Sabtu, 09 April 2011

Andai Hari itu Tak Pernah Ada


“Sayang, lusa aku ada jadwal ke Manado… “
Nira langsung mengerutkan dahi, tak lupa dikerucutkan mulutnya, sehingga membentuk ekspresi kesal dengan sempurna. Rendra mencubit gemas pipi Nira. Diperlakukan begitu, Nira menjadi semakin kesal. Rendrapun tak kuasa menahan diri untuk menggoda tunangannya itu.
“Ayolah, Ra. Cuma sampai Sabtu… setelah itu, kita langsung fitting, deh! I promise. Okay?”
Nira tak betah bermanyun-manyun di hadapan Rendra. Pada detik ke lima, senyum kembali terkembang di wajah Nira, memunculkan sepasang lesung pipi.
“Pokoknya kamu janji, ya! Ibu udah tiga kali re-schedule sama bridal, gara-gara kamu sibuk terbang kesana-kemari. Kan nggak enak Ren…”
“Iya, Tuan Putri. Aku janji, kali ini pasti jadi. Kalau aku sampai bohong, aku akan…”
Rendra sengaja menggantung kata-katanya, membuat Nira penasaran.
“Akan apa?” kejar Nira.
Rendra mengangkat bahu.
”Ngg… adaaa dehh… nanti kamu juga tau…”

***

Nira memandangi gerimis yang menghiasi alam di luar jendela lobi hotel. Pandangannya menerawang jauh. Cangkir kopi di hadapannya baru setengah habis. Malam itu, suasana di hotel kecil tersebut memang tampak lebih lengang dibandingkan tiga minggu sebelumnya. Di sudut ruang tampak sejumlah orang sedang terlibat pembicaraan serius. Berbagai logat dan aksen berbaur satu pembicaraan. Beberapa orang tengah menekuni tayangan berita di TV hotel yang terletak tepat di tengah bagian lobi. Nira memang memilih untuk menyendiri. Ia takut luka hatinya akan semakin menganga bila memaksa diri untuk terlibat percakapan lebih jauh.
“Makan dulu, Nduk…”
Naning, calon mertuanya, meletakkan semangkuk bubur Manado di hadapan Nira. Bubur itu masih hangat, tampak dari kabut tipis nan harum di atasnya.
Nira hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Saya belum lapar, Bunda…”
Bunda. Begitu Nira menyebut Naning.
Naning menghela napas pelan. Ia memahami perasaan calon menantunya itu, bahkan lebih pedih. Peristiwa naas yang menimpa putra sulung kebanggaannya telah cukup membuat malam-malamnya selalu terjaga.
“Nduk…Bunda tahu, kamu sangat terpukul. Meski bagaimanapun, Rendra adalah anak Bunda. Jadi, apa yang kamu rasakan, Bundapun merasakan hal yang sama. Tapi Bunda yakin, dimanapun Rendra sekarang, dia pasti tak ingin melihatmu seperti ini…”
Nira terdiam mendengar perkataan Naning. Perlahan, tangannya meraih mangkuk bubur. Naning tersenyum di ujung bibir.
“Dulu, waktu Rendra masih kecil, dia bandel sekali… “, pandangan Naning menerawang jauh ke luar—menembus serabut gelap karena hujan, “… hobinya manjat pohon manggan di belakang rumah, padahal pohon itu begitu tinggi. Suatu hari hujan lebat, Rendra nekad manjat lagi. Mau ambil mangga yang matang katanya. Setengah mati Bunda berusaha melarang. Dasar anak bandel…akibatnya—“
“Rendra kenapa, Bun?” tak tahan Nira untuk bertanya.
“Jatuh. Untung saja tak ada yang patah. Hanya bonyok disana-sini. Aduh anak itu… selalu suka membuat orangtuanya khawatir…”
Nira tersenyum simpul. Ia bisa membayangkan Rendra yang keras kepala itu ngotot memanjat pohon selagi hujan.
“Nduk, apakah Rendra pernah bercerita, kenapa ia ingin menjadi pilot?” mendadak Naning bertanya.
Yang ditanya hanya bisa menggeleng. Dalam hatinya terbesit sedikit malu. Selama hampir sepuluh tahun mengenal Rendra, tak pernah sekalipun ia menanyakan hal-hal semacam itu. Yang ia tahu, tunangannya itu begitu menikmati profesinya sebagai seorang pilot.
“…karena aku bisa melihat matahari dari atas sana…”
Itulah kalimat yang sering diucapkan Rendra. Dan memang itulah batasan yang Nira ketahui. Rendra mencintai profesinya yang ditekuninya dengan sepenuh hati itu.
Mata Naning semakin menerawang, berusaha membuka kembali lembaran lalu.
“…ayah Rendra adalah seorang pilot. Beliau memiliki impian, kelak ia ingin mengajak Bunda melihat indahnya matahari terbenam dari atas  sana. Sayang, beliau terlebih dahulu tiada sebelum sempat mewujudkan impiannya.
“Rendra, ia ingin sekali mewujudkan mimpi ayahnya yang tertunda. Namun, setelah ia bertemu kamu, Rendra berkata pada Bunda kalau selain Bunda, ia begitu ingin memperlihatkan matahari itu padamu suatu saat kelak…
“…karena baginya, kamu adalah mataharinya…”
Setitik air mata mengalir dan jatuh membasahi celana Nira. Ia memeluk wanita yang begitu dihormatinya selain orangtuanya itu.
“Besok, kita akan mencari Rendra lagi, Bunda.”

***
 
Nira menyeka bulir keringat di keningnya dengan punggung tangan. Entah kenapa, mendadak cuaca siang itu begitu terik. Serombongan orang memilih duduk sebentar untuk beristirahat. Nira menghela napas. Sejauh ini pencarian pesawat milik maskapai penerbangan asing yang hilang di lepas pantai itu masih belum menampakkan hasil memuaskan. Berbagai bentuk bantuan yang dikerahkanpun juga tak membawa perubahan berarti, seiring menipisnya keyakinan keluarga korban. Melawan alam, secanggih apapun teknologi yang digunakan, tak akan pernah berakhir sempurna tanpa ijin alam itu sendiri.
“Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah menunggu. Tak ada hal lain yang dapat kita perbuat. Ini memang musibah. Tapi saya yakin, ini murni human error… kesalahan pilot, padahal sudah ada peringatan dari pusat— “ terdengar seseorang berkata.
“Katanya ia minum alkohol dulu sebelum berangkat—“ celetukan lain menyahut.
Rahang Nira menegang seketika, demi mendengar percakapan yang memojokkan itu.
Tidak. Tak mungkin seperti ini. Ia mengenal Rendra. Cukup mengenal Rendra. Pria itu begitu berhati-hati dan berusaha sebaik mungkin memberi kenyamanan terbaik bagi setiap penumpang. Tak pernah sekalipun ia mengeluhkan profesinya itu. Ia punya kapasitas tersendiri sebagai seorang pilot komersil. Tak mungkin ia mengabaikan peringatan dari pangkalan bila memang seharusnya seperti itu. Tak mungkin ia melakukan hal bodoh seperti mengkonsumsi alkohol sebelum keberangkatan… memangnya calon suaminya supir bis antar-kota yang ugal-ugalan di jalanan?! Tidak. Tidak seperti itu. Tapi… bukankah harusnya Rendra tetap berada disini, disampingnya—dalam beberapa minggu ke depan mendampinginya sebagai suami? Seharusnya seperti itu?
Nira mendadak pening. Ia memutuskan untuk pulang karena merasa akan semakin sedih  bila tetap bertahan.
Memojok di bibir tampat tidur sederhana, Nira menekan tombol PLAY,

All my bags are packed, I’m ready to go
I’m standing here outside yor door
I hate to wake you up to say good bye…

Ingatan Nira melayang di suatu malam, saat hujan mengguyur bumi, persis sekarang. Waktu itu mendadak Rendra datang, padahal esok subuh ia ada jadwal terbang. Tepat Sembilan jam sebelum pesawat yang dipiloti tunangannya itu diperkirakan hilang. Malam itu, Rendra memberikan sekeping CD dengan hanya sebuah lagu pada Nira. Sebuah, namun bermakna dalam. Sebagai satu-satunya kenangan yang paling akhir.
Entah firasat, entah kebetulan. Mungkin Rendra tahu apa yang hendak menimpanya. Nira menelungkupkan kepala dalam-dalam. Samar, ia mendengar potongan percakapan dalam bahasa jawa yang kental dari balik pintu kamar.
“Pesawate pance wis ilang, Bune… Awake dhewe iki uga wis tuwa, kere… Sing duwe pesawat uga ora isa apa-apa. Saiki, becikke awake dhewe nggenahi gawanan. Sesuk bali nang Jogja…
“Pakne— anake dhewe…”
“Ora ana sing isa di karepke adhewe ing kene…”

‘cos I’m leaving on a jet plane
Don’t know when I’ll be back again

‘Rendra, kamu dimana…?’

***

Bukan Jakarta namanya bila macet menghilang. Setengah terkatup, mata Nira nanar menatap jalan ibukota. Baru jam enam pagi, namun libasan kendaraan ada dimana-mana. Pekat asap, dan harapan menjadi kaya. Hari ini adalah hari kesekian setelah Nira dipaksa pulang oleh Naning, kembali ke rutinitasnya semula. Keputusan yang sia-sia. Karena Nira tak bisa berkonsentrasi sedikitpun pada pekerjaannya. Ia lebih mirip zombie penunggu kantor. Lusuh, kusut, gelap, dan tak peduli. Semua orang lebih milih menghindar dan menyapa seperlunya, sementara Nira lebih larut dalam aktivitas browsing perkembangan berita hilangnya pesawat, menelepon sana-sini, dan mengetik e-mail ke kontak-kontak di Manado. Headline media cetak elektronik langganan Nira baru terbuka sebagian, ketika teleponnya berbunyi.
“Halo­—“
Nduk, Bunda rasa… lebih baik kita berhenti berharap…”
 
*** 

Berminggu-minggu yang kosong. Berbulan-bulan yang seakan tak ada juntrungannya. Perlu lebih dari sekedar ketabahan untuk membuat Nira kembali hidup. Berbagai pesta, berbagai acara hang out, berbagai hadiah kecil. Tak juga menampakkan hasil. Nira masih berada dalam area abu-abu. Tak terlalu tampak sedih, tapi enggan menyapa sekitarnya. Mati suri, atau koma. Mungkin itu istilah terbaik untuk menggambarkan kehidupan Nira pasca-keputusan frontal yang diambil Naning.
“Lebih baik, kamu mencari pasangan lain, Nak.”
Tentu, tak semudah itu. Ketika kita begitu menyayangi seseorang yang menjadi bagian hari-hari kita, hal itu sama jahatnya dengan memaksa kita membunuh orang yang sangat kita cintai. Dan tanpa alasan yang tampak secara fisik, harus merelakan orang itu. Dan meskipun ada bayangan lain yang kelak menutupi tempat seseorang itu, tetap saja masih ada secelah kecil yang tak mungkin bisa hilang…

*** 

“Bu, jangan tebel-tebel ya. Saya nggak mau mirip lenong…”
“Iya, Mbak. Tenang aja. Sri, tolong ambilkan roncean melati-nya. Nggak—bukan disitu. Di bagian dalam tas itu—“
“Bu, among tamu-nya sudah beres. Tinggal pager ayu-nya saja.”
“Bunda, kok di pojokan aja, sih? Duduk sini aja…temenin Nira.”
Naning sedikit tersentak, penuh haru ia menatap calon menantunya. Lalu beringsut mendekat.
“Ibu mana, Bun?”
“Ibumu di luar sana, sedang sibuk menemui beberapa tamu yang sudah datang…”
“Oh…”
Kowe ayu, Nduk. Manglingi—“
Nira tersenyum malu. Betapa ia begitu menghormati Naning. Atas semua ketabahan, ketegaran, dan kasih sayangnya pada Nira. Padahal ia bukan anak kandungnya.
Sesosok pria mengintip di balik daun pintu yang memang setengah terbuka,
“Lho, Mas. Kok ngintip-ngintip. Didandani-nya sudah ya?”
“Hehehe… iya nih, maaf. Saya tidak tahan melihat istri saya…”
“Ihh, kamu. Dasar.”
“Nah, sudah selesai, Mbak. Nih, Mas. Ayu ndak, istrinya?”
Pria itu sibuk mengamat-amati sosok Nira yang berbalut brokat kebaya marun dan talh menjelma menjadi sosok yang semakin dicintainya.
“Hmm… saya sudah mentok sama dia, Bu.”
Nira kian melesak malu. Dasar suaminya ini…
Naning tersenyum melihat ekspresi malu-malu. Ia menarik napas dalam-dalam, dan merogoh sesuatu dari dalam tas tangannya.
“Nduk, mungkin ini bukan waktu yang tepat—“
“Kenapa, Bunda?”
“Sebenarnya… sudah lama Rendra ingin memberikan ini…”
Nira tercekat. Wajahnya pias. Tampak begitu jelas, kalau Naning setengah mati menahan diri untuk tidak mengeluarkan air mata atau menjadi terlalu sentimental. Ia berusaha membuka kotak kecil beludru dengan agak gemetar,
“Nak Satya, tolong pakaikan ini pada Nira…” Naning memberikan suatu untaian pada suami Nira—Satya.
Satya memakaikan sebentuk kalung berliontin mungil berbentuk jalinan matahari dengan sangat hati-hati. Nira merasa ingin pingsang detik itu juga.
“Nak Satya, sebelumnya Tante minta maaf. Tak sepantasnya Tante memberikan ini di hari istimewa kalian—”
“Tak apa, Tante.” Satya langsung memotong.
Naning berusaha mengatur napasnya satu-satu. Ia berpaling pada Nira yang tampak benar-benar ingin menangis.
“Bunda juga ingin menyampaikan ini…” Naning tahu, ia merasa tak adil pada Nira. Nira telah berusaha sedemikian keras. Tapi ia juga tak mungkin mengabaikan pesan Rendra,
“Bunda, aku ingin Bunda yang memberikan ini pada Nira di hari pernikahan kami.”
“Lho, kenapa bukan kamu saja, Nak?”
“Karena aku mungkin tak bisa semantap itu memberikan ini, Bun…”
Secarik kertas, pandangan NIra berkelebat, meminta persetujuan Satya. Satya hanya mengangguk sekilas, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Masa lalu bukanlah sesuatu untuk dilupakan, tapi dijadikan pelajaran.
Sebentuk kalimat yang tergores rapi. Kutipan favorit mereka. Pesawat yang sama, seat yang bersebelahan, Nira yang ceroboh tak sengaja menumpahkan kopi ke setelan Armani Rendra.

In my dreams I’ll see you soar above the sky,
In my heart there will always be a place for you
I’ll keep a part of you with me
‘cos you showed me how it feels,
To have the sky with in my reach
And everywhere I’m
There you’ll be



Yogyakarta, 2006


2 komentar: