Semua orang di kota ini, selalu berkata bahwa warna-warni adalah bagian yang ceria. Menggairahkan dan bergelora. Dengan reriuhan suara burung menyambut hari. Seruan para pedagang berjajar di pasar pagi. Memeriahkan hari sejak dini. Menjual kemewahan, persaingan di antara nyonya, dengan gemerincing gelang, dan tapal kuda beradu aspal. Meninggikan dagu demi pengakuan tertinggi.
Tapi hal itu, tak berlaku untuk Vo, wanita kelana.
Masa lalu. Tak terbatas masa. Bebas.
Hanya itu yang bisa kugambarkan. Langkahnya yang ringan, dengan iringan desiran angin malam. Seolah menjawab,
Hei. Aku, bukanlah pelengkap cerita. Akulah inti, dimana semua hal bernadi. Disini.
Ringan. Tak berbeban. Mengalir perlahan.
Itulah yang terlompat keluar dari tiap kali aku terpana. Dia, bukanlah seperti wanita kebanyakan. Lugu, tapi bukan pemalu. Berani, namun tak tinggi hati. Tanpa perlu percikan emas, selera aristokrat yang sombong, ataupun panji-panji penegas. Dengan caranya, ia mampu memikat pandangan. Aku, bukan mereka. Anomali dalam gambaran raksasa yang terstruktur rapi, seperti di kota ini, tak kan mampu menangkap detailnya, menjadikan Vo hanya sebatas ilusi.
***
"Kamu siapa?"
"Aku siapa? Sudah hampir tiap celah kau memandangku dari tumpukan jeruk dan karpet, dan kau masih bertanya, aku siapa..."
Jawabannya serupa senandung. Bernyanyi indah di tengah mendung yang menggantung. Sementara aku, diam dan menjadi canggung.
"Kenapa kau berbeda?"
Hanya senyum yang tersuguh disana. Dan aku hanya mampu terpana.
"Kenapa aku berbeda... Aku rasa, aku tak merasa membedakan diriku dengan mereka. Apa yang tampak dari setiap celah karpet yang bolong itu--tempat kau mengintipku disana--bukanlah karena aku sengaja 'berbeda'."
"Tapi kau bisa ditolak dari sini. Pergi jauh dan tinggal menjadi mimpi..."
"Itu hak mereka. Apa yang salah dengan menjadi berbeda? Haruskah seseorang mengorbankan dirinya hanya untuk menjadi sama? Demi selembar pengakuan? Bahkan kalaupun mereka memilihku hanya sebatas mimpi, itupun memang akan terjadi."
Aku diam. Vo diam. Yang membedakan kami adalah dia tetap dengan senyum manisnya sementara aku tidak.
***
Kota ini berwarna-warni. Tapi hanya sekedar warna-warni yang mencoba seperti pelangi. Indah di luar, tapi hanya tampak sekejap mata. Kota pelangi ini bisa menjadi sekejam es. Tanpa ampun. Apalah arti sebuah anomali seperti Vo, dengan gemerisik gaunnya yang menyentuh rendah. Dengan konsistensinya tanpa alas menapak tanah. Dengan kehalusannya menyapa ramah.
Kota ini berwarna-warni. Namun hanya sebatas sampul suatu cerita.
Anomali yang terlalu indah bagiku, dan terlalu naif untuk kota ini. Vo tidak mendapatkan tempat di kota pelangi, namun mutlak, dalam ruang hati ini sosoknya telah berakar sempurna hingga ke ujung hari.
Vo yang tenang, tak bergejolak. Begitu sederhana aku membingkainya.
Dan disinilah cerita ini berpijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar