedar arogansi bisa menjadikan bawahan patuh? Bisa. But, you will be another loser. Being bossy can't buy loyality. Jadilah tegas, bukan memerintah.

Ini bukan lagi masalah anda sebagai atasan bung, nona. Just look at yourself before you tryin so hard to show your inappropriate lead style. You just need to grow up first! Reduce your big ego melo drama

Oh damn. Shit happened everyday today.





Minggu, 03 Juni 2012

Logically unlogic feeling


Ini gila. Benar-benar kegilaan yang kurang jelas juntrungannya. Dalam 90 hari, dia sukses mengubah semua. Semua. Termasuk batas antara perasaan dan logika.

*** 

"Seberapa bisa kamu percaya dengan saya?"
Aku diam. Entah harus menjawab apa. Masih hitungan minggu, dan langsung ditodong dengan pertanyaan macam itu.
"Yang pasti belum seratus persen, Pak. Saya perlu waktu.'
Dia tersenyum simpul. 

***

Siang ini, obrolan makan siang kesekian kalinya. Antara aku dan dia. Dengan topik yang sebenarnya memuakkan bagiku. Pekerjaan. Tapi aku ikut arus, tiap saat karenanya. Tak peduli meski ini dianggap sebagai alibi. Aku sadar diri. 
"Kamu tau? Dari segala hal yang sempat kamu pertanyakan pada saya, ada satu hal yang harus kamu tau."
Dahiku mengernyit. Mencerna.
"Seperti apa, Pak?"
"Hmm..."
Telingaku seakan menjadi kebas. Kebas oleh suara dari luar. Kebisingan tamu-tamu kelaparan. Denting garpu ataupun piring teradu. Semua mendadak bisu. Dalam imaji. Yang tersisa? Hanya suaranya.
"Kelak kamu akan paham. Bagi saya, berjalan dengan satu kaki jauh lebih baik daripada dengan dua kaki namun penuh duri."
Aku terpaku. Pada piringku yang masih setengah isi. Pada gelas di hadapanku yang minta dibelai. Pola pikirnya, cara pandangnya.
Hm, nampaknya malam ini aku harus menenggak aspirin banyak-banyak.

*** 

"Kamu dari mana saja? Saya kangen."
Boleh, aku ditelan bumi saat ini juga? Atau mungkin ada yang mau menampar pipi ku? satu-dua tamparan tidak akan terlalu sakit. 
"Maaf baru hadir, Pak. Saya kemarin-kemarin harus ke kantor pusat."
Mempertahankan suaraku tetap tegar pun tak sanggup.Tatapannya, masih menusuk.

*** 

Cangkir kopi ini tetap menjadi saksi yang siap bisu. Ketika kami membicarakan segala hal. Aku suka cara dia bercerita. Atau cara dia menatap. Atau sarkasme tidak penting yang mungkin kurang pas disampaikan padaku. Dan ini, masih berlanjut. 
Tiap detik yang memaksaku untuk menuju ruangnya, mendiskusikan macam hal yang membosankan. Aku mencari alasan? Ya. Bisa jadi. Ada magnet begitu kuat yang tidak bisa aku hindari. Berapa orang yang mempertanyakan logikaku? Entah. Jari kaki dan tanganku tak mampu menghitungnya.
Aku hampir gila. Tuhan terkadang begitu kejam. Perasaan bisa diobrak-abrik laksana meremas hancur keripik kentang.