Tampilkan postingan dengan label menye-menye. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label menye-menye. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Februari 2018

Your Calling



Nobody tells this to people who are beginners, I wish someone told me. All of us who do creative work, we get into it because we have good taste. But there is this gap. For the first couple years you make stuff, it’s just not that good. It’s trying to be good, it has potential. But it’s not. But your taste, the thing that got you into the game, is still killer. And your taste is why your work disappoints you. A lot of people never get past this phase, they quit. Most people I know who do interesting, creative work went through years of this. We know our work doesn’t have this special thing that we want it to have. We all go through this, and if you are just starting out or you are still in this phase, you gotta know its normal and the most important thing you can do is do a lot of work. Put yourself on a deadline so that every week you will finish one story. It is only by going through a volume of work that you will close tat gap. And your work will be as good as you ambitions—Ira Glass.


Saya menemukan quoted pin ini saat mencari referensi di Pinterest. Saya tertegun. Otak saya menekan saya untuk melakukan hal yang sudah cukup lama terhenti karena beberapa kesibukan : kembali blogging.

Tepat satu setengah bulan lima hari saya melepaskan diri sebagai pekerja kantoran, suatu hal yang kemudian ‘disayangkan’ oleh sebagian besar orang yang mengenal saya. Ini adalah keputusan tergila yang saya lakukan dalam sekian tahun terakhir, mengingat saya adalah tipe individu yang membenci ketidakpastian. Lalu, bagaimana rasanya?

Ini berat, men.

Menjadi ibu rumah tangga dengan satu anak yang sedang sangat aktif sekaligus dalam kondisi usia kehamilan besar, sementara menjalani hubungan jarak jauh, bukanlah tipe hal yang dengan mudah saya lewati dengan sukacita. Saya telah mendengar ada banyak kisah post-power syndrome, salah satunya Ibu saya sendiri. Dan saya menolak untuk menjadi salah satu bagian yang menyedihkan itu, meskipun saya pikir itu hal yang manusiawi ketika kamu berganti rutinitas. 

“Kamu yakin, mau resign? Nggak sayang?”

Jujur, saya pun tak terlalu yakin apa yang sebenarnya saya sayangkan atau perjuangkan sekali saat itu. Setelah melalui beberapa minggu yang menguras emosi, hingga pada akhirnya memutuskan mengajukan surat pengunduran diri, ini seperti momen AHA! dalam hidup. Sekarang atau tidak samasekali. Sekarang atau jangan pernah menyesal kemudian.


**


“Kamu mau hidup susah sama aku?” pertanyaan itu pernah terlontar jaman kami masih pacaran. Yang tentu saja saya amini. Namun jika saat ini saya ditanyai hal yang sama—yeah, he did—jawabannya sudah berbeda.
 
“Nggak mau,” jawab saya saat itu, yang disambut dengan ekspresi kaget suami (hehe, maaf ya).

“Nggak mau,” lanjut saya, “—menyerah dalam kondisi terburuk yang ada sementara bisa melakukan sesuatu.”

Oke, ini terdengar ambisius dan mengada-ada. Dan kurang ajar. Istri mana yang menolak hidup susah menua bersama? Saya mau menua bersama, tapi tidak dengan hidup susah. Tapi saya juga tak ingin memberatkan siapapun dengan kondisi ‘susah’ itu, bagaimanapun definisinya.

Saya percaya—terlampau percaya—setiap orang memiliki momen masing-masing. Entah di atas atau di bawah, mudah atau susah. Saya bahkan cukup yakin setiap dari kita dibekali senjata ketika lahir, untuk bertahan hidup dan mengeluarkan potensi terbaik yang kita miliki. Jangan salah, sesi paling menyebalkan ketika menjadi human capital di perusahaan lama adalah ketika berhadapan dengan karyawan yang memiliki semangat juang rendah. Rasanya ingin mentoyor kepala dan mengguncang bahu mereka. Kamu kepala keluarga, istri tidak bekerja, dan selemah ini?! Atau, kamu anak sulung dan menjadi tulang punggung, namun daya juangmu selemah ini?!

Yah, beberapa hal memang cukup membuat gusar.


**


Jadi, ketika saya mengutarakan ide saya—ide kesekianjuta, karena sejujurnya saya lemah di eksekusi—kepada kerabat saya, mereka lebih banyak mengernyit. Rasanya mustahil hidup dari apa yang disuka dan melibatkan kreativitas dan seni. Begitu, ya.

Saya nekat memulainya. Lagi.

Saat saya kelas tiga sekolah dasar, saya cukup iseng untuk menyusun sisa-sisa lembaran buku tulis yang masih kosong (kebanyakan buku tulis halus), menyampulinya dengan cover buku tidak terpakai sebelumnya dilapisi kertas kado bekas), lalu menjualnya kembali dengan harga tiga ratus rupiah. Benda ini rajin dipesan sat ulangan matematika, untuk lembar corat-coret. Pesanan meningkat dengan pembuatan kartu ucapan entah natal atau tahun baru atau ulangtahun (zaman dulu kartu ucapan masih keren, namun terlalu mahal untuk dibeli anak sekolah dasar tanpa persetujuan orangtua). Biasanya saya menunggu sisa-sisa map karton tebal yang dibawa Ibu dari kantor, mengguntingnya persegi, lalu menggambarinya dengan tokoh-tokoh favorit di loose leaf bergambar, menjualnya seharga tiga ratus hingga tujuh ratus rupiah, tergantung ukuran kartu ucapan. Kantong saya lumayan tebal saat itu, apalagi orangtua saya jarang sekali memberi uang jajan banyak. 

Saat saya dewasa, saya nyaris melupakan kesenangan semacam itu. Terlalu takut dan ragu untuk kembali mencoba. Terlalu mengkhawatirkan hasil akhir. Padahal yang sungguh saya senangi adalah proses kreatif tersebut.

Sekarang, tugas saya adalah menyemangati diri sendiri untuk tidak menyerah pada apa yang saya yakini dan telah saya ambil. Yah, yang memiliki mimpi toh bukan mereka.


**


Satu setengah bulan dan lima hari, saya pikir ambisi yang menyelamatkan saya untuk tetap hidup dan produktif. Untuk tidak mati merana karena post-power syndrome dan mengikuti arus. 

Whatever it takes, let’s fight.










Sabtu, 10 Juni 2017

We're all human




So I’m going to dedicate my life to using my name and popularity to helping charities, helping people, uniting people, people bombing each other because of religious beliefs. We need somebody in the world to help us all make peace.


Asam lambung naik.
Mengingat ini bulan puasa dan jadwal makan yang suka dilanggar sendiri, nampaknya masalah pencernaan kali ini tidak disponsori langsung olah pola makan.


Lalu?
Stressed-out. Ada beberapa hal yang seharusnya menjadi misi sekian bulan terakhir, dan dengan semangat menggebu berusaha melakukan ini-itu. Dan masih berpegang, ketika kamu memiliki suatu idealisme, jangan pernah menunggu orang lain untuk setuju. Karena menunggu persetujuan orang lain seperti menggantung nasibmu kepada hal yang bahkan tidak mengenalmu sebaik dirimu sendiri. Idealis, huh? Hingga pada akhirnya ini berbalik dan menjadi stressor.

Hingga pada akhirnya hal ini menjadi titik balik.


**


Motivator terbaik adalah diri sendiri. Itu adalah hal yang selalu diamini. Tapi pada akhirnya, sebentuk afirmasi positif dari sebuah tribe lah--yang membantu reinforcement motivasi tersebut. Tepatnya--pola pikir tandingan yang menantang idealisme kita selama ini.

Kamu tahu? Rasanya terpancing ketika ada AHA moment yang hadir dengan ide liarnya lalu menyampaikan sederet visi misi kehidupan, lalu kamu memandang dirimu sendiri dan--

"Seriously, aku baru dua-tiga langkah?" tamparan batin.

Ini konyol, tapi hal ini ternyata menjadi bahan bakar terbaik yang pernah ada. Long-last. Jangan percaya mentah-mentah training motivasi, kalau kesadaran diri saja masih menerawang *eh


**


Looking for meaning of life, way too serious. Am I?
Slow down, S. There's plenty of time you'll make it happen :')

Menulis ini panjang-panjang, sambil ditemani single playlist Coldplay yang Everglow. Dan baru menekuni dengan penghayatan satu speech yang memang diselipkan Coldplay di akhir lagu. That deep,

God is watching me
God don’t praise me because I beat Joe Frazier
God don’t give nothing about Joe Frazier
God don’t care nothing about England or America as far as real wealth… it’s all His.
He wants to know how do we treat each other?
How do we help each other?
So I’m going to dedicate my life to using my name and popularity to helping charities, helping people, uniting people, people bombing each other because of religious beliefs. We need somebody in the world to help us all make peace.
So when I die – if there’s a heaven – I’m gonna see it.

Muhammad Ali, kepada seluruh audiens di Newcastle, Tyne, tahun 1977.




Do good. It's hard but never go wrong. Walk the talk.
And we just need to take time embracing those marks behind.














Senin, 29 Mei 2017

A marketer is a story-teller, not a liar anymore



"Bagaimana jika... drive thru masakan Padang? Namanya mungkin Padang Cuisine On-the-go?"
Siang itu cukup panas, sungguh membuat malas bergerak. Anak kecil sedang sibuk salto kanan-kiri-depan-belakang. Selama bersama ibu-bapaknya, aman. Selintasan ide drive thru liar tadi gegara beberapa kali melihat billboard rumah makan Padang peranakan. Sebut saja berinisial M. Entah kenapa yang tercetus di kepala justru drive thru.

Kamu mengernyit. Untungnya sudah sangat terbiasa.

"Drive thru?" tanyanya lamat-lamat.
"Iya! Selama ini kan masakan Padang terkenal dengan porsinya yang luarbiasa dan dihidang di atas meja. Padahal suatu ketika kamu mungkin lagi pengen banget tappentsama porsi raksasanya." sahut saya bersemangat.

"Mengurai esensi masakan Padang nggak tuh?" seperti biasa ia selalu memainkan peranan sebagai bagian Devil's Advocate.
"Nggak ah, ini kan memudahkan. Konsep jualannya pop up. Packaging nya praktis--" masih ngeyel, masih keukeuh, 
"Jadi macam rice-bowl." masih mencoba menjual pepesan kosong ke si dia, "--biasanya rice-bowl kan identik dengan potongan chicken katsu, noodles anekarupa, saus teriyaki atau dressing-salad lain. Naaah, ini nanti nasinya dari beras pandan wangi yang pulen, di atasnya ada potongan rendang yang juicy, sayur singkong tumbuk, sepotong perkedel kentang, lalu disiram dengan kuah gulai dan kuah rendang, toppingnya adalah remukan adonan krispi. Oya, jangan lupa sambal cabai hijaunya! Nyumm--" duh, sampai menelan ludah membayangkannya.

"Bisa sih," katanya bisa--namun banyak aura tak yakinnya. Hahaha.


**


Iya, itu ide gila. Ide gila lain setelah brainstorming another pop-up cuisine : Warteg on-the-go dan Burjo on-the-go.

Dasarnya? Efisiensi. Hemat tempat, by demand, masakini. Pembelian awal lengkap beserta kotak makan, lalu untuk pembelian berikutnya yang membawa kotak makan akan mendapatkan free rendang. MISAL.


**


"Aku pengen buka angkringan." dia memulai percakapan. DIA--bukan saya, mempertegas kalau kali ini ide tidak keluar dari kepala saya.

Meski demikian, ide dadakan itu sukses mengangkat kepala dari kesibukan menekuni buku baru. 

"Apa?" nyaris mengira salah mendengar.

"Iya. Jadi sama teman kemarin iseng sharing. Di daerah X kan banyak mahasiswanya. Apa nggak kita coba buka angkringan macam di Yogyakarta. Pasti laku."

Kali ini saya mengernyit.

"Konsepnya bagaimana?" --maafkan anak visual, yang ada di otak langsung konsep dan  interior-eksterior. Huhu.

"Ya biasa aja. Angkringan biasa. Jual sate-sate, nasi kucing, wedang jahe. Kan banyak mahasiswa tuh, bisa laku banyak."

"Terus yang membedakan sama usaha sejenis apa? Sekedar hadir saja lama-lama tenggelam loh."

"..."

Nah. Pada suatu titik ini bedanya membahas sebuah ide antara seorang perempuan lulusan Psikologi, dengan seorang laki-laki jebolan Teknik Sipil. Krik


**


Terlepas dari apakah sebuah ide debatable atau tidak, pada akhirnya mau apapun project yang dimiliki, muaranya adalah packaging. Kemasan. Cara membungkus, cara menyampaikan. Karena marketing saat ini--dari apa yang sering saya baca dan temukan-- adalah tukang cerita.

A marketer is a story-teller, not a liar anymore (Anonym)

Mau manusia, mau plastik pembungkus, mau tutup apapun, bagi saya packaging itu penting. Kemasan mampu membuat suatu hal yang biasa-biasa saja menjadi istimewa. Ada personal value-added nya.



**


"Aku arep bali sesuk sore iki." (Aku mau pulang besok sore ini)
"Ngopo?" (Kenapa)
"Iyo, ono perlu. Bojoku yo nitip bumbu giling." (Iya, ada perlu. Istriku juga nitip bumbu giling)
"Lhaa golek nangndi?" (Lhaa cari dimana?)
"Mbak ku lak gawe. Deknen racik dhewe njuk dibungkusi, nggo dhewe." (Kakak perempuanku kan membuatnya. Dia meraciknya sendiri lalu dibungkus, untuk konsumsi pribadi)
"Tok dolke, kono. Kari dibungkusi nganggo wadah ala-ala ziplock utowo bungkusan sik kekinian, iso dadi oleh-oleh khas Boyolali lo." (Kamu jualkan, gih. Tinggal dibungkus dengan tempat model ziplock atau kemasan kekinian, jadi deh oleh-oleh khas Boyolali)
"Wah! Ide yang bagus!"

Jam makan siang yang produktif. Membahas hal tidak penting begini dengan seorang rekan yang (konyolnya) mengamini ide gila menjadi sebuah topik. Terus, sekarang terealisasi? Hm, tampaknya tidak. Karena memang perlu lebih dari sekedar gila untuk memulainya. Sama, dia masih terjebak di ritme kubikel :')




**


Saya selalu percaya, bahwa konsep kemasan yang matang akan bersinergi dengan baik dengan konten. Karena first impression masih menjadi salah satu aspek penentu dalam pengambilan keputusan aksi-reaksi seseorang.


**


Lalu apa pentingnya brainstorming tak berujung begitu? Buang-buang waktu (?) Hm, not really. Brainstorming, sanggah-menyanggah, saling melempar isu, cukup penting untuk mengembangkan imajinasi. Asli. Wasting time ini cukup mind-blowing, dan ketika rada konsisten dilakukan bertahun-tahun, menstimulasi otak :')

Yuk, iseng!









_______

Devil's Advocate--merupakan sebuah teknik yang didesain untuk mengkritisi sebuah ide secara positif, hingga ide tersebut memiliki berbagai kemungkinan strategi atau solusi. Biasanya dilakukan dalam dua kelompok kontras, tujuan strategi ini adalah untuk memunculkan insight terbaik dari setiap gagasan. Belajar pertama kali tentang hal ini, lagi-lagi (masih) di sebuah kuliah Psikologi.







Kamis, 25 Mei 2017

#viralkanhalbaik



Insomnia lagi.
Kalau kata mbak senior tukang travelling--sebut saja Mbak Agvi,

"Hape sama wifimu bikin off aja, Nduk." solusi cerdas penunda insomnia.


**


Iya, sengaja ingin membahasnya disini. Tentang viral.
Kemarin. Stasiun Klender terbakar.
Tadi. Dangerous Woman Tour nya Ariana di Manchester diteror. Bom.
Malam ini. Ada bom di Kampung Melayu.
Malam ini. Beberapa kali mengulik IG sibuk menjadi buzzer ala-ala buat proyek kantor. 

Never stop influencing. Pak Bos menulis demikian.
Kemudian ini tentang pengaruh.  Saya menelan ludah. Saat berita Kampung Melayu turun, saya sedang sibuk berkirim pesan online dengan rekan kerja. Si Ibu panik-kesal-takut.

"Apa jadinya? Tiap hari aku naik kendaraan umum karena perjalanan kantor-rumah super macet. Dan sekarang bahkan teror sudah menyebar. Bukan lagi menyasar kafe! Lama-lama Pasar! Terminal! Jalanan! Pada mikir nggak sih?!" itu bukan teks bersuara. Namun rasa takutnya menjalar sampai ke tengkuk. Saya merinding. Padahal awalnya stay cool.

Ketakutan yang sama. Suami belum pulang (tadi), ditelepon tak bisa. Sampai akhirnya iseng bilang ke rekan kerja,

"Bu, dulu suka nonton Kera Sakti?" saking mengalihkan rasa cemas. 

Betapa mudahnya rasa takut dan bahagia itu menular secara viral. Lewat media. Berebut dopamin, serotonin, adrenalin dari jumlah like, topik yang diposting. Mudah ya?


**


#viralkanhalbaik

Mungkin semua ini dimulai dari satu-dua post saja. Rasa keingintahuan manusia akan hal negatif relatif lebih besar daripada hal positif. Itu yang dijajakan media. Kesedihan, rasa iba, simpati, luka, kekecewaan. Hal-hal tipikal yang laku di pasaran, seperti kacang rebus di musim hujan.

Apakah kemudian hal baik memang berkurang peminatnya?

'Banyak, kok.' batin berbisik pelan sekali, mungkin takut kena gap logika.
'Iya, banyak. Namun masih kalah banyak dengan publikasi hal negatif.'

Alunan Banda Neira tak pernah sesendu ini.


**


"Apa yang kamu bisa?"
"Siapa, aku?"
"Iya."
"Aku... aku mungkin hanya bisa menulis."
"Jangan terlalu banyak memberi porsi pada 'mungkin'. Bisa jadi itu senjata. A lethal weapon. Kompensasi kurangmu itu ya lewat kelebihan."

Lupa siapa yang bilang. Tapi terimakasih.
Barangkali sudah puluhan orang yang unfollow gara-gara jengah bosan muak sama tulisan saya. Hahaha.


Commitment is pushing yourself when no one else is around.


Hell yeah. Damn true.


**


#viralkanhalbaik

Harus ada yang memulai, lalu bersama, dengan senjata apapun yang dimiliki. Karena musuh masakini bukan lagi sekedar kompeni.

Mari akhiri sesuatu yang sudah dimulai, dengan hal yang sama saat mengawalinya.


#prayformanchester
#prayforjakarta
#prayforeverything


Apakah aku harus lari ke hutan, belok ke pantai?
(masalahnya di Bekasi belum ketemu hutan sama pantai yang sebelahan, sih)

















Rabu, 18 Mei 2016

Rule the world : The Little Prince





Saya tidak benar-benar ingat, apakah seorang dosen atau sebuah buku atau bahkan sebuah quote mendoktrin saya suatu hari, 

"Hidup tidak hanya terdiri dari rentetan target yang muncul karena prinsip kausalitas."

Bukan, deh.
Dulu rasanya orang yang well-organized itu keren betul. Masa depan tampak berada di tangannya. Namun kini saya berpikir sebaliknya. Nampaknya akan sangat membosankan ketika hidup hanya diisi oleh target. Kenapa kita tidak bisa begitu saja menjalani hari yang ada. Tanpa aturan dan dateline? 


**


Sudah lama saya membaca sinopsis buku The Little Prince. Ya, baru sinopsis. Dan saat itu saya heran, kenapa buku yang tampaknya masuk kategori child-book ini justru menggerakkan orang dewasa?

Hingga akhirnya saya menonton filmnya. The Little Prince benar-benar... keren. Saya bahkan sudah merinding duluan saat official trailernya rilis.

Film ini menggambarkan betapa 'beratnya' hidup sempurna dan sangat terjadwal itu, dari sudut pandang seorang gadis kecil. Ia bahkan sudah memiliki life-track hingga dia lulus kuliah, dari Sang Ibu. Hari-harinya hanya diisi sesuai dg rutinitas jadwal, hingga suatu ketika ia bertemu dg seorang Penerbang Tua yang mengajarkannya tentang 'sedikit bersenang-senang' dan berimajinasi. Pada akhirnya gadis kecil ini belajar, bahwa ada warna lain selain ketegasan hitam dan putih rutinitas dan sederet target.





Film ini memberikan efek yang menyenangkan, alurnya smooth dan cukup lama, dan mungkin bukan tipe film yang mudah dicerna anak-anak karena pesan ceritanya cukup 'dalam'. Saya bahkan cukup emosional melihat film ini. Haha, norak ya. Namun sungguh, film ini sangat keren, khususnya bagi tipe orang yang pemikirannya terlalu suka mengembara tidak jelas--seperti saya. Hehehe.

Well, terkadang kita terlalu disibukkan oleh rutinitas hingga mengabaikan hal-hal sederhana yang sebenarnya akan membuat kita lebih berkembang. Terlalu fokus pada sesuatu yang ideal membuat kita melupakan kesenangan menjalani hidup. Dan rasa-rasanya, kok saya tertampar ya? Hahaha.


Mungkin, karena kita hidup bermasyarakat. 
Dan akan selalu ada aturan untuk sederet A, B, C, D, dan seterusnya.


... but, just live life to the fullest. Well said,Mr. Ernest Hemingway :)















Jumat, 01 Februari 2013

Apa kabar?


Hei kamu,

Kamu yang disana, sedang sibuk berargumen dengan tugas dan deadline,
Kamu, yang disana,
apa kabar?


Hei kamu,

Aku disini baik-baik saja. 
Oh, kamu tidak bertanya ya? Tak apa.
Sama sibuknya, sama lupanya. 



Hei kamu, 

Masih suka makan pecel lele?
Seperti katamu,
"Mari, kita merayakan hari lele sedunia!"
Dengan kamu, setiap hari adalah hari lele. Berbagai warung pecel lele, berbagai rasa sambal, berbagai rasa kenangan.



Hei kamu,

Mungkin sekarang gerimis dan hujan yang paling setia menemani
Di sore hari, dengan secangkir kopi
satu dua sendok gula, mungkin nanti?
Aku?
Aku lebih suka menolak gerimis dan hujan, dalam lindungan payung
Menolak mereka datang mendekat, karena mereka tidak merangkul

Segelas kopi?
Ya, barangkali aku juga akan mencoba,
nanti



Hei kamu,

Hari ini disini terik
Memanggang panas-panas setiap beku, kaku, dan kelu
Melumer leleh, persis seperti cokelat hitam kental
Melumer, hingga habis tak bersisa, terpental



Hei kamu,

Aku disini, menjalani hari dengan amat sangat luarbiasa. Setiap detiknya, setiap menitnya. 
Menyadari bahwa setiap hari aku belajar. 
Belajar melepaskan.

Kelak ketika semua bisa ditertawakan di penghujung hari,
Barangkali aku menjadi orang yang paling terpingkal-pingkal menertawakan hari ini,
menertawakan kini



Hei kamu,

Jangan lupa makan,
Jangan lupa istirahat,
Jangan sering begadang



Hei kamu,
apa kabar?






Selasa, 25 Desember 2012

Not a travel freak



Saya menyukai perjalanan.

Bukan sebagai travel freak. Atau backpacker
Saya penikmat perjalanan. Bukan karena tempat itu mahal dan komersil macam GWK atau Disneyland. Bukan.
Terapi.

**

"Hidup kamu membosankan."
"Ya?"
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah blingsatan mencari kesenangan."
"Sayangnya, aku bukan kamu."

**

Hidup saya membosankan. Justifikasi dari seseorang yang bukan diri saya. Itu lucu. Sebegitu gerahnya beberapa orang dengan urusan orang lain, eh?

Beberapa orang tampak begitu penting menjadi orang lain agar diakui sebagai 'orang yang menyenangkan.

**

'Keluar' selalu menjadi hal yang menyenangkan. 
Tapi bila definisi keluar, perjalanan, dan berjalan-jalan saya berbeda dengan kamu, kamu, atau kamu, apakah itu dosa?
Setiap orang berhak atas perjalanan dan kesenangannya sendiri, kan?

Sebagai terapi.
Sebagai privasi.
Entah itu hanya untuk makan pecel lele di ujung kompleks, atau membeli satu dua keperluan bulanan, atau ikut Bapak ke pengrajin kayu langganan.

Bukan atas nama wisata atau efek prestisius yang didapat di balik suatu lensa kamera, lalu di share di socmed. Bukan.


 long way to Solo. Golek gawe. 2011


long way to Mojokerto. Golek gawe. 2011 


 
Bantul. handicraft shop 


 uthik-uthik batik unik. wayang


"Ibu kedah lenggah mawon, pun kula ingkang tumandang menika..."
(Ibu duduk saja, biar aku yang melanjutkan ini) 


Bantul. piece of masterpiece 



Perjalanan untuk dinikmati, karena setelah satu rutinitas, ada hal-hal kecil yang selalu terlewat mata. Bentuk syukur yang sederhana. 

Perjalanan untuk dilakukan, karena mungkin suatu jalan terlalu lurus tanpa tikungan, tanjakan, belokan, lampu merah, jalan berlubang mampu membuat terlena lupa untuk berjuang.

Perjalanan untuk dilakukan, bahwa setelah saya sibuk 'berpetualang' ke mana-mana, maka saya ingat satu tempat untuk kembali,

Rumah.


   
...and come home...


Kak W, untuk travelogue yang menyadarkan bahwa perjalanan itu 'manusiawi'
Terimakasih :)