Aku berhenti di persimpangan untuk kesekian kali. Memandang langit, memandang hujan. Berbisik diantara kisikan tetes-tetes air yang bersimfoni secara teratur, bersamaan. Kapan ya, hujan ini akan berhenti membasahiku? Batinku. Tapi aku juga tak ingin berhenti atau berlari atau bersembunyi.
“Kenapa kamu menolak payung ini?”
Dari belakang Radit mengikuti, dengan teduhan payung, bajunya tentu masih kering daripada aku yang telah basah kuyup mirip habis tercebur sungai.
Aku tahu ia tahu bahwa pertanyaannya retorik saja. Aku mengulum senyum dan menengadah.
“Manusia… aneh, bukan? Mereka mandi dengan air, membasuh diri dengan air. Tapi ketika air datang keroyokan seperti hujan—mereka menghindar. Berteduh dan bersembunyi… tidakkah manusia menjadi manusia yang paling pengecut di muka bumi ini?”
Tak ada komentar. Aku tahu. Raditku adalah pendengar yang baik. Bahkan ia bisa mendengarku dalam keheningan yang tercipta diantara malam dan nyanyian jangkrik. Apa yang lebih wanita perlukan daripada sepasang telinga yang baik dan mulut yang tidak menarik asumsi? Wanita—kami, tak memerlukan solusi paling tepat untuk semua masalah yang diributkan, meskipun omelan kami bisa sepanjang kereta eksekutif jurusan Surabaya-Jakarta. Rumit? Memang.
“…namun ketakutan adalah motivasi terbesar manusia untuk maju, kan?”
“Tepat.”
Nah, kali ini Radit menyahut sepatah. Ia masih betah bertahan dalam payungnya. Masuk akal, karena ia sedang sedikit flu. Mungkin, aku akan memasakkan semangkuk hangat sup krim jagung favoritnya begitu sampai di rumah nanti. Hmm… pasti nikmat di hujan yang lebat.
“Bisakah aku menginterupsi pemujaanmu terhadap alam?”
“Tentu.”
“Tentang keputusanmu bila menjadi ikan—ikan seperti apa yang akan kamu pilih untuk menjadi?”
Aku pura-pura berpikir keras, padahal bahkan Radit pasti akan tahu jawabannya.
“Aku—aku suka menjadi mujair, menjadi lele, menjadi sepat, menjadi nila, menjadi koi…aku ingin menjadi ikan, yang berkembang di kolam yang kecil, ketimbang ikan yang berkeliaran di kolam yang besar.”
“Tidakkah itu sama saja dengan mengekang dirimu sendiri?”
“Tidak. Ketika aku adalah ikan di kolam kecil, aku akan tahu dimana menemukan plankton terbaik, arus-arus mana yang efektif, bergerombol dengan tepat, dan jam-jam dimana aku dapat muncul dengan aman. Aku akan menghargai dan begitu mencintai kolam itu. Menjadikannya bagian terdekat… dan ketika aku di kolam besar,”
“Ya?”
“Aku hanya akan ribut beradaptasi, bersaing dengan ikan lain, merasa tertekan dengan arus yang tak terkendali, dengan ikan-ikan yang sibuk berkoloni. Tidak lagi peduli untuk menemukan lokasi plankton dan jam-jam bahaya, bahkan apakah kolam itu akan tergusur oleh pengembang atau tidak... karena terlalu sibuk berpikir apakah aku sudah cukup keren untuk bergabung dalam kolam besar yang dipahat sempurna ini. Aku tak ingin sibuk berkolektivis menjadi gurameh atau koi.
“Mungkin…setelah aku lelah di kolam yang kecil, dengan pemahaman dan pengalaman yang cukup, baru aku akan melompat ke kolam yang besar. Plung! Proses itu… tak semudah membalikkan telapak tangan, eh?”
Radit tersenyum simpul. Dan kenapa, sih? Ia selalu membuat gurat seperti di pipinya?
“Yuk, pulang. Aku ingin sup krim jagung yang hangat.” Kali ini, aku langsung melompat di bawah payungnya.
mau dun sup jaguna :D
BalasHapus