Tampilkan postingan dengan label jobseeker. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jobseeker. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Oktober 2011

Hell yeah, I'm a Recruiter *songong*



Ketika saya menjadi seorang rekruiter, saya mendadak bisa merasakan emosi orang-orang yang terlibat di dalam perhelatan bernama jobfair.
Rasanya?
Lengkap.
Saya pernah menjadi seorang pelamar, si jobseeker. Dari satu jobfair ke jobfair lain. Satu perusahaan ke perusahaan lain. Berdoa dan memohon, tiap kali memasukkan aplikasi, 
"Tuhan, semoga ini memang jalan saya."
Menjalani dengan sepenuh hati rangkaian demi rangkaian tes yang kadang lebih menyita mental dan emosi daripada kecerdasan otak.
Kesal, kecewa, bahagia, terkejut. Semuanya saya rasakan ketika menjadi jobseeker. Ketika harapanmu melambung dan kemudian gagal di tengah jalan. Itulah proses. 
Dan ada kalanya kesempatan itu datang, sebagai seorang rekruiter. Melihat para pelamar--sama seperti saya pada beberapa saat lalu, berusaha hal yang sama dengan tujuan berbeda. Dari yang idealis setengah mati, yang dilirik hanya perusahaan ber-merk, sampai yang hanya mengadu peruntungan ke semua booth. Mondar-mandir, lengkap dengan pasfoto, tumpukan CV, satu bendel brosur dan pamflet dari anekarupa perusahaan. 
Saya kadang perlu mengesampingkan rasa iba saya, tiap berhadapan dengan pelamar tertentu. 
"Mbak, saya tadi lupa ada psikotes. Ada psikotes ulang tidak?"
atau,
Seorang pelamar yang mendadak sakit perut dan dia 'terpaksa' meninggalkan separuh sesi tes. 
Saya hanya bisa berkata dalam hati,
"Kalau memang jodoh, pasti tak kemana."



jobfair @Binus Anggrek 4-5 Oktober 2011

Jobfair di Binus kemarin, adalah sesi formal saya sebagai seorang recruiter. Bahkan ya, setelah saya bekerja pun, aura persaingan pun tetap terasa. Maksud saya seperti ini, kebetulan perusahaan saya berdampingan dengan perusahaan lain. Kalau perusahaan kami, ndilalahnya ya nggak ngoyo. Entah ya, apakah karena kami adalah anak Psikologi/Manajemen, jadi lebih beretika begitu? *preettt* Nah, perusahaan saingan, ceritanya adalah perusahaan swasta perbankan, cara pendekatan mereka pada para pelamar cukup signifikan. Kebetulan yang meng-handle booth adalah marketing mereka sendiri, barangkali sebagai daya tarik. Dan mereka mengejar pelamar sampai di depan muka kami, dengan pendekatan marketing kartu kredit.  Waduh… luarbiasa. Saya dan teman hanya ketawa-ketiwi cengengesan. Benar-benar prinsip kami, “Kalau jodoh ya nggak kemana”. Hahaha *ups*
Lain lagi cerita salah satu pelamar. Ada seorang pelamar datang ala kadarnya. Satu yang nyeleneh dengan dia,
“Mbak, saya mau melamar dong. Tapi yang peminatnya sedikit saja ya. Kalau banyak saya malas saingannya. ”
“Mm…okai. Ada pengalaman kerja sebelumnya?”
“Ada Mbak. Tapi Mbak mesti nggak percaya sama pekerjan saya. Yang punya saya ini kebetulan.”
“Oh ya, apa memangnya?”
“Saya produser Mbak. Sudah 3 tahun. Mbak mesti nggak percaya. Kecil si Mbak, bla bla bla.”
“…”
“Ini tahapnya apa saja, Mbak?”
“Oh, ini nanti ada psikotes. Jangan lupa membawa kalkulator dan alat tulis, ya.”
“Hah, pakai kalkulator Mbak? Yah, ada psikotesnya, ya?? Kalau cuma nulis daftar identitas begini sih nggak papa Mbak. Kan sama-sama yang dilihat tulisan pakai  tinta. Tapi kalau di psikotes yang dilihat kan beda, nggak cuma tinta—”
“…”
Oh. Well. Hell yeah, I'm a Recruiter and I'm in.



Minggu, 26 Juni 2011

Curhat Pencari Kerja #1



  
Dalam fase pasca sarjana, tak ada yang lebih sempurna selain dapat panggilan tes dari perusahaan idaman. Totally happy to the max! Berasa udah keterima aja :) padahal perjalanan jelas-jelas masih jauh dan panjang plus berliku...entah ending seperti apa yang menanti di ujung gang. 
Dan—it’s complicated enough—ketika pas dapat lotere masa depan, ehh…lagi kere-kere-nya, kantong kering kerontang, nggak mampu ke tempat tes saking sebelumnya sudah kudu bolak-balik ke Jakarta yang sumpek tiap minggu. Enak sih, buat para temen-temen senasib yang kantongnya setebel bantal, tiap keluar kota bisa naik KA eksekutif atau pesawat. Mereka—tinggal mikir materi tes, bisa belajar sedikit-sedikit. Lah, bagaimana nasib para jobseeker bermodal nekat dan dengkul macam saya?! Yang kepikiran di otak cuma satu :

“Sampai nggak nih, ke tempat tes??”

Mana sempat mikir materi tes, tes apa yang akan keluar, apakah amunisi masih aman dalam tas ataukah sudah patah atau hilang gara-gara tas bolong dan berhimpitan dengan manusia lain dalam satu gerbong?? Sampai dengan selamat dan lumayan ontime adalah satu-satunya pengharapan. Perjalanan panas, keringat, bau, dengan ekonomi, bisa jadi cuma berlalu dalam tigapuluhmenit sampai dua jam…
At last, kita hanya bisa berharap dan berharap (lagi), semoga perjalanan ini bisa menjadi bagian cerita yang terbaik, meskipun (belum) yang terindah :) (OJ)


Antara Jogja-Jakarta, 26 Juni 2011



#curhat seorang teman, ketika terjepit diantara kemacetan arus orang dalam KA Progo kelas ekonomi menuju Jakarta. 1 kali ketiban kardus, 10 kali dilangkahi dengan semena-mena, dan entah berapa kali muka bertatapan pantat. Goodluck, bro!







Rabu, 01 Juni 2011

Yellowcard : it's magic card!



Ruang pembuatan kartu kuning, Dinkertrans Jogja.

Petugas  1 : "Sudah bekerja, Mbak?"

Saya          : "Belum." 

Petugas 2  : "Walah, mau buat kartu pengangguran to..."

Saya          : "..." (meringis) (lalalalala)


...(tampaknya) bangga...
Syarat : pasfoto warna 3X4, fotokopi ijazah, fotokopi KTP
Durasi : SINGKAT, PADAT, JELAS 



Akankah berguna? Semoga :p 



Kamis, 26 Mei 2011

#mau daftar kuliah, mbak?




Percakapan ini terjadi ketika saya berada di sebuah mobil Carry yang ‘menyamar’ menjadi angkot di tengah kota Solo. Rencananya hari itu saya hendak mengikuti tes salah satu perusahaan yang diadakan di aula perpustakaan UNS. Hanya ada 2 orang di dalam mobil tersebut : saya dan si sopir.


Sopir  : “Ini mau kemana, Mbak?”

Saya  : “UNS, Pak.”

Sopir  : “Oh, mau ndaftar kuliah ya Mbak?”

Saya  : “…”

Sopir  : “UNS itu bagus lo Mbak, tapi Mbak kudu berjuang. Saingannya susah, pinter-pinter…se-Indonesia.”

Saya  : “…”

Sopir  : “Mbak dari mana?”

Saya  : “Jogja, Pak.”

Sopir  : “Oh, nanti ngekos aja, Mbak. Di daerah *** daerahnya aman, Mbak tinggal jalan kaki ke kampus, deket, Nggak usah mikir ongkos transport.”

Saya  : “…”

setelah sekian menit berlalu dalam perjalanan... 


Sopir  : “Sudah sampai, Mbak.”

Saya  : “Oya. Terimakasih, Pak.”

Sopir  :  “Saya doakan semoga keterima di UNS ya, Mbak!”
Saya  :  "... amin. Terimakasih, Pak..."


Hari itu—apakah penampilan saya yang jelas-jelas mencari kerja memang lebih tampak seperti pencari universitas? Atau—apakah saya sangat imut sehingga dikira lulus SMA? Dunno. Anyway, terimakasih atas bapak sopir yang ramah sekali itu :)


Senin, 16 Mei 2011

Orang menyebutnya #Galau





Sampai saya menuliskan dan sukses memposting tulisan ini, status saya masih berkitar pada area ‘pencari kerja’.

Menyebalkan? Ya. Saya sedang menanti dua pertaruhan yang bikin perut saya tergelitik, sensasi mual, dan insomnia tengah malam. Paranoia saya berkembang pada setiap telepon dengan nomor asing, SMS dengan nomor tak dikenal, selama beberapa minggu terakhir ini. Menyebalkan? Ya.

Rasanya saya ingin tidur dan voila! Saya telah meraih satu. Urik ya? Memang. Masa penantian pasca ber-toga, itu jauh lebih menggelikan—kalau saya boleh menyederhanakan kata ’mengerikan’—daripada jam-jam panjang nan bosan menanti dosen pembimbing di lorong. Lebih menegangkan, menanti panggilan jackpot mana lagi yang hadir di e-mail saya, di handphone saya, alih-alih maju sidang. Enam bulan di depan laptop, dalam perpustakaan, mengintip diantara buku tebal dan berdebu, tidak ada apa-apanya dengan perjuangan setelah ini. Dan rasanya, antara skripsi dan mencari kerja bagaikan keluar dari lubang buaya masuk ke mulut singa, jika posisimu cenderung ngambang :D



Kamis, 05 Mei 2011

Pencari Kerja adalah Kejam dalam Dunia Pertemanan Mereka Sendiri




Mencari kerja—atau tepatnya rebutan kerjaan, adalah salah satu hal yang memuakkan. Kenapa memuakkan? Karena jujur, dalam fase sekarang ini, nggak ada tuh istilah “turut berbahagia” diantara sesame jobseeker. Jadi ingat posting saya jauh sebelum ini, sebenernya mungkin sinisme Gore Vidal itu ada benarnya,

Tidak ada yang benar-benar berduka atas kegagalan seorang teman


But it's damn true.

Sekitar sebulan lalu, saya mungkin terjangkit paranoia yang menyebalkan, dimana saya mengikuti dengan aktif perkembangan seleksi teman A, teman B, atau teman C, masih suka mengintip sudah bekerja dimanakah mereka dari halaman profil. Atau berbagi gosip apakah si D sudah diterima atau E yang entah dimana.

Bodoh? Banget!

Dan itu sangat sia-sia karena menjadikan saya sekedar meratapi kenapa mereka sampai tahap itu dan saya tidak. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan ketika yang namanya kegagalan itu adalah sesuatu yang harus ditanggapi dengan mental cukup, maka saya berhenti melakukan kebodohan itu. Saya mulai tak peduli apakah A bekerja dimana, apakah B sudah sampai tahap mana, apakah C berhasil menandatangani kontrak. Saya berhenti, untuk membandingkan takdir saya dengan orang lain. Cukup. Yang paling susah dari keseluruhan perjalanan ini adalah meyakini bahwa selalu selalu selalu ada skenario masing-masing pada akhirnya. Jujur, memang sangat menggoda, untuk membandingkan pencapaian saya dengan orang lain. Tapi juga sangat menyebalkan, ketika pada suatu ketika kamu bertanya pada seseorang,

“Kerja dimana?”

Dan ternyata dijawab dengan serangkaian perusahaan incaran-mu, mendadak kamu sadar kamu patah hati dan mulai menyusun strategi dan (terkadang) terucap doa semoga dia sukses dan berhasil (yang diamini hanya seperempat hati karena timbul rasa iri—well, pengakuan salah seorang teman yang cukup miris). Jadi, mungkin diperlukan lebih dari kacamata kuda dan tutup telinga untuk meyakini takdir kita adalah yang terbaik :)


 *really big thanks & big hug, untuk semua kesibukan sekecil apapun dari siapapun. Kalian laksana Prozac :)



Jumat, 22 April 2011

Melanglang Surabaya


Apakah inti dari sebuah perjalanan?
Sebuah cerita.
 
Cerita saya ini, tak bisa disandingkan dengan naluri The Naked Traveller ataupun Traveller’s Tale. Jauuhh. Tapi satu kesamaan, adalah berbeda ketika kita memandang perjalanan dari kacamata ‘gelandang’. Kira-kira itulah yang saya alami, menggelandang 1x24 jam di Surabaya (yahh, nggak nggelandang-nggelandang juga, sih, mengingat tujuan kami ke kota itu…)
Beberapa kali saya mengunjungi Surabaya, tak sekalipun saya merasa repot. Tentu, karena saudara saya dengan baik hatinya akan menjamu kami, tamu dari kota sebelah. Semua sedikit berbeda ketika saya menjejakkan kedua kaki saya ala backpacker dadakan demi mengais masa depan. Minggu sebelumnya, selang 5 hari sebelumnya saya telah mencicipi mencari kerja di kota orang dengan nyaris tanpa halangan. Transport aman, makan nyaman, tidur tenang.
 
“Aduhh…kenapa nggak naik bisnis aja?”
“Nggak ada duit, Te. Masih cari kerja kok nggaya pakai bisnis. Kelas kami ekonomi dulu aja, deh!”
“…”
 
Masalah timbul ketika saya dan teman saya beruntung untuk lanjut tahapan seleksi berikutnya, mau tinggal dimana kami?? *mengingat saya sedikit kurang nyaman dengan kebaikan saudara saya* tidak nyaman = kurang bebas membolang.
Dan secara serabutan saya mengusulkan ide : kita berangkat malam, sampai sana subuh. Mandi-makan di terminal! Dan teman saya mengamini, bahkan orangtua saya *tumben*
Keder juga, secara referensi mandi di public area adalah ketika numpang mandi di SPBU setempat gara-gara kehabisan hotel di suatu long weekend. SPBU sejauh ini masih sejalan dengan prinsip obsesif kompulsif saya. Tapi di terminal? Hmm…
Modal nekat dan dengkul, karena kami—si jobseeker—sama-sama lagi kere, memulai perjalanan ke Surabaya dengan bis ekonomi seharga 30an ribu *lupa detailnya* berusaha tidur di perjalanan sepanjang 7 jam, mengingat kami kudu langsung berhadapan dengan HRD begitu matahari sedikit memanas.
Tiba dengan selamat di Terminal Bungurasih. So far so good. Misi berikutnya : isi perut (sebungkus mie semi rebus plus teh hangat = Rp 4.000,00) dan mencari tempat mandi. Dari 4 WC yang kami temukan, ada 1 WC yang cukup repersentatif. Jadilah saya berkecipak-cipuk ria di WC terminal (thank’s God, WC nya bersiiihhhh, tanpa pesing :D). Sukses mengeluarkan 3 ribu rupiah (2 ribu untuk mandi, seribu untuk buang air), kami bergantian menjaga barang bawaan yang lebih mirip teroris bom. Sembari menunggu teman saya kelar mandi, saya mengeluarkan make-up kit saya. Rrr… ini pertama kalinya saya berdandan di muka umum dengan ketebalan badak. Beberapa kali konsumen WC keluar masuk melihat saya (well, mungkin karena saya lebih mirip lenong mau tampil?). Jepit sana, jepit sini, poles sana, tarik sini. Jadi deh, dandanan kilat interview HRD versi terminal :)
Masih pukul 08.30 ketika kami selesai dari WC. Menjelang pukul 09.00 kami mulai mencari kandidat bis yang hendaknya menuju TKP, dan… terpilihlah bis kota jurusan P1 seharga 3 ribu. Benar kata saudara saya, peminat bis relatif sedikit sampai-sampai bis itu jalannya mirip siput kelaparan demi mengintai penumpang. Plus, orang jualan tak henti-hentinya dengan varian yang sama : kacang koro, kacang telur, paket hemat 10000 (gunting, dua pemantik, dan cutter), alat cukur kumis yang tampaknya sangat mudah karatan, dan snack ala kadarnya. Adalah tepat ketika kami memutuskan berangkat awal, eh? Jalur P1 berhenti di terminal lain, terminal Joyoboyo dan kami dioper ke angkot kota warna krem dengan nomor jurusan TV, tepat ke arah (mendekati) kawasan Darmo (as TKP). Berempet-empetan dalam satu angkot? Hmm, saya lupa kapan terakhir merasakannya.
Berhenti di perempatan entah mana, kami turun dan sedikit berjalan menuju… masjid. Masjid? Ya, karena baru pukul 10.00 sementara jadwal kami adalah pukul 11.30. Kami teronggok di masjid terdekat, berbekal Tang* dan air minum. Bosan. Tepat pukul 11.15, kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke lokasi. Dan sempat ngadem sebentar.
Tak ada yang menarik dari interview itu, karena saya hanya tertarik pada perjalanan kami. Kami sempat merasakan bakso ala setempat seharga 6 ribu dengan kombinasi semacam bakwan (bakwan beneran), bakso urat, bakso biasa, pangsit basah, pangsit kering, dan entah apa lagi. Yang menarik adalah, warna saosnya cukup mengerikan (sayang tak sempat kami abadikan saking laparnya)…
Pukul 15.00 kami resmi meninggalkan kawasan Darmo dan menuju ke terminal Joyoboyo lagi, dengan angkot krem. Angkot masih sepi, jadi kami tak perlu berdesakan--setidaknya hingga di depan sebuah sekolah—karena angkot langsung diserbu anak-anak SMP. Sampai di Joyoboyo, kami mencari bis ke arah Bungurasih lagi. Dengan tampang yang sudah kusut masai dan amat berminyak kemana-mana. Tambah kusut ketika bis itu ngetem sejam lamanya. Yang bisa saya lakukan hanyalah memperhatikan sekumpulan remaja ABG sedang memegang senapan angin, sibuk mencari-cari burung mana yang bisa ditembak. Dalam hati saya komat-kamit merapel doa. Semoga saya nggak jadi korban tembakan mereka…
Yang mendominasi perut saya waktu itu adalah hasrat besar untuk MAKAN! Ketika bis mulai bergerak (dengan kuota penumpang PENUH), kebetean saya sedikit sirna. Memandang kemacetan Surabaya, klakson dimana-mana, terik matahari, jauhnya perjalanan… aneh memang. Tapi saya menikmati perjalanan itu. Sungguh menikmati.
Dimulai dari sepasang ibu-anak yang dengan suara ala kadarnya berusaha keras mengimbangi klakson dan deru kendaraan, tadinya saya sangat tak berminat memberi sekeping receh untuk mereka. Bukan—bukan pelit, kok—tapi setidaknya tidak dengan cara seperti itu mereka mendapatkan kehidupan, kan? Yang langsung gagal begitu mereka me-medley beberapa lagu mulai dari lagu Ahmad Dhani, lagu dangdut Jatuh-Bangun, dan entah apa lagi. Saya bahkan lebih hapal lirik lagu dangdut yang mereka nyanyikan. Intinya, saya kalah oleh ketidaktegaan. Bis berhenti, pengamen berganti. Kali ini seorang bapak tunadaksa dengan suara yang lebih baik. Menyanyikan salah satu lagu pop yang lagi-lagi saya lupa judulnya. Berganti lagi, suara tukang—aneka tukang—yang tegas, lantang, keras. Lebih tegas daripada para penegak hukum, lebih lantang dari anggota dewan yang menyuarakan kepentingan rakyat, lebih keras daripada hukuman mati bagi para koruptor. Mereke semua, mengantarkan saya kembali ke terminal terakhir, Bungurasih, dengan perenungan dalam diam.
 
“Patas AC Mbak? Mas?”
“Nggak Pak, lagi ngirit…”
“Oh…”
“Tapi bedanya sedikit loh…”
“Nggak, Pak.”
“Bali Mas? Bali Mbak?”
 
Sapaan entah calo entah kenek entah apa ketika kami menjejakkan diri kembali. Oh iya, kami lupa sedang berada di Surabaya, sedekat ini dengan Bali. Kalau saja tak ingat tanggungjawab di kampung, bisa dipastikan kami akan kabur ke Bali. Hehehe.
Lapar dan lelah yang cukup, mendorong kami mencari makan di tengah area terminal. Mendapati harga semangkuk soto panas seharga 13.000 rupiah, atau tepatnya nasi berkuah soto dengan 5 suwir daging plus air mineral dingin, kami makan dengan diam.
 
Ahh, betapa kami lebih mencintai kota kami…
 
Pukul 17.30 tepat, kami telah duduk manis dalam bis ekonomi lagi, beloved Sum*er Kenc*n*. Diiringi lagu campursari, kepadatan penumpang, dan sunset yang membulat semburat jingga di ujung jalan. Perjalanan kali ini lebih dalam dan nikmat dari sekedar berada di balik kaca taksi atau mobil pribadi. Saya, benar-benar merasa ndeso dalam menghadapi kesederhaan.