Minggu, 16 Oktober 2011

Mary & Max

 
Bagi penggemar film animasi, film ini bukan tipe film romantic anak-anak ataupun petualangan bocah-bocah luarbiasa atau icon petualang. Itu aturan pertamanya.
         Film ini adalah sebuah claymation—macam Shaun the Sheep, dengan dominasi warna hitam putih abu-abu. Bagi saya film ini tergolong out of the box, dan… based on true story.

Menceritakan seorang anak nerd dengan kacamata tebal ala Betty Lafea dan tanda lahir mirip kotoran burung di dahi, Mary—an ordinary-eight-years-old-girl. Ia dibesarkan oleh ibunya yang mirip Cruella de Vil, hobi menenggak sherry, klepto, dan gemar merokok. Ayahnya adalah pekerja pabrik. Tinggal di Melbourne, Australia. Dan tak punya teman.

Mary. Nerd. Inferior. Broken home. Lonely

Sementara itu Max adalah seorang pria berusia 44 tahun, mengalami obesitas dan anxiety disorder. Max juga didiagnosa mengidap asperger’s syndrome. Dan tak punya teman. 
Sebagai seorang aspie, Max memiliki hambatan dalam hal sosial. Ia tak mampu mengungkapkan ekspresi lain selain muka marah, pandai dalam angka, namun minim kemampuan afektif. Max sangat terganggu dengan hal-hal yang sifatnya melanggar peraturan. Seperti orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Dan itu bisa memicu kemarahannya. Tinggal di New York yang riuh, namun kesepian. 

 Max. Aspie. Obese. Anxiety disorder. Lonely.

Mereka bertemu melalui korespondensi. Dimana Mary bercerita tentang dirinya. Membuka diri kepada Max. Memperkenalkan Max kepada hal-hal baru yang mungkin tergolong aneh dan unik. Demikian pula Max, yang membantu Mary mengatasi ejekan teman-temannya tentang noda lahir di dahinya, hingga membangun kepercayaan Mary sebagai sosok yang pantas pula untuk dihargai. Hingga keduanya merasa cocok satu sama lain, dengan cara mereka. Keduanya sama-sama kesepian, bermasalah secara hubungan sosial, penggemar acara TV The Noblets dan mengoleksi miniaturnya.
Max selalu mendorong semangat Mary dengan cerita-ceritanya, dalam surat yang selalu disisipi cake atau cokelat atau susu kaleng. Hingga suatu ketika Max terpicu oleh surat Mary yang membangkitkan kenangan buruknya di masa lalu. Max harus menjalani terapi dan menghentikan korespondensinya. Mary sedih, dan kecewa. Ia berpikir bahwa Max membenci dia karena aneh dan bernoda di dahi. Sampai pada satu titik ia nekat mengoperasi tanda lahirnya.
Setelah serangkaian kesalahpahaman, Max mulai menulis lagi untuk Mary. Menjelaskan kemana dan apa yang menimpanya hingga divonis mengalami gangguan secara mental. Saat itu Mary sudah menikah dengan Damian—tetangga depan rumahnya yang dipuja sejak kecil. Kepercayaan diri Mary kian meningkat. Ia matang secara mental, memiliki rumah tangga yang mapan dan meraih gelar akademisi. Mary mengambil mata kuliah tentang gangguan mental, dengan menjadikan Max sebagai bahan studi kasusnya.
Saat Mary siap dengan bukunya tentang Max, ia mengirimkan kopian buku itu kepada Max. Tak disangka, Max marah. Benar-benar marah. Ia mengetik balasan yang penuh kebencian kepada Mary, bahkan mematahkan tuts huruf M di mesin ketiknya saking emosinya. Mary kecewa, dan ia merasa bersalah. Berkali-kali ia meminta maaf, namun Max tak membalas. Hidup Mary menjadi kacau. Ia menjadi tak punya semangat hidup. Damian yang pada awalnya memujanya atas kepercayaan diri Mary, menjadi tak nyaman. Hingga pada suatu titik, ia memilih pergi demi mengejar cintanya kepada Desmond, seorang petani dan peternak domba yang ditemui melalui korespondensi. Desmond adalah seorang pria. Mary makin hancur.
Max—tanpa Mary, lama-lama pun merasa kesepian. Ia telah menemukan bentuk persahabatan yang sebenarnya, tidak hanya ilusi. Bersama Mary ia bisa merasakan emosi yang sesungguhnya. Bukan cinta, namun persahabatan yang tulus. Yang tidak semata hanya karena fisik atau hal praktis lain. Max pun tersadar, ia menulis sebuah surat dan mengirimkan semua koleksi The Noblets nya kepada Mary sebagai tanda bahwa ia telah memaafkan Mary.

“The reason I forgive you is because you are not perfect. You are imperfect, and so am I.

Setahun kemudian, Mary memutuskan untuk mengunjungi Max—setelah bertahun-tahun lamanya. Ia berangkat ke New York, dengan bayinya dalam gendongan. Sesampainya disana, ia menemukan Max. Namun Max telah meninggal.

“…if I was on a desert island then I have to get used to my own company just me and the coconuts. He said I would have to accept my self, my warts and all, and that we don’t get to choose our warts. They are parts of us and we have to live with them…”

Mary terharu, karena Max ternyata sangat menganggapnya sebagai sahabat. Satu-satunya sahabat di muka bumi. Max bahkan masih menyimpan seluruh surat dari Mary di dinding ruangannya, serta barang-barang dari Mary. Max meninggal, namun dengan tenang, karena keinginannya untuk memiliki sahabat telah terwujud.

“…everyone’s lives are like a very long sidewalk. Some are well paved, others, like mine, have cracks, banana skin, and cigarette butts. Your sidewalk is like mine, but probably not as many cracks. Hopefully one day our sidewalks will meet and we can share a can of condensed milk. You are my best friend. You are my only friend.”

Sumpah. Film ini sangat menarik dan bermoral sekali. Absolutely recommended.


1 komentar: