Ketika saya menjadi seorang rekruiter, saya mendadak bisa merasakan emosi orang-orang yang terlibat di dalam perhelatan bernama jobfair.
Rasanya?
Lengkap.
Saya pernah menjadi seorang pelamar, si jobseeker. Dari satu jobfair ke jobfair lain. Satu perusahaan ke perusahaan lain. Berdoa dan memohon, tiap kali memasukkan aplikasi,
"Tuhan, semoga ini memang jalan saya."
Menjalani dengan sepenuh hati rangkaian demi rangkaian tes yang kadang lebih menyita mental dan emosi daripada kecerdasan otak.
Kesal, kecewa, bahagia, terkejut. Semuanya saya rasakan ketika menjadi jobseeker. Ketika harapanmu melambung dan kemudian gagal di tengah jalan. Itulah proses.
Dan ada kalanya kesempatan itu datang, sebagai seorang rekruiter. Melihat para pelamar--sama seperti saya pada beberapa saat lalu, berusaha hal yang sama dengan tujuan berbeda. Dari yang idealis setengah mati, yang dilirik hanya perusahaan ber-merk, sampai yang hanya mengadu peruntungan ke semua booth. Mondar-mandir, lengkap dengan pasfoto, tumpukan CV, satu bendel brosur dan pamflet dari anekarupa perusahaan.
Saya kadang perlu mengesampingkan rasa iba saya, tiap berhadapan dengan pelamar tertentu.
"Mbak, saya tadi lupa ada psikotes. Ada psikotes ulang tidak?"
atau,
Seorang pelamar yang mendadak sakit perut dan dia 'terpaksa' meninggalkan separuh sesi tes.
Saya hanya bisa berkata dalam hati,
"Kalau memang jodoh, pasti tak kemana."
jobfair @Binus Anggrek 4-5 Oktober 2011
Jobfair di Binus kemarin, adalah sesi formal saya sebagai seorang recruiter. Bahkan ya, setelah saya bekerja pun, aura persaingan pun tetap terasa. Maksud saya seperti ini, kebetulan perusahaan saya berdampingan dengan perusahaan lain. Kalau perusahaan kami, ndilalahnya ya nggak ngoyo. Entah ya, apakah karena kami adalah anak Psikologi/Manajemen, jadi lebih beretika begitu? *preettt* Nah, perusahaan saingan, ceritanya adalah perusahaan swasta perbankan, cara pendekatan mereka pada para pelamar cukup signifikan. Kebetulan yang meng-handle booth adalah marketing mereka sendiri, barangkali sebagai daya tarik. Dan mereka mengejar pelamar sampai di depan muka kami, dengan pendekatan marketing kartu kredit. Waduh… luarbiasa. Saya dan teman hanya ketawa-ketiwi cengengesan. Benar-benar prinsip kami, “Kalau jodoh ya nggak kemana”. Hahaha *ups*
Lain lagi cerita salah satu pelamar. Ada seorang pelamar datang ala kadarnya. Satu yang nyeleneh dengan dia,
“Mbak, saya mau melamar dong. Tapi yang peminatnya sedikit saja ya. Kalau banyak saya malas saingannya. ”
“Mm…okai. Ada pengalaman kerja sebelumnya?”
“Ada Mbak. Tapi Mbak mesti nggak percaya sama pekerjan saya. Yang punya saya ini kebetulan.”
“Oh ya, apa memangnya?”
“Saya produser Mbak. Sudah 3 tahun. Mbak mesti nggak percaya. Kecil si Mbak, bla bla bla.”
“…”
“Ini tahapnya apa saja, Mbak?”
“Oh, ini nanti ada psikotes. Jangan lupa membawa kalkulator dan alat tulis, ya.”
“Hah, pakai kalkulator Mbak? Yah, ada psikotesnya, ya?? Kalau cuma nulis daftar identitas begini sih nggak papa Mbak. Kan sama-sama yang dilihat tulisan pakai tinta. Tapi kalau di psikotes yang dilihat kan beda, nggak cuma tinta—”
“…”
Oh. Well. Hell yeah, I'm a Recruiter and I'm in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar