Rabu, 27 April 2011

Kepuasan yang paling eksistensial




Kenapa saya cukup freak dengan buku? Entah.


Baru saja, saya mencapai kesepakatan dengan sebuah toko buku bekas online, tentang sebuah novel yang saya cari. The Namesake.

Menilik obsesi saya terhadap buku tersebut, pasti semua orang berpikir bahwa saya tahu ceritanya. Jawabannya : tidak. Saya hanya tahu tentang buku itu dari katalog Grame*ia beberapa tahun lalu. Saya tertarik, namun selalu lupa untuk menjadikannya prioritas dalam belanjaan saya berikutnya. Sampai akhirnya saya merasa benar-benar harus memilikinya, bertahun-tahun kemudian, dan ternyata pihak Grame*ia tidak menerbitkannya lagi :(  saya patah hati. Plus saya baru tahu novel itu meraih penghargaan Pulitzer Prize dan menjadi The New York Time Bestseller. Betapa kian mupeng saya :(

Jujur, saya bahkan tak hapal nama tokohnya, hanya hapal tokoh sentranya, Gogol. Dengan setting India-Amerika, dengan pergulatan masalah nama. Titik. Tapi saya merasa, saya akan amat sangat senang dan puas ketika saya berhasil memiliki bukunya. Memiliki. Bukan meminjamnya dari rental atau teman.
 

Kepuasan yang aneh? Biar.
  

Kepuasan sederhana saya itu--memiliki dan mengoleksi buku-buku yang mungkin tidak cerdas atau fantastis--sama halnya dengan seseorang yang berhasil mengutak-atik fitur yang ada dalam smartphone-nya hingga mengabaikan ujian, sama halnya dengan seseorang yang membuang-buang uang dan bahan demi eksperimen memasak kue yang gagal terus menerus, sama halnya dengan orang yang memilih merakit sepeda tanpa rem dengan warna-warni bak pelangi…

welcoming the next lovely book in my cabinet ...
  




Setiap orang memiliki titik dan bentuk kepuasan terhadap berbagai hal masing-masing, kan? Meskipun orang lain menganggap kepuasan kita sangat tidak jelas eksistensinya, toh kita puas.

Kepuasan saya mengoleksi buku, sama halnya dengan kepuasan saya dalam menulis. Saya suka menulis. Bukan buat pamer, karena tulisan saya juga sangat abal-abal dan tidak sekeren Fira Basuki atau Dee atau Pramoedya, kok. Saya suka menulis, karena saya menemukan diri saya yang paling jujur disini. Saya suka menulis, karena setelah semua hal yang tidak bisa saya lakukan, tidak bisa saya kendalikan, tidak mampu saya dapatkan, saya bisa tahu dengan pasti bahwa huruf demi huruf akan menjelma menjadi paragraph, dan paragraph akan berubah menjadi beberapa larik alinea. Dan kalau beruntung, ada yang membaca tulisan saya yang tak bermutu ini, memberikan feedback pada saya kelak, dan saya terharu, ada yang sudi membaca tulisan saya. Hehehe. Padahal bahkan mungkin mereka tak benar-benar mengenal saya :)

Saya bisa tahu dengan pasti, apapun mood saya di suatu hari, saya akan lega setelah menuliskannya. So, ini bukan masalah berapa banyak saya menulis, topik apa yang saya kemukakan, berapa komentar yang saya harapkan, atau apapun. Saya hanya ingin menulis karena saya merasa menemukan ruang autis pribadi saya. Itu saja.


Seperti penggalan dialog dalam film Julie & Julia,


“You know why I love about cooking?”

“What’s that?”

“I love then after the day when nothing is sure, and when I say nothing--i mean nothing--you can come home, and absolutely know there if you add egg yolks to chocolate, and sugar, and milk… It would get thick. It such a comfort.”


            Karena menulis itu, adalah mood kita yang sangat personal :)

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar