Kamis, 21 April 2011

Dear Kartini




Dear Kartini,

Umm… badan saya sedang kurang fit, ditandai dengan panas-dingin dan keinginan untuk terus bergelung di dalam kamar. Tapi yah, sayang rasanya melewatkan hari ini.

Dear Kartini,

Menilik perjuangan berpuluh-beratus tahunmu lalu, ada satu pertanyaan yang mungkin sedikit mengganjal. Apakah perjuanganmu waktu itu, termasuk dalam memerangi pemikiran bahwa cantik adalah ultimate ticket untuk kebahagiaan?

Nah, kebahagiaan yang mana, nih? Kebahagiaan hakiki atau sekedar abal-abal? 

Dear Kartini,

Semua wanita, di belahan dunia manapun pasti sangat memahami itu semua. Semua wanita, menginginkan pengakuan bahwa ia cantik. 

Cantik.

Di mata siapa kah? Wanita-wanita lain? Di mata kaum adam yang populasinya satu berbanding sejuta? Di mata suaminya? Atau sekedar kepuasan pribadi untuk merasa cantik—bagi dirinya sendiri? Cantik, kata yang relatif.

Dear Kartini,

Mungkin, secara tidak sadar, ada satu bentuk penjajahan mental yang tak jelas juntrungannya. Wanita, bisa jadi selalu (merasa) terjajah, selalu (merasa) terancam (dalam kadar berbeda-beda, tentu), ketika ada 'seseorang' menunjukkan, mengatakan, membisikkan, bahkan sekedar bercanda bahwa “Hei, wanita itu cantik, ya!” atau “Wanita itu seksi”. Dan akan lebih parah ketika warning berikutnya muncul, “Coba dong, kamu kayak dia… Seksi, cantik, rambutnya panjang, kulitnya putih…” Wahh rebek dehh...

Dan berperanglah para wanita masa kini, tidak lagi melawan kolonial, deskriminasi pendidikan dan kesetaraan. Namun melawan tumpukan lemak, ukuran baju yang membesar, dan muka yang tak sehalus sutra. Tidak dengan bambu runcing dan mesiu, namun dengan diet pack, krim muka sejuta, perawatan abrakadabra, jarum bedah, silikon, dan teman-temannya  :)

Dear Kartini,

Apakah itu menandakan emansipasi atau de-emansipasi?

Dear Kartini,

Mungkin mereka-mereka yang berkata seperti itu tak pernah tahu dampaknya dalam diri si wanita. Betapa mereka bisa menjadi begitu insecure, menjadi tersisih dan tidak terlalu diinginkan jika tidak menjadi seperti itu, dan bisa menjadi begitu terobsesi untuk menjadi sempurna. Yah, mau bagaimana lagi? Perasaan wanita memang serapuh kaca. Tampak dingin, keras, dan tajam, namun rapuh.

Sedikit menyedihkan ya, ketika (dikiranya) cinta yang didapatkan adalah benar-benar ala Bruno Mars yang so just the way you are, tapi ternyata ada syarat dan ketentuan berlaku, mirip iklan provider. Tak ada bedanya antara cinta dan bonus SMS gratis.

Dear Kartini,

Ini semua wajar, bukan? Jika semua itu dilandaskan untuk sesuatu yang lebih baik—agar si wanita lebih cantik, lebih menarik… toh, membahagiakan suami adalah pahala :) Perlu digarisbawahi, mungkin?! Yang patut dibahagiakan adalah suami. Bukan pacar, calon pacar, gebetan, bahkan calon gebetan. 

Dear Kartini,

Kita memang harus menjaga 'penampilan' kita, kan? Tapi bukan untuk siapa-siapa, hanya untuk kebaikan diri kita. Titik. Ini bukan masalah menaikkan harga setinggi langit atau mengobralnya hingga ke tumpukan terbawah. Tidak. Ini hanyalah belajar bagaimana kita memandang diri kita lebih dari semua balutan atifisial. Menaikkan dagu, dan harus meyakini bahwa kita berharga. Bahwa cantik memang menyakitkan adalah sah jika demi kebaikan kita sendiri, bukan sekedar menjawab persyaratan cinta. 



*tribute to my sist : congrats for your wed, I’m so happy for you. Obsesi dietmu yang bodoh gara-gara menuruti mantan pacarmu yang angin-anginan itu sudah berlalu. Good for you, sukses mendepaknya demi harga diri. Dan mendapatkan ganti yang lebih lebih lebih baik,  dengan berkata, big is another beauty :) Saya tak ingin menjadi feminis dengan kobaran semangat mengenai kesetaraan. Hanya saja, terkadang saya bahkan lupa untuk siapa saya hidup di dunia ini. Bahwa nyawa saya disini hanya titipan saja dan tidak semestinya digadaikan oleh kekecewaan berlebih untuk gagal menjadi 'sempurna'.


Dan juga, untuk semua wanita yang menjadi korban produk kecantikan, korban iklan, dan korban rayuan gombal. Kita (pasti) masih punya hati yang besar untuk berjalan tegak. 



2 komentar: