Hujan memang membawa euforia yang tanpa tedeng aling-aling.
Seharum kopi dan sesegar aroma tanah.
Dan selalu membuat berpikir, menimbulkan galau yang tidak pada tempatnya.
Dan disana, di depanku, ada kamu dan secangkir kopimu.
Sruput,
Kamu menyeruput kopi.
Tegukan pertama, kegelisahan berawal.
Bagaimana aku harus mengawali ini?
Demikian tanyaku, tepat pertama kali mata beradu.
Glek,
Aku menelan ludah, padahal tidak haus
Menggaruk kepala, padahal tidak gatal
Kamu gugup,
Katamu tepat sasaran seperti anak panah yang dilesatkan.
Srek,
Kursi yang tak sengaja kugeser seakan turut berkonspirasi
Gara-gara pengakuan dosa, pertama kali dalam hidup
Jangan bercanda, siapa yang gugup?
Balasku tak mau kalah!
Ting,
Denting sendok yang beradu mesra dengan cangkir
Tak perlu menatap setajam pisau!
Aku ngeri, dalam hati, ingin ditelan bumi
Dan mau dimulai dari mana? Kisahmu, serta pengakuan dosa itu?
Kali ini di hadapanku, ulangmu
Sruput,
Seteguk kopi, menjadi pahit
Tampaknya hujan berakhir
Aroma tanah menyeruak
Bagaimana kalau kita pulang?
Aku berlalu, menghindari kejaran busur panah
Dudududu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar