Mulai dari baris ini saya sedikit mewanti-wanti karena posting kali ini mungkin sedikit panjang :)
Kadang-kadang saya punya obsesi yang benar-benar aneh. Green plan, eco-plan, better-plan-for-eco-living… Itu adalah obsesi saya beberapa saaat terakhir. Yah, sekitar beberapa tahun terakhir. Saya, tertarik dengan apapun yang kira-kira bisa mengembalikan lingkungan pada kondisi sebelumnya. Oke-oke, baru pada tahap tertarik, belum beraksi secara nyata :( Dari membeli buku tipis berjudul Era Bisnis Ramah Lingkungan (John E. Kennedy). Memaksa orang rumah membawa tas pengganti plastik untuk dibawa ketika bepergian. Tergila-gila dengan program Big Ideas for Small Planet yang ditanyangkan sepersekian menit di MetroTV. Overexcited dengan EARTH HOUR...
Anw, saya jadi ingat percakapan saya (yang amat sangat nggak mutu) dengan pacar belum lama ini (efek melantur sana-sini setelah bosan jadi cyber-jobseeker),
Saya : Aku tau mau mahar apa! (langsung melompat dari topik lain seenak udel, dan sangat bodoh… mengingat saya baruuu saja lulus dan harusnya cari kerja dulu :p)Dia : Apaan?Saya : Sepuluh bibit pohon sama buku satu container!!Dia : …
Yang ada, dimana-mana orang minta mahar tu ya berlian kek, emas kek, duit kek. Duh…*mentoyor kepala sendiri*
Tapi seriusan deh, saya benar-benar punya obsesi tentang ‘hijau’ itu. Dan pasti pernyataan saya akan diikuti oleh pertanyaan,
“Apa kontribusimu buat bumi?Dengan obsesi gilamu itu?”
Well *garuk-garuk kepala* saya baru bisa menerapkan menggunakan tas selain kresek dimanapun saya pergi. Jadi saya selalu bawa-bawa tas dari bahan blaco ataupun cadangan kresek saya yang menggunung di rumah. Baru itu? Iya, baru itu. Berat juga rupanya…
Sama beratnya ketika saya mati-matian ngotot mengadakan program sosial-humaniora terkait isu global warming pada saat KKN. Saya, notabene sendirian, berpartner dengan salah satu anak buah yang rada ambyar, kudu menghimpun program itu. Dari awal KKN mulai, saya sudah punya gambaran besar mengenai suatu outbond (yes, my speciality) yang HARUS bisa mengangkat isu lingkungan! Titik. Saya nggak peduli meski saya cuma berdua mulai dari bikin konsep acara, ijin sana-sini, kudu pinter-pinter merayu teman-teman lain klaster (yang juga penuh program), merelakan kocek lebih dalam... Saya sempat lega ketika ada perwakilan dari WALHI dan duh, saya lupa, yang berniat ikut ambil bagian dalam program besutan saya (meskipun pada saat itu baru menginjak IDE saja), mereka merencanakan akan ada mobil edukasi yang dapat membantu para anak-anak daerah tersebut belajar lebih lanjut tentang lingkungan.
Jadi?
Tidak. Ada satu dan lain hal, sehingga mereka tak jadi datang. Dan berarti… saya BENAR-BENAR kudu berpikir lebih lanjut BERDUA saja mengenai outbond itu dengan partner saya yang sangat-sangat abstrak T_________T
Serba multitasking, saya meminta tolong beberapa teman mengontak pemuda desa, mempersiapkan ini itu, memastikan rute dan pos-pos yang bakal dilalui oleh para murid SD setempat yang menjadi sasaran saya, dalam beberapa hari saja, maklum bukan program inti. Dan, pada saat itu adalah pertama kalinya saya bergelantungan di atas truk batu dari desa bawah menuju desa atas bersama-sama remaja setempat yang membantu saya mencari rute outbond. Persis bakul sayur yang berangkat pagi-pagi buta di atas truk berjejal-jejalan...
Jujur, saya bukan orang yang ahli menjadi pemimpin langsung di lapangan. Tapi pada kenyataannya saya HARUS menghandle teman-teman yang membantu saya, plus pemuda desa yang ingin berpartisipasi. Horor juga, secara pemuda-pemuda yang terlibat adalah pemuda desa yang ‘gaul’. Untungnya, mereka mau bekerja sama dengan baik. Bahkan lebih dari sekedar membantu :)
Dari kesemua pos yang ada, ada satu pos yang memang saya pegang. Pos LINGKUNGAN. Itu adalah pos kedua menjelang akhir, dimana saya akan memberikan presentasi pada anak-anak SD yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Suasana siang itu amat sangat panas sekali. Saya bisa memastikan bakal pingsan demi menempuh rute sebegitu jauh, plus, medan yang dibuat naik-turun-bukit-kecil-lompat-batu-sungai-awas-kecebur-lewat-kandang-sapi-manjat-gua-guaan-menebas-hutan-dan-belukar. Biasa bagi penduduk sekitar, 'agak' ribet bagi kami, anak kota. Dan tolong dicatat, JAUH di kota adalah tidak sama dengan JAUH di desa.
Satu persatu kelompok-kelompok kecil bersenjatakan tas ransel berisi bekal, topi, dan alat tulis plus plastik berisi sampah (saya meminta tiap kelompok untuk mengumpulkan sampah sepanjang jalan—bukan-bukan, saya tidak mendidik mereka jadi tukang sampah, sungguh!—dan dimasukkan ke dalam plastik besar yang telah saya bagikan di awal).
kasian juga si adik bawa-bawa kresek sampah sementara teman-temannya
melenggang kangkung :p
melenggang kangkung :p
Dan beginilah kira-kira bentuk presentasi saya (beberapa bagian saya kutip dari CosmoGirl*)
#1
#2
#3
#4
Dari kesemua lembar yang saya pampang di hadapan mereka, lembar #4 adalah bagian yang langsung menyita perhatian anak-anak SD itu, jadi... kira-kira begini penjelasan saya,
1 jari -- dengan satu jari kita bisa berkontribusi menghemat listrik dengan cara me-nonaktifkan benda-benda elektronik yang tidak sedang dipakai, seperti TV, radio, charger HP, dll. Bayangkan berapa watt listrik yang berhasil kita hemat!
1 tangan -- dengan satu tangan kita dapat berkontribusi pada bumi dengan menggunakan lampu hemat energi, membuang sampah pada tempatnya, serta menanam tanaman. Hal kecil, namun secara tidak langsung membuat bumi tetap lestari.
2 kaki -- kita bisa dong, berjalan kaki untuk jarak yang dekat-dekat ataupun naik sepeda saja, jika jarak yang ditempuh memang terjangkau...
2 mata -- gunakan mata seefektif mungkin, untuk membaca, melihat, mengamati hal-hal terkait pelestarian lingkungan dan berbagai informasi yang menambah wawasan lingkungan. Nggak ada ruginya kok, sambil nunggu loading twitter atau facebook, sambil membuka situs-situs keren tentang isu lingkungan!
1 mulut –- mulai membiasakan diri untuk sedekat mungkin dengan bahan makanan organik. Sekarang sih masih mahal karena masih jarang orang yang peduli pada perawatan tanaman secara organic, sehingga otomatis income petani atau pihak-pihak yang terlibat menjadi tak seberapa bila disbanding biaya perawatannya. Tapi lambat laun pasti banyak orang yang lebih peduli kok! Plus, sering-sering bercerita pada orang lain yang belum paham keuntungan bahan makanan organik.
1 hati –- last but not least, dengan HATI yang kita miliki, cobalah menerapkan langkah kecil, sedikit demi-sedikit, untuk membutikan bahwa kita menyayangi bumi kita, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Cherrios!
Dan, reaksi mereka?
“Pemanasan global ki opo to, Mbak?”
“Pemanasan global itu buminya panas!”
“Ya panas gitu…”
Bla bla bla…
Saya sih tidak berharap menjadi malaikat yang membuat mereka… CLING, langsung sadar dan menjadi pahlawan lingkungan… tidak. Karena tidak bisa seperti itu dong. Maka yang bisa saya lakukan, pada hari itu, saya memanfaatkan jatah ceramah saya untuk mendoktrin mereka dengan pentingnya pemisahan sampah (agar tidak menimbulkan racun, dan bisa didaur ulang berdasar jenisnya), pelarangan pembakaran sampah (akan lebih bagus bila ada tempat penampungan khusus, yang saya tahu itu sangat mustahil bagi warga desa), penggunaan tas selain plastik ketika berbelanja di pasar, dan membuang sampah pada tempatnya (tidak membuang sampah sembarangan, apalagi sampah plastik, di sendang—oiya, sendang menjadi tempat favorit para tua-muda-laki-perempuan untuk mandi, fyi, sendang sekedar bilik-bilik tembok tidak berpintu >__<), diiringi mantra sakti,
“Dik, tolong Ibu/Bapak dikasi tau yaa..” plus senyum secerah Peps*dent
Berhasil??
*tersenyum kecut* sayangnya belum… karena esoknya saya masih menemukan warga membakar sampah di sudut desa, ibu-ibu yang membuang bungkus deterjen di tanah sekitar sendang begitu saja, dan sebagainya-dan sebagainya. Kelak, saya ingin bisa kembali lagi kesana dengan misi yang sama, ECOBSESSION. Amin.
* CosmoGirl Indonesia (April, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar