Senin, 11 April 2011

Hijau-Hijau Manusia Pragmatis


Terkadang aku benar-benar kesal ketika harus ditinggal sendirian di dalam ruang yang gelap. Merasa takut, sendiri, dan begitu merana. Ketika semua di rumah ini tidur dalam kehangatan selimut, bergulir mimpi di dalamnya. Menyadari posisiku, aku hanya bisa teronggok di pojokan antara dinding dan nakas. Menunggu hingga pagi tiba.

Jujur, akhir-akhir ini aku merasa semua menjadi semakin rumit. Semua orang seakan-akan membenciku. Suatu bentuk excuse yang bodoh, mengingat semua upaya mereka untuk membenciku adalah bentuk defense mechanism mereka sendiri, manusia.

Sudah lama aku membenci manusia, atas arogansi mereka dalam memandang suatu permasalahan secara pragmatis. Atas segala yang mereka lakukan kepada bumi, kepada alam, aku sukses dicatut sebagai biang keladi. Mereka lupa, dari tangan mana aku berasal. Habis manis sepah dibuang. Mungkin, hanya sebatas itu kah hakikatku?


***


Tampaknya hari ini May bakal terlambat masuk kantor lagi. Sudah beberapa hari ini May sibuk begadang. Entah begadang apa, yang jelas pasti tugas kantor. Sementara mungkin Auli sudah lebih dulu berangkat menembus kemacetan, May baru mampu membuka mata. Nah, Auli adalah penghuni lain dalam apartemen ini. Ia adalah salah satu bentuk manusia pragmatis yang kerap memojokkanku, kalau boleh aku bilang. Beberapa kali ia mencoba mendepakku, namun May selalu berhasil menemukan cara untuk mengambilku kembali.

Jam digital di ruang tengah menunjukkan pukul 06.30. Dengan penuh minat aku memandang persiapan gegabah May, berlari ke kamar mandi dengan rambut penuh roll-sementara tangannya sempat memanggang roti dalam toaster-keluar lima menit kemudian-memilih baju seadanya (yang lebih mirip persiapan ke pemakaman : hitam-hitam head-to-toe)-mengambil kunci mobil, dan… hap! Dia meraihku! Maka meluncurlah aku ke dalam Samsonite kebanggannya, kembali bergaul dengan lipstick, compact powder Anna Sui, botol parfum Armani, dompet, dan entah apa lagi. Umm, May memang bukan tipe wanita yang cukup rapi. Kadang aku berpikir, barangkali alasan utamanya selalu menahanku adalah karena ia nyaris tak punya waktu untuk membuangku. Tapi tunggu! May bahkan selalu membelaku jika ia tengah beradu argument dengan Auli, kok…


*** 


Uhh, dari kesekian aktivitas May, hal ini adalah yang paling menggangguku. Bertemu dengan sekumpulan wanita yang sibuk namun efisien, berkelas namun tajam. Terkadang sekali-dua kali May perlu bertemu dengan orang-orang seperti ini untuk mendiskusikan masalah pekerjaan.

Brukkk. Bruk. Tak. Bluk. Pluk.

May memang ceroboh, kan… baru saja dia meletakkan pantat di atas leather case sofa sebuah coffee corner, tangannya yang hendak meraih cangkir latte tak sengaja menjatuhkan Samsonite-nya. Praktis, semua benda didalamnya berhamburan keluar, berjajaran di atas parket kayu. Duhduh… semua benda yang (untungnya) cukup elite untuk dilirik teman-teman ngopi-nya yang kadang-kadang bisa begitu culas.

Muka May sudah memerah menahan malu, apalagi kejadian barusan cukup mengalahkan alunan jazz dan mengundang perhatian pengunjung lain. Beberapa tangan mulai membantu memungut kami,

“Aduh, kamu ini May… hati-hati dong…”

“Aduhh… sorry ya. Koordinasi tubuhku memang nggak oke… tau lah kalian…”

“May, May… ehh—kok kamu bawa-bawa beginian, sih?! Buat apa?? Ya ampun May…”

Great. ‘Beginian’ yang dimaksud si wanita culas barusan adalah aku. Aku, si tas plastik. Yang dilipat rapi oleh May dan terselip dalam Samsonite-nya yang mahal. Aku, yang hanya sekedar ‘it thing’.






“Mayyyy, hari gini masih aja bawa-bawa benda kayak gini. Udah era go green begini?!” suara lain, wanita culas yang lain (oke, lebih baik kita menyebutnya wanita culas 2 atau WC 2).

“Sekarang era say no to plastic bag, kali May.” Sambung wanita culas pertama.

Duh, mulai lagi deh… aku nyaris mendengar gumaman May yang sebenarnya letih dengan semua keceriwisan wanita-wanita itu.

“Ehm—

“Setidaknya aku bawa plastik sendiri, toh ini juga bekas aku pakai, kan?—well, sebagian besar plastik ku sudah aku donasikan ke bank sampah kok, tenang saja—aku belum punya waktu, dan aku merasa lebih praktis dengan bawa-bawa beginian, siapa tau perlu… “ Kebiasaan May yang turun dari ibunya. Ibu May rajin membawa tas plastik bekas belanja kemana-mana kala beliau bepergian. Jauh sebelum isu pemanasan global berkembang. Setidaknya, beliau tak membuang sampah sekecil apapun sembarangan dan membuat pencemaran publik. Dan… salahkah itu?

“Iya. Oke, itu memang jauh lebih baik daripada kamu pakai tas plastik sekali pakai, sih. Tapi, banyak cara lain dong May… ada kontainer-kontainer plastik yang bisa kamu bawa—

Koreksi, itu bakal lebih repot, jika kita membawa kontainer plastik macam Tupp*** itu kemana-mana. Untung dong yang pada bawa mobil. Bisa diletakkan di bagian belakang mobil mereka. Lha yang pada jalan kaki? Yang naik motor? Yang naik angkutan? Mungkin, kalau tujuannya memang jelas mencari sesuatu seperti ikan, daging, sayur, yang barangkali bisa langsung dimasukkan kontainer. Kalau transaksi itu spontan?

“—atau banyak kan May, tas-tas non-plastik yang cute dan elegan biar bisa dibawa hang out

Excuse me, anda mau menyelamatkan bumi atau mau show off, sih?? Ini bukan acara runway catwalk, deh…

“…duh, jadi heran, kamu ini, sebenarnya mau menyelamatkan bumi atau ngirit, sih? Aliran eco-friendly mu ini jadi lebih mirip excuse buat pakai barang-barang nggak penting, nggak elit…”

Deg. Telak. Whoaaa… wanita culas sebelumnya—si WC1 ini—benar-benar cari perkara! Aku melirik May. Aku tahu, ia paling tak suka ketika idealismenya dibentur-benturkan secara kurang cerdas dalam debat kusir macam ini.

Cukup cepat, May berdiri sambil menyambar Samsonite-nya. Bak sinetron FTV, deh. Tak lupa ia menambahkan,

I tell you, ya… para wanita hi-class… Kayaknya aku nggak pernah deh, maksa-maksa kalian buat ikut cara eco-friendly ku. Kalian, juga baru sadar tentang eco-friendly setelah ada gembar-gembor media, kan? Sebelumnya, aku yakin kalian lebih peduli kok—jauh lebih peduli, sama perawatan kulit kayak apa yang cocok buat aktivitas outdoor, . Dan, kalau kalian mempertanyakan apa yang aku lakukan ini kurang hi-class buat jadi gaya hidup dan murahan… aku heran kenapa kalian masih numpang hidup di atas planet ini, menggunakan semua sumber daya yang ada dengan seenaknya tanpa tau apa fungsi re-use!”

Yes. May meninggalkan kedua wanita (yang ngakunya) hi-class itu dengan cukup kesal sampai-sampai nyaris menabrak waiter yang mambawa senampan pesanan, menyisakan duo yang malu gara-gara jadi bahan tontonan.

Aku tahu, bukan kali ini saja May kena sentil gara-gara keberadaanku yang setia di sampingnya. Aku sedih. Sedih karena orang-orang yang memiliki kepedulian pada tempat yang dipijaknya seperti May, yang mungkin memiliki cara paling aneh dan berbeda, justru dihujat dan tidak disikapi secara cerdas.

Tak bisakah mereka berpikir, bahkan kampanye green-living telah menjadi gaya hidup yang salah kaprah, yang terkadang diartikan dengan menyingkirkan semua yang dianggap sebagai musuh alam (terutama aku) dan menggantinya dengan barang-barang baru yang tampak lebih oke, lebih berkelas, lebih eye-catching. Mereka lupa, lupa pada satu inti dari green-living itu sendiri : re-use. Atau lebih tepatnya, mencoba menjadi re-use innovator.

May masih sedikit merah padam, ditemani satu corn es krim choco-chips. Tinggal duapuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir. Meskipun tahu hal tadi adalah satu bentuk pro-kontra yang akan selalu ada, wanita ini hanya kesal dengan teman-temannya yang bodoh. Yang merasa telah ikut berkontribusi pada bumi pertiwi, namun tak cukup paham mengenai hal kecil yang ia lakukan. Sabar ya May, mereka memang bodoh… mereka, manusia pragmatis. Terimakasih, untuk mengambil titik tengah terhadapku.

Aku hanya bisa terdiam lemah di dalam kegelapan Samsonite.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar