Tampilkan postingan dengan label green plan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label green plan. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Mei 2017

Harta Karun itu (masih) ada di Belantara Ibukota




Sejak kapan keranjingan bunga? Tidak  pernah. Atau setidaknya, bukan saya. Namun ternyata hobi suami ini sangat menyenangkan untuk diabadikan. Sementara ia sibuk menawar, dan saya sibuk membidik dengan lensa seadanya :')

Akhir-akhir ini cukup intens menyisihkan sereceh-duareceh untuk hunting tanaman, anggrek. Entahlah, namun anggrek tak pernah gagal membuat doi sumringah. Awal hunting dimulai sejak beberapa bulan kebelakang, diawali daerah Cibungur Purwakarta. Anggrek yang dijual disana tak terlalu variatif, namun harganya lumayan terjangkau. Bisa loh seratusribu dapat tiga! Lalu sempat hunting di Yogyakarta, di pusat tanaman hias. Terakhir meniatkan hati hunting di daerah Ciapus Tamansari, Bogor. Namun ternyata tutup. Sempat terpikir ke Kebun Raya Bogor, konon ada satu lokasi khusus menjual tanaman. Namun keinginan itu dipatahkan dengan sempurna oleh kemacetan dan hujan deras. Memeng, kalau kata orang Jawa.


Thanks to IG, it works
Ragunan? 
Iya dari Terminal Bus Ragunan masuk ke arah akses GOR Ragunan lalu ambil ke kiri, mengikuti jalan. Di kiri jalan kamu akan menemukan hartakarun!



Tempat apa?
Namanya Taman Anggrek Ragunan. 
Tak meyakinkan? Iya betul. 
Lokasi ini hampir terlewat saking penandanya tertutup tanaman-tanaman. Sedikit kurang terawat. Namun rasa penasaran jauh lebih besar karena eksistensi post terakhir hasil random search IG masih di kisaran bulan Maret-April 2017. Asumsinya, masih buka lah ya. 
Saat masuk ke lokasi parkir, hanya ada sekitar tiga mobil, dan sepi sekali. Iseng tanya ke penjual di depan lokasi, dan disarankan untuk langsung masuk saja. Fyuu-- 
Oya, masuknya gratis.


What a breathtaking view
Iya, katalog ingatan akan tanaman bagus memang masih terbatas seputaran Pulau Jawa, sih. Jadi lihat begini di tengah-tengah ibukota lumayan jadi oase. Duh mak, cantik sekali! Dan anggrek tanah cantik ini pun sukses diboyong ke rumah :) Satu pot dihargai delapanpuluh ribu rupiah. Murah? Mahal? Sudahlah, namanya juga hobi :)






Kalau tak salah sok tahu, ini Bunga Talang (atau Telang?). Beberapa saat lalu sempat ingin sekali beli versi yang sudah dikemas rapi di online-shop. Sempat ingin mengadopsi tanaman ini juga, tapi niat hati tak sedalam itu. Dipandang saja lah.


 Entah ada berapa kavling yang menjual tanaman hias. Yang pasti saat datang kesana hanya ada beberapa kavling yang buka. Tidak jelas juga apakah di hari biasa memang sesepi ini atau tidak. Namun hunting dengan kondisi yang sepi seperti memang lebih kondusif, sih :)















Eyes.





































Nah! Mengincar ini awalnya. Suka sekali dengan bunganya yang cantik dan besar. Next time, mungkin :)










Senang. 
Namun memang bukan hobi saya, sih. Sejak dulu sudah paham kalau memelihara binatang dan tanaman bukan keahlian saya. Menanam bangsa succulent yang gampang saja mati :'( 
Senang, karena pada akhirnya pria datar ini menemukan hobi terkait interaksi dengan non-benda mati. Hahaha. 



Hunting kemana lagi kita?









Rabu, 21 September 2011

Ikan yang sedang berproses di kolam kecil ini…



Ada beberapa hal, yang membuat saya cukup klik di perusahaan saya sekarang. Hal yang simpel, dan mungkin dilakukan oleh banyak dan mungkin seluruh perusahaan. Tapi tetap saja, penting untuk dicatut sebagai note saya pribadi. Diantaranya...
1.     Ada kepedulian mengenai isu hijau di perusahaan ini, bahkan masuk dalam poin efisiensi tiap cabang. Saya cukup norak dan terharu ketika sistem di perusahaan ini adalah PLO (paperless office). Semua laporan adalah dalam bentuk soft file. Tidak diperkenankan melakukan prin materi apapun kecuali untuk kepentingan konsumen. Menggunakan kertas bekas untuk fotokopi dan keperluan lain sebisa mungkin. Sekecil apapun upaya hijau ini—whateverwhat a great deal.
2.    Masih ada basic value yang dipegang teguh disini : jujur. Persetan dengan tantangan yang ada, tapi toh—jujur—tetap saja melandasi tanggungjawab pegawainya. Seriusan deh, bukan lagi jujur ajur. Tapi jujur mujur.. Sekali coba-coba tak jujur, karir disini pun tinggal nama *saksihidup*.
Percayalah (dan saya percaya) ada karir disini. Ketika kamu percaya bahwa jujur adalah mujur.
3.    Your career is determined by yourself performance. Ini adalah harga mutlak. Sangat mutlak. Saya dipaksa keluar dari zona nyaman yang—haaaa—mengendap dalam diri saya. Sepintar apapun kamu, sekaya apapun kamu, se-cumlaude apapun kamu, sebeken apapun universitas asalmu, bla bla bla, selama kamu tak menunjukkan performansi yang oke… yang ada you punya karir bakal stuck. Tak bisa disundul dengan apapun. Behhh… rrrrrr.
Percayalah (dan saya percaya) ada karir disini. Ketika kamu ‘menjual diri’ mu dengan performansi yang maksimal.
4.    Multikultural. Seumur hidup saya hidup dan berkembang disekeliling orang-orang bersuku sama dengan saya. Yah—jadi semi-semi rada chauvinis sih :p
Dan… saya sangat bersyukur, bisa mengenal dan bergaul dengan komposisi individu multikultur disini. Sabang sampai Merauke, 180° berkebalikan dengan saya. Sangat menantang, ketika saya harus berhadapan dengan ritme kerja koko dan cici *ups* atau kaka’/abang/siapapun. Dan saya mengetuk kepala saya sendiri : “Hello…kemana aja kamu??”
Well, such a great moment. Ini, adalah salah satu alasan saya ketika memutuskan siap ditempatkan si seluruh Indonesia Raya, saya belum tahu apa-apa.

Anw, saya pernah posting entah kapan sebelumnya,
(Kelak) saya berjanji akan berkembang di kolam yang kecil untuk menjadi ikan yang sehat dan produktif. Ketimbang saya ngoyo di kolam yang besar untuk kemudian menjadi bayangan. Mungkin disini tampak ‘tidak ada apa-apanya’, namun saya justru mendapatkan big picture awal fase saya berikutnya :) Enjoy, folks.





Senin, 11 April 2011

Hijau-Hijau Manusia Pragmatis


Terkadang aku benar-benar kesal ketika harus ditinggal sendirian di dalam ruang yang gelap. Merasa takut, sendiri, dan begitu merana. Ketika semua di rumah ini tidur dalam kehangatan selimut, bergulir mimpi di dalamnya. Menyadari posisiku, aku hanya bisa teronggok di pojokan antara dinding dan nakas. Menunggu hingga pagi tiba.

Jujur, akhir-akhir ini aku merasa semua menjadi semakin rumit. Semua orang seakan-akan membenciku. Suatu bentuk excuse yang bodoh, mengingat semua upaya mereka untuk membenciku adalah bentuk defense mechanism mereka sendiri, manusia.

Sudah lama aku membenci manusia, atas arogansi mereka dalam memandang suatu permasalahan secara pragmatis. Atas segala yang mereka lakukan kepada bumi, kepada alam, aku sukses dicatut sebagai biang keladi. Mereka lupa, dari tangan mana aku berasal. Habis manis sepah dibuang. Mungkin, hanya sebatas itu kah hakikatku?


***


Tampaknya hari ini May bakal terlambat masuk kantor lagi. Sudah beberapa hari ini May sibuk begadang. Entah begadang apa, yang jelas pasti tugas kantor. Sementara mungkin Auli sudah lebih dulu berangkat menembus kemacetan, May baru mampu membuka mata. Nah, Auli adalah penghuni lain dalam apartemen ini. Ia adalah salah satu bentuk manusia pragmatis yang kerap memojokkanku, kalau boleh aku bilang. Beberapa kali ia mencoba mendepakku, namun May selalu berhasil menemukan cara untuk mengambilku kembali.

Jam digital di ruang tengah menunjukkan pukul 06.30. Dengan penuh minat aku memandang persiapan gegabah May, berlari ke kamar mandi dengan rambut penuh roll-sementara tangannya sempat memanggang roti dalam toaster-keluar lima menit kemudian-memilih baju seadanya (yang lebih mirip persiapan ke pemakaman : hitam-hitam head-to-toe)-mengambil kunci mobil, dan… hap! Dia meraihku! Maka meluncurlah aku ke dalam Samsonite kebanggannya, kembali bergaul dengan lipstick, compact powder Anna Sui, botol parfum Armani, dompet, dan entah apa lagi. Umm, May memang bukan tipe wanita yang cukup rapi. Kadang aku berpikir, barangkali alasan utamanya selalu menahanku adalah karena ia nyaris tak punya waktu untuk membuangku. Tapi tunggu! May bahkan selalu membelaku jika ia tengah beradu argument dengan Auli, kok…


*** 


Uhh, dari kesekian aktivitas May, hal ini adalah yang paling menggangguku. Bertemu dengan sekumpulan wanita yang sibuk namun efisien, berkelas namun tajam. Terkadang sekali-dua kali May perlu bertemu dengan orang-orang seperti ini untuk mendiskusikan masalah pekerjaan.

Brukkk. Bruk. Tak. Bluk. Pluk.

May memang ceroboh, kan… baru saja dia meletakkan pantat di atas leather case sofa sebuah coffee corner, tangannya yang hendak meraih cangkir latte tak sengaja menjatuhkan Samsonite-nya. Praktis, semua benda didalamnya berhamburan keluar, berjajaran di atas parket kayu. Duhduh… semua benda yang (untungnya) cukup elite untuk dilirik teman-teman ngopi-nya yang kadang-kadang bisa begitu culas.

Muka May sudah memerah menahan malu, apalagi kejadian barusan cukup mengalahkan alunan jazz dan mengundang perhatian pengunjung lain. Beberapa tangan mulai membantu memungut kami,

“Aduh, kamu ini May… hati-hati dong…”

“Aduhh… sorry ya. Koordinasi tubuhku memang nggak oke… tau lah kalian…”

“May, May… ehh—kok kamu bawa-bawa beginian, sih?! Buat apa?? Ya ampun May…”

Great. ‘Beginian’ yang dimaksud si wanita culas barusan adalah aku. Aku, si tas plastik. Yang dilipat rapi oleh May dan terselip dalam Samsonite-nya yang mahal. Aku, yang hanya sekedar ‘it thing’.






“Mayyyy, hari gini masih aja bawa-bawa benda kayak gini. Udah era go green begini?!” suara lain, wanita culas yang lain (oke, lebih baik kita menyebutnya wanita culas 2 atau WC 2).

“Sekarang era say no to plastic bag, kali May.” Sambung wanita culas pertama.

Duh, mulai lagi deh… aku nyaris mendengar gumaman May yang sebenarnya letih dengan semua keceriwisan wanita-wanita itu.

“Ehm—

“Setidaknya aku bawa plastik sendiri, toh ini juga bekas aku pakai, kan?—well, sebagian besar plastik ku sudah aku donasikan ke bank sampah kok, tenang saja—aku belum punya waktu, dan aku merasa lebih praktis dengan bawa-bawa beginian, siapa tau perlu… “ Kebiasaan May yang turun dari ibunya. Ibu May rajin membawa tas plastik bekas belanja kemana-mana kala beliau bepergian. Jauh sebelum isu pemanasan global berkembang. Setidaknya, beliau tak membuang sampah sekecil apapun sembarangan dan membuat pencemaran publik. Dan… salahkah itu?

“Iya. Oke, itu memang jauh lebih baik daripada kamu pakai tas plastik sekali pakai, sih. Tapi, banyak cara lain dong May… ada kontainer-kontainer plastik yang bisa kamu bawa—

Koreksi, itu bakal lebih repot, jika kita membawa kontainer plastik macam Tupp*** itu kemana-mana. Untung dong yang pada bawa mobil. Bisa diletakkan di bagian belakang mobil mereka. Lha yang pada jalan kaki? Yang naik motor? Yang naik angkutan? Mungkin, kalau tujuannya memang jelas mencari sesuatu seperti ikan, daging, sayur, yang barangkali bisa langsung dimasukkan kontainer. Kalau transaksi itu spontan?

“—atau banyak kan May, tas-tas non-plastik yang cute dan elegan biar bisa dibawa hang out

Excuse me, anda mau menyelamatkan bumi atau mau show off, sih?? Ini bukan acara runway catwalk, deh…

“…duh, jadi heran, kamu ini, sebenarnya mau menyelamatkan bumi atau ngirit, sih? Aliran eco-friendly mu ini jadi lebih mirip excuse buat pakai barang-barang nggak penting, nggak elit…”

Deg. Telak. Whoaaa… wanita culas sebelumnya—si WC1 ini—benar-benar cari perkara! Aku melirik May. Aku tahu, ia paling tak suka ketika idealismenya dibentur-benturkan secara kurang cerdas dalam debat kusir macam ini.

Cukup cepat, May berdiri sambil menyambar Samsonite-nya. Bak sinetron FTV, deh. Tak lupa ia menambahkan,

I tell you, ya… para wanita hi-class… Kayaknya aku nggak pernah deh, maksa-maksa kalian buat ikut cara eco-friendly ku. Kalian, juga baru sadar tentang eco-friendly setelah ada gembar-gembor media, kan? Sebelumnya, aku yakin kalian lebih peduli kok—jauh lebih peduli, sama perawatan kulit kayak apa yang cocok buat aktivitas outdoor, . Dan, kalau kalian mempertanyakan apa yang aku lakukan ini kurang hi-class buat jadi gaya hidup dan murahan… aku heran kenapa kalian masih numpang hidup di atas planet ini, menggunakan semua sumber daya yang ada dengan seenaknya tanpa tau apa fungsi re-use!”

Yes. May meninggalkan kedua wanita (yang ngakunya) hi-class itu dengan cukup kesal sampai-sampai nyaris menabrak waiter yang mambawa senampan pesanan, menyisakan duo yang malu gara-gara jadi bahan tontonan.

Aku tahu, bukan kali ini saja May kena sentil gara-gara keberadaanku yang setia di sampingnya. Aku sedih. Sedih karena orang-orang yang memiliki kepedulian pada tempat yang dipijaknya seperti May, yang mungkin memiliki cara paling aneh dan berbeda, justru dihujat dan tidak disikapi secara cerdas.

Tak bisakah mereka berpikir, bahkan kampanye green-living telah menjadi gaya hidup yang salah kaprah, yang terkadang diartikan dengan menyingkirkan semua yang dianggap sebagai musuh alam (terutama aku) dan menggantinya dengan barang-barang baru yang tampak lebih oke, lebih berkelas, lebih eye-catching. Mereka lupa, lupa pada satu inti dari green-living itu sendiri : re-use. Atau lebih tepatnya, mencoba menjadi re-use innovator.

May masih sedikit merah padam, ditemani satu corn es krim choco-chips. Tinggal duapuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir. Meskipun tahu hal tadi adalah satu bentuk pro-kontra yang akan selalu ada, wanita ini hanya kesal dengan teman-temannya yang bodoh. Yang merasa telah ikut berkontribusi pada bumi pertiwi, namun tak cukup paham mengenai hal kecil yang ia lakukan. Sabar ya May, mereka memang bodoh… mereka, manusia pragmatis. Terimakasih, untuk mengambil titik tengah terhadapku.

Aku hanya bisa terdiam lemah di dalam kegelapan Samsonite.





Selasa, 05 April 2011

Another Way for Green Plan






Apa yang istimewa dari tas belanja tipis berwarna hijau ini? Yang istimewa adalah,tas ini merupakan pengganti plastic bag yang digunakan oleh sebuah industri dari sentra pengrajin sepatu dan tas kulit di daerah Manding, Bantul, Yogyakarta untuk membungkus setiap belanjaan pembeli.

Kenapa istimewa? Karena bahkan perusahaan besar masih mengenakan charge demi sebuah tas belanja kewer-kewer semacam ini, tapi no charge jika kita tak 'merepotkan' mereka dengan meminta tas non-plastik (paling banter cuma diberi kardus-kardus bekas atau jika kita 'sadar' kita akan menggunakan tas yang dibawa dari rumah). 

Istimewa, karena entah mereka (perusahaan yang bersangkutan) sadar atau tidak, pas kehabisan tas plastik atau tidak, penghematan atau tidak, tindakan ini adalah upaya murah dan sederhana untuk bumi :)



*saya tidak sedang beriklan, tapi jika post ini dianggap sebagai iklan, yah... anggap saja sebagai komplimen karena telah menyayangi bumi :)


Kamis, 24 Maret 2011






THIS EARTH HOUR, GO BEYOND THE HOUR

8.30 PM, SATURDAY 26 MARCH 2011







Sejam saja tanpa listrik, bahkan lebih. Toh, umat Hindu di Bali merayakan Nyepi selama seharian,  tanpa listrik beradu keheningan ... tidak membuat bumi kiamat


ECOBSESSION




Mulai dari baris ini saya sedikit mewanti-wanti karena posting kali ini mungkin sedikit panjang :)

Kadang-kadang saya punya obsesi yang benar-benar aneh. Green plan, eco-plan, better-plan-for-eco-living…  Itu adalah obsesi saya beberapa saaat terakhir. Yah, sekitar beberapa tahun terakhir. Saya, tertarik dengan apapun yang kira-kira bisa mengembalikan lingkungan pada kondisi sebelumnya. Oke-oke, baru pada tahap tertarik, belum beraksi secara nyata :( Dari membeli buku tipis berjudul Era Bisnis Ramah Lingkungan (John E. Kennedy). Memaksa orang rumah membawa tas pengganti plastik untuk dibawa ketika bepergian. Tergila-gila dengan program Big Ideas for Small Planet yang ditanyangkan sepersekian menit di MetroTV. Overexcited dengan EARTH HOUR...

Anw, saya jadi ingat percakapan saya (yang amat sangat nggak mutu) dengan pacar belum lama ini (efek melantur sana-sini setelah bosan jadi cyber-jobseeker),

Saya     :  Aku tau mau mahar apa! (langsung melompat dari topik lain seenak udel, dan sangat bodoh… mengingat saya baruuu saja lulus dan harusnya cari kerja dulu :p)
Dia       : Apaan?
Saya     : Sepuluh bibit pohon sama buku satu container!!
Dia       : …

Yang ada, dimana-mana orang minta mahar tu ya berlian kek, emas kek, duit kek. Duh…*mentoyor kepala sendiri*

Tapi seriusan deh, saya benar-benar punya obsesi tentang ‘hijau’ itu. Dan pasti pernyataan saya akan diikuti oleh pertanyaan,

“Apa kontribusimu buat bumi?
Dengan obsesi gilamu itu?”

Well *garuk-garuk kepala* saya baru bisa menerapkan menggunakan tas selain kresek dimanapun saya pergi. Jadi saya selalu bawa-bawa tas dari bahan blaco ataupun cadangan kresek saya yang menggunung di rumah. Baru itu? Iya, baru itu. Berat juga rupanya…

Sama beratnya ketika saya mati-matian ngotot mengadakan program sosial-humaniora terkait isu global warming pada saat KKN. Saya, notabene sendirian, berpartner dengan salah satu anak buah yang rada ambyar, kudu menghimpun program itu. Dari awal KKN mulai, saya sudah punya gambaran besar mengenai suatu outbond (yes, my speciality) yang HARUS bisa mengangkat isu lingkungan! Titik. Saya nggak peduli meski saya cuma berdua mulai dari bikin konsep acara, ijin sana-sini, kudu pinter-pinter merayu teman-teman lain klaster (yang juga penuh program), merelakan kocek lebih dalam... Saya sempat lega ketika ada perwakilan dari WALHI dan duh, saya lupa, yang berniat ikut ambil bagian dalam program besutan saya (meskipun pada saat itu baru menginjak IDE saja), mereka merencanakan akan ada mobil edukasi yang dapat membantu para anak-anak daerah tersebut belajar lebih lanjut tentang lingkungan. 

Jadi?

Tidak. Ada satu dan lain hal, sehingga mereka tak jadi datang. Dan berarti… saya BENAR-BENAR kudu berpikir lebih lanjut BERDUA saja mengenai outbond itu dengan partner saya yang sangat-sangat abstrak T_________T

Serba multitasking, saya meminta tolong beberapa teman mengontak pemuda desa, mempersiapkan ini itu, memastikan rute dan pos-pos yang bakal dilalui oleh para murid SD setempat yang menjadi sasaran saya, dalam beberapa hari saja, maklum bukan program inti. Dan, pada saat itu adalah pertama kalinya saya bergelantungan di atas truk batu dari desa bawah menuju desa atas bersama-sama remaja setempat yang membantu saya mencari rute outbond. Persis bakul sayur yang berangkat pagi-pagi buta di atas truk berjejal-jejalan...

Jujur, saya bukan orang yang ahli menjadi pemimpin langsung di lapangan. Tapi pada kenyataannya saya HARUS menghandle teman-teman yang membantu saya, plus pemuda desa yang ingin berpartisipasi. Horor juga, secara pemuda-pemuda yang terlibat adalah pemuda desa yang ‘gaul’. Untungnya, mereka mau bekerja sama dengan baik. Bahkan lebih dari sekedar membantu :)  

Dari kesemua pos yang ada, ada satu pos yang memang saya pegang. Pos LINGKUNGAN. Itu adalah pos kedua menjelang akhir, dimana saya akan memberikan presentasi pada anak-anak SD yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Suasana siang itu amat sangat panas sekali. Saya bisa memastikan bakal pingsan demi menempuh rute sebegitu jauh, plus, medan yang dibuat naik-turun-bukit-kecil-lompat-batu-sungai-awas-kecebur-lewat-kandang-sapi-manjat-gua-guaan-menebas-hutan-dan-belukar. Biasa bagi penduduk sekitar, 'agak' ribet bagi kami, anak kota. Dan tolong dicatat, JAUH di kota adalah tidak sama dengan JAUH di desa. 

Satu persatu kelompok-kelompok kecil bersenjatakan tas ransel berisi bekal, topi, dan alat tulis plus plastik berisi sampah (saya meminta tiap kelompok untuk mengumpulkan sampah sepanjang jalan—bukan-bukan, saya tidak mendidik mereka jadi tukang sampah, sungguh!—dan dimasukkan ke dalam plastik besar yang telah saya bagikan di awal).


kasian juga si adik bawa-bawa kresek sampah sementara teman-temannya 
melenggang kangkung :p


Dan beginilah kira-kira bentuk presentasi saya (beberapa bagian saya kutip dari CosmoGirl*)

 #1

#2
#3

#4

Dari kesemua lembar yang saya pampang di hadapan mereka, lembar #4 adalah bagian yang langsung menyita perhatian anak-anak SD itu, jadi... kira-kira begini penjelasan saya, 



1 jari -- dengan satu jari kita bisa berkontribusi menghemat listrik dengan cara me-nonaktifkan benda-benda elektronik yang tidak sedang dipakai, seperti TV, radio, charger HP, dll. Bayangkan berapa watt listrik yang berhasil kita hemat!



1 tangan -- dengan satu tangan kita dapat berkontribusi pada bumi dengan menggunakan lampu hemat energi, membuang sampah pada tempatnya, serta menanam tanaman. Hal kecil, namun secara tidak langsung membuat bumi tetap lestari.



             2 kaki -- kita bisa dong, berjalan kaki untuk jarak yang dekat-dekat ataupun naik sepeda saja, jika jarak yang ditempuh memang terjangkau...



            
           2 mata -- gunakan mata seefektif mungkin, untuk membaca, melihat, mengamati hal-hal terkait pelestarian lingkungan dan berbagai informasi yang menambah wawasan lingkungan. Nggak ada ruginya kok, sambil nunggu loading twitter atau facebook, sambil membuka situs-situs keren tentang isu lingkungan! 



          1 mulut –- mulai membiasakan diri untuk sedekat mungkin dengan bahan makanan organik. Sekarang sih masih mahal karena masih jarang orang yang peduli pada perawatan tanaman secara organic, sehingga otomatis income petani atau pihak-pihak yang terlibat menjadi tak seberapa bila disbanding biaya perawatannya. Tapi lambat laun pasti banyak orang yang lebih peduli kok! Plus, sering-sering bercerita pada orang lain yang belum paham keuntungan bahan makanan organik.




           1 hati –- last but not least, dengan HATI yang kita miliki, cobalah menerapkan langkah kecil, sedikit demi-sedikit, untuk membutikan bahwa kita menyayangi bumi kita, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Cherrios!

Dan, reaksi mereka?
“Pemanasan global ki opo to, Mbak?”
“Pemanasan global itu buminya panas!”
“Ya panas gitu…”
Bla bla bla…

Saya sih tidak berharap menjadi malaikat yang membuat mereka… CLING, langsung sadar dan menjadi pahlawan lingkungan… tidak. Karena tidak bisa seperti itu dong. Maka yang bisa saya lakukan, pada hari itu, saya memanfaatkan jatah ceramah saya  untuk mendoktrin mereka dengan pentingnya pemisahan sampah (agar tidak menimbulkan racun, dan bisa didaur ulang berdasar jenisnya), pelarangan pembakaran sampah (akan lebih bagus bila ada tempat penampungan khusus, yang saya tahu itu sangat mustahil bagi warga desa), penggunaan tas selain plastik ketika berbelanja di pasar, dan membuang sampah pada tempatnya (tidak membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik, di sendang—oiya, sendang menjadi tempat favorit para tua-muda-laki-perempuan untuk mandi, fyi, sendang sekedar bilik-bilik tembok tidak berpintu >__<), diiringi mantra sakti,

“Dik, tolong Ibu/Bapak dikasi tau yaa..” plus senyum secerah Peps*dent

Berhasil??

*tersenyum kecut* sayangnya belum…  karena esoknya saya masih menemukan warga membakar sampah di sudut desa, ibu-ibu yang membuang bungkus deterjen di tanah sekitar sendang begitu saja, dan sebagainya-dan sebagainya. Kelak, saya ingin bisa kembali lagi kesana dengan misi yang sama, ECOBSESSION. Amin.


* CosmoGirl Indonesia (April, 2008)