Jumat, 10 Februari 2012

Seratuslimapuluh Sendok Kopi, tanpa Gula

"Nanti malam, ya."
"Oke..."
Aku mendesah. Duh. Bakal jadi obat nyamuk lagi deh. Malam ini. Semalaman begadang.
Jujur deh, aku sebenarnya bosan harus menemani kalian tiap malam. Dengan kesabaran luarbiasa. Mulai dari suasana yang sangat hangat dan cenderung mendidih, hingga pada akhirnya mendingin. Dan ya, masalahnya topik yang diperbincangkan diantara kalian memang lebih banyak tak pentingnya. Hmm...
Seperti kata-kata janjian barusan yang terucap diantara kau dan dia. Dan aku, diantara kalian.

Old friend, why are you so shy?
Ain't like you to hold back or hide from the light

***

Jujur. Di rumah ini, aku belum pernah melihat kisah seperti kalian. Perasaan yang begitu mendalam satu sama lain. Ketulusan yang muncul diantaranya. Namun hanya sebatas itu. Pernah membayangkan berpelukan namun ada ganjalan bantal diantara kalian? Tampak mudah untuk disingkirkan, namun tidak. Dekat, namun mustahil dipersatukan. Cepat atau lambat, dan selesai. Sekali lagi aku akan menantimu, menanti dia, malam ini, hingga malam kembali dingin. Aku teracuhkan, namun masih setia sebagai penyimak.

***

"Ren,"
Oke, perbincangan dimulai. Aku hanya bisa diam disini, menunggu percakapan apa yang akan muncul malam ini. Semua topik nyaris sudah kau perbincangkan dengannya. Dari mulai masalah bos yang belagu, homesick dengan kampung halaman, betapa kalian dengan bodohnya baru sadar memiliki persamaan di atas perbedaan...
"Ada kalanya aku ingin bicara serius denganmu."
Whoaa... roman-romannya mulai serius nih. Aku tahu dengan pasti--yah, setelah sekian lama mengikuti alurmu dan dia--salah satu dari kalian... dia...susah untuk serius. Tapi justru dia, yang melemparkan kalimat barusan.
"Tumben, kenapa? Ahh--kerjaan ini, kenapa nggak ada akhirnya yaaa..."
"Ren, aku serius."
Uhuk.
Kenapa malah aku yang jadi deg-degan ya?
"Iya. Aku juga serius. Besok deadline, Ro. Dan ini bahkan belum menyentuh seperempatnya!"
Duh... dasar wanita ini. Kadang-kadang kamu perlu ditatar untuk lebih peka!
"Ren--"
"Iya, bagaimana...Sumpah, Ro. Bagaimana kalau besok si Bos--"
"--aku sayang kamu."

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over yet

***

Sepi.
Aku merasakan kesepian yang amat sangat. Tidak karena hujan yang memang sedang rajin menjamah atap hingga menyisakan rintikan di plafon balkon. Bukan pula karena masing-masing di tempat ini mulai semakin sibuk dengan problema pribadi. Bukan. Aku hanya... merindukanmu. Merindukannya. Aku rindu menjadi obat nyamuk kalian yang nyaris basi, menikmati peperangan kecil kalian tentang masalah pekerjaan, tawa berderai yang tak jelas juntrungannya gara-gara leluconmu yang kadang konyol, ataupun sedikit peristiwa melodrama yang menghabiskan satu pak tisu. Aku rindu. Merindukan kalian, teramat sangat.

You know how the time flies
Only yesterday was the time of our lives
We were born and raised in a summer haze
Bound by the surprise of our glory days

"Kamu... kenapa? Kenapa harus aku?"
Dia hanya bisa mengangkat bahu. Aku bisa melihat tatapan perasaan bersalah sekaligus rasa kesal disana.
"Kalau bisa memilih, aku pasti akan memilih. Tapi kenyataannya? Aku terjebak disini, dengan perasaan yang samasekali tak akan mungkin terjawab sampai kapanpun."

Nothing compares, no worries or cares
Regrets and mistakes, they're memories made
Who would have known how bittersweet this would taste?

"Kita...aku--pada akhirnya harus memilih. Memilih untuk berakhir seperti apa. Kita tak pernah tahu dan paham, seperti apa semua ini akan bergulir. Aku tak sengaja menggulirkan bola, ke arahmu, dan ternyata gravitasi lebih kejam. Bola itu bergulung, semakin cepat...semakin pasti. Ke arahmu. Dan aku tahu, tindakan ini mungkin yang harus aku ambil..."

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped you'd see my face and that you'd be reminded
That for me, it isn't over yet

Aku disana. Hanya bisa--lagi-lagi membisu. Perih. Seperti ada garam yang melumuri luka di tangan. Merah. Seperti tamparan keras di pipi.

"Oke."
Kamu berkata pelan. Mengambil laptop, buku-buku, dan sisa proyek kalian yang bertebaran. Menutup pintu, dan tak mengucap apapun lagi. Sekali lagi, mengabaikanku.
Dia mendesah pelan. Dengan perasaan yang sama. Mengambil sisa berkas dan barang di meja yang sama, dan juga meninggalkanku. Mematikan lampu. Meninggalkanku dalam kesunyian yang membuatku merinding dalam gelap.

Never mind, I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you, too
Don't forget me, I begged, I remember you said
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead

Dari sini, aku bisa mendengar lirih tangis. Diam namun menyisakan kesan pedih yang dalam. Aku paham itu...

***

I heard that you're settled down
That you found a girl and you're married now
I heard that your dreams came true
Guess she gave you things I didn't give to you

"Hei...kopi."
Aku menengadah. Padamu.
"Tahukah kenapa aku selalu enggan meminummu?"
Aku tahu, meski aku menggeleng sekeras apapun, kau pasti tak mampu menangkapnya.
"Membiarkanku mendingin, waktu demi waktu, hanya sekedar menambahkan satu sendok kopi lebih banyak antara hari demi hari...adalah untuk membuatku bersiap, menghadapi hari semacam ini. Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula...
"Hari ini dia menikah... namun bukan denganku..."
Aku ingin terisak. Turut berdukacita. Kau mulai menegukku. Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula.
"Kau menemaniku, seratuslimapuluh hari, dan kini... rasa sakitku kau tangkal dengan seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula. Pahit."
Pahit?
Tapi tahukah kamu, getirmu lebih pahit.
Seratuslimapuluh sendok kopi, tanpa gula.



#np Adele - Someone Like You







Tidak ada komentar:

Posting Komentar