Jumat, 23 Maret 2012

Morning call


Ini baru menginjak pagi buta, lembayung semi subuh. Pukul tiga pagi lebih tiga menit. Ketika penanda telepon masuk dan mulai berirama.
Mungkin, ini lebih dari kata ‘mengantuk’ dan ‘lelah’, mengingat hari ini adalah pengawal minggu yang berat. Satu dari sekian banyak kemungkinan lain. Dan naluri itu tetap terjaga. Waspada. Mendorong untuk meraih benda mungil di bawah lipatan bantal, dan menekan YES.
“Halo.”
Di seberang sana. Dipisahkan entah padatan udara, selaput malam, cemerlang siang. Suara ketakutan bak seorang anak kecil.
“Aku takut.”
Pagi ini cukup dingin, berbeda dengan biasanya. Aku menarik selimut yang melorot sampai ke lantai. Mengatupkannya rapat-rapat hingga dagu. Mendengar permainan intonasi dan nada di ujung sana.
“Baru saja aku bermimpi... Mimpi kali ini lebih parah dari sebelumnya...
Pukul tiga lebih seperempat. Hembusan angin yang nekat menerjang dari sela-sela kusen semakin kejam menghujam. Semakin rapat selimut itu menghangat.
Aku disini tidak bisa mendengar suara apapun yang lebih intens daripada intonasi kekhawatiranmu. Kekhawatiran yang begitu dalam dan berkarakter. Ah. Perasaanku saja. Mungkin aku harus memaksa kakiku untuk sekedar memberdayakan coffee maker? Secangkir-dua cangkir kopi hitam?
Oke. Nanti pasti.
Diam, mulai menyimak kisahmu. Pagi ini, pukul tiga lebih limabelas.
“Aku menemukanmu terjebak di suatu ruangan. Terkungkung di dalamnya, terbatas jeruji dan papan kusam. Setiap hari aku bisa melihatmu dengan jelas. Emosimu. Kegelisahan yang mengalir. Pergolakan yang menguap. Setiap detik. Dari luar sana. Namun aku tak bisa berkutik. Mengamatimu bersusah payah keluar dari jalinan jeruji. Tanpa ada celah untuk dipecah. Tanpa ada ruang untuk menggenggam. Aku melihatmu. Aku dihadapanmu. Tapi semu. Aku tak kasat mata bagimu. “
Pagi ini, bisikan tetesan air di toilet, permainan detik jam yang menggelitik, kisikan samar angin subuh menjadi harmonisasi yang menenangkan. Sekaligus membuatku sedikit bergidik. Ini karena kamu, atau mereka?
“Aku takut.”
Kamu menambahkan, merepetisinya seakan mantra. Aku mendengarkan, seperti dongeng dari jaman dulu yang terasa asing namun dekat. Jeda diantara kamu dan aku menjadi lebih dari sekedar waktu. Melebihi batas geografis.
“Sudah hampir pagi. Maaf atas menitmu yang tergadai. Selamat menjelang pagi.”
Klik.
Sambungan terputus.
Pukul tiga lebih duapuluh.
Kepalaku pening. Hei kafein, mari bercumbu.

Minggu, 18 Maret 2012

Seseorang
yang kuharapkan untuk menemani sepanjang sisa hidup.
yang sempurna, tanpa pernah ada cela.
yang selalu berusaha dimaklumi sebagaimanapun ulahnya.
yang tak melulu ada ketika terbangun dini hari yang gelap, namun selalu ada di hati.
yang dikhawatirkan di tiap jatuh sakit


semua itu,
yang menemani saat mendadak bensin habis sementara hujan deras, tertawa
yang memarahi ketika tak berkutik menatap masa depan, memeluk
yang memasak menu abstrak di suatu siang yang panas, dengan ekspresi malu
yang tak berlalu ketika kau bilang 'menyerah, aku bukan siapa-siapa, malas menjalani hari...'
Disana, berusaha ada
Ingat?


ini semua,
detik ini, saat ini,
ternyata, masih terasa kurang




Dan, entah bagaimana lagi

Sabtu, 17 Maret 2012

i love you, dear home

Tipe orang yang tidak terikat dengan rumah dan orang-orang di dalamnya (baca : orangtua dan adik-adik).
Itulah saya.
Dan saya kaget, mendapati saya berkaca-kaca ketika kali ini mendadak saya ingat rumah.

***

Me, 4 yo
Pertama kali saya belajar membaca. Ibu saya bukan orang yang cukup sabar dalam hal mengajari anaknya--terutama saya, pada saat itu--untuk belajar membaca. Saya cukup bandel dan malas untuk belajar membaca. Saya lebih suka nonton TV dan jejingkrakan dengan labilnya, alih-alih belajar mengeja i-en-i i-be-u be-u-bu-de-i-di. Entah karena mungkin karena kesal dan jengkel, jadilah Ibu membelikan saya buku dongeng berambar warna-warni dengan cerita-cerita beken sepanjang masa, seperti Putri Salju, Kerudung Merah, Pangeran Angsa, dan lain-lain. Saya penasaran sekali dengan cerita buku dongeng bergambar tersebut, sementara Ibu ogah mengajari saya membaca, sampai pada akhirnya saya kesal dan mulai membawa buku-buku itu ke kelas taman kanak-kanak, dan meminta teman saya untuk mengajari saya membaca.
Ulah Ibu, yang menjejali saya dengan buku dan 'memaksa' saya untuk menemukan keasyikan dengan buku, mendorong saya untuk mencintai buku dan permainan kata.

***

Me, 9 yo
Bapak, bukanlah tipe orang yang mudah mengekspresikan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Beliau, lebih sering menunjukkan sisi kerasnya, kepada kami. Saya, adalah putrinya yang paling sering membuat perkara. Selalu bertengkar dan menjadi trouble maker. Beliau selalu membuat persyaratan untuk apapun yang saya inginkan, tidak serta merta mengiyakan.
Suatu ketika, saya sangat ingin sekali membeli novel dan komik idaman di toko buku favorit. Yah, namanya juga anak dengan duit jajan terbatas. Merengeklah saya pada Bapak. Dan Bapak bilang,
"Kamu harus ranking satu dulu, baru nanti Bapak belikan."
Saya yang malas belajar, harus terpaksa belajar keras agar bisa mengalahkan teman-teman lain. Demi apa? Demi novel dan komik impian itu.
Hari pembagian rapor tiba. Dan...saya ranking 1! Bersukacita saya menagih janji Bapak, sore itu juga, ke toko buku. Bapak, yang selalu memasang ekspresi galak dan keras, sore itu setengah mati berusaha menyembunyikan senyumnya.

***

Me, 21 yo
Saya bukan tipe kakak yang baik. Tipe kakak yang senang hati memanjakan adiknya. Saya--barangkali mewarisi sifat keras Bapak--lebih suka memasang tameng untuk berbuat terlalu manis pada kedua adik saya. Saya jarang menunjukkan afeksi, perhatian berlebih, ataupun hal lain selayaknya sebagai seorang kakak. Yah, saya akui, saya bukan kakak yang baik. Tapi mereka, kedua adik saya, adalah adik yang baik. Yang selalu rajin menanyakan kabar kakak nya, kesal ketika waktu saya di Jogja ketika pulang cuti justru habis untuk pacar dan teman-teman, dan bisa lebih bijak daripada saya. Mereka bukan tipe adik yang sangat patuh, terlalu penuh dengan sopan santun, ataupun terkenal sekali di sekolah mereka. Tapi mereka adik terbaik bagi saya.

***

Malam ini, saya begitu rindu rumah. Rindu Bapak, rindu Ibu, rindu kedua adik saya. Saya rindu tempe garit, sayur asem, sambel trasi, nasi panas Ibu. Rindu Bapak yang selalu tampak tidak peduli namun justru paling kepikiran ketika saya jauh dari rumah. Rindu bertengkar dengan kedua adik saya gara-gara masalah kecil.
Ini, bukanlah keluarga sesempurna dongeng ataupun sinetron, yang berlimpah dengan materi ataupun afeksi yang sangat terbingkai mata. Namun, bagi saya...ini adalah keluarga terbaik yang membesarkan saya hingga saya bisa menghadapi hidup seperti sekarang.


Me love them :')


I love you, dear home

Rindu yang teramat sangat, kepada keluarga






Minggu, 04 Maret 2012

"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"


"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"

Kalimat pertama yang nampaknya wajib hukumnya, ketika tiap kali ada seorang staf yang memasuki ruang saya.

Ngobrol.
Manusia memang membutuhkan kata yang tampak tak ada ajinya tersebut.
Dan tiap kali mereka--satu demi satu--masuk ke ruangan saya, di kepala saya jadi lebih mirip kaset yang terus memutar rekaman prediksi permasalahan yang memungkinkan seseorang 'ngobrol' dengan HR. Saya, posisi yang sangat strategis sekali.

Tentunya disini saya tak ingin membahas apa saja keluhan mereka. Ada etikanya. Maka yang ingin saya bagi disini adalah, setiap orang memerlukan wadah penampung--kalau saya boleh memperhalus kalimat 'tong sampah'. Dan saya, adalah salah satu yang menjadi pilihan mereka untuk mengobrol. Masalahnya adalah, tidak semua orang merasa yakin, mampu, dan senanghati-sukacita membagi obrolan mereka secara luwes. Kenapa luwes? Karena terkadang apa yang disampaikan justru kisah sambil lalu yang bukan fundamental permasalahan. Kepercayaan untuk bisa terbuka, masih tercampuradukkan oleh batasan dan pakewuh.

***

Pagi ini, atasan saya yang memang memiliki hobi memotivasi orang dengan cara-nya, mendadak membuat kejutan. Beliau cukup 'merepotkan' saya dan OB kantor dalam mempersiapkan berbagai perkakas untuk mendukung upaya motivasinya kali ini.

"Buat apa, Pak?"
"Saya mau bikin games."

Wah. Ini...lompatan besar. Kenapa? Hal ini jarang terjadi. Cukup jarang. Jadilah sepagian itu saya sibuk menjadi asisten sulap beliau (sori untuk dokumentasi yang tidak sempat terfoto, karena saya sibuk menjadi asisten, hehe) menyiapkan gelas, garam, air, garam, dan sendok. Semua staf harus ikut berpartisipasi mencampur bahan-bahan gula dan garam plus air, tim air+gula dan tim air+garam, bergiliran mencobanya--dengan kolaborasi ekspresi yang mengernyit, mau muntah, tergidik, dan sebagainya--hingga pada akhirnya...

"Kalian sudah membuat suatu minuman dengan komposisi asin, dan juga ada yang merupakan komposisi manis. Kalianpun sudah 'menikmati' rasa perbuatan teman-teman kalian. Maka tugas kalian berikutnya, buatlah masing-masing gelas yang berantakan rasa tersebut kembali normal. Dua gelas berisi air yang netral."

Maka berlombalah kubu manis dan asin, menetralkan rasa air dalam gelas tersebut. Menambah gula, mencampur garam, mengaduk sampai menunduk. Hingga pun ada yang dengan lugunya terlambat datang dan tanpa babibu ia langsung meminum air abstrak tersebut ketika ditodong untuk menjadi volunteer penetral rasa. Tapi tetap saja, air tersebut tetaplah tidak bisa kembali netral. Sudah terlalu banyak inputan sejak awal mula pembuatan racikan minuman, kericuhan kecil saat sesi penetralan, dan berbagai ekspresi yang menyiratkan keraguan untuk mencoba hasil penetralan tersebut.

Atasan saya, yang biasanya lebih suka marah-marah *ups* kemudian membacakan satu paragraf konklusi,

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life.
Don't be trapped by dogma, which is living with the result of other people's thinking.
Don't let the noise of other's opinion drown out your inner voice.
And most important, have the courage to follow your heart and intuition.
They somehow already know what you truly want to become.
Everythink else is secondary

Steve Jobs (1955-2011)

Inputan. Setiap hari kita menerima beragam inputan. Jangan seperti ini, lakukan seperti itu.

And guide you home.

Membuat keyakinan awal kita goyah. Dan kemudian menjerumuskan kita dalam dogma yang salah kaprah. Lalu dari sini saya mulai menarik benang merah sendiri terlepas dari hasil percobaan pada sesi tadi pagi,

Karyawan, awal mulanya hanyalah sebuah gelas kosong yang siap diisi oleh serangkaian ilmu berupa air putih yang tawar--tak bergejolak. Namun seiring jam terbang, mereka akan mulai mengkotakkan diri dengan segepok pengalaman dan inputan, mulai dari yang semanis gula hingga seasin garam. Terus seperti itu hingga ilmu dasar yang ada terdesak keluar oleh manis asinnya hal eksternal. Luber. Mbludag. Dan disinilah peran saya, sebagai HR--mau tak mau, suka tak suka--kembali menjalankan misi sebagai si air tawar. Mengisi mereka sedikit demi sedikit dari awal (lagi) tentang berbagai hal. Dan itu bukan hal yang mudah. Dan tak semua karyawan akan merasa sadar untuk menetralkan abstraksi air sebelumnya. Namun tetap ada minoritas, yang pada akhirnya mulai mengetuk pintu ruangan saya di suatu siang setelah jam makan,

"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"

Inputan HR, disadari atau tidak, masih ada harganya. So, be wise :)



Sabtu, 03 Maret 2012

Kisah Klasik yang Esensial



Apakah saya peduli ketika orang lain tak bisa memahami apa yang saya ungkapkan disini?
Tidak pernah.
Karena saya menulis hanya untuk kepuasan saya, bukan mereka.
Apakah ini ego-idealisme-independen anak kemarin sore dalam berolahkata?
Apapun.

***

970 hari.

Pernahkah kamu, dalam suatu malam, terbangun dalam kondisi luarbiasa ketakutan, kecemasan berlebih, dengan keringat dingin mengalir sebesar biji jagung?
Aku pernah.
Menggapai dalam kegelapan, menekan satu nomor yang kamu hapal luar kepala melebihi tanggal lahir rekan terdekat.
Apa yang kamu harapkan?
Hanya satu kata,

Halo.

Dan kamu tahu semua situasi aman terkendali. Kamu merasa memiliki malaikat penjaga, sekuriti terlatih khusus. Di hatimu.

***

970 hari.

Kehidupan seperti apa yang akan menanti kita di ujung sana?
Tak ada yang pasti seperti apakah ujung perjalanan ini. Aku hanya sibuk menduga dan menerka, jalinan benang mana dan hasil rajutan seperti apa. Ini melebihi batas logika, ketika kamu mampir dalam sesi shopping di mall, berhenti di sebuah furniture shop--sibuk memandangi kusen perabot dapur, tempat tidur anak yang ergonomis, almari klasik yang menggoda, ataupun sofa empuk yang tampak hangat di musim penghujan--atau toko perlengkapan bayi, merasakan tekstur dan detail baju bayi, memainkan baby walker.
Ini adalah sindrom. Sindrom 970 hari menjelang 1095 hari dan ribuan hari setelahnya. Keinginan yang mengendap dan... menjadi #obsesi?

***

970 hari.

Ini dan itu. Ada begitu banyak yang aku pikirkan hari ini. Dan tetap saja ya, kamu menelusup masuk di tumpukan ruang yang sudah terkotak-kotak begitu rapat oleh meeting, ulah staff, kunci yang hilang, kerinduan pulang kampung, sambal belut yang pedas, resolusi tahun baru. Itu kamu. Selalu ada ruang, meski aku sudah bilang ketuklah pintu dulu ataupun buatlah janji. Kecil menyempil. Namun rapat menghangat.













Diam


"Hubungan kan bukan cuma sepihak aja, bukan dari aku atau kamu aja, tapi dari kita berdua."
***

Another satnite.
Untuk ukuran penghuni baru kota semi metropol, saya cukup menyedihkan ya? Ini malam minggu, bung. Tapi setelah seharian berkutat di kantor, memang tak ada hal lain yang lebih saya inginkan kecuali diam di kamar, camilan, blog, bbm-an sama pacar, memasang playlist - all greatest love songs, plus diselingi maraton Up dan Despicable Me.

***

Saya hanya ingin menenangkan diri. Tidak dengan keriuhan jalan.