Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label film. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Mei 2016

Rule the world : The Little Prince





Saya tidak benar-benar ingat, apakah seorang dosen atau sebuah buku atau bahkan sebuah quote mendoktrin saya suatu hari, 

"Hidup tidak hanya terdiri dari rentetan target yang muncul karena prinsip kausalitas."

Bukan, deh.
Dulu rasanya orang yang well-organized itu keren betul. Masa depan tampak berada di tangannya. Namun kini saya berpikir sebaliknya. Nampaknya akan sangat membosankan ketika hidup hanya diisi oleh target. Kenapa kita tidak bisa begitu saja menjalani hari yang ada. Tanpa aturan dan dateline? 


**


Sudah lama saya membaca sinopsis buku The Little Prince. Ya, baru sinopsis. Dan saat itu saya heran, kenapa buku yang tampaknya masuk kategori child-book ini justru menggerakkan orang dewasa?

Hingga akhirnya saya menonton filmnya. The Little Prince benar-benar... keren. Saya bahkan sudah merinding duluan saat official trailernya rilis.

Film ini menggambarkan betapa 'beratnya' hidup sempurna dan sangat terjadwal itu, dari sudut pandang seorang gadis kecil. Ia bahkan sudah memiliki life-track hingga dia lulus kuliah, dari Sang Ibu. Hari-harinya hanya diisi sesuai dg rutinitas jadwal, hingga suatu ketika ia bertemu dg seorang Penerbang Tua yang mengajarkannya tentang 'sedikit bersenang-senang' dan berimajinasi. Pada akhirnya gadis kecil ini belajar, bahwa ada warna lain selain ketegasan hitam dan putih rutinitas dan sederet target.





Film ini memberikan efek yang menyenangkan, alurnya smooth dan cukup lama, dan mungkin bukan tipe film yang mudah dicerna anak-anak karena pesan ceritanya cukup 'dalam'. Saya bahkan cukup emosional melihat film ini. Haha, norak ya. Namun sungguh, film ini sangat keren, khususnya bagi tipe orang yang pemikirannya terlalu suka mengembara tidak jelas--seperti saya. Hehehe.

Well, terkadang kita terlalu disibukkan oleh rutinitas hingga mengabaikan hal-hal sederhana yang sebenarnya akan membuat kita lebih berkembang. Terlalu fokus pada sesuatu yang ideal membuat kita melupakan kesenangan menjalani hidup. Dan rasa-rasanya, kok saya tertampar ya? Hahaha.


Mungkin, karena kita hidup bermasyarakat. 
Dan akan selalu ada aturan untuk sederet A, B, C, D, dan seterusnya.


... but, just live life to the fullest. Well said,Mr. Ernest Hemingway :)















Rabu, 30 Maret 2016

#moviereview : McFarland, USA




Pelampiasan terbaik setelah hari kerja yang melelahkan otak dan setelah cuplis tidur adalah dengan ongkang-ongkang kaki sambil menonton film.

Semalam ada film oke di HBO, judulnya McFarland, USA. Sayang, ketika saya mulai menonton sudah jalan hampir satu jam, karena berkali-kali switch channel dan melewati HBO karena tidak tertarik dengan judul film ini (dan ternyata bagus!)


**

taken from here



McFarland, USA
IMDb  7.4/10
Casts Kevin Costner, Maria Bello, Ramiro Rodriguez, Carlos Pratts

Bersetting tahun 1987 dan merupakan sebuah true story, film ini bercerita tentang seorang pria bernama Jim White (Kevin Costner) yang pindah ke sebuah kota bersama keluarganya ke sebuah kota kecil. White melamar pekerjaan sebagai coach di beberapa sekolah, dan terus gagal. Hingga pada akhirnya ia berakhir di sebuah sekolah berisi para imigran, sebagai pelatih lari lintas alam. White menjadwalkan latihan rutin untuk kelas lari lintas alam, namun sayangnya hal itu tidak berjalan mulus, mengingat mayoritas siswa selalu bekerja di ladang sepulang sekolah. Dan bekerja di ladang merupakan sebuah tradisi kerja keras turun temurun di lingkungan tersebut. Tidak ada impian lebih lanjut seperti mengambil pendidikan lebih tinggi. Berada dalam situasi itu, dengan susah payah White melatih dan memberikan pemahaman kepada mereka, tidak hanya tentang berlari namun sekaligus tentang krusialnya sebuah impian dan cita-cita.

Seiring waktu, dengan tangan dingin White sekelompok remaja belasan tahun ini semakin giat berlatih lari. Mereka digembleng secara fisik dan mental. Mereka juga semakin terdorong untuk dapat membuktikan kepada orangtua mereka bahwa cita-cita dan dunia luar itu sungguh ada, dan tidak hanya dari sepetak ladang saja. Hal yang berat, mengingat itu sama saja dengan mendobrak tradisi meladang yang ada di lingkungan tersebut. Semua orang skeptis, karena tidak pernah ada sejarah bahwa siswa di McFarland--yang notabene imigran--dapat memenangkan lomba lari. Jadi sebetulnya itu hanya sia-sia saja, begitu menurut sebagian besar warga disana. Plus White sang coach adalah kulit putih, dan minoritas. Apa yang dapat dilakukan seorang kulit putih disitu?

Singkat cerita, pembuktian kerja keras dan latihan mereka terbayar saat mengikuti perlombaan kualifikasi ke tingkat negara bagian. White berusaha memberikan keyakinan pada para remaja tanggung tersebut bahwa mereka pasti mampu lolos dalam babak kualifikasi. Dan berhasil.

Kisah yang sempurna ini pun nyaris berantakan karena ada insiden yang memaksa White untuk memilih antara tetap mengajar di McFarland dengan kehidupan keras di daerah tersebut dan terkesan tidak aman namun dengan ikatan persaudaraan yang kuat, atau memilih pergi dan menerima tawaran dari universitas di luar daerah tersebut.


**


Saya sangat suka film-film seperti ini. Premis sederhana, tidak bertele-tele dan dibuat-dibuat--mungkin terlalu mudah ditebak--namun seperti sebuah ketukan kesadaran. Tiap orang bisa berjuang dan sukses, yang mampu membedakan kesuksesan itu adalah seberapa besar ia menginginkan hal itu. So, just keep going :)




"It's not the size of the dog in the fight, Coach. It's the size of the fight in the dog." -- McFarland, USA















Minggu, 22 Juli 2012

PASTA : I called it passion


Happy holly Sunday!

Wew. Sudah beberapa minggu ini saya habiskan di depan laptop, mantengin film Korea. Yes, so wth. Tapi kali ini tangan saya gatal untuk meresensi salah satu serial Korea yang sukses membuat saya jatuh cinta. Judulnya PASTA.
Jujur, serial Korea--sejauh yang saya lihat (dan memang belum banyak :p) memang sangat tipikal. Cinta, wanita yang tampak konyol, bodoh, pejuang cinta sejati, dipadukan dengan figur pria yang khas pria rebel, populer, semena-mena, tapi cool. Dan... pada akhirnya mereka akan saling jatuh cinta. Oke. Klise. Namun ringan. Cocok untuk beberapa Sabtu/Minggu yang galau. Hahaha.

Saya bukan penggemar serial. Atau fanatik film. Tapi saya suka sekali film yang bertaburan scene masak-memasak di dalamnya. Apapun. Berangkat dari film Julie/Julia, film yang mengambil setting dapur, koki, dan masakan adalah favorit saya. Dan Pasta adalah salah satu serial Korea yang mampu merepresentasikan semua aspek favorit saya tersebut.

Oke, saya ulas sedikit. Ceritanya begini.

Pasta mengambil setting sebuah resto Italia bernama La Sfera. Dengan tokoh utama seorang asisten dapur bernama Yoo-gyeong (maafkan, saya paling basi kalau mengeja nama Korea--susah!) yang telah bekerja selama 3 tahun. Konon, dalam hirarki dapur La Sfera, menjadi asisten adalah kasta terendah. Dan, Yoo-gyeong bertekad baja untuk mengubah nasibnya menjadi master chef kelas atas.
Yoo-gyeong bukanlah chef yang handal. Sebagai seorang asisten, tugasnya tidak berhubungan langsung dengan kegiatan masak-memasak, namun 'hanya' bertanggungjawab atas ketersediaan bahan dan peralatan masak selama proses kerja chef berlangsung. Hingga beberapa episode, saya disuguhi kerja keras seorang asisten dapur yang, well... melelahkan. Hingga suatu ketika, master chef La Sfera mengundurkan diri.
Posisi master chef tersebut kemudian digantikan oleh master chef baru berlisensi Italia (cast Lee Seon-gyoon, aktor Korea yang memiliki attitude style yang oke punya--sebelumnya saya melihat aktingnya di Coffee Prince--another Korean series), Hyun Wook. Hyun Wook dan Yoo-gyeong sebelumnya dipertemukan secara tak sengaja di penyeberangan jalan. Strangers each other. Betapa kagetnya Yoo-gyeong ketika mendapati pria tempo hari adalah master chef nya yang baru.
Hyun Wook merupakan pria yang sangat keras kepala, arogan, sombong. Karena pengalaman masa lalunya, ia tak suka ada wanita bekerja di dapurnya. Yoo-gyeong, karena kekeraskepalaannya, memaksa untuk tetap bertahan. Berbagai cara ia lakukan agar tetap bisa bekerja di bawah Hyun Wook di La Sfera.
Di bawah aturan Hyun Wook, dapur La Sfera menjadi mencekam dikarenakan otoritasnya yang tinggi. Yoo-gyeong, mesti mendapat tekanan keras dari Hyun Wook, tetap pantang menyerah. Tekadnya sebagai seorang master chef pasta sudah bulat. Beruntung, hari-harinya selalu 'ditemani' pria kaktus. Pria kaktus ini selalu mengirimkan pas foto kaktus disertai kata-kata semangat.
Suasana dapur La Sfera pun nampaknya tak kunjung meredam. Setelah ada pemecatan trio chef wanita dan presiden La Sfera, muncul masalah makin pelik dengan perpecahan chef staff dapur menjadi dua kubu, munculnya pria bernama Kim San yang selama ini mengaku sebagai fans masakan Yoo-gyeong sebagai presiden baru, plus luka lama Hyun Wook yang terkuak dengan kedatangan master chef cantik bernama Sae-young.
Tak melulu cinta, scene demi scene dalam film ini banyak dihiasi angle yang menyorot proses masak-memasak dalam dapur dari tiap chef yang membuat saya selalu kelaparan selama episode berjalan. Highly recommended.


ki-ka : Sae-young, Hyun Wook, Yoo-gyeong, Kim San






 



Jumat, 29 Juni 2012

Tabularasa



Macet dua jam, sebenarnya cukup untuk membuat saya terkapar malam ini. Dan mendadak teringat sesuatu, dan disinilah saya, detik ini, mengetik apapun ini.

Saya akui, saya bisa menjadi workaholic. Kecanduan. Tiap malam, bahkan sebelum mata bisa seratus persen terpejam, episode demi episode pekerjaan dan se-gaban masalah itu semua menggumpal jadi satu. Dan mengendap. Saya lupa, kalau saya adalah sebuah gelas. Gelas yang tiap hari diisi oleh endapan lumpur : masalah, inputan, info baru. Dan saya lupa membuangnya, lupa mengalirkannya. Akibatnya? Gelas saya penuh. Pikiran saya overload. Masalah membuncah. Stres bertumpuk. 

Septin, kamu tidak mengalirkan gelasmu. Kamu tidak mencoba menampung, atau membuang, atau meminum gelas yang penuh itu. 

Hmm... saya lupa. Menjadi workaholic tidak menjadikan ataupun memberikan apapun. Lupa bersyukur. Lupa berbagi. Tidak secara nominal, namun secara batin.


***


Obrolan sore ini menyentak saya, 

"Office boy sama sekuriti kita itu... polos dan lugu ya." seseorang nyeletuk.

Mendadak kok saya seperti disadarkan. Langsung mulut itu gatal dan menyahut,

"Mereka polos. Hidup mereka nothing to lose. Mereka hidup, untuk hari ini."


Hanya untuk hari ini.  
Hari ini makan apa? Bagaimana ongkos pulang? 

Oh well, let it be. Legowo yang mengambilalih. Apa yang terjadi, terjadilah hari ini. Ketakutan akan masa depan pasti ada. Tapi tidak berlebih, seperti saya.

Pendidikan, materi, kehidupan, pengalaman... saya lebih beruntung dari mereka. Saya bahkan bisa menyusun sederet visi, misi, prioritas, baik lewat analisis SWOT ataupun fishbone. Tapi apa? Hidup saya sebatas untuk masa depan. Tidak salah, kok. Tapi saya melupakan masa kini. Sekarang. Ketika saya lebih mementingkan : 

Bagaimana besok? 
Apakah besok semua akan baik-baik saja? 

 BESOK. BESOK. BESOK.

Hari ini?

Padahal besok dituai dari hari ini.



 ***


Hari ini adalah hari sederhana. Satu dari ribuan hari lainnya. Dan saya, kembali diingatkan.



Now is PRESENT. Grab today as a PRESENT.  Future? Let it takes a lead, LATER. 



Hadiah terbaik yang Tuhan berikan tiap harinya adalah hari ini. Now is present from God.






Minggu, 16 Oktober 2011

Mary & Max

 
Bagi penggemar film animasi, film ini bukan tipe film romantic anak-anak ataupun petualangan bocah-bocah luarbiasa atau icon petualang. Itu aturan pertamanya.
         Film ini adalah sebuah claymation—macam Shaun the Sheep, dengan dominasi warna hitam putih abu-abu. Bagi saya film ini tergolong out of the box, dan… based on true story.

Menceritakan seorang anak nerd dengan kacamata tebal ala Betty Lafea dan tanda lahir mirip kotoran burung di dahi, Mary—an ordinary-eight-years-old-girl. Ia dibesarkan oleh ibunya yang mirip Cruella de Vil, hobi menenggak sherry, klepto, dan gemar merokok. Ayahnya adalah pekerja pabrik. Tinggal di Melbourne, Australia. Dan tak punya teman.

Mary. Nerd. Inferior. Broken home. Lonely

Sementara itu Max adalah seorang pria berusia 44 tahun, mengalami obesitas dan anxiety disorder. Max juga didiagnosa mengidap asperger’s syndrome. Dan tak punya teman. 
Sebagai seorang aspie, Max memiliki hambatan dalam hal sosial. Ia tak mampu mengungkapkan ekspresi lain selain muka marah, pandai dalam angka, namun minim kemampuan afektif. Max sangat terganggu dengan hal-hal yang sifatnya melanggar peraturan. Seperti orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Dan itu bisa memicu kemarahannya. Tinggal di New York yang riuh, namun kesepian. 

 Max. Aspie. Obese. Anxiety disorder. Lonely.

Mereka bertemu melalui korespondensi. Dimana Mary bercerita tentang dirinya. Membuka diri kepada Max. Memperkenalkan Max kepada hal-hal baru yang mungkin tergolong aneh dan unik. Demikian pula Max, yang membantu Mary mengatasi ejekan teman-temannya tentang noda lahir di dahinya, hingga membangun kepercayaan Mary sebagai sosok yang pantas pula untuk dihargai. Hingga keduanya merasa cocok satu sama lain, dengan cara mereka. Keduanya sama-sama kesepian, bermasalah secara hubungan sosial, penggemar acara TV The Noblets dan mengoleksi miniaturnya.
Max selalu mendorong semangat Mary dengan cerita-ceritanya, dalam surat yang selalu disisipi cake atau cokelat atau susu kaleng. Hingga suatu ketika Max terpicu oleh surat Mary yang membangkitkan kenangan buruknya di masa lalu. Max harus menjalani terapi dan menghentikan korespondensinya. Mary sedih, dan kecewa. Ia berpikir bahwa Max membenci dia karena aneh dan bernoda di dahi. Sampai pada satu titik ia nekat mengoperasi tanda lahirnya.
Setelah serangkaian kesalahpahaman, Max mulai menulis lagi untuk Mary. Menjelaskan kemana dan apa yang menimpanya hingga divonis mengalami gangguan secara mental. Saat itu Mary sudah menikah dengan Damian—tetangga depan rumahnya yang dipuja sejak kecil. Kepercayaan diri Mary kian meningkat. Ia matang secara mental, memiliki rumah tangga yang mapan dan meraih gelar akademisi. Mary mengambil mata kuliah tentang gangguan mental, dengan menjadikan Max sebagai bahan studi kasusnya.
Saat Mary siap dengan bukunya tentang Max, ia mengirimkan kopian buku itu kepada Max. Tak disangka, Max marah. Benar-benar marah. Ia mengetik balasan yang penuh kebencian kepada Mary, bahkan mematahkan tuts huruf M di mesin ketiknya saking emosinya. Mary kecewa, dan ia merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta maaf, namun Max tak membalas. Hidup Mary menjadi kacau. Ia menjadi tak punya semangat hidup. Damian yang pada awalnya memujanya atas kepercayaan diri Mary, menjadi tak nyaman. Hingga pada suatu titik, ia memilih pergi demi mengejar cintanya kepada Desmond, seorang petani dan peternak domba yang ditemui melalui korespondensi. Desmond adalah seorang pria. Mary makin hancur.
Max—tanpa Mary, lama-lama pun merasa kesepian. Ia telah menemukan bentuk persahabatan yang sebenarnya, tidak hanya ilusi. Bersama Mary ia bisa merasakan emosi yang sesungguhnya. Bukan cinta, namun persahabatan yang tulus. Yang tidak semata hanya karena fisik atau hal praktis lain. Max pun tersadar, ia menulis sebuah surat dan mengirimkan semua koleksi The Noblets nya kepada Mary sebagai tanda bahwa ia telah memaafkan Mary.

“The reason I forgive you is because you are not perfect. You are imperfect, and so am I.

Setahun kemudian, Mary memutuskan untuk mengunjungi Max—setelah bertahun-tahun lamanya. Ia berangkat ke New York, dengan bayinya dalam gendongan. Sesampainya disana, ia menemukan Max. Namun Max telah meninggal.

“…if I was on a desert island then I have to get used to my own company just me and the coconuts. He said I would have to accept my self, my warts and all, and that we don’t get to choose our warts. They are parts of us and we have to live with them…”

Mary terharu, karena Max ternyata sangat menganggapnya sebagai sahabat. Satu-satunya sahabat di muka bumi. Max bahkan masih menyimpan seluruh surat dari Mary di dinding ruangannya, serta barang-barang dari Mary. Max meninggal, namun dengan tenang, karena keinginannya untuk memiliki sahabat telah terwujud.

“…everyone’s lives are like a very long sidewalk. Some are well paved, others, like mine, have cracks, banana skin, and cigarette butts. Your sidewalk is like mine, but probably not as many cracks. Hopefully one day our sidewalks will meet and we can share a can of condensed milk. You are my best friend. You are my only friend.”

Sumpah. Film ini sangat menarik dan bermoral sekali. Absolutely recommended.


Rabu, 31 Agustus 2011

The Boy in the Striped Pyjamas


(udah telat banget baru sekarang nonton film ini... yo ben :p)




Mengambil setting kala Der Führer masih berkuasa, film yang diangkat dari novel besutan John Boyne ini menceritakan kisah seorang anak bernama Bruno yang terpaksa hidup nomaden mengikuti sang ayah—tangan kanan Nazi—yang selalu berpindah tugas. Suatu ketika Bruno dan keluarganya terpaksa pindah (lagi), kali ini ke sebuah daerah yang jauh dari kota. Bruno, merasa bosan setengah mati—tanpa teman, tanpa hiburan—bahkan kakak perempuannya lebih asyik bergenit-genit dengan ajudan sang ayah (yang kebetulan memang keren, hehehe), sementara ayahnya sibuk dengan pekerjaannya. Di rumah baru itu Bruno ‘berkenalan’ dengan salah seorang pembantu—a bit stranger—demikian ia menyebutnya, seorang lelaki tua berpakaian piyama kumal dan kusam bernama Pavel. Pavel—praktis menjadi sosok asing yang menarik minat Bruno, karena ia begitu berbeda dari orang-orang yang biasa ditemuinya.
Bruno—mungkin sadar nalurinya menyerupai Dora the Explorer—menemukan pintu samping yang (bodohnya) terbuka dan terakses ke luar. Keingintahuan Bruno mengantarnya ke sebuah kamp yang ia artikan sebagai ‘peternakan dengan bau aneh yang kadang-kadang muncul’.
Di tempat itu ia berkenalan dengan Shmul, anak laki-laki salah satu penghuni kamp. Ia berpakaian sama seperti Pavel, piyama garis-garis berwarna antara biru-abu. Diam-diam—meski berbatasan kawat listrik—hampir setiap hari Bruno bercerita dengan Shmul—lebih tepatnya menanyai Shmul mengenai kenapa ia berpiyama atau kenapa ia tak bisa bermain di luar atau kenapa-kenapa lainnya. Termasuk keheranan dan ketidakmengertian Bruno kenapa Shmul dan pria-pria lain yang berpiyama harus diasingkan hanya karena mereka adalah Yahudi.
Klimaks film ini adalah ketika Bruno mengambil keputusan untuk kabur dari rumah sesaat sebelum pindah, untuk membantu Shmul mencari ayahnya yang hilang—dengan berpura-pura menyerupai orang-orang berpiyama. Ia masuk ke dalam area kamp dengan menggali tanah, hingga pada akhirnya ikut terdesak dan terdorong bersama-sama Shmul dan tahanan lain ke dalam sebuah ruang pembantaian kaum Yahudi. Tepat pada saat itu keluarganya tersadar bahwa Bruno menghilang—bahkan ayahnya yang menjadi anak buah Der Führer pun tak dapat mengehentikan kematian Bruno.

***

Humiliation—terutama pada era Nazi, adalah kekejaman yang mengerikan. Tidak habis pikir rasanya, kenapa ya manusia bisa sekejam itu pada manusia lainnya? Hanya karena mereka merasa bahwa kaum merekalah yang paling eksklusif di muka bumi ini. Totally nonsense.
Speechless. Yang jelas, saya sangat MEREKOMENDASIKAN film ini. Film lain setelah Life is Beautiful, yang juga (lagi-lagi) mengangkat isu Nazi versus Yahudi di jaman Hitler.

Film bagus lain yang wajib ditonton. 
Penting! Agar manusia pada punya hati.

Oya, Saya tidak sedang dalam pro Yahudi atau mengatasnamakan apalah. Karena bagi saya, inti dari film ini hanya satu : anda akan amat sangat bodoh, ketika hanya mendengar atau melihat sesuatu tanpa tahu dengan pasti apa yang sedang anda hadapi. Setidaknya cobalah untuk mengenal sesuatu itu dulu, sebelum membuat kesimpulan. Apalagi jika anda sekedar mengembangkan prasangka. Sumpah! Anda b.o.d.o.h!

“Melihat atau mendengar itu jangan pakai mata atau telinga saja.Tapi dengan hati.” (Alm.Mustaqfirin—dosen terbaik saya).


Fanatik—sampai kapanpun, tak akan mendatangkan manfaat apapun. 




Minggu, 26 Juni 2011

Sen to Chihiro no Kamikakushi (千と千尋の神隠し)

  



Saya bukan penggemar anime, kecuali produk Disney atau Pixar (mereka satu almamater nggak ya? Entah). 3D nya menyenangkan untuk dilihat. Pesan moralnya sih, biasa aja. Lalalalala. Tapi, saya barusan jatuh cinta sama anime besutan Ghibli. Judulnya Spirited Away atau Sen to Chihiro no Kamikakushi (千と千尋の神隠し). 

"Spirited Away dirilis di Jepang pada Juli 2001, menarik penonton sebanyak sekitar 23 juta dan meraup pendapatan sebesar 30 miliar yen, mengalahkan Titanic untuk menjadi film tersukses dalam sejarah Jepang. Film ini memenangkan penghargaan Oscar pada tahun 2002 dalam kategori Film Animasi Terbaik dan menjadi anime pertama yang meraih penghargaan dalam kategori tersebut. Film ini juga memenangkanGolden Bearpada Pesta Film Internasional Berlin 2002 (bersama Bloody Sunday)."
(Wikipedia)



Dan intinya apa? 



Intinya saya terharu (yang sebenernya juga nggak bisa jadi alasan utama juga, sih, secara pada dasarnya saya terlalu gampang terharu) gara-gara tokoh utama nya, seorang anak kecil bernama Chihiro, memiliki hati yang sangat tulus. Dia rela menjual jiwanya pada ratu sihir (fiksi-fantasi sekali, kan?) demi menyelamatkan orangtuanya yang jadi babi gara-gara salah makan. Intinya sih itu, plus ditambah plot yang menarik (film ini dibeli hak pemfilmannya oleh Disney).

Pesan moralnya? Tonton sendiri saja deh, yang jelas film ini ringan namun memiliki esensi yang dalam sekali. Sangat bagus untuk ukuran animasi sederhana :)


Another Ghibli’s must-have-to-see,


Tonari no Totoro (となりのトトロ) 



Gake no Ue no Ponyo (崖の上のポニョ)
Film ini memenangkan 7 penghargaan, termasuk Japan Academy Prize for Animation of the Year.    





Jumat, 22 April 2011

point de vue




Film Indonesia itu keren—dengan kondisi sebagai berikut : tertulis rapi di dalam sebuah buku.

Saya sempat mengoleksi beberapa judul novel Indonesia based on movie. Dan sangat di luar ekspektasi. Di saat mata saya dimanjakan dengan kualitas film yang kata orang kacangan, saya justru sangat menikmati ketika karya visual itu diwujudkan secara verbal. Sangat berbeda. Kisah yang ada menjadi lebih dari sekedar film ABG dengan adegan mendayu-dayu.

yang lebih menarik daripada filmnya


Salah satu favorit saya adalah novel Brownies yang digubah oleh Fira Basuki pada tahun 2004, based on a movie script empat orang punggawa perfilman Indonesia, Hanung Bramantyo, Salman Aristo, Erik Sasono, dan Lina Nourmalina. Alasan saya membeli novel itu cukup sederhana, saya pernah hendak menonton film itu dengan seseorang, namun batal. Merasa memiliki ‘ikatan’ emosional, beberapa saat kemudian saya membeli novel itu. Banyak orang bilang film itu membosankan. Just another ordinary movie. Dan apa yang saya dapat? Saya jatuh cinta pada novel tersebut. Fira Basuki dengan lihainya meracik personifikasi multi perspektif dari tokoh utama :

Aku. Siapakah aku? Ya, aku adalah bahan dasar brownies istimewa. Aku adalah secret ingredient. Siapa yang membuat aku? Adalah yang membuat manusia juga. Tapi aku ini unik, bukan roh, bukan avatar, bukan spirit. Aku adalah tetesan cairan sang pembuat brownies. Wujudku cair, berupa keringat dan air mata. Keringat atau peluh kerja keras, yang diwujudkan atas nama cinta. Serta air mata yang mengalir, karena rasa cinta yang dalam.

Novel ini menginspirasi saya yang kala itu masih ABG, mulai mengetik kata demi kata novel ala saya, yang sampai sekarang tidak jelas arahnya karena saya bingung sendiri :p

Oke, disini saya tak akan mengulas apapun. Saya sekedar ingin berbagi.

Novel lain yang saya favoritkan gara-gara random quote-nya adalah Cinta Pertama dengan casts BCL dan BenJo. Kali ini yang menuliskannya ke dalam novel adalah Okke ‘Sepatumerah’. Ini nih, quote favorit saya,

Aku menjadi bermakna bukan ketika cinta menghampiriku,
Tapi aku merasa sudah bermakna sejak aku berharap cinta menghampiriku,
Karena apa yang lebih bermakna dalam hidup ini selain harapan?

Atau ini,

Setiap manusia memiliki ruang kosong di hatinya. Ketika seseorang datang dan kita berpikir bahwa dia mengisi ruang kosong itu, sebenarnya dia hanya berdiri di depan pintu dan menyamarkan ruang kosong tersebut.
Cukup menye-menye kan? Memang. Tapi saya terlanjur suka dengan permainan diksinya. Maka saya tak menyesal membelinya :)

Banyak hal, tampak lebih baik ketika kita bisa memandangnya dari perspektif berbeda. Ambil satu pikiran saja, dan piciklah saya. Terkadang hal-hal yang diklaim orang seperti huruf A, adalah tidak sekedar A. Tapi huruf A dengan garis tegas, ditorehkan dengan tinta semi samar-samar, dan bersudut tajam. Detailnya.