Sabtu, 18 Februari 2012

Dengan kamu : A-Z


Ini adalah malam minggu. Sore menjelang malam minggu. Dimana gerombolan muda-mudi berpadu. Diantara gemerlapan kota yang disinari lampu. Dan aku, berada dalam ritual masa lalu. Bersamamu.

***


Aku percaya kamu, dan menghargai mitos. Lalu haruskah aku memilih?

Aku orang Jawa. Kamu orang Jawa. Tanpa terlintas pentingnya sukuisme dalam hidup kita.
"Ayo ke Prambanan."
Ragu di tempat. Bukan karena jauh. Bukan karena panas. Bukan. Aku takut, putus dengan kamu.
"Nggak mau." bersikeras aku menolak. Dan kamu tetap memaksa.
"Setelah ke Prambanan kita ke Boko..."
"Kata orang, pasangan yang ke Prambanan bisa putus--"
"--dan kalau ke Boko bisa awet. Makanya kita ke Prambanan, terus ke Boko."
Kamu, dengan kengeyelanmu. Dan aku, akhirnya setuju. Dengan busway, serasa pelancong dari negeri seberang. Bergandengan, bak turis. Sementara di rumah, orangtua geleng-geleng kepala, atas ulah anaknya yang melawan pamali.
Diantara reruntuhan batu, aku terdiam. Tanpa bermaksud membengal, namun bukan candi ataupun mitos yang membuat suatu hubungan kandas.



Ini seperti perjalanan menembus batas. Masa depan ada di ujung sana. Dan kita, memulainya dari sini.

Pukul 15.00.
Jam kuliah terakhir sudah usai. Dengan tugas menggunung, berharap semua akan tergulung. Kamu, menunggu di depan. Tanpa rencana, tanpa acara.
"Ke pantai, yuk!"
Hanya bisa mengiyakan setengah tak yakin.
"Emang tau, lewat mana?"
"Udah, ikut aja."
Dan kita, kamu dan aku, melewati jejalanan selatan. Kita, kamu dan aku. Hanya ada kita, dan ombak kecil. Romantis? Bukan. Ini lebih dari romantis. Tugasku benar-benar tergulung, dengan ombak yang menari-nari kecil. Mengukir jejak, di atas pasir. Menikmati senja yang berparade. Semarak semburat senja. Kita, kamu dan aku. Memandang tenggelamnya matahari, di ujung sana.



Kelak aku akan menjadi, seseorang yang memasak sarapnmu tiap pagi

"Kamu masak ya."
Oke. Ini bahkan jauh lebih susah daripada sekedar melafalkan kata cinta. Meracik bumbu, beradu riang dengan sendok dan garpu. Mengiris bawang serupa menangis. Dan disanalah aku. Di dapur, lengkap dengan penggorengan, pinggan, dan udang. Sementara kamu menunggu di samping sambil tertawa riang. Kikuk, takjub. Bagaimana semua bahan ini bisa aku racik sempurna? Setengah jam. Satu jam. Hingga tersaji di depan mata. Sendokmu mulai beradu di piring, sementara aku hanya bisa menggigit bibir.
"Enak." dan terulas senyum jahil.
Tahu? Itu lebih berharga dari apapun.



Gemerlap ada di bawah sana. Tapi aku tak butuh gemerlap itu. Aku hanya butuh kamu, sebagai gemerlapku.

Cinta yang berputar diantara bianglala. Dengan pijaran kembang api di malam hari. Dari pagi ke menjelang malam. Dari awal hingga akhir gerbang tertutup. Kamu, menemaniku yang terjebak di kota metropolitan. Sendiri, dan ingin pulang. Membawaku ke euforia tertawa dan menjerit lepas. Tempat ini adalah kenangan. Kenangan yang mengingatkanku bahwa kamu selalu ada dengan caramu. Seharian yang sarat dengan tawa, teriakan-teriakan, baju yang kering dan basah bergantian, badan yang serasa hampir rontok yang lunglai. Terbayarkan oleh bahagia. Ini mungkin hanyalah sekedar taman bermain. Taman bermain yang membuatku ingin selalu terjaga dalam mimpi.
Tapi, hei, ini bukan mimpi.
Nyata, kamu disampingku.



*kamu yang disana. Aku kangen :')



Tidak ada komentar:

Posting Komentar