Tampilkan postingan dengan label LDR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LDR. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Agustus 2012

Hatimu, boleh dititipkan kepadaku?


Aku tak bisa merasakan angin yang lebih memukau daripada sore ini. Berhembus lembut, lirih, memainkan lonceng cina di beranda belakang dengan harmonisasi yang tak mampu digambarkan. Dan ya, ngomong-ngomong waktu berkejaran kencang akhir-akhir ini. 

 ***

"Sudah deh, masa iya kita harus berdebat untuk hal-hal macam ini?"
"Macam ini? Seharian penuh tanpa kabar, bahkan sekedar menanyakan kabar pun tidak? Aku tidak perlu berdebat, begitu?"
"Terserah deh, aku capek. Seharian ini aku repot dengan serangkaian jadwal visit klien."
"Kamu pikir, semua kesibukan hanya ada padamu? Aku juga sibuk!"

*** 

"Hei, kamu baik-baik saja?"
Whoops. Another stupidity. Aku terlalu sibuk melamun, hingga tanpa sadar teh yang aku tuang dari teko meluber kemana-mana. Sedikit gugup, aku menyeka sisa tumpahan itu dari permukaan meja. Nice try. Meskipun tak terlalu berhasil menyeka sisa tumpahannya di atas meja, menimbulkan guratan motif baru.
"I'm fine."
"Dari ekspresimu, tidak. Kamu benar baik-baik saja?"
Bisakah... bisakah pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang aku harapkan, bukan orang lain seperti momen ini?
Cengiran terbaikku biasanya mampu menolong, tapi tidak kali ini.

*** 

Ketika seorang pelari amatir gagal dalam arena yang bahkan menjadi tempat berlatihnya tiap sore, bukan berarti pelari itu tidak mencoba bukan?
Semua orang berhak membuat justifikasi mengenai suatu usaha. Tapi tidak setiap waktu pula justifikasi itu tepat, meski sudah dikalibrasi berkali-kali sekalipun. Tidak pula dalam suatu hubungan. Hubungan ini tentu bukan kompetisi diantara dua orang, kan? Bukan pula lomba debat untuk memenangkan plakat di tempat pertama. It takes two to tango. Sparring partner. Kamu tidak perlu berselingkuh untuk merusak sebuah hubungan. Cukup jatuhkan dengan tidak memberi dukungan. Hubungan yang seperti jambangan porselen bisa hancur berkeping-keping. 

***

"Estimasi waktu itu ada. Setidaknya, aku juga ingin memastikan bahwa keputusan besar, memang bukan main-main. Pernikahan ini."
Aku mendengar, dalam delusi ku, bahwa aku terkesan sebagai pihak yang main-main. Yang bisa saja bertindak bodoh seperti menolak muncul di pelaminan pada hari H. Tahu rasanya? Seperti tamparan.
"Aku butuh bukti, bukan hanya janji. Buktikanlah."
Suara blower bahkan jauh lebih kencang dari ini semua.
"Terlalu banyak dikecewakan, terlalu banyak dijanjikan. Dan stok pemaklumanku ada batasnya."
Pernah merasa berada di tepi jurang, sementara deretan singa kelaparan siap memangsa? Aku pernah, dengan situasi hampir sama dengan plot berbeda. Saat ini. 
Boleh, aku memilih terperosok ke jurang?

*** 

Waktu kecil, ada satu impian yang aku simpan rapat-rapat dalam segala imajinasiku. Menikah. Bagiku, gambaran momen sakral nan istimewa ini begitu luarbiasa. Aku selalu terpaku kagum dengan setiap detail bahasan pernikahan. Kerumitan desain busana, kilauan berlian dengan kotak mungil berwarna telur asin, visualisasi indah dari tiap menu yang tersaji, suara mistis pranata cara, semuanya. Itu adalah momen. Momen tertinggi dari suatu pernikahan adalah resepsi. Itu bayanganku ketika aku masih berseragam merah-putih.

*** 

Hari-hari setelah resepsi adalah kegilaan sebenarnya. Dan ya, ngomong-ngomong lagi, harapanku sederhana. Dengan segala kerumitan, kekesalan, emosi yang bertumpuk dan bersahut-sahutan.
Tolong, percayakan kepadaku, hatimu.
Aku hanya ingin tiap pagi bisa melihatmu yang masih tertidur pulas dengan rambut mencuat kesana-kemari, menyuapimu ketika kamu sakit setelah begadang semalam suntuk mengerjakan portofolio, memasakkan menu favoritmu meski aku paling takut dengan cipratan minyak meletup, menenangkanmu ketika mendadak kamu terbangun di tengah malam tanpa sadar, mengigau, kemudian tertidur kembali.
Sesederhana itu, aku ingin menemani harimu. Jadi tolong, percayakan semua stok perasaanmu kepadaku. 




 
 


Minggu, 12 Agustus 2012

Silence of words


Nyaman adalah perasaan seperti malam hari ini, di tepi jendela. 
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita perbincangkan. Tumpukan deadline, tagihan kartu kredit, kesempatan promosi, renovasi rumah, tetangga yang baru saja bercerai. Sayangnya, ada kadangkala ingin diam saja. Hanya duduk diam di tepi jendela, memandang bulan yang tak lagi gemerlap. Cenderung masam, malah.

***

Aku benci, waktu kita yang sudah sedikit dan menipis makin dipersingkat dengan bunyi PING Blackberry, merahnya lampu LED nya berkedip, nada telepon masuk yang tak henti bersambutan, mention Twitter yang bertubi, dan hal lain. Egois ya? Ya.
Tak bisakah rasa lelah menggila yang terforsir seharian penuh, eight to eight a day, digantikan oleh sesuatu bernama sunyi?
Ada kalanya aku tak ingin menghabiskan sisa malam di lounge - berbasa-basi mendengarkan live music sebagai suatu lifestyle statement, menyusuri sepanjang Tebet atau Kemang demi kulinerisasi, berdesakan berlomba menonton premiere, atau bahkan menghilang ke pulau terpencil yang cantik. Tidak, bukan itu semua, kadangkala.

Aku hanya ingin duduk, diam. Dengan kamu diujung sana. Mendengarkan suara yang selama ini terlewat karena satu sama lain dari kita sibuk berucap makian terhadap bos, lelahnya mengejar target, tidak enaknya menu yang baru saja dipesan, hal lain yang menambah kompleksitas hari.

Duduk dalam diam. Memandangimu. Kadangkala lebih dari cukup buatku untuk mengatakan apa yang perlu aku katakan. Sempurna, jika aku - kamu - kita, bisa menemukan satu jam saja dalam diam. Tanpa merasa perlu mengambil topik apapun, tanpa menghiraukan distraksi gadget manapun, tanpa peduli besok hari yang kita hadapi lebih berat. Satu jam saja, itu lebih dari cukup.

***

Pria itu seperti anggur. Makin diperam, makin didiamkan, begitu sudah masak, rasanya memabukkan. Beda halnya dengan wanita. Ia justru seperti kopi. Makin panas, makin harum aromanya. 

***

Jika pria dan wanita begitu berbeda, tidak bisakah mereka dibungkam sunyi selama satu jam saja, untuk menyetarakan hati? 









Hello Goodbye


11.42 PM

Hei, di seberang sana pasti kamu sudah bergelung geming. Diam nyenyak dalam selimut. Sudah malam. Lepas tengah malam. 

Aku?

Aku masih belum bisa tidur disini. Di kota yang ramai, namun semu. Warganya sibuk bertingkah dan berulah, berpeluh topeng. Kangen ku memaksaku menuliskan ini.

Apa kabar kamu disana? 
Masih terlambat bangun dengan ujung rambut tercuat?
Setangkup burger nikmat di malam pekat?
Keruwetan hari yang nikmat

Tak ada yang sanggup menggantikan randomnya topik kita. Ujung ke ujung yang entah juntrungannya. Lepas tawa kesal. 
Menungguimu di lorong gelap sepi ketika kamu sibuk bergulat sidang skripsi - mendengarkan dosenmu yang galak berkata bahwa ia seperti mengaji di surau gara-gara berbagi makalahmu dengan dosen penguji lain, 
nikmatnya semangkuk mie rebus super pedas di warung burjo pasca nonton midnite,
dikejar meeting dan motormu mendadak mogok di tengah hujan sementara aku malah bersenandung gembira, 
berebut mengambil slice burger masing-masing yang tersisa, 
menghabiskan dua cething nasi gara-gara kepedasan sambal - praktis masing-masing dari kita menguasai satu cething nasi, 
menghadapi kuliah yang padat dan membosankan dan tergantikan sesi jalan-jalan sore denganmu,
badan sama-sama rontok pasca 'serangan' serombongan bis berbelanja kaos oleh-oleh, 
opening dance Centro yang tak bisa berhenti membuatku tertawa demi melihat betapa kakunya badanmu ketika menari,
meracuni seisi rumah dengan asap dan aroma incridible eksperimen masakan kita yang lebih mirip baygon,

 Hm.

Hal-hal kecil itu mengingatkanku pada kita

***

Dan ya, aku tetawa geli mengingat celetukan seorang sahabat,

"Potong rambut sudah. Potong poni sampai rapi, juga sudah. Lalu kapan, kita potong jarak diantara kita?"

:)

Sedemikiannya sejengkal sentimeter di peta dalam hidup kita. 

***

Pukul 12.51 disana. Apakah nyamuk-nyamuk nakal mengganggumu?
Aku merindukan hujan deras, dua cangkir teh, semangkuk mie rebus, ditemani Michael Buble.

I’m just too far from where you are
I wanna come home







Minggu, 29 Juli 2012

When you love someone . . .



"Kau percaya adanya reinkarnasi?"
"Ng...percaya tak percaya. Kenapa?"
"Tidak. Aku, sedikit memaksa untuk percaya. Karena--"
"Karena?"
"Jika reinkarnasi itu nyata, aku ingin direinkarnasi bertemu kamu sejak awal. Sejak kamu masih belajar mengunyah dengan gigi susu, kamu dalam seragam merah-putihmu, semuanya. Sejak awal."
Aku geli. Geli dengan serangkaian khayalanmu yang suka melompati logika.
"Kenapa harus sejak awal?"
Hei, aku bisa mendengar desahanmu. Seakan pertanyaanku ini agak rumit untuk dijawab.
"Ingin, rentang bersamamu lebih lama daripada batasan jarak ini."
Aku kehabisan kata-kata.

Maybe it's true
That I can't live without you
Maybe two is better than one

***

Hari ini adalah hari pertama bekerja. Tentu, tidak karuan. Rasanya mirip seperti dipojokkan ke ujung tebing, dengan kerumunan serigala yang siap menerjang di depan mata. Alternatif penyelamatan diri sebatas jurang di bawah sana.
Hell yeah, fear is a biggest factor.
Mantra itu merasuki pikiran selama beberapa saat belakangan. Adaptasi adalah pilihan yang mau tak mau wajib diambil. Sudah kepalang tanggung, sudah masanya, maju sendiri.
Berbekal tas ransel favorit, outfit resmi, dan semangat yang masih irit, aku maju.
Ngomong-ngomong, memonopoli waktu adalah hobi yang khusus. Memonopoli, dengan memajukan beberapa menit penting. Seperti pagi ini.
Sebuah kursi bercat warna-warni masih sudi menampungku di keheningan pantry. Belum ada siapa-siapa. Aroma kelegaan luarbiasa yang tak terbeli. Ini lebih mirip trance dalam ketenangan yang damai. Sepersekian saat yang diam.
Tok-tok-tok.
Suara langkah kaki!
Bak ditarik keluar dari pusaran tanpa suara, berusaha menetralkan suasana yang bertransisi begitu cepat.
"Hei, hari pertama?"

I remember what you wore on the first day
You came into my life and I thought
"Hey, you know, this could be something"

***

Kadang-kadang, manusia bisa menjadi begitu tolol ketika dihinggapi perasaan aneh yang disebut ketertarikan. Opposite attracks. Logika kabur hingga awang-awang.
"Hei, nanti ikut gathering?"
Kalkulasi di otak langsung berjalan sempurna. Jam berapa? Baju apa? Acara apa? Berbagai opsi percakapan yang jauh lebih masuk akal, sebenarnya.
"Oh, tidak."
Perbendaharaan kosakata yang tersimpan rapi dan dilafalkan sehari-hari mendadak asing.
"Oh, oke."
Mari, mengubur diri di pojokan sana.

***

Pernah patah hati?
Tidak?
Oh, mungkin kamu belum benar-benar 'hidup'
Rasanya seperti cabai yang tergigit di tengah bibir sariawan. Spontan, sesaat, berefek lama. Setelah sempat tumbuh dengan suburnya, kinipun dipendam dalam-dalam seorang diri.
Pathetic?
Yes.

***

Pagi, ini hari terakhir bekerja.
Melepas kenangan pahit-manis selama sekian pekan.
Nyawa sudah terjual dengan harga yang lebih mahal. Siap diganjar dengan kehidupan yang lebih baik, kawan.
Seperti itu, sebelum lagi-lagi, pintu diketuk.
"Kapan lagi?"
"Kapan lagi apanya?"
"Kapan lagi ada kesempatan datang. Katakan! Katakan padanya."
"Bodoh."
"Bodoh apanya? Jika tiap hari nyaris gila ketika ingat aroma parfumnya meskipun tidak ada sosoknya. Jika berasa mau mati ketika langkahnya mendekat. Jika tak sengaja beradu pandang. Hei, ini bukan bagian telenovela yang serta merta happy ending."
"Tidak."
"Kapan lagi? Menyisakan penyesalan seumur hidup? Katakan, lalu ikhlaskan."
Lalu ikhlaskan.
Mataku mencari-cari sosok mungil yang biasanya dalam genggaman.
Message sent.
Piranti telekomunikasi tak pernah sehoror ini.

***

"Apa jadinya, jika waktu itu yang aku katakan adalah 'tidak'?"
"Tak ada jadinya. Karena aku tak berekspektasi apapun."
"Kenapa?"
"Karena... rasa ini adalah ikhlas. Kamu, dihadapanku saat ini adalah sebuah bonus, karena sejak awal mengikhlaskanmu. Mengikhlaskanmu untuk telah hadir, menghilang, kemudian datang kembali."

But there's so much time
To figure out the rest of my life
And you've already got me coming undone
And I'm thinking
I can't live without you







Sabtu, 28 Juli 2012

Metafora Metamorfosa

Sstt.

Kupu-kupu cantik itu hinggap di jendela. Konon, kupu-kupu yang hinggap di bagian depan rumah, merupakan isyarat datangnya tamu dari jauh. Tamu yang telah lama tak datang, singgah dan berlabuh.

***

Waktu kecil, aku suka melafalkan ensiklopedia milik Eyang. Eyang Uti memiliki tumpukan buku tebal-tebal dalam rak bukunya yang tua. Aku suka bersembunyi di antara rak-raknya yang kokoh, merasa aman dan terlindungi, oleh rangkanya yang gagah dan aroma kayu yang kuat. Disana, di suatu siang yang panas, diantara celah-celah lembar buku tebal berdebu, metamorfosa kupu-kupu telah sukses menarik perhatian.
Larva yang berubah merangkaki ranting sebagai ulat, dan bersembunyi di dalam pintalan kepompong kuat. Bagiku, itu adalah ritual suci luarbiasa hebat. Metamorfosa, adalah bagian hidup manusia sampai akhirat.


***

Kamu, sempat mengajarkan padaku bahwa hidup adalah fase. Fase yang memiliki tenor yang tak tentu. Bisa sesaat, kemudian timbul tenggelam dalam kedalaman yang pekat. Aku bisa menangis, sedetik kemudian tertawa histeris. Hari ini kamu hanya makan sepotong tempe bacem, lusa kamu melahap menu a la carte western. Hari ini kita bertemu, besok belum tentu.

Fase.

Fase adalah harmonisasi metamorfosis hidup. Reinkarnasi metafora metamorfosa.
Dan ketika aku diperkenalkan hal baru bernama jarak, disini pula aku belajar lagi fase itu. Metamorfosa perasaan.
Dari kepekaan penuh menjadi keterbiasaan akan aroma-aroma tertentu yang mengingatkanku pada suatu ketika.
Dari sentuhan dan visual nyata menjadi sebatas suara samar di ujung sana.
Dari intensitas rutinitas menjadi pemakluman 'sesempatnya'
Aku belajar, seperti yang pernah kau ceritakan padaku.
Metamorfosa perasaan.

***

Fase ini, bukan perlombaan. Tidak perlu dipertaruhkan secara vini, vidi, vici. Suatu ketika ini semua bukan lagi ulat bulu yang sekedar mampu menggeliat. Namun terbang, menebas riang jajaran tiang.

***

"Ada kupu-kupu cantik di kusen jendela!"

Ah ya, tamu yang ditunggu, pasti akan datang.




Kamis, 19 Juli 2012

Sepotong Senja Berwarna Kelabu


Dari dulu, aku selalu suka memilih senja. Memilih ingin seperti apakah senjaku dimulai dan kuakhiri. Ada warna merah, biru, hitam, dan abu-abu, seperti pelangi. Mirip permen coklat merk asing yang suka kau kulum tiap pagi.

Hm.

Senja ini aku ingin mewarnainya sedikit abu-abu. Tidak bisa berbunga seperti kamboja ataupun tajam seperti kaktus. Urusan kecil manik-manik ini kadang memang pelik. Ditambah hujan. Ah, rasa-rasanya aku butuh secangkir teh nasgitel. Dan sepotong tempe garit panas gurih. Dan sofa yang lebih empuk dan ergonomis. Dan kamu.

Urip kuwi sawang-sinawang. Naik dan turun seperti roller-coaster di taman bermain tempo hari. Ingat, saat dimana aku mencurangi waktu dengan menghilang bersamamu? Sekian jam yang bermakna ganda. Oh tidak. Bukan ganda. Namun berjuta kali lebih berharga. Jika ada kamu.

Kali ini senjaku semi kelabu. Bukan ungu ataupun biru. Tapi kelabu. Bolehkah aku pinjam spidol yang selalu kau simpan diantara tumpukan manga, sekedar menghindari ulahku yang selalu suka membuat coretan dimana-mana? Senja ku kali ini menyiksa. Memaksa untuk tetap tak berkutik, terusik. Dengan spidol itu akan kuwarnai senja menjadi biru. Biru yang tenang dan damai.

"Hei, senja kan jingga!"

tegurmu tempo hari.

Senja ini milik siapapun. Senja dijual bebas, tak terbatas. Aku membelinya di suatu hari. Ketika langkahku terayun ringan disisimu. Ditemani sepotong es goyang berlumur cokelat kacang. Belepotan disana-sini. Hingga terhenti di sebuah ayunan yang cat nya terkelupas separuh. Seketika dengan jahilnya mata tertutup oleh dua buah tapak tangan.

"Aduhh... aku tak bisa melihat!"

rengekan yang kau balas dengan tawa riang seperti anak lima tahun yang bahagia mendapat mobil mainan pertamanya.

"Ssst. Aku mau memberimu sesuatu."
"Apa itu?" wah, aku jadi ikut berbisik.
"Tunggu."

Sedetik-dua detik yang menjadi seabad.

"Silakan."

Aku tak melihat apapun, selain senja yang jingga. Sedikit meredup dimakan malam sekaligus cemerlang.

"Senja..."
"Gratis buatmu. Kau bisa mewarnainya sesuka hati."
"Senja itu jingga."
"Jika kau berpendapat itu kelabu pun, merah pun. Itu tetap akan menjadi kelabu, merah."

Aku diam. Dia diam. Sepotong es goyang sudah lumer menyelimuti tanah.

***

Senja ku. Kali ini tetap akan kelabu, sekalipun ini jingga. Tanpamu. Maka aku ingin meminjam spidolmu, untuk mewarnainya menjadi biru. Aku bisa, dengan atau tanpamu. Sampai kamu menemani di ayunan yang cat nya terkelupas, seperti tempo dulu.









Rabu, 18 Juli 2012

Lampu Kota Malam Ini


Malam ini lampu kota sangat cantik.
Aku memujanya, lebih daripada apapun.

So lately, been wondering
Who will be there to take my place
When I'm gone you'll need love
To light the shadows on your face

***

Rokok menthol, alkohol, konon katanya adalah pasangan setia di temaram malam. Biasanya. Konon.
Kali ini, tak ada yang lebih romantis dibandingkan dengan riuhnya klakson adu umpatan pengendara, asap yang menderu di udara, serta lampu sen yang berirama salip-menyalip.
Aku memiliki waktu yang cukup panjang, begitu pesawat itu lepas landas.
Memiliki kesempurnaan kesendirian di tengah keramaian.

Well then I hope there's someone out there
Who can bring me back to you

Terayun pelan, bahkan kaki seakan ingin berkonspirasi menyempurnakan malam.
Katamu, aku cengeng, ya?
Hobi menangis dan sedetik kemudian tertawa. Buatku, tawa dan air mata itu... gratis namun tak terbeli. Tak terbatas namun kadang harus tahu diri.
Ah, sudahlah. Kakiku lelah. Mari duduk, mari bicara. Kepada dirimu, di ujung sana. Dengan hati.

***

Lampu kota, di ujung jalan.
Tersudut disini, pekatnya ujung hari menemani.
Terkadang ada masa dimana berharap seluruh indera tak berfungsi
Mata, tiap kali melewati rentetan alur yang sama
Hidung, mendapati aroma pagi yang begitu tak terganti
Kenangan, menolak untuk pergi

Pukul sepuluh sepuluh
Aku tak ingin beranjak dari sini, bangku yang aku bagi denganmu. Baru saja, kamu, di ujung itu. Mengulang kisah yang sama. Kini harus kubagi dengan seorang kakek tua yang letih. Bukan kamu.

If I could, then I would
I'll go wherever you will go



taken from flickrhivemind.net

***

"Aku berangkat. Baik-baik ya, sampai aku jemput kamu kelak."

Tak pernah bosan aku memandang deretan cahaya. Titik-titik kecil yang membentuk mosaik. Abstrak serangkai manik-manik. Menemani lampu kota.

Way up high or down low
I'll go wherever you will go









Minggu, 10 Juni 2012

11 : 22



Kata siapa egoisme mengalahkan jarak?

Kata siapa kesibukan mengalahkan jarak?

Kata siapa kekesalan terhadap bos, pekerjaan, waktu yang tergerus di kantor mengalahkan jarak?

Kataku.

Beberapa saat yang lalu.

Dan?

Aku bohong.

Jarak berpengaruh. Seperti milisekon ketika kamu dihadapkan kematian. Terasa. Menggila. Milimeter jengkalan peta yang berubah menjadi ribuan kilo disini dan disana. Terasa ketika suara yang teraba dibatasi cuaca. Terasa ketika bulan yang sama tampak begitu hampa. Semua tak serupa. Dengan kamu tidak disini. 

Menyebalkan ya?

*** 

Aku sudah mulai melupakan hari terakhir kita bertemu. Yang selalu diwarnai debatan semu. Argumen abu-abu. Memaksaku terus bertanya, kenapa kamu? 
Dan semua menjadi begitu berbeda ketika ada jarak yang nyata. Sekeras apapun menolak, berteriak, menebak. Akhir dari semua ini adalah misteri.
Bukan sekedar melompati zona waktu, bermain dengan jadwal flight, menyelipkan jadwal telepon dalam agenda. Bukan. Tidak sesimpel itu. 

*** 


Minggu pertama di pertengahan tahun. 11 : 22 
Segera bersatu. Amin.



*kangen yang teramat sangat





Minggu, 19 Februari 2012

Mari membicarakan hari



Mari duduk.

Ya, benar. Mari mulai membicarakan hari.

Hari apa?

Entah ya. Mau kemarin, hari ini, besok, lusa, lima hari lagi? Terserah.

Ehm. Baiklah. Aku ingin memulai. Hari ini panas ya.

Umm--basi. Apalagi jika kau melanjutkan frasa itu dengan :
Apakah kamu membawa payung?/Untuk apa?/Untuk memayungi hatimu...
Ergh. Tampaknya kau terlalu banyak mengkonsumsi komedi di saluran itu.

Oke. Telak. Kau mendepakku dengan telak. Dan ya, aku tak memiliki cukup banyak topik disini.

Hei. Kali ini, kita sudah berhadap-hadapan. Kau dan aku. Kau di depan mataku. Apakah hari ini hanya berakhir dengan aku tak memiliki cukup banyak topik disini? Jangan bercanda.

Sungguh, terlalu banyak yang terlewat. Cukup lumayan yang terlupakan. Harimu disana, detikku disini. Dipisahkan ombak dan sesimpul tugas.

...dan dipersatukan bulan. Bulan yang sama, yang menggantung di atas ubun-ubun kita. Lupa?

Tidak. Tapi aku tak punya topik untuk dibagikan. Tak sedikitpun.

Kenapa?

Aku tak pandai bercerita, merangkai kata.

Aku tak perlu cerita, atau memohonmu merangkai kata.

Lalu untuk apa aku disini? Dihadapanmu?

Kau, menemaniku. Menghitung hari yang dengan senang hati akan kunanti.

Hari apa?

Di suatu hari, dimana kita tak lagi terpisah ombak. Atau sesimpul tugas. Atau sinyal yang melakukan konspirasi. Atau jadwal flight yang selalu sold out. Atau...kamu yang bungkam untuk bercerita.






Sabtu, 18 Februari 2012

Dengan kamu : A-Z


Ini adalah malam minggu. Sore menjelang malam minggu. Dimana gerombolan muda-mudi berpadu. Diantara gemerlapan kota yang disinari lampu. Dan aku, berada dalam ritual masa lalu. Bersamamu.

***


Aku percaya kamu, dan menghargai mitos. Lalu haruskah aku memilih?

Aku orang Jawa. Kamu orang Jawa. Tanpa terlintas pentingnya sukuisme dalam hidup kita.
"Ayo ke Prambanan."
Ragu di tempat. Bukan karena jauh. Bukan karena panas. Bukan. Aku takut, putus dengan kamu.
"Nggak mau." bersikeras aku menolak. Dan kamu tetap memaksa.
"Setelah ke Prambanan kita ke Boko..."
"Kata orang, pasangan yang ke Prambanan bisa putus--"
"--dan kalau ke Boko bisa awet. Makanya kita ke Prambanan, terus ke Boko."
Kamu, dengan kengeyelanmu. Dan aku, akhirnya setuju. Dengan busway, serasa pelancong dari negeri seberang. Bergandengan, bak turis. Sementara di rumah, orangtua geleng-geleng kepala, atas ulah anaknya yang melawan pamali.
Diantara reruntuhan batu, aku terdiam. Tanpa bermaksud membengal, namun bukan candi ataupun mitos yang membuat suatu hubungan kandas.



Ini seperti perjalanan menembus batas. Masa depan ada di ujung sana. Dan kita, memulainya dari sini.

Pukul 15.00.
Jam kuliah terakhir sudah usai. Dengan tugas menggunung, berharap semua akan tergulung. Kamu, menunggu di depan. Tanpa rencana, tanpa acara.
"Ke pantai, yuk!"
Hanya bisa mengiyakan setengah tak yakin.
"Emang tau, lewat mana?"
"Udah, ikut aja."
Dan kita, kamu dan aku, melewati jejalanan selatan. Kita, kamu dan aku. Hanya ada kita, dan ombak kecil. Romantis? Bukan. Ini lebih dari romantis. Tugasku benar-benar tergulung, dengan ombak yang menari-nari kecil. Mengukir jejak, di atas pasir. Menikmati senja yang berparade. Semarak semburat senja. Kita, kamu dan aku. Memandang tenggelamnya matahari, di ujung sana.



Kelak aku akan menjadi, seseorang yang memasak sarapnmu tiap pagi

"Kamu masak ya."
Oke. Ini bahkan jauh lebih susah daripada sekedar melafalkan kata cinta. Meracik bumbu, beradu riang dengan sendok dan garpu. Mengiris bawang serupa menangis. Dan disanalah aku. Di dapur, lengkap dengan penggorengan, pinggan, dan udang. Sementara kamu menunggu di samping sambil tertawa riang. Kikuk, takjub. Bagaimana semua bahan ini bisa aku racik sempurna? Setengah jam. Satu jam. Hingga tersaji di depan mata. Sendokmu mulai beradu di piring, sementara aku hanya bisa menggigit bibir.
"Enak." dan terulas senyum jahil.
Tahu? Itu lebih berharga dari apapun.



Gemerlap ada di bawah sana. Tapi aku tak butuh gemerlap itu. Aku hanya butuh kamu, sebagai gemerlapku.

Cinta yang berputar diantara bianglala. Dengan pijaran kembang api di malam hari. Dari pagi ke menjelang malam. Dari awal hingga akhir gerbang tertutup. Kamu, menemaniku yang terjebak di kota metropolitan. Sendiri, dan ingin pulang. Membawaku ke euforia tertawa dan menjerit lepas. Tempat ini adalah kenangan. Kenangan yang mengingatkanku bahwa kamu selalu ada dengan caramu. Seharian yang sarat dengan tawa, teriakan-teriakan, baju yang kering dan basah bergantian, badan yang serasa hampir rontok yang lunglai. Terbayarkan oleh bahagia. Ini mungkin hanyalah sekedar taman bermain. Taman bermain yang membuatku ingin selalu terjaga dalam mimpi.
Tapi, hei, ini bukan mimpi.
Nyata, kamu disampingku.



*kamu yang disana. Aku kangen :')



Senin, 03 Oktober 2011

Memori Daun Pisang


Rintik-rintik hujan
Hujan malam-malam
Malam yang semi sepi dan biasa
Biasa terbiasa ditemani sepatah dua patah kata
Kata yang abstrak, disusun untuk menemani kepulan kopi
Kopi tiga sendok gula, sedikit pahit
Pahit mengenang
Mengenang bahwa hari ini hujan
Hujan yang sama
Sama seperti tahun lalu

**

Saat aku sendirian
Sendirian memandang hujan yang sama
Sama sepertimu



kangen




*menyetotalmenjelangpenempatan*
Kwitang, 03102011





Ketika Lapar Tingkat Dewa, Itulah Cemas!

 
Berat badan saya bertambah sekian kilo.
Saya bahkan baru sadar ketika teman saya berkomentar lebih dari beberapa kali dalam beberapa pekan terakhir.
Saya tidak percaya.
Tapi, mengingat saya mengalami kecemasan luarbiasa akhir-akhir ini… well. It happened.

**

Saya suka makan. Suka sekali makan. Tapi saya tak bisa gendut. Entah ini sombong atau prihatin ya. Yang jelas, saya tak bisa gendut. Lalu apa hubungannya dengan hobi makan?
Setelah sekian lama, saya baru menyadari fakta ini :
Saya suka makan. Suka sekali makan. Saya tak keberatan makan berat lagi meskipun sudah makan sebelumnya. Makan berdua pacar, kami bisa makan dua bakul kecil (kami makan mirip kuli…ouch), praktis masing-masing kebagian satu bakul *wth* saya sendiri, hobi ngemil nasi. Tolong ya, ngemil. Tanpa garam atau MSG yang bikin bodoh itu. Masalahnya, sebakul dua bakul, saya tetap segini aja badannya. Lantas, kemana larinya asupan gizi saya?

**

Saya mudah cemas dan hobi berpikir tentang hal-hal tak penting sekalipun. Gara-gara waktu saya yang 24 jam itu banyak saya habiskan untuk mencemaskan hal-hal yang diluar kendali, energi saya terkuras!! Dan karena energi saya habis, saya gampang sekali lapar. GAMPANG. Tiga jam sekali, saya pasti merasakan lapar. Dan itu sangat menyiksa! Karena jika lapar, saya akan mudah merasa pusing, mual, dan gelisah. Teman saya bahkan menyadari perubahan ekspresi dan mood saya tepat setelah saya makan—makan apapun, termasuk lemper sekalipun. Duh.

**

And thank’s to my job. Saya mulai merasakan excited luarbiasa sehubungan isu penempatan saya sebagai HR Specialist (berarti saya lulus tuh, amin). Saking excitednya, saya cemas. Karena saya cemas, menjelang penghujung minggu saya makin gampang lapar. Argh.
Penyakit lama kambuh, keberatan hengkang zona nyaman saya. Keberatan yang tak tertolong untuk kali ini. Rarrwr. Hola Ambon—Banjarmasin—Kerawang. Dipilih… Dipilih… Dipilih… *tepokjidat*




Kamis, 15 September 2011

Ketika flu menyerang dan terperangkap di kamar yang dingin sementara di luar hujan rintik-rintik romantis


Kota Panasumpekmacetbau, 15 September 2011

H+1 pascagalau. Galau gara-gara long distance relationship—yang kata orang menyiksa. Kemarin, pas makan siang mendadak ada 2 SMS sekaligus masuk ke dalam hp saya, dengan berita yang bikin saya malas-malasan selama beberapa jam ke depan. Apa pasal? Yang pertama, gara-gara si pacar ada pengumuman penempatan hari ini tadi. Yang kedua, mentor saya hitung-hitungan selama training memutuskan untuk resign. What a day.
Saya jadi berpikir. Long distance relationship.
Selama ini, saya terlalu naïf berpikir mengenai LDR adalah sebatas ketika saya terbentang jarak ruang waktu dengan pacar. Clichè.
Mundur ke beberapa hari sebelumnya, lebih dari dua orang atasan di cabang dengan jumawa-nya bilang kalau LDR itu pasti gagal. Pasti. Mutlak. Absolut. Berdasarkan pengalaman mereka, rata-rata LDR pasti berbuah sad ending. Tapi saya tak peduli, ah. Mau di-LDR-kan kayakmana. Jodoh ya jodoh. Kun fayakun.
Well, LDR—adalah ketika hubungan yang kita miliki, terbentang jarak ruang waktu. Tidak bertatap secara fisik—face to face. Dan tidak sekedar bersama si pacar saja. Karena pada kenyataannya saya juga sedang ber-LDR—berhubungan jarak jauh, dengan teman-teman saya di Jogja, keluarga saya, teman-teman MT saya yang baru (yang akan segera melanglang ke lokasi on the job training mereka) dan semua-mua yang bersua sebatas suara ataupun visual melalui bentang perantara. Dan memang seperti itu. Tapi kenapa, LDR bersama pacar rasanya lebih ‘menyiksa’?
Mungkin, karena terlalu banyak ketakutan dan ketidakpastian di dalamnya? Seperti gado-gado?

*** 
LDR—kalau saya—suka diawali lebih dulu dengan rasa kehilangan. Kehilangan yang aneh. Saya merasa kehilangan ketika harus meninggalkan Jogja yang telah membesarkan saya selama 22 tahun lebih (beuuhh, galaunya setengah mampus. Pengen mewek melulu di kereta :(). Merasa kehilangan ketika pacar saya yang selalu menemani saya selama di Jakarta dan sering berantem ternyata mendadak harus penempatan entah dimana. Kehilangan ketika partner ngobrol tentang pekerjaan mendadak resign dengan curangnya. Kehilangan ketika satu-persatu teman-teman MT saya pada berangkat OJT. Mbrambangi deh.
Dia, sesuatu, atau mereka = hilang. Tapi ada di hati dan pikiran *eaaa*
Ada, tak bisa diraih dan ngawang! Saking mendalamnya, kadang-kadang kehilangan itu bikin galau. Makanya, saya lagi mendoktrin diri sendiri, jangan menyesal di belakang. Jangan menyia-nyiakan sesuatu atau seseorang ketika ada di depan mata. Karena kalau sekali hilang atau lepas, nilai penyesalan itu pasti ngekor di belakang :p

Coldplay – The Scientist

Minggu, 17 April 2011

LDR : cinta dalam sepenggal aspal




Saya bukan tipe orang yang bisa terpisah dengan ‘seseorang’ dalam jangka waktu lama. Alasan sederhana, terkadang saya memerlukan supporter langsung di TKP. Tapi, ini yang harus dihadapi : long distance relationship.

Jangan ditanya ketika awal-awal masa itu, panas-dingin-jungkir-balik-kayang-salto mirip nano-nano. Stressssful. Pengennya tiap hari mewek dan mendayu-dayu. Mengingat teknologi sedemikian maju sekarang, what aim my tears comin over are for? Entah. Rasanya sedih. Titik. LDR menjadikan perenungan di siang bolong seperti ini,  apakah kita memang mengikhlaskan semua hal yang menjadi pilihan lengkap dengan imbasnya. Take it or leave it. Take it, dan konsekuensinya saya harus melapangkan hati seluas lapangan bola ketika SMS nggak dibalas, telepon nggak bisa semaunya, nggak bisa merayakan secara langsung apapun pencapaian kita, dll. Leave it, tapi saya pasti akan lebih merana karena akan kehilangan seseorang yang berarti bagi hidup saya.

Sekarang, sudah baikan? Hmm… A ll bit better. Gara-gara dipaksa, mau tak mau saya pun menikmati kangennya beberapa saat tidak bertemu muka, sekedar mendengar suara doang (yang kemudian bener-bener nggak nyambung gara-gara yang ditelepon ketiduran dan ngelantur :p) di sela-sela kesibukannya saat ini, harap-harap cemas kapan bisa ketemu, so on.


 :)


Di satu sisi kadang jengkel, kok rasanya saya terus yang dirundung rindu? So one-sided feeling, yaiiyyyyyyy. Dan saya salah. Ketika saya menjadi mendadak sibuk karena acara ini itu, kesana-sini, dan bahkan tidak sempat sekedar mengucap sapaan rutin saya 3X sehari—saya sadar—bukan hanya saya saja yang bisa kangen. Dia— dengan caranya yang cuek ala bebek—menyapa saya dengan bahasa yang lucu, you know lah, ketika seseorang yang punya harga diri, cuek, dan jarang mengekspresikan perasaan secara gamblang, tiba-tiba mendadak menjadi mellow :p Adalah bodoh, ketika perasaan satu sama lain harus dikorbankan hanya gara-gara jarak yang sebenarnya bisa diperpendek.

Jujur, saya sangat sangat sangat menghargai upaya nya yang (mungkin) menelan egosentrisnya sebagai seorang laki-laki yang tak boleh kalah atas perasaan. Hal kecil—di seberang sana—yang dia lakukan. Sebatas pesan singkat, sesingkat-singkatnya. Cukup membuat saya tahu, kalau dengan jarak sekian kilometer, ada yang merasakan hal yang sama seperti saya. Bahwa dia, memiliki caranya sendiri yang berbeda dengan saya. Love you, I :)



*plus Cayman Island-nya King of Convenience… I miss him so bad :(