“ Apa yang kamu inginkan untuk ulangtahun kali ini?”
Suara Radith sedikit bergema di ujung sana, dari belahan lain bumi. Ada workshop sastra internasional yang wajib diikutinya.
Sembari menjepit ponsel di sisi kiri, sontak aku membuka laci meja kerjaku dengan keras, sukses menjatuhkan beberapa perkakas kantor ke lantai.
“Hhh… sebentar ya Sayang. “ sahutku sedikit kesal.
Tak ada jawaban di seberang sana. Tapi aku tahu ia menungguku. Merasa bersalah, aku berhenti mencari file keparat yang diminta Chandra, editorku, dan kembali fokus pada ucapan Radith.
“Yang aku inginkan? Ulangtahun ini?” balasku sambil lalu. Pertanyaan yang sama selama tiga tahun terakhir. Rupanya Radith sudah kehabisan stok ide, batinku geli.
“Iya Re. Kamu ingin apa?”
Aku berdehem pelan,
“Ehmm…tak ada.” Sahutku. Bukannya aku berbohong, tapi memang tak ada sesuatu yang benar-benar pasti untuk kuinginkan selama beberapa minggu ke depan menjelang ulang tahunku. Ada sih, satu dua kebutuhan sederhana, seperti mungkin tisu toilet, lampu duduk cantik yang aku inginkan untuk menemani golden time ku di malam hari, atau satu set buku Ernst Hemingway. But for God’s sake, aku tentu mampu membelinya sendiri, tak perlu dijadikan kado ulang tahun dong.
“Tak ada?” kali ini suara Radith jauh terdengar seperti gumaman pelan kecewa. Ah, pria ini benar-benar mampu menyita belas kasihanku dengan ekspresi puppy face-nya, pikirku membayangkan gurat di pipinya.
“Iya…” sementara itu pikiranku berpacu dengan pandangan ke sudut ruangan, entah kenapa. Dan sukses tertumbuk pada buku sedikit lusuh yang terjepit diantara persediaan Lays dan kamus Indonesia-Perancis ku. John Grisham.
“Ada. Nah, Sayang—bagaimana jika untuk ulangtahun kali ini, aku meminta sesuatu yang tak biasa?” sahutku hampir seperti bernyanyi, mendadak begitu bergairah.
“Ya?” sahutnya tak kalah penasaran.
“Mmm… aku ingin—melewatkan ulangtahunku tahun ini.”
“ … “
“Halo? Sayang?” aku berusaha memanggilnya setelah tak ada sahutan terdengar.
“Apa? Halo? —”
Aku sedikit yakin Radith merasa sambungan internasional lintas benua ini mengalami gangguan. Padahal tidak seperti itu. Ia tak salah dengar.
“Radith, Sayang, aku ingin melewatkan hari ulangtahunku. Tahun ini. Tanpa hadiah. Tanpa seremoni apapun. Tanpa tart keju super besar dengan terror overweight. Tunggu—jangan potong kalimatku dulu, Sayang—“ potongku terus mencerocos, “—tanpa ceplokan telur di kepala atau ceburan di kolam rumah—ohh, yang benar saja. Memangnya kita masih abege—”
“Tapi ulang tahun kali ini akan sangat berbeda. Kamu, Reyasita Mayangsari, the winner of Editor’s Choice tahun ini. Media—“
Aku menganulir protes Radith dengan cepat, “Radith, aku bukan Luna Maya atau Yuni Shara yang patut diekspos sedahsyat itu. Oke? Just skip my birthday. Sayang, aku harus buru-buru mencari file ku. Penghargaan itu mencekikku dengan serentetan deadline. Bye.”
KLIK.
Skippin birthday.
***
Honestly, tidak ada yang unik, aneh, bombastis dengan ide melewatkan hari ulangtahun. Semua orang pernah melakukannya. Hanya saja sedikit aneh, karena di keluargaku perayaan ulang tahun sama berharganya dengan Lebaran. Semua keluarga akan berkumpul dan memandangimu dengan penuh semangat. Tentunya para tante dan Ibu adalah pihak yang sangat rebek, dalang di balik semua kericuhan pesta.
Secara pribadi, aku memandang bahwa hidupku terbagi menjadi dua fase ulangtahun. A half of nearly 25th, dan another half, tentu, rentang 25 tahun setelahnya. Menjelang seperempat abad kita cenderung bersemangat, gairah gejolak muda yang begitu kental dan dalam. Melewati batas-batas paling tak masuk akal. Setelah 25 tahun terlewat, sedikit demi sedikit tuntutan mulai menyerang setiap persendian. Yeah, sesi curhat. Memutuskan untuk menghindari pekerjaan superior, nyaman dengan sacangkir decaf lattepastry kering yang aku lewatkan di pojokan kafe bergaya minimalis dengan Mac favorit. Belum terikat dengan komitmen selain mendedikasikan hidup pada permainan kata dan kalimat. I will then, tapi aku memang belum tergerak bahkan untuk menimang seorang bayi mungil. dan
Dan aku menginjak masa transisi bye 25th , welcoming 26th . Erghh. Membayangkannya aku ingin muntah. Ada alasan kenapa aku ingin melewatkan seremoni kali ini. Keluargaku, dan tentu keluarga Radith, pasti akan mulai merongrong dengan serangkaian tanggal dan tempat. Membuatku tercekik. Belum lagi mengingat berapa banyak pemborosan demi menyambut kali ke 26 kehadiranku di dunia ini. Cukup. Aku bosan.
***
“Wait em, apa maksudmu dengan tidak ada pesta??” Lita nyaris tersedak tall grande-nya sendiri. Ia mengulang tiga kata terkahir dengan sangat jelas. Aku mengangkat bahu,
“Nothin. Sekedar pengalihan rutinitas. Hei, tak pernahkah kau merasa bosan setiap kali ulang tahunmu dirayakan? It’s okay, jika menjelang usia ke 25. Tapi setelah itu—“
Lita melambaikan tangan dengan tak sabar,
“Sssh, aku sudah pernah mendengar teorimu tentang batas seperempat abad itu. Astaga Re, kenapa sih kamu tidak bisa sekedar menikmati itu semua. Perhatian orang-orang yang begitu menyayangimu. Barang-barang cantik yang indah.
“Oke, mungkin kau tak tertarik dengan LV atau koleksi mini dress Zara yang begitu seksi dan menggoda. Tapi, kau yakin tak tergoda dengan Mont Blanc?? Aku hampir yakin akan memberimu satu sebagai bagian birthday wishlist mu tahun ini, sebelum kau berkata tak ada pesta.”
“Mont Blanc?” lenguhku tak tahan. Lita memang bisa benar-benar congkak. Well, aku terkadang iri dengan pekerjaannya sebagai commercial banking relationship manager. Gajinya sebulan adalah kesabaranku menunggu royalti setengah tahun. But, it’s my passion which I deal with.
“Ya.”
***
05.30
Bisa-bisanya aku terbangun di pagi yang begitu awal. Meilirik dengan malas ke jam digital yang sedikit berpendar dalam gelap. Memang terlalu pagi. Tapi, hei! Ini hari ulangtahunku. My skippin birthday. Mari kita lihat apakah ada perkembangan sejauh ini. Biasanya—aku menyambar ponselku, menilik inbox—akan ada cukup banyak missed calls dan SMS selamat ulang tahun. Yup, kali ini tak ada. Samasekali. Ada 5 SMS, satu dari Radith yang mengabarkan workshop kali ini akan menjadi extended. Dua SMS dari Lita, ajakan gossip lunch, dan dua dari Chandra—mengenai jadwal meeting dengan penerbit. Begitu pula setelah aku memeriksa inbox e-mail ku. Tak ada pesan berarti, hanya beberapa dari Amazon.com. aku memesan beberapa buku baru minggu lalu. Tee-hee. Tampaknya semua orang mematuhi aturanku kali ini. Skip my birthday. Lita, Radith, orangtuaku, teman-teman lain, semua orang.
Fuahhh. Lega sekali rasanya. Biasanya pagi-pagi aku akan dikejutkan—oke, aku jarang terkejut—oleh kejutan pagi buta Radith dengan buket lili putihnya, atau Radith dengan potongan tiramisu favoritku. Paginya Ibu akan muncul mendadak membawakan sarapan nasi kuning favoritku ala beliau, disertai wejangan mengenai menjadi wanita sejati (yang semakin intens dan membosankan menjelang angka 25 ku). Karena aku menggunakan privilege untuk bekerja di rumah, maka aku (sekali lagi) biasanya akan dipaksa datang ke penerbit untuk ‘merayakan’ (baca : 6 dus pizza large, berliter-liter cola dariKU) ulangtahun alih-alih mengejar deadline. Dilanjutkan dengan todongan Sushi Tei dari Lita dan beberapa teman lama. Kegilaan sehari akan terus berlanjut, dimana puncaknya para Tante kurang kerjaan akan bersatu padu mengadakan pesta untukKU. Sekalian saja aku menggunakan baju tutu pink berenda-renda dengan pita cantik di atas kepala, meniup lilin selamat ulang tahun. Aku bosan.
Tapi tidak kali ini. Semua begitu tenang dan terkendali.
10.00
Puas bersantai, aku meluncur ke penerbit, menyanggupi pesan dari Chandra. Suasana lobi kantor yang cozy cukup lengang pagi itu. Musim deadline sudah mengendur beberapa minggu, berganti dengan brainstorming ide baru. Persis seperti apa yang aku lakukan. Chandra muncul, dan kami pun mulai.
“Ide-idemu menarik pasar, Re. Ini. ” Chandra menarik selembar kertas dari dalam foldernya. Mencermati sesaat sebelum memberikannya padaku.
“Hmm…” aku bergumam pelan sambil mengamati kertas itu. Grafik pasar.
“Dan…”
“Dan tampaknya mereka akan memakaimu dalam jangka waktu yang cukup lama. Potensial.” Senyum Chandra melebar, mirip badut Ancol.
“Potensial untuk menggerus jam tidurku…” gumamku. Sedikit lelah, berbulan-bulan aku mengerjakan deadline ini. sekarang wajar saja rasanya jika Editor’s Choice ada di tanganku.
13.00
Lita sedikit terlambat hari ini. Sementara aku menghirup sejenak kebebasanku dari deadline, dia malah sedang mati-matian hidup diantara deadline. Tapi toh, mengingat berapa bonus yang akan diterimanya kelak, semua itu menjadi sepadan. Aku mencuil sedikit bagian green tea donut, sambil mengetik. Tak bisa membayangkan jika aku harus hidup tanpa teknologi. Beberapa saat yang lalu aku bertandang ke Bali, saat Nyepi. Semua damai, namun aku menjadi begitu frustasi karena tak bisa menyelesaikan artikel terakhirku. Lita sampai kesal dan meninggalkanku tidur.
“Hei, maaf aku tadi dihadang Surya.” Lita menyeruak di samping meja, sedikit terengah. Ia menyebutkan nama atasanya dengan tampang kesal.
“It’s okay, dear.”
Lita memesan vanilla latte-nya, dan kami mulai bergosip.
16.00
Sesorean ini aku hanya malas-malasan, memotong-motong tanaman zen, menyeruput the, dan teronggok di sofa. Sibuk mengutuk acara TV yang tak ada bagus-bagusnya. Huh. Ini hari ulangtahunku. Sesorean seperti ini biasanya aku akan sibuk dipaksa nyalon. Tapi tidak kali ini. Dan aku benar-benar bosan. Bahkan Mac tak sanggup menggadaikan kebosananku.
18.30
Terpaksa memesan makanan cepat saji, lagi-lagi aku masi teronggok di depan TV. Berharap kemarin tak lupa membayar tagihan satelit, sehingga aku bisa menonton acara-acara oke, dan tidak terjebak dengan sinetron konyol yang begitu bullshit. Barusan aku mencoba menelepon Radith, tapi hanya masuk voice mailbox. Begitu pula dengan Lita. Aduhhh…kenapa keputusan melewati ulangtahun begitu menyiksa sendiri seperti ini???
19.30
Uhh… aku benar-benar mati kutu. Pikirku, aku bisa mendapat waktu yang bebas ketika melewatkan serangkaian seremoni ulangtahun. Tapi ternyata tidak.
21.00
Kesabaranku sudah habis. Semua hal tampak berkonspirasi di hari ulangtahunku, yang kulewatkan dengan sengaja. Setengah kesal, aku menyambar sweater dari atas sofa, dan payung. Berjalan di antara rintikan hujan. Aku tak tahu hendak kemana. Dan ketika melewati warung mungil kebab, mau tak mau perutku merongrong dan akupun menelan ludah.
“Kebabnya satu, Mas.” Putusku kemudian.
Tanpa banyak kata pria muda itu meracik material kebab dengan gesit. Aku hanya memandangnya dengan tanpa minat. Tak lama kebabku jadi, aku memberikan uangnya. Hujan sudah berhenti beberapa saat yang lalu. Dan aku terhenti di pojokan taman, meraih satu ayunan dan mulai mengayunkan diri persis orang kurang kerjaan. Sambil mengggigit potongan kebab yang terasa hambar, sibuk menyalahkan keputusanku yang bodoh.
“Enak ya Mbak?” tegur sebuah suara anak kecil.
Hampir saja aku terlonjak dan pontang-panting mendengar suara anak kecil yang begitu tiba-tiba di tengah taman sepi menjelang tengah malam. Aku bergidik. Seorang anak kecil, berpakaian lusuh. Refleks bodoh, aku mencari kakinya. Uh, oke. Masih menapak tanah. Tampangnya begitu tertarik dengan apa yang aku pegang. Kebab.
“Mau?” tanyaku takut-takut. Takut ia ternyata adalah umpan yang dipasang para preman.
Tanpa ragu ia mengangguk. Ketakutanku mereda. Kelemahanku yang lain, aku tak tegaan. Apalagi pada anak kecil. Bocah ini tampak kelaparan. Dan Florence Nightingale complex ku mulai kumat. Bak seorang malaikat aku berkata lagi padanya,
“Eh, daripada makan punyaku, ikut aku aja yuk.” Dengan sigap aku menggiring tangannya, tangan yang kotor dan pasti penuh kuman. Herannya, kali ini aku tak merasa jijik atau bahkan nyaris muntah. Mungkin karena aku sedang patah hati, pikirku getir.
Kami menuju booth kebab yang tadi kukunjungi. Memesan dua porsi kebab, karena ia tampak lapar dan sangat antusias bertanya (apa itu kebab? Dari apa? Enak? Tapi pasti mahal… aku belum pernah makan kebab, bla bla bla). Iseng, aku bertanya,
“Kamu, ulangtahun kapan?” tanyaku.
Ia mengingat-ingat sesaat,
“2 April.” Mata bulatnya tak henti-hentinya takjub dengan kegesitan si Mas Kebab.
Mataku membulat. 2 April hari ini! Anak ini berulang tahun sama sepertiku! Dan ia tak ingat. Hmm… pastilah tak ada kalender atau reminder. Dan anak ini, tentu sudah berkali-kali melewatkan ulangtahunnya. Dengan tak sengaja. Aku menjadi gelisah sendiri.
“Dikasih kado apa?” pertanyaan tolol yang baru kusadari sedetik kemudian. Demi Tuhan, anak ini gelandangan. Mana pernah ia merasakan perayaan ulangtahun…
“Nggak ada yang kasih, Mbak.” Sahutnya polos. Kini ia sibuk mengunyah kebab dengan nikmat, bibirnya sampai belepotan saos.
Hatiku mencelos. Aku merogoh sesuatu yang bisa kutemukan di kantong sweater, kebiasaan buruk menyimpan banyak benda di dalam kantong, mirip pengutil. Hm, apa ini? Jemariku mencapai struktur keras, bertekstur. Gantungan kunci miniatur Naruto, lelucon yang dibawa Lita pasca kunjungan kerjanya ke Jepang. Aku mengulurkan chibi Naruto.
“Wahh, boneka apa ini?!” bahkan anak itu tak tahu siapa Naruto.
Officially, gantungan kunci Naruto dan dua porsi kebab adalah hadiah kecilku di hari ulang tahunnya.
***
“Selamat ulang tahun, Sayang.” Radith mengecup pipiku setelah menyerahkan sebuah kotak kecil yang bisa membuat jantungku berhenti berdetak.
“ … “, speechless.
“Aku tak bisa menemukan kado yang lebih baik, maaf.” Bisiknya setengah bersalah.
Aku tak bisa berkata-kata. Perjanjian melewatkan ulangtahun rupanya tak mampu dipatuhi Radith. Ia terbang selama 12 jam perjalanan, langsung menemuiku yang masih berbingkai rambut kusut dan mata sembap, merasa bersalah karena tidak mau ambil pusing dengan perhatian orang-orang yang begitu menyayangiku, demi mengucapkan selamat ulangtahun. Thanks to bocah kebab.
“Will you marry me?”
Skakmat. Ditambah pena Mont Blanc (well, Lita tak bercanda), tart keju, potongan tiramisu, dan nasi kuning, serta penghargaan Editor’s Choice di tangan. Aku menyesali upaya terbodoh untuk melewatkan ulangtahun. Setiap detik yang kita miliki untuk tetap berkembang dan berbagi dengan orang-orang yang menyayangi kita selalu cukup berharga untuk sekedar dikenang dengan secuil perayaan. Welcoming twentysixth! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar