Apakah inti dari sebuah perjalanan?
Sebuah cerita.
Cerita saya ini, tak bisa disandingkan dengan naluri The Naked Traveller ataupun Traveller’s Tale. Jauuhh. Tapi satu kesamaan, adalah berbeda ketika kita memandang perjalanan dari kacamata ‘gelandang’. Kira-kira itulah yang saya alami, menggelandang 1x24 jam di Surabaya (yahh, nggak nggelandang-nggelandang juga, sih, mengingat tujuan kami ke kota itu…)
Beberapa kali saya mengunjungi Surabaya, tak sekalipun saya merasa repot. Tentu, karena saudara saya dengan baik hatinya akan menjamu kami, tamu dari kota sebelah. Semua sedikit berbeda ketika saya menjejakkan kedua kaki saya ala backpacker dadakan demi mengais masa depan. Minggu sebelumnya, selang 5 hari sebelumnya saya telah mencicipi mencari kerja di kota orang dengan nyaris tanpa halangan. Transport aman, makan nyaman, tidur tenang.
“Aduhh…kenapa nggak naik bisnis aja?”
“Nggak ada duit, Te. Masih cari kerja kok nggaya pakai bisnis. Kelas kami ekonomi dulu aja, deh!”
“…”
Masalah timbul ketika saya dan teman saya beruntung untuk lanjut tahapan seleksi berikutnya, mau tinggal dimana kami?? *mengingat saya sedikit kurang nyaman dengan kebaikan saudara saya* tidak nyaman = kurang bebas membolang.
Dan secara serabutan saya mengusulkan ide : kita berangkat malam, sampai sana subuh. Mandi-makan di terminal! Dan teman saya mengamini, bahkan orangtua saya *tumben*
Keder juga, secara referensi mandi di public area adalah ketika numpang mandi di SPBU setempat gara-gara kehabisan hotel di suatu long weekend. SPBU sejauh ini masih sejalan dengan prinsip obsesif kompulsif saya. Tapi di terminal? Hmm…
Modal nekat dan dengkul, karena kami—si jobseeker—sama-sama lagi kere, memulai perjalanan ke Surabaya dengan bis ekonomi seharga 30an ribu *lupa detailnya* berusaha tidur di perjalanan sepanjang 7 jam, mengingat kami kudu langsung berhadapan dengan HRD begitu matahari sedikit memanas.
Tiba dengan selamat di Terminal Bungurasih. So far so good. Misi berikutnya : isi perut (sebungkus mie semi rebus plus teh hangat = Rp 4.000,00) dan mencari tempat mandi. Dari 4 WC yang kami temukan, ada 1 WC yang cukup repersentatif. Jadilah saya berkecipak-cipuk ria di WC terminal (thank’s God, WC nya bersiiihhhh, tanpa pesing :D). Sukses mengeluarkan 3 ribu rupiah (2 ribu untuk mandi, seribu untuk buang air), kami bergantian menjaga barang bawaan yang lebih mirip teroris bom. Sembari menunggu teman saya kelar mandi, saya mengeluarkan make-up kit saya. Rrr… ini pertama kalinya saya berdandan di muka umum dengan ketebalan badak. Beberapa kali konsumen WC keluar masuk melihat saya (well, mungkin karena saya lebih mirip lenong mau tampil?). Jepit sana, jepit sini, poles sana, tarik sini. Jadi deh, dandanan kilat interview HRD versi terminal :)
Masih pukul 08.30 ketika kami selesai dari WC. Menjelang pukul 09.00 kami mulai mencari kandidat bis yang hendaknya menuju TKP, dan… terpilihlah bis kota jurusan P1 seharga 3 ribu. Benar kata saudara saya, peminat bis relatif sedikit sampai-sampai bis itu jalannya mirip siput kelaparan demi mengintai penumpang. Plus, orang jualan tak henti-hentinya dengan varian yang sama : kacang koro, kacang telur, paket hemat 10000 (gunting, dua pemantik, dan cutter), alat cukur kumis yang tampaknya sangat mudah karatan, dan snack ala kadarnya. Adalah tepat ketika kami memutuskan berangkat awal, eh? Jalur P1 berhenti di terminal lain, terminal Joyoboyo dan kami dioper ke angkot kota warna krem dengan nomor jurusan TV, tepat ke arah (mendekati) kawasan Darmo (as TKP). Berempet-empetan dalam satu angkot? Hmm, saya lupa kapan terakhir merasakannya.
Berhenti di perempatan entah mana, kami turun dan sedikit berjalan menuju… masjid. Masjid? Ya, karena baru pukul 10.00 sementara jadwal kami adalah pukul 11.30. Kami teronggok di masjid terdekat, berbekal Tang* dan air minum. Bosan. Tepat pukul 11.15, kami melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke lokasi. Dan sempat ngadem sebentar.
Tak ada yang menarik dari interview itu, karena saya hanya tertarik pada perjalanan kami. Kami sempat merasakan bakso ala setempat seharga 6 ribu dengan kombinasi semacam bakwan (bakwan beneran), bakso urat, bakso biasa, pangsit basah, pangsit kering, dan entah apa lagi. Yang menarik adalah, warna saosnya cukup mengerikan (sayang tak sempat kami abadikan saking laparnya)…
Pukul 15.00 kami resmi meninggalkan kawasan Darmo dan menuju ke terminal Joyoboyo lagi, dengan angkot krem. Angkot masih sepi, jadi kami tak perlu berdesakan--setidaknya hingga di depan sebuah sekolah—karena angkot langsung diserbu anak-anak SMP. Sampai di Joyoboyo, kami mencari bis ke arah Bungurasih lagi. Dengan tampang yang sudah kusut masai dan amat berminyak kemana-mana. Tambah kusut ketika bis itu ngetem sejam lamanya. Yang bisa saya lakukan hanyalah memperhatikan sekumpulan remaja ABG sedang memegang senapan angin, sibuk mencari-cari burung mana yang bisa ditembak. Dalam hati saya komat-kamit merapel doa. Semoga saya nggak jadi korban tembakan mereka…
Yang mendominasi perut saya waktu itu adalah hasrat besar untuk MAKAN! Ketika bis mulai bergerak (dengan kuota penumpang PENUH), kebetean saya sedikit sirna. Memandang kemacetan Surabaya, klakson dimana-mana, terik matahari, jauhnya perjalanan… aneh memang. Tapi saya menikmati perjalanan itu. Sungguh menikmati.
Dimulai dari sepasang ibu-anak yang dengan suara ala kadarnya berusaha keras mengimbangi klakson dan deru kendaraan, tadinya saya sangat tak berminat memberi sekeping receh untuk mereka. Bukan—bukan pelit, kok—tapi setidaknya tidak dengan cara seperti itu mereka mendapatkan kehidupan, kan? Yang langsung gagal begitu mereka me-medley beberapa lagu mulai dari lagu Ahmad Dhani, lagu dangdut Jatuh-Bangun, dan entah apa lagi. Saya bahkan lebih hapal lirik lagu dangdut yang mereka nyanyikan. Intinya, saya kalah oleh ketidaktegaan. Bis berhenti, pengamen berganti. Kali ini seorang bapak tunadaksa dengan suara yang lebih baik. Menyanyikan salah satu lagu pop yang lagi-lagi saya lupa judulnya. Berganti lagi, suara tukang—aneka tukang—yang tegas, lantang, keras. Lebih tegas daripada para penegak hukum, lebih lantang dari anggota dewan yang menyuarakan kepentingan rakyat, lebih keras daripada hukuman mati bagi para koruptor. Mereke semua, mengantarkan saya kembali ke terminal terakhir, Bungurasih, dengan perenungan dalam diam.
“Patas AC Mbak? Mas?”
“Nggak Pak, lagi ngirit…”
“Oh…”
“Tapi bedanya sedikit loh…”
“Nggak, Pak.”
“Bali Mas? Bali Mbak?”
Sapaan entah calo entah kenek entah apa ketika kami menjejakkan diri kembali. Oh iya, kami lupa sedang berada di Surabaya, sedekat ini dengan Bali. Kalau saja tak ingat tanggungjawab di kampung, bisa dipastikan kami akan kabur ke Bali. Hehehe.
Lapar dan lelah yang cukup, mendorong kami mencari makan di tengah area terminal. Mendapati harga semangkuk soto panas seharga 13.000 rupiah, atau tepatnya nasi berkuah soto dengan 5 suwir daging plus air mineral dingin, kami makan dengan diam.
Ahh, betapa kami lebih mencintai kota kami…
Pukul 17.30 tepat, kami telah duduk manis dalam bis ekonomi lagi, beloved Sum*er Kenc*n*. Diiringi lagu campursari, kepadatan penumpang, dan sunset yang membulat semburat jingga di ujung jalan. Perjalanan kali ini lebih dalam dan nikmat dari sekedar berada di balik kaca taksi atau mobil pribadi. Saya, benar-benar merasa ndeso dalam menghadapi kesederhaan.
weh cerita amoy sipit kog g ad? :D
BalasHapus