Selasa, 05 April 2011

Angkringan : Implementasi Paguyuban Penggerak Rakyat


Tidak ada manusia yang dapat hidup seorang diri; setiap manusia memiliki insting alami untuk berafiliasi dengan orang lain[1]. Hal itulah yang mendasari terjadinya berbagai interaksi; baik dari yang sifatnya mikro seperti keluarga hingga tingat yang lebih tinggi (makro) seperti negara. Salah satu bentuk afiliasi individu adalah interaksi. Kecenderungan manusia untuk berinteraksi, berkomunikasi, serta berbagi ide kepada orang lain dapat dijadikan senjata ampuh untuk mendesain suatu pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan disini tidak melulu harus bertaraf nasional. Pembangunan dapat dimulai dari lingkup sekitar kita; lokal. Karakteristik masyarakat sebagai local wisdom dapat menjadi titik tolak dalam memajukan pembangunan.

Guyub[2] adalah salah satu bentuk local wisdom dan menjadi ciri khas kota kita tercinta, Yogyakarta. Implementasi guyub tercermin dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh konkrit, terkait dengan peristiwa gempa bumi besar yang sempat memporak-porandakan kota Yogyakarta empat tahun lalu. Bencana tersebut merenggut kehidupan di kota ini. Yogyakarta sempat mati suri selama seminggu pertama; khususnya di daerah-daerah dengan kerusakan dan kehilangan yang begitu parah seperti Bantul. Dampak gempa tersebut pun berimbas pada berbagai sektor pembangunan. Meski demikian, tahap recovery pasca-bencana Bantul relatif lebih cepat daripada Aceh pasca-tsunami. Dalam hitungan bulan, Bantul kembali tumbuh menjadi wilayah maju dan strategis untuk sektor pembangunan. Bantul bahkan memiliki terminal antar-kota antar-provinsi kebanggaan kita semua : Terminal Giwangan yang megah.

Ada sebuah pepatah yang begitu populer pada masyarakat Jawa, mangan ora mangan sing penting ngumpul. Pepatah tersebut berkembang menjadi esensi yang lebih luas. Karakteristik masyarakat Jawa yang cenderung nrima, ulet, gigih, serta memiliki keterikatan dengan sanak saudara maupun kerabat menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan yang mendorong korban bencana untuk bangkit dan terus berjuang demi penghidupan yang lebih layak, serta tidak hanya mengandalkan uluran tangan semu semata[3].

Karakteristik budaya guyub serta kecenderungan alami manusia untuk berafiliasi—tanpa disadari manifestasi kedua hal tersebut terangkum dalam angkringan sebagai media pendukung kampanye pembangunan berkelanjutan. Kenapa angkringan? Ada beberapa hal esensial yang menjadikan angkringan sebagai basis pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terangkum dalam aspek politik, psikologis, ekonomis, serta sosial melalui tinjauan dasar terminologi.

Angkringan, sebuah ciri khas yang sangat ‘Yogya’ merupakan sebuah istilah serapan bahasa Sansekerta dalam bahasa Jawa, berasal dari kata nangkring yang berarti duduk. Kata nangkring tersebut mendapat akhiran –an; menjadi sebuah kata benda, nangkringan yang berarti tempat nangkring (duduk). Kemudian kata nangkringan dilesapkan menjadi angkringan sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai tempat duduk-duduk nangkring sembari meminum secangkir kopi.

Setiap orang yang mengaku sebagai orang Jogja tulen pasti pernah menginjakkan kaki di sebuah ‘warung’ berupa gerobak beratapkan terpal—yang lumrah dikenal sebagai angkringan. Berpikir tentang angkringan, pikiran kita akan terbawa kepada ragam penganan yang cukup untuk mengganjal perut kala kita kelaparan namun uang di dompet tinggal 3 lembar bergambar wajah gagah Kapitan Pattimura; disajikan dengan ‘kehangatan’ cahaya remang-remang lampu teplok yang memantulkan siluet malam Yogyakarta yang dingin. Sebut saja sejumlah menu utama : nasi kucing (bebas pilih hendak nasi kucing dengan oseng-oseng tempe atau nasi kucing dengan sambal teri—semuanya sama-sama enak), sate usus, aneka gorengan dan baceman, serta wedang jahe. Di kota ini, angkringan merupakan salah satu pelengkap kehidupan malam selain maraknya ‘hiburan’ sekelas nonton midnite di XXI, dugem di Hugo’s, maupun arena futsal. Angkringan menjadi sisi bersahaja kota Jogja, sebuah sisi yang mengingatkan kita pada sebentuk local wisdom yang sebenarnya masih ada dan tetap bertahan sebagai pemelihara homeostatis kota.

Terkait dengan alasan seseorang berafiliasi, angkringan bisa menjadi basis komunikasi efektif dalam peningkatan daya juang masyarakat Yogyakarta. Masyarakat kita sangat menghargai paguyuban—suasana yang guyub, sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas. Dalam suasana guyub dan cenderung informal tersebut, sosialisasi informasi mengenai kebijakan daerah tentu lebih mudah tersampaikan daripada melalui forum formal di balai desa. Angkringan memungkinkan terjadinya komunikasi kelompok secara alami; dimana didalamnya terdapat distribusi informasi maupun ide-ide yang terkadang justru kurang tercover dalam forum formal akibat minimnya kesadaran berpendapat dan tingginya bias konformitas. Esensi dalam sebuah pembangunan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Data statistik menunjukkan bahwa golongan menengah ke bawah merupakan komposisi utama bangsa kita—dengan kata lain, suara rakyat menengah ke bawah-lah yang seharusnya menempati posisi utama dalam pengambilan keputusan. Namun praktik di lapangan tidak demikian. Ada berbagai hal yang menyebabkan suara mereka lebur dan kurang terdengar. Pemberdayaan angkringan dapat menjadi titik awal bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam komunitas. Atmosfir dalam  angkringan yang cukup kondusif memungkinkan seseorang mengungkapkan pikiran secara terbuka, apa adanya, ceplas-ceplos, dan tanpa disadari—kritis. Angkringan juga dapat berkembang menjadi komoditi masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tempat makan di kota Yogyakarta yang mengedepankan konsep angkringan secara bersahaja. Sebut saja sebuah tempat makan berkonsep angkringan yang relatif baru di bilangan Timoho, ataupun warung kopi utara Stasiun Tugu yang begitu terkenal sehingga mampu menembus program kuliner di salah satu stasiun TV swasta.. Meskipun terkesan sederhana dan minimalis (baca : khas ndesa), pada kenyataannya tempat tersebut mampu menarik kaum muda yang notabene cukup selektif dan penuh gengsi. Tidak hanya kaum muda, kini  para eksekutifpun lebih suka menjamu para kolega bisnisnya dengan jamuan yang sederhana dan khas.

Indigeneous. Asli. Kekhasan dan keunikan tiap budaya itulah yang dihargai dan tengah dicari. Hal yang begitu disayangkan karena justru orang-orang ‘non pribumi’ yang melihat peluang bisnis tersebut. Sementara yang asli ‘produk’ pribumi justru merambah franchise-franchise yang sangat bukan ‘Yogyakarta’ seperti bakso keju atau pisang bakar beraroma. Kedua contoh tersebut berangkat dari ide yang sangat sederhana. Sama sederhananya seperti angkringan. Lantas kenapa kita tidak mencoba mem-franchise-kan angkringan? Padahal budaya guyub yang terimplementasikan dalam angkringan memiliki nilai yang begitu dihargai di luar sana. Dengan sedikit keuletan yang menjadi ciri khas masyarakat kita, sentuhan bisnis, serta  manajemen yang rapi maka angkringan dapat membantu rakyat kecil untuk maju. Selama ini angkringan hanya berkembang sebagai sebuah fungsi side-job; setelah sibuk bekerja di siang hari mencangkuli sawah ataupun berdagang di pasar maka angkringan menjadi kesibukan pengisi waktu luang di malam hari. Sangat disayangkan melihat potensi tersebut hanya berakhir sebagai sarana pelepas lelah semata, sekedar pelengkap.

Seiring waktu orang-orang menemukan titik jenuh dengan rutinitas yang kian padat dan penuh tekanan, seiring itu pula fenomena Starbucks atau Coffee Bean juga dapat memudar. Bangsa kita sedang mengalami krisis originalitas sebagai orang Jawa; kenyataan itulah yang terjadi ketika banyak orang keluar masuk Starbucks demi segelas kopi yang harganya mungkin melebihi pendapatan seorang tukang becak dalam sehari. Kita bisa memuja merk tertentu yang sebenarnya mungkin kurang sesuai dengan origin kita sebagai orang timur, namun kenapa kita tak bisa berbangga hati ketika membeli sebungkus nasi kucing plus sambal teri? Apa yang kita penuhi bukan lagi kebutuhan dasar sebagaimana hirarki kebutuhan Maslow[4], melainkan langsung melompat pada need of esteem stage : kebutuhan akan reputasi, prestise, serta pengakuan dari orang lain.

Tanpa bermaksud menyinggung SARA, namun ada baiknya kita perlu memetik sedikit pelajaran dari orang Sunda atau orang Padang. Boleh jadi mereka juga menenteng gelas kopi Starbucks; namun mereka senantiasa membawa budaya ‘berwarung’ mereka dimanapun mereka berada. Sejauh mata memandang kita pasti akan menemukan warung-warung burjo (bubur kacang hijau) dengan spanduk bermerk sebuah brand makanan instan di depan lengkap dengan nama khas Sunda, di kota pelajar ini. Tak jauh berbeda dengan orang Padang yang menunjukkan eksistensi dimanapun mereka berada. Adalah hal yang mustahil bila kita berkata tak menemukan rumah makan padang disini. Namun pernahkah kita melihat ada orang Jawa membawa-bawa ‘semangat’ angkringan kemanapun ia pergi? Sepertinya tidak. Atau setidaknya sangat jarang kita temui.

Masyarakat kita menghargai sosok pemimpin yang ngajeni—mengayomi, serta dekat dengan rakyat. Itu adalah salah satu alasan logis yang menyebabkan Sri Sultan Hamengkubuwono X selalu mendapat dukungan massa; beliau bahkan didaulat rakyat sebagai calon Presiden. Tidak perlu mengumbar janji laksana politisi di atas panji-panji kampanye. Bila memang pemerintah ingin memajukan daerah, maka hal tersebut bisa dimulai dari unsur mikro terlebih dahulu untuk mencapai yang makro. Terkadang pemerintah terfokus pada hal-hal makro yang sukar diraih dan justru mengabaikan hal-hal kecil yang sebenarnya berada dalam jangkauan. Pemerintah sibuk berpikir bagaimana membasmi tikus-tikus politik ataupun bagimana mengurangi hutang negara yang menumpuk (meskipun hasil riset mengatakan bahwa hutang Indonesia tidak akan lunas bahkan setelah tujuh turunan memiliki tujuh turunan lagi). Akibatnya, lingkup lebih kecil seperti daerah-daerah justru terabaikan.

Adalah sebuah langkah tepat untuk memberikan kebijakan otonomi di setiap daerah agar mereka dapat maju dan berkembang dengan kekuatan sendiri. Sudah bukan jamannya lagi menggantungkan diri pada pemerintah pusat karena tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah daerah jauh lebih memahami karakter serta potensi daerah masing-masing. Otonomi yang berkembang dewasa ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dalam berbagai bidang; seperti pendidikan, ekonomi, bahkan sosial.

Membudayakan dan memberdayakan angkringan adalah hal yang menarik untuk dikaji. Membudayakan angkringan—bagaimana kita membudayakan esensi paguyuban yang menjadi ciri khas masyarakat kota ini. Memperkenalkan Yogyakarta sebagai kota bersahaja dengan kekerabatan tinggi satu sama lain dan tak memandang bibit, bobot, dan bebet sebagai hal yang patut dihindari. Membudayakan angkringan adalah bagaimana kita mengembalikan citra Yogyakarta sebagai kota yang hangat, ramah, penuh senyum, serta membuat orang-orang ingin kembali menginjakkan kaki di kota ini lagi. Memberdayakan angkringan berarti membangun paguyuban yang dapat mendorong masyarakat sekitar untuk memaksimalkan potensi daerah dengan sumber daya yang ada.


[1] Menurut Hill (1987) ada beberapa alasan yang mendorong seseorang berafiliasi dengan orang lain; yaitu adanya kebutuhan akan stimulasi positif (need for positive stimulation), kebutuhan akan dukungan sosial (need for social suport), kebutuhan akan perhatian (need for attention), dan kebutuhan akan perbandingan sosial (need for social comparison).

[2] Kehidupan yang rukun, damai, tentram, nyaman, sentosa, serta saling tolong-menolong satu sama lain.
[3] Sunberg (2007) menyebutkan hasil studi psikologi komunitas yang memprediksi beberapa fase yang umumnya dialami korban bencana; yaitu :
1.       Fase Heroik (dimulai dari minggu pertama hingga minggu kedua pasca-bencana); dimana warga terlibat tindakan impresif untuk menyelamatkan nyawa orang lain serta meminimlaisasi rasa kehilangan.
2.       Fase Bulan Madu (dimulai dari minggu pertama/kedua hingga 3-6 bulan pasca-bencana); dimana dalam fase ini melibatkan atensi media, kunjungan polotisi, adanya perasaan senasib sepanggungan yang begitu besar, serta munculnya tindakan preventif terhadap bantuan semu.
3.       Fase Kekecewaan (lebih dari 6 bulan hingga 1 tahun kemudian pasca-bencana); dalam fase ini mulai muncul kegetiran, rasa marah, serta kebencian akibat adanya penundaan, kegagalan, serta kekecewaan terhadap bantuan resmi yang tak kunjung datang.
4.       Rekonstruksi; merupakan titik balik dari peristiwa yang dialami korban. Disini para korban berhenti menggantungkan harapan dan berniat melanjutkan hidup dengan kekuatan sendiri.
[4] Maslow’s Hierarchy; mengasumsikan kebutuhan manusia terbagi menjadi beberapa tingkat. Dimulai dari tingkat terendah yaitu kebutuhan psikologis; dilanjutkan kebutuhan akan rasa aman; kemudian kebutuhan untuk dicintai dan disayangi; kebutuhan akan penghargaan orang lain; serta tingkat tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk mencapai aktualisasi diri maka seseorang perlu memenuhi tingkat dasar terlebih dahulu.



*bekas coretan saya ke redaksi ANESC (lupa tahun berapa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar