Minggu, 04 Maret 2012

"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"


"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"

Kalimat pertama yang nampaknya wajib hukumnya, ketika tiap kali ada seorang staf yang memasuki ruang saya.

Ngobrol.
Manusia memang membutuhkan kata yang tampak tak ada ajinya tersebut.
Dan tiap kali mereka--satu demi satu--masuk ke ruangan saya, di kepala saya jadi lebih mirip kaset yang terus memutar rekaman prediksi permasalahan yang memungkinkan seseorang 'ngobrol' dengan HR. Saya, posisi yang sangat strategis sekali.

Tentunya disini saya tak ingin membahas apa saja keluhan mereka. Ada etikanya. Maka yang ingin saya bagi disini adalah, setiap orang memerlukan wadah penampung--kalau saya boleh memperhalus kalimat 'tong sampah'. Dan saya, adalah salah satu yang menjadi pilihan mereka untuk mengobrol. Masalahnya adalah, tidak semua orang merasa yakin, mampu, dan senanghati-sukacita membagi obrolan mereka secara luwes. Kenapa luwes? Karena terkadang apa yang disampaikan justru kisah sambil lalu yang bukan fundamental permasalahan. Kepercayaan untuk bisa terbuka, masih tercampuradukkan oleh batasan dan pakewuh.

***

Pagi ini, atasan saya yang memang memiliki hobi memotivasi orang dengan cara-nya, mendadak membuat kejutan. Beliau cukup 'merepotkan' saya dan OB kantor dalam mempersiapkan berbagai perkakas untuk mendukung upaya motivasinya kali ini.

"Buat apa, Pak?"
"Saya mau bikin games."

Wah. Ini...lompatan besar. Kenapa? Hal ini jarang terjadi. Cukup jarang. Jadilah sepagian itu saya sibuk menjadi asisten sulap beliau (sori untuk dokumentasi yang tidak sempat terfoto, karena saya sibuk menjadi asisten, hehe) menyiapkan gelas, garam, air, garam, dan sendok. Semua staf harus ikut berpartisipasi mencampur bahan-bahan gula dan garam plus air, tim air+gula dan tim air+garam, bergiliran mencobanya--dengan kolaborasi ekspresi yang mengernyit, mau muntah, tergidik, dan sebagainya--hingga pada akhirnya...

"Kalian sudah membuat suatu minuman dengan komposisi asin, dan juga ada yang merupakan komposisi manis. Kalianpun sudah 'menikmati' rasa perbuatan teman-teman kalian. Maka tugas kalian berikutnya, buatlah masing-masing gelas yang berantakan rasa tersebut kembali normal. Dua gelas berisi air yang netral."

Maka berlombalah kubu manis dan asin, menetralkan rasa air dalam gelas tersebut. Menambah gula, mencampur garam, mengaduk sampai menunduk. Hingga pun ada yang dengan lugunya terlambat datang dan tanpa babibu ia langsung meminum air abstrak tersebut ketika ditodong untuk menjadi volunteer penetral rasa. Tapi tetap saja, air tersebut tetaplah tidak bisa kembali netral. Sudah terlalu banyak inputan sejak awal mula pembuatan racikan minuman, kericuhan kecil saat sesi penetralan, dan berbagai ekspresi yang menyiratkan keraguan untuk mencoba hasil penetralan tersebut.

Atasan saya, yang biasanya lebih suka marah-marah *ups* kemudian membacakan satu paragraf konklusi,

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life.
Don't be trapped by dogma, which is living with the result of other people's thinking.
Don't let the noise of other's opinion drown out your inner voice.
And most important, have the courage to follow your heart and intuition.
They somehow already know what you truly want to become.
Everythink else is secondary

Steve Jobs (1955-2011)

Inputan. Setiap hari kita menerima beragam inputan. Jangan seperti ini, lakukan seperti itu.

And guide you home.

Membuat keyakinan awal kita goyah. Dan kemudian menjerumuskan kita dalam dogma yang salah kaprah. Lalu dari sini saya mulai menarik benang merah sendiri terlepas dari hasil percobaan pada sesi tadi pagi,

Karyawan, awal mulanya hanyalah sebuah gelas kosong yang siap diisi oleh serangkaian ilmu berupa air putih yang tawar--tak bergejolak. Namun seiring jam terbang, mereka akan mulai mengkotakkan diri dengan segepok pengalaman dan inputan, mulai dari yang semanis gula hingga seasin garam. Terus seperti itu hingga ilmu dasar yang ada terdesak keluar oleh manis asinnya hal eksternal. Luber. Mbludag. Dan disinilah peran saya, sebagai HR--mau tak mau, suka tak suka--kembali menjalankan misi sebagai si air tawar. Mengisi mereka sedikit demi sedikit dari awal (lagi) tentang berbagai hal. Dan itu bukan hal yang mudah. Dan tak semua karyawan akan merasa sadar untuk menetralkan abstraksi air sebelumnya. Namun tetap ada minoritas, yang pada akhirnya mulai mengetuk pintu ruangan saya di suatu siang setelah jam makan,

"Bu, boleh saya ngobrol dengan Ibu?"

Inputan HR, disadari atau tidak, masih ada harganya. So, be wise :)



1 komentar:

  1. Very inspiratif.
    And the fact is, without I realized, I am be the part from that sweet and salty cup...

    BalasHapus