"Kalau memang cinta itu seklise sinetron, apakah yang paling menjadi momok dalam sebuah hubungan?"
"Ada banyak, Ren. "
"Tidak bisakah kita lompati satu-satu?"
"Bisa."
"Berapa banyak?"
"Nyaris semua, asalkan kita punya mental bonek."
"Semua?"
"Semua. Kecuali satu hal."
"Apa Ro?"
"Keyakinan kita kepada pencipta kita. Pencipta kita masing-masing."
***
Reni hanya memandangku dalam diam, entah terpaku dengan hio di tanganku, ataupun dia memang sedang disorientasi. Gemas, aku ingin mengacak rambutnya yang ikal. Namun tertahan, karena Reni bisa patah arang. Ah, andai—
“Ko, kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Nggak. “
“Kayak gitu amat lihatnya. Yuk ah, aroma hio nya menusuk ini. Sesak napas aku...”
“Hahaha. Dasar... “
“Ko.”
“Ya?”
“Kenapa ya, perbedaan itu ada?”
Aku terdiam. Entah harus menjawab apa, menyadari bahwa sosok dihadapanku adalah seseorang yang sangat aku sayang. Ternyata. Dan detik ini, disaat dia berucap—semacam itu, hanya empasan udara. Andai empasan udara inilah yang membatasi kami, bukan bentangan tembok tak kasat mata bernama perbedaan yang prinsipil.
“Aku sayang kamu, Ko.”
Aku diam. Sangat kelu.
“Sebagai apa?” nyaris tercekik aku berbisik.
“Sebagai seseorang yang ingin mendampingimu...”
Kali ini aku melihat tembok yang ada semakin kokoh dan melapisi semuanya.
***
Singapura, 2007
“Secangkir kopi untuk Nona semanis Anda.”
Dahi Reni mengernyit heran. Secangkir kopi?
“Saya tidak memesan kopi...”
“Nope, dari pria di ujung sana.”
Reni melihat sekilas, berusaha mencerna sosok yang tertutup koran terbentang. Tidak terlihat.
“Katanya, kelak ia akan satu meja dengan anda, disini, lima tahun lagi.”
Reni tercenung, memandang kilatan cahaya pada cincin yang melingkari jari manisnya.
“Lima tahun lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar